Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir Dan Implementasinya Di Sekolah Tinggi Ilmu Dawah (Stid) Mohammad. Natsir Kramat Jati Jakarta Dan Tambun Bekasi

(1)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

Disusun Oleh: Hasan Fatoni 108011000081

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M.


(2)

Pendidikan Agama Islam

Disusun Oleh: Hasan Fatoni 108011000081

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M.


(3)

i

MOHAMMAD. NATSIR KRAMAT JATI JAKARTA DAN TAMBUN BEKASI

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

Oleh Hasan Fatoni 108011000081

Di Bawah Bimbingan

Drs. H. Acmad Gholib, MA NIP. 19541015197902 1 001

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M.


(4)

Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir Kramat Jati Jakarta dan Tambun

Bekasi” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqosah pada tanggal 28 Maret 2013, dihadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S. Pd. I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 16 April 2013

Panitia Ujian Munaqosah

Ketua Panitia Tanggal Tanda Tangan

Bahrissalim, M. Ag

NIP : 19680307 199803 1 002 ………….. ...

Sekretaris (Sekretaris Jurusan/ Program Studi) Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag

NIP : 19670328 200003 1 001 ………….. ...

Penguji 1

Drs. Aminudin Yakub, M. ag ... ... NIP : 19710214 199703 1 001

Penguji 2

Drs. Ghufron Ihsan, MA ... ...

NIP : 19530509 198103 1 006

Mengetahui, Dekan

Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA


(5)

SURAT PERNYATAAN JURUSAN

Ketua/Sekretaris Jurusan/Program Studi Pendidikan Agama Islam menyatakan bahwa,

Nama : Hasan Fatoni

N I M : 108011000081

Jurusan / Prodi : Pendidikan Agama Islam

Semester : IX (Sembilan)

Benar telah menyelesaikan semua program akademik sesuai ketentuan yang berlaku dan berhak untuk menempuh Ujian Skripsi (Munaqasah).

Jakarta, 04 Januari 2031 Mengetahui,

Penasehat Akademik, Ketua/Sekretaris Jurusan/Prodi

Siti Khadijah, MA Bahrissalim, M. Ag

NIP. 19700727199703 2004 NIP. 19680307199803000 1002


(6)

حملل ىنملا تبلطو ىنملل ةبحملا تكرت"

ب

“Aku tinggalkan cinta demi cita

-cita dan aku

mencari cinta untuk cita-

cita”

“EKSPRESIKAN CINTA

KARYA MELALUI


(7)

Ibunda tercinta Suadah, yang telah mencurahan kasih sayang, doa, dukungan moral dan material sehingga mengantarkan

penulis kejenjang sekolah yang lebih tinggi.

Guru-guru, yang telah memberikan keluasan ilmunya kepada penulis.

Seluruh Keluarga, Kakak serta anak-anaknya (Khatijah, Agus dan Abida) dan seluruh family yang telah memberikan do'a, motivasi,

dan bantuan untuk meraih cita-cita dan untuk menjadi seperti apa yang mereka harapkan.

Teman-teman Alumni MANBA (Madrasah Aliyah Bangkalan), Pergerakan intelektual Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah UIN Jakarta yang telah berbagi pengalaman hidup melalui inspirasi ide

dan gagasan keilmuannya.

Seluruh almamater UIN Syarif Hidayatullah UIN Jakarta yang selalu aku banggakan.


(8)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

N a m a : Hasan Fatoni

Tempat/Tgl.Lahir : Bangkalan, 06 Agustus 1986

NIM : 108011000081

Jurusan / Prodi : Pendidikan Agama Islam

Judul Skripsi : Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir dan Implementasinya di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir Ktamat Jati Jakarta dan Tambun Bekasi

Dosen Pembimbing : Drs. H. Acmad Ghalib, MA

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, 03 Januari 2013 Mahasiswa Ybs.

Hasan Fatoni


(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu’aliakum warahmatullahi wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahiim.

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya tanpa mengenal hitungan kepada seluruh hambanya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada baginda besar, reformis dunia Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, para sahabat dan para

tabi’ tabi’in yang telah mengikuti jejak beliau sampai akhir hayatnya. Ucapan alhamdulillah penulis sampaikan berkat belas kasih Allah SWT. dan berbagai dorongan, saran dan bimbingan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar.

Dalam kesempatan ini penulis mencoba menganalisi ulang gagasan seorang tokoh Indonesia dengan judul yang bertemakan “Gagasan Pendidikan Integral M. dan Implementasinya di STID M. NATSIR. Penulis menyadari betul bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi, penganalisaan, maupun sistematika penulisan. Hal ini dapat dipahami karena keterbatasan, kedalaman, pengalaman dan kemampuan keilmuan penulis miliki. Oleh karena itu, saran serta kritik menuju perbaikan sangat penulis harapkan dari pihak yang bersangkutan.

Selanjutnya penulis menyampaikan rasa banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik berupa dorongan moril maupun materi. Atas dukungan mereka juga bagi penulis menjadi doa dalam setiap saat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bahrissalim, MA. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah.


(10)

3. Drs. H. Syapiuddin Shiddiq, MA. selaku Wakil Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah.

4. Drs. H. Acmad Gholib, M.A. sebagai dosen Pembimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh bapak ibu dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah meluangkan waktunya dengan membekali penulis dengan berbagai Ilmu pengetahuan.

6. Seluruh Staf Perpustakaan yang ada di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Seluruh dosen dan karyawan Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir yang telah meluangkan waktunya dalam kesibukan untuk penulis mendapat informasi yang selama ini penulis butuhkan.

8. Seluruh jema’ah Mihrobul Muhibbin yang sangat penulis ta’dzimi atas dukungan yang diberikan selama ini.

9. Kedua orang tua penulis yang sangat saya ta’dzimi Bapak H. Ali Wafa (alm) dan Ibu Suadah yang selama ini memperjuangkan penulis lewat sentuhan doa dan materi. Dan juga keluarga penulis yang ikut serta mendoakan selama mencari ilmu.

10. Muzakkir Fauzi, Resdia MP, Arifin Seregar, Syukur Ya’kub, Hafidzuddin, Ikmal Seregar, dan seluruh teman-teman PAI C khusunya dan mahasiswa PAI umumnya yang penulis tidak dapat sebut satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat penulis.

11. Uni Ulfa, Vika Martahayu, Fitri, Mbak Zarkatun, mas Romadhon, Ilzam dan Siti Hanifah terimakasih atas dukungan moral dan masukan selama ini Semoga Allah membalas kebaikan melalui sentuhan kasih sayang-Nya.


(11)

Bersamaan dengan ini penulis berharap dengan segala kebaikan dan dukungan mereka mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt, dan hanya melalui do’a penulis haturkan semoga apa yang mereka cita-citakan menjadi

kenyataan melalui perjuangan selama ini. Amien Yaa Rabbal ‘alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 5 Januari 2013


(12)

1987 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

A. Huruf

ا = a ز = z ق = q

ب = b س = s ك = k

ت = t ش = sy ل = l

ث = ts ص = sh م = m

ج = j ض = dl ن = n

ح = h ط = th و = w

خ = kh ظ = zh ? = h

د = d ‘ = ع ا =،

ذ = dz غ = gh ي = y

ر = r ف = f

B. Vokal Panjang Vokal (a) panjang = ȃ Vokal (i) panjang = î Vokal (u) panjang = û C. Vokal Diftong

أۏ

= aw

يأ

= ay

أۏ

= û

يإ

= î


(13)

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN JURUSAN ... v

HALAMAN MOTTO... ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

HALAMAN TRANSLITERASI ... xii

DAFTAR ISI... . xiii

HALAMAN ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORITIS A.Tinjauan Historis Tradisi Keilmuan dalam Islam: Telaah Integrasi Ilmu Pengetahuan……….. ... 8

B. Tinjauan Historis Pendidikan di Indonesia pada Masa M. Natsir: Telaah Terhadap Dikotomi Keilmuan ... 14

1. Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan ... 15

2. Pendidikan Islam Setelah Kemerdekaan ... 17

C. Paradigma Pengembangan Ilmu Agama dan Umum ... 21


(14)

d. Model Restoranois ... 25

e. Model Rekonstruksi ... 25

f. Model Reintegrasi ... 25

3. Konsep Islam tentang Ilmu Pengetahuan ... 26

4. Basis Integrasi Keilmuan ... 27

5. Munculnya Ide Integrasi Keilmuan ... 29

6. Hakekat Integrasi Keilmuan ... 31

7. Tujuan Integrasi Keilmuan ... 33

BAB III Metodologi Penelitian A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

B. Metode, Sumber dan Jenis Penelitian ... 38

C.Teknik Perolehan Data ... 39

D.Teknik Pengolahan Data.. ... 40

E. Kisu-kisi Instrumen Pengumpulan Data ... 41

F. Bentuk Laporan ... 41

BAB IV Paparan Hasil Penelitian A.Deskripsi Data ... 42

1. Riwayat Hidup M. Natsir ... 42

2. Kiprah dan Perjuangan M. Natsir... 44

3. Karya Tulis M. Natsir ... 48

B. Hasil Penelitian ... 51

1. Gagasan Integral M. Natsir ... 51

2. Tujuan Pendidikan Integral menurut M. Natsir ... 58

3. STID Mohammad Natsir ... 61


(15)

e. Sarana dan Prasarana... 66 4. Implementasi Pendidikan Integral

di STID Mohammad Natsir ... 66

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ... 69 B. Saran... ... 70

LAMPIRAN


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pandangan dasar yang menyatakan al-Quran adalah sumber, dan mencakup semua dasar ilmu kehidupan dan ilmu modern, suatu hal mesti dipahami terlebih dahulu bahwa al-Quran datang dari Zat pencipta alam yang Maha bijaksana dan Maha mengetahui segala sesuatu.1 Al-Quran merupakan kitab Allah yang memiliki perbendaharaan luas dan besar bagi pengembangan dasar keilmuan bagi umat manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan. Dengan demikian, ia merupakan sumber ilmu pengetahuan terlengkap, baik ilmu yang berhubungan dengan masyarakat (sosial), moral (akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta material (kejasmanian) dan alam semesta.

Dalam samsul Nizar kejelasan al-Quran yang mengisyaratkan adanya ilmu pengetahuan telah mendapat pernyataan sekaligus kekaguman dari Mourice Bucaille, menyatakan, “bahwa isi kandungan al-Quran merupakan kitab suci yang obyektif dan memuat petunjuk bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern”. Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan Islam harus senantiasa mengacu pada sumber yang termuat dalam al-Quran, dengan berpegang kepada nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran terutama dalam pelaksanaan pendidikan Islam akan

1

Khalil Al-Musawi, Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, Terj. dari Kaifa Tasasharruf bi Hikmah, oleh Ahmad Subandi, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1998), h. 63


(17)

mampu mengarahkan dan mengantarkan manusia bersifat dinamis-kreatif, serta mampu mencapai esensi nilai-nilai „ubudiyah pada khaliqnya.2

Dari wacana di atas setidaknya memberi suatu gambaran tentang bagaimana pendidikan Islam seharusnya menanamkan nilai-nilai yang dapat membentuk corak manusia yang sempurna. Kesempurnaan ini hanya dapat dicapai setelah pendidikan melakukan suatu proses usaha pengkajian ulang terhadap isi yang terkandung dalam al-Quran. Oleh karena itu, sebagai suatu kesimpulan sederhana berkenaan dengan hubungan al-Quran dan ilmu pengetahuan ialah bahwa ajaran Islam sebagai petunjuk Ilahi mengandung implikasi dan nilai-nilai kependidikan yang mampu membimbing, membina serta mampu mengarahkan manusia kearah hidup yang lebih baik.

Dalam konteks ini, kelembagaan pendidikan Islam telah ada dan eksis semenjak masuknya Islam ke Indonesia beberapa tahun silam, dan banyak memainkan peran dalam rangka membangun dan mencerdaskan bangsa. Tidak sedikit dari tokoh-tokoh dan pemimpin bangsa yang berasal dari lembaga pendidikan Islam, layaknya pesantren, madarasah yang ikut andil di dalamnya. Kenyataan tersebut dapat dilihat misalnya, dari gerakan umat Islam dalam menempatkan pendidikan Islam sebagai rana efektif dalam mewarnai aspek kultural yang mengarah kepada pertumbuhan dan perkembangan ajaran-ajaran Islam.

Dengan demikian, pendidikan Islam yang memiliki tujuan membentuk pribadi yang utuh, pengembangan terhadap potensi dan membentuk hubungan yang selaras. Selayaknya sudah menjadi tanggung jawab pendidikan Islam di era globaliasi sekarang ini bergerak mengikuti arus kemajuan ilmu dan teknologi, terutama komunikasi dan transformasi membuat dunia terasa luas tanpa batas. Hal ini tentu akan diikuti perubahan pola hidup masyarakat secara akselerasi baik dalam bidang ekonomi, budaya, politik, terutama dalam bidang pendidikan. Banyak dari perubahan itu menuntut hadirnya sebuah rekonstruksi dalam mengukuhkan eksistensi bagi lembaga pendidikan Islam dalam meningkatkan

2

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2001), h. 95-96


(18)

mutu dan kualitas di masa depan, salah satu dari rekonstruksi pendidikan Islam yakni dengan membentuk sistem pendidikan yang integral. Diakui sebelumnya, dalam catatan sejarah pola pendidikan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia telah mewarisi sistem pendidikan yang dualistis yaitu; Pertama, warisan pemerintahan kolonial Belanda dengan mengambil pola pendidikan umum yang bersifat sekuler, jauh dari nilai-nilai agama. Kedua, warisan pesantren dengan pola pendidikan tradisional, yang memuat wacana ilmu keislaman semata.3 Sehingga kedua pola sistem pendidikan tersebut menghasilkan generasi yang bersifat parsial. Satu sisi menghasilkan generasi yang terbatas pada pelatihan otak dan tak kenal batas nilai. Di sisi lain menghasilkan generasi yang tidak kenal tanda zaman.

Dalam menanggapi permasalahan di atas, sistem pendidikan integral dimaksud mengambil bentuk usaha melepas pengkaplingan lintas dua ilmu, umum dan agama. Dan bermakna pula mencegah terjadinya dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Dan dapat pula diartikan sebagai pelepasan sikap antipati terhadap ilmu pengetahuan yang sedang berkembang.

Problem yang terkait, lahirnya sistem pendidikan integral ditengarai terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan, maka muncul anggapan bahwa ilmu terdiri dari dua bagian antara ilmu agama dan ilmu umum. Seakan keduanya memiliki wilayah masing-masing dan tidak dapat untuk dipertemukan. Kondisi ini semakin dipertajam oleh adanya anggapan dengan asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat adalah ilmu sekuler dan harus ditolak. Dengan melihat kenyataan ini ada kesan, bahwa ilmu yang datang dari Barat harus ditolak dan yang datang dari Timur harus diterima. Pandangan semacam ini pada hakekatnya akan meruntuhkan sendi-sendi keilmuan yang ada, kerena dasar kedua ilmu tersebut dapat berjalan secara harmonis (baca: keterpaduan) jika yang menjadi landasannya adalah tauhid.

Oleh karena itu, sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan mencerdasakan kehidupan bangsa, dan membentuk pribadi yang utuh seharusnya memiliki sistem

3

Muhaimin, Rekonstruksi pendidikan Islam; Dari Paradigma Pembangunan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pres, 2009), h. 76


(19)

pendidikan yang mapan guna menunjang masa depan lebih baik. Sehingga melahirkan generasi yang dapat mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Keadaan semacam ini mendorong para pemikir Islam khususnya di Indonesia melakukan rekonstruksi terhadap sistem pendidikan dalam mengembalikan ilmu yang telah terpisah-pisah menjadi ilmu yang utuh (integral).

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa tidak sedikit dari tokoh-tokoh dan pemimpin bangsa yang berasal dari lembaga pendidikan Islam mampu berbicara banyak dalam panggung sejarah. Tokoh-tokoh tersebut yang berusaha memberikan sumbangan berupa ide tentang pendidikan. Salah satu upaya tersebut diarahkan agar pendidikan mampu beradaptasi dengan dinamika peradaban modern dengan tetap bernafaskan nilai Islam. Dari sederetan tokoh bangsa yang memberikan sumbangan ide tentang pendidikan dan ikut andil dalam merumuskan landasan-landasan ideologi pendidikan Islam salah satunya adalah M. Natsir.

M. Natsir sebagai tokoh tersohor yang layak menjadi perhatian. Bukan saja dikenal sebagai seorang multi dimensional, intelektualis terbuka, bahkan Nurcholish Madjid ia sebut sebagai tokoh univerasalis, pahlawan nasional sekaligus pemikir sejati. Namun juga kerena ia pejuang konsisten sesui prinsip yang dimilikinya. Dan masih banyak sebutan-sebutan yang di sandang olehnya. Sebagai pemikir berlian, ide dan gagasan M. Natsir senantiasa menarik untuk dikaji. Salah satu ide M. Natsir adalah tentang konsep pendidikan yang bersifat integral. Ide ini muncul sebagai reaksi terjadinya dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum pada masanya. Asumsi lain kecendrungan kuat bahwa ilmu-ilmu umum adalah pengetahuan yang datang dari Barat yang sifatnya sekuler dan membahayakan, karena itu perlu ditolak.

Kondisi inilah yang mendorong seorang M. Natsir tampil sebagai penggagas pembaharuan pendidikan Islam yang berbasis al-Quran dan Hadits4 maka pendidikan Islam harus bersifat integral, harmonis dan universal. Selanjutnya, konsep tersebut dihubungkan dengan misi ajaran agama Islam. Oleh sebab itu,

4

Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perasada,2005), h. 72


(20)

dalam pandangan beliau, bahwa dalam upaya mengatasi keterbelakangan pendidikan Islam adalah menata ulang sistem dan kurikulum pendidikan yang dikotomis menjadi sistem yang integral antara ilmu umum dan ilmu agama dan yang harus menjadi landasannya adalah nilai tauhid sebagai ideologi pendidikan Islam.

Dari pertimbangan yang telah diutarakan diatas, nampak bahwa studi mengenai pemikiran M. Natsir, terlebih tentang pendidikan merupakan bidang yang amat menarik dan penting untuk diteliti serta cukup beralasan, maka penulis berusaha menganalisis pemikiran Mohammad M.Natsir, serta membuat format dari gagasan tersebut yang dikemas dalam suatu rumusan: “GAGASAN PENDIDIKAN INTEGRAL M. NATSIR DAN IMPLEMENTASINYA DI

SEKOLAH TINGGI ILMU DA’WAH (STID) MOHAMMAD NATSIR

KRAMAT JATI JAKARTA DAN TAMBUN BEKASI”

B. Identifikasi Masalah

Ada beberapa hal yang perlu di tekankan dalam memilih judul skripsi ini yang erat kaitannya dengan gagasan pendidikan integral M.Natsir, diantaranya: 1. Adanya dualisme sistem pendidikan agama dan pendidikan umum.

2. Adanya dikotomi ilmu pengetahuan.

3. Tidak adanya lembaga pendidikan yang menghasilkan generasi yang kaffah. 4. Kurangya lembaga pendidikan dalam merealisasikan cita-cita yang dapat

memberikan makna hidup dan kebahagiaan manusia.

5. Terjadinya ketimpangan atau ketidak seimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari keluasan terhadap pembahasan dalam penelitian, maka penulis membatasi masalah pada kajian pendidikan integral menurut M. M. Natsir dan bagaimana implementasinya di STID M. NATSIR. Adapun yang menjadi pembatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(21)

1. Pengertian Pendidikan Integral

Pendidikan integral yang dimaksud M. Natsir disini adalah pendidikan yang tidak mempersoalkan didikan yang berasal dari Barat maupun Timur, atau atas dasar warna kulit. Baginya Barat dan Timur kepunyaan Allah Swt dan Islam hanya mengenal perbedaan yang hak dan batil, semua yang hak akan diterima, meskipun datangnya dari Barat. Begitu pula sebaliknya semua yang batil akan ditolak, meskipun datangnya dari Timur.

2. Tujuan Pendidikan Integral M. Natsir

Adapun yang menjadi tujuan pendidikan integral M. Natsir adalah untuk dapat menghantarkan manusia mencapai kebahagian dunia dan akhirat.

3. Implementasi Pendidikan Integral M.Natsir

Penulis ingin melihat sejauh mana penerapan gagasan pendidikan integral M. Natsir di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir

4. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas. Ada beberapa hal yang manjadi fokus penulisan skripsi ini dalam merumuskan masalah, diantaranya; 1. Bagaimana Pengertian Pendidikan Integral menurut M. Natsir?

2. Apa Tujuan Pendidikan Integral menurut M. Natsir?

3. Bagaimana Implementasi Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir di STID Mohammad Natsir Kramat Jati Jakarta dan Tambun Bekasi.

5. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan ini adalah:

1. Mendeskripsikan Pendidikan Integral M. Natsir?

2. Mendeskripsikan Tujuan Pendidikan Integral M. Natsir?

3. Mendeskripsikan Implementasi Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir di STID Mohammad Natsir Kramat Jakarta dan Tambun Bekasi?


(22)

6. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Penulisan skripsi ini dapat di jadikan sebagai bahan dokumentasi, bahan masukan dalam menyikapi pendidikan Islam kedepan.

2. Dapat menjadi sarana dalam merefleksi suatu kenyataan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang khususnya dunia pendidikan.

3. Sebagai sarana baca untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkait dengan pendidikan Islam.

4. Menambah khazanah ilmu pengetahuan yang ada dalam diri setiap tokoh pendidikan Islam.


(23)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Historis Tradisi Keilmuan dalam Islam: Telaah Terhadap Integrasi Ilmu Pengetahuan.

Dalam lintasan sejarah, pendidikan Islam adalah bagian dari sejarah kebudayaan umat manusia. Keadaaan ini didorong oleh adanya upaya membangun peradaban melalui pelestarian tradisi intelektual dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui potensi akal, Islam dapat membangun tradisi keilmuan yang sangat pesat disamping Islam juga memiliki rujukan yang otoritatif berupa wahyu Ilahiyah. Rujukan ini serat sekali dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti perintah mencari ilmu, berfikir dan menjadikan ilmu sebagai jembatan dunia menuju akhirat. Dengan demikian, Islam tidak hanya berdiri dengan konsep pedidikan parsial (sebagian), tetapi lebih kepada pengembangan pemikiran pendidikan Islam yang kaffah (menyeluruh). Oleh karena itu, terkait dengan proses Islamisasi ilmu pengetahuan yang perlu dilakukan. Proses ini bertujuan untuk mengukuhkan eksistensi tradisi keilmuan dalam keislaman. Disini penulis mencoba mengklarifikasi secara singkat sejarah pendidikan pada periode awal perkembangan pendidikan Islam.

Seperti diketahui dari latar belakang sejarah, bahwa pendidikan Islam berkembang sejalan dengan penyebaran agama Islam.1 Dalam periode Rasul saw.,

1

Hal ini dapat dipahami, pada masa awal perkembangan Islam pendidikan serat dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah yang berlangsung di rumah Dar-al-Arqam. Setelah umat terbentuk, maka pendidikan diselanggarakan di masjid dalam bentuk halaqah atau lingkaran. Baca,


(24)

pendidikan Islam bersumber langsung dari ajaran al-Quran dan al-Sunnah yang diselenggarakan secara sederhana atau bersifat informal. Dengan kata lain, Rasul memberikan pendidikan kepada para sahabatnya seperti menghafal, memahami, dan mengamalkan isi ajaran al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Hal ini dapat dilihat misalnya pada pengajaran pendidikan Islam baik di Makkah maupun Madinah dengan materi pendidikan yakni al-Quran. Ia menjadi materi karena mengandung nilai-nilai dari segala aspek kehidupan manusia.2

Selanjutnya, pada masa perkembangan dan pertumbuhan ajaran Islam terdapat sebuah proses pembentukan/ setting nilai dan budaya baik secara kualitatif dalam arti nilai dan budaya ditingkatkan kualitasnya. Sedangkan pengembangan secara kuantitatif mengarah kepada pembentukan ajaran dan budaya baru menuju kesempurnaan hidup manusia, Islam yang lengkap, dan sempurna.3 Dengan kata lain, pada masa Rasul pendidikan diartikan sebagai pembudayaan ajaran Islam, yaitu dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam kedalam unsur budaya bangsa Arab, baik Islam mendatangkan ajaran yang bersifat memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, maupun Islam datang meluruskan kembali nilai-nilai yang secara praktik telah menyimpang jauh dari ajaran Islam.

Pada masa awal perkembangan Islam melalui bimbingan Rasul dan pengaruh al-Quran, telah banyak melahirkan tokoh dari kalangan sahabat dengan kualitas keilmuan yang tidak diragukan. Diantaranya Umar bin Khattab, Ali bin Abi

Thalib, Zaib bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Siti Aisyah

dan lain-lain.4 Yang kemudian dari sini dapat dikatan sebagai permulaan tumbuh dan berkembangnya ilmu-ilmu agama.

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), Cet. IV, h. vii

2Zainal Efendi Hasibuan, “Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal”, dalam Samsul Nizar

(ed. ), Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Sejara Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. III, h. 11

3

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Cet. VIII, h. 69

4

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 21


(25)

Adapun permulaan dan berkembang ilmu pengetahuan dimulai dengan penamaan ilmu agama seperti tajwid, qiraat, tafsir, ilmu hadits, dan nahwu, terdapat pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hal ini dapat dilihat misalnya dari adanya cara untuk mempermudah pengajaran al-Quran pada masa itu. Diantaranya ilmu tajwid, tumbuh sebagai tata cara membaca al-Quran dengan baik dan benar, ilmu qiraat untuk mengetetahaui validitas bacaan al-Quran sesuai dengan mushaf. Sehingga muncul ilmu Qiraat al-Sab’ah. Ilmu tafsir, ilmu yang menjelaskan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh al-Quran. Ilmu kaidah-kaidah bahasa Arab yang dikenal dengan ilmu nahwu.5

Jadi dengan adanya proses pertumbuhan keilmuan dalam Islam menandai bahwa ajaran Islam serat dengan ajaran yang mendorong lahirnya Suatu peradaban dan tumbuhnya keilmuan atas dukungan wahyu. Terjadinya pergerakan dalam bidang ilmu keagamaan pada masa itu dikarenakan menjadi sebuah tuntutan dan kebutuhan masyarakat kala itu.

Atas dasar framework ini, menurut Samsul Nizar ada perhatian serius di bidang pendidikan. Khususnya al-Qur’an dan hadist semenjak pasca wafatnya Rasulullah Saw Hal ini menjadi wajar, karena kompleksnya tuntutan umat Islam di segala bidang termasuk pendidikan. Maka menjadi relevan ruang lingkup pendidikan Islam berkembang pesat dan meluas. Sehingga berbagai disiplin ilmu tumbuh diseputar kajian ajaran agama Islam. Selain itu, penambahan corak ilmu-ilmu klasik6 yang dikenal melalui kontak cultural dimana masing-masing kelompok masyarakat tersebut mempunyai pewarisan kebudayaan dan intelektualisme Yunani dan Persia.7

5

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam….h. 80-81

6

karya-karya klasik pendidikan Muslim pada tahun (700-1350) maka sebagian besar karya membicarakan tentang beberapa komponen dalam pendidikan diantaranya; tujuan pendidikan Muslim, metode, teori pengetahuan, kurikulum, pendidikan moral, religius, psikologi pendidikan, riset pendidikan, persoalan disiplin, organisasi pendidikan dan administrasi pendidikan. Setiap karya memiliki ciri khas dan anjuran masing-masing tergantung kondisi sosial pada masa karya tersebut ditulis. Baca, Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, terj. dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education, oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), Cet. II, h. 103

7


(26)

Dari ungkapan di atas dapat digaris bawahi, bahwa dengan adanya kegiatan ilmiah oleh para sahabat. Kemudian kegiatan tersebut dilanjutkan oleh tokoh-tokoh klasik. Darinya melahirkan berbagai bidang dan cabang disiplin ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama. Artinya, ilmu pengetahuan umum baru tumbuh dan berkembang memasuki awal periode Bani Umayyah melalui kontak kultural dengan negara lain. Sedangkan ilmu pengetahuan mencapai puncak keemasannya pada masa Bani Abbasyiah. Penting pula dicatat, dari kedua Dinasti ini yang menjembatani lahirnya tokoh-tokoh Muslim terkemuka, baik tokoh yang bernuansa ilmu keagamaan maupun tokoh yang bernuansa ilmu pengetahuan umum seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Qutaibah, Ibnu Sina, Imam al-Ghazali dan seterusnya masih banyak lagi tokoh-tokoh pada masa klasik yang tidak mungkin penulis menyebutkanya disini secara keseluruhan.

Sejarah melecak pada periode Dinasti Umayyah kejayaan masih bertumpu kepada perluasan dan penaklukan wilayah8, sehingga prestasi yang paling menonjol darinya adalah prestasi di bidang politik dan meliter.9 Dinasti ini juga mengalami perkembangan berbagai aliran keagamaan yang turut serta memperkaya khazanah keislaman dan juga dalam soal budaya misalnya melahirkan kreatifitas keilmuan dalam bentuk seni bangunan, sastra dan ilmu pengetahuan setelah terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim dengan negeri-negeri taklukannya yang memiliki tradisi luhur seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya.10

Meskipun dalam perkembangan keilmuan Dinasti Umayyah boleh dikatakan terbatas. Hal ini diduga karena kesibukan para khalifah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang mapan. Disamping itu pula terjadinya perluasan

8

Pada masa Dinasti ini di bawah pemerintahan al-Walid, Hisyam dan khalifah lainnya emperium Islam berhasil memperluas wilayah sampai batas-batas yang membentang luas dari pantai Lautan Atlantik dan Pyrenees hingga ke Indus dan perbatasan Cina. Pada masa ini pula terjadi penaklukan Transoxiana, Afrika Utara, Eropa dan Spanyol. Baca terj, Philip K. Hitti,

History of The Arabs, oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 255

9

Didin Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Kerja Sama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), Cet. I, h. 60

10


(27)

wilayah baru.11 Namun kemajuan yang pernah diraihnya, merupakan cikal bakal tradisi keilmuan dalam peradaban Islam.

Selanjutnya perkembangan keilmuan dapat dikatakan tumbuh pesat sejak munculnya Bani Abbasiyah12. Karena pada masa ini, baik ilmu agama ataupun ilmu umum mendapat perhatian cukup tinggi. Darinyalah tumbuh berbagai disiplin ilmu pengetahuan, serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan India.13 Adapun pemikiran asing yang mempengaruhi dunia intelektual Muslim atau yang lebih dikenal dengan penetrasi Hellenisme. Melalui sentuhan kreatif para intelektual Muslim dan perpaduan yang harmonis antara Islam dan filsafat mampu melahirkan intelektualis Muslim yang mampu memberikan warna peradaban umat Islam yang dinamis, teruma di bidang ilmu pengetahuan.14

Daulah Abbasyiah mencapai popularitasnya di zaman khalifah Harun al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun. Selain terjadinya pergerakan penerjemahan buku-buku dari Yunani, juga berdirinya sebuah lembaga penerjemahan bernama

Bait al-Hikmah berfungsi sebagai perpustakaan dan Universitas.15 Dapat dikatakan pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Yang mampu menguasai world view secara komprehensif tanpa harus meninggalkan tradisi ajaran dalam Islam. Di bawah dinasti ini pula, orang-orang Muslim dari dunia Arab, Spanyol, Mesir, India, dan sebagainya, telah melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang tidak buta terhadap kekayaan ilmu pengetahuan dan literatur mereka masing-masing, serta terhadap ilmu pengetahuan dan literatur dari dunia Helenistik dan Kristen. Hal ini

11

Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam….h. 83

12

Dalam catatan sejarah, ketenaran Bani Abbasiyah muncul setelah memperoleh kemenangan tentara Islam atas orang Bizantium pada Masa al-Mahadi dan al-Rasyid. Yang membuat periode ini sangat terkenal yaitu sejak adanya gerakan intelektual dalam sejarah Islam yang ditandai oleh proyek terjemahan karya-karya berbahasa asing diantaranya; Persia, Sanksekerta, Suriyah, Arab dan Bahasa Yunani. Bahasa yang disebut terakhir banyak mempengaruhi alam pikiran intelektual Islam pada periode ini. Baca, terj Philip K. Hitti, History of The Arabs….h. 381

13

Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam….h. 102-103

14

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam….h. 10

15Usman, “Institusi Pendidikan

Islam pada Masa Harun ar-Rasyid”, dalam Suwito, et al. (ed. ), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. I, h. 96


(28)

menandakan adanya semangat penelitian dan semangat kreatif yang merupakan ciri khas pada abad-abad awal Islam.16

Fakta sejarah membuktikan warisan keilmuan pada kedua Dinasti masih memberikan sentuhan dalam bidang ilmu pengetahuan. Dimana warisan intelektual mereka masih diakui eksistensi oleh negara Barat. Meskipun demikian kedua Dinasti tersebut tidak dapat dipertahankan dan pada saatnya mengalami kemunduran dikarenakan faktor internal maupun faktor eksternal. Kehancuran yang dialami kedua Dinasti ini berdampak kepada pendidikan dan menjadi terkotak-kotak yang kemudian mempengaruhi kebudayaan Islam di seluruh dunia Islam, terutama dibidang intelektual.

Berdasarkan uraian singakat di atas, kejayaan yang ditorehkan oleh umat Islam, tampak terdapat asas integrasi bentuk keragaman keilmuan dalam Islam. Tanpa adanya integrasi keilmuan dalam Islam sulit untuk bisa membentuk peradaban yang kuat. Dengan demikian, Islam pada dasarnya tidak mengenal adanya pemisahan atau dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum keduanya saling berpadu, harmonis dan saling melengkapi. Adanya pemikiran asing yang masuk ke dalam tubuh Islam berfungsi sebagai bahan pengayaan dan bukan unsur pendominasi ajaran Islam. Akan tetapi sebagai upaya pelestarian keilmuan dalam menjawab persoalan-persoalan yang muncul di setiap zaman.

Memasuki era modern, perhatian di bidang keilmuan dipertanyakan eksistensinya. Mengingat kehancuran total yang dialami oleh kedua Dinasti tersebut. Salah satu bentuk pergerakan kembali di bidang ilmu pengetahuan adalah mengadakan pembaharuan (modernisasi) oleh pemikir Islam. Hal itu dilakukan dalam rangka membangun kembali orientasi masyarakat ilmiah yang mampu turut serta membangun kualitas keilmuan dan memberikan respons Islam terhadap perkembangan zaman.

Menurut Harun Nasution,17 periode modern di mulai sejak tahun 1800 M. Periode ini di tandai oleh Jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Hal ini membuat Islam sadar dan mengerti akan kelemahannya. Sedangkan di Barat telah timbul

16

Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam….h. 17

17

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 6


(29)

peradaban baru yang merupakan ancaman bagi umat Islam. Situasi ini mendorong para pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan Islam kembali. Di periode inilah timbulnya ide-ide pembahruan dalam Islam atau kebangkitan umat Islam terutama di bidang ilmu pengetahuan.

Secara garis besar pola pembaharuan dalam Islam dapat di bagi dalam dua pola: Pertama, pola pembaharuan pendidikan Islam yang mengadopsi pola pendidikan modern di Barat. Gerakan ini disebut sebagai gerakan modernis.

Kedua, pola pembaharuan pendidikan Islam dengan cara kembali kepada ajaran Islam secara kaffah.18 Salah satu secara garis besar dari kedua pola pembaharuan tersebut akan menjadi pembahasan khusus soal integrasi keilmuan sebagai pembahasan pokok tentang gagasan pendidikan integral menurut M. Natsir. Sebelum itu sedikit penulis meninjau kembali kondisi pendidikan Islam di Indonesia pada masa M. Natsir.

B. Tinjauan Historis Pendidikan di Indonesia pada Masa M. Natsir: Telaah Terhadap Dikotomi Keilmuan.

Sebagaimana yang telah di paparkan pada bab sebelumnya, bahwa dalam ajaran Islam tidak ada pemisahan keilmuan. Karena dalam pandangan Islam sendiri semua ilmu itu berasal dari Yang satu yaitu Allah Swt. Namun persolan yang berkembang dan melanda pendidikan di Indonesia khususnya, sebagai akibat terjadinya dualisme atau dikotomi dalam sistem pendidikan ketika itu. Keadaan ini memotivasi M. Natsir untuk berusaha keras dalam mengintegrasikan ilmu umum dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan olehnya adalah sistem pendidikan yang bersifat integral.

Jika dilihat dari tahun lahir sampai wafat beliau yakni 17 Juli 1908 - 6 pebruari 1993. Maka beliau hidup dalam periode akhir abad 19 sampai abad 20. Pendidikan itu sendiri pada masa M. Natsi melewati dua periode yakni sebelum dan setelah kemerdekaan. Oleh karena itu beliau bisa dikatakan pelaku atau saksi sejarah perjalanan pendidikan di indonesia. Adapun gambaran pendidikan Islam

18

Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. I, h. 123-124


(30)

pada masa sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan diuraikan sebagai berikut:

1. Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan

Pendidikan Islam sebelum kemerdekaan memiliki ruang gerak yang sempit dan diwarisi peraturan serta kebijakan yang menghambat pendidikan Islam untuk berkembang, yaitu dengan adanya kebijakan pemerintah Hindia Belanda berupa ordonansi guru.19 Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri.

Pada tahun yang sama. Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi, berupa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji.20 Hal ini terkait dengan Snouck Hourgronje yang pernah mengemukakan usul untuk memberikan pengawasan ketat kepada para pegawai agama.21 Hal ini menunjukan Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.

Pada tahun 1926, Ordonansi Guru disalahgunakan oleh Pemerintah lokal untuk menghambat gerakan ummat Islam. Peristiwa itu dialami oleh kalangan Muhammadiyah di Sekayu Palembang. Pada waktu itu, pengurus Pusat yang akan

19

Ordonansi guru adalah surat perintah mengenai kebijakan pada Hindia Belanda untuk guru agama yang ditekankan yakni guru agama Islam diharuskan mendapatkan surat ijin mengajar oleh pemerintah Hindia Belanda. Jelas ini akan menyudutkan, karena fakta dilapangan untuk mendapatkan ijin dipersulit. Apalagi untuk guru-guru agama yang mempunyai misi pergerakan dan pembaharuan yang bersifat radikal. Biasanya diperlakukan bagi guru-guru yang pernah mendapat pengaruh dari pembaharu dari luar, seperti Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, dll. Karena mereka dianggap akan memperkuat umat Islam dan mengancam keberadaan pemerintahan Hindia Belanda. Baca,Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), Cet. VIII, h. 199

20

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah ed. Terj, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islmaondererricht Door, oleh Abdurrahman,(Jakarta, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1994), Cet. II, h. 111

21


(31)

meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tiba-tiba dilarang, padahal sebelumnya mereka sudah memberitahukan rencana kegiatan itu kepada Residen Palembang.22 Oleh karena Ordonansi Guru pada hakikatnya adalah kebijakan yang digunakan untuk mematikan gerakan pembaharuan terutama pendidikan Islam yang sedang digalakkan.

Kebijakan lain yang menghambat selain Ordonansi Guru yakni Ordonansi Sekolah Liar. Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi.23 Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi Sekolah Liar.24 Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme- Islamisme tahun 1928, berupa sumpah pemuda.25

Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya ordonansi pengawasan ini. Salah satu faktornya adalah Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan memperendah/ menghambat segala aktifitas termasuk dalam bidang pendidikan khususnya Islam. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidak mampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya sekolah suwasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor

22

Maksum Muchtar, Madrasah, Sejarah & Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 116

23

Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I, h. 81

24

Maksum Muchtar, Madrasah, Sejarah & Perkembangannya….h. 118

25

Sumpah Pemuda adalah sebuah komitmen dari pemuda-pemuda yang ingin lepas dari segala bentuk penjajahan. Isi dari sumpah pemuda yakni 1. Kami putra-putri Indonesis mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia, 2. Kami putra-putri Indonesis mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia, 3. Kami putra-putri Indonesia mengaku berbahasa satu, Bahasa Indonesia.


(32)

resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.

Adapun pendidikan yang berdiri pada masa Hindia Belanda, yaitu Pesantren dan Sekolah Belanda. Disinilah adanya dualisme pendidikan yang sengaja diciptakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun pesantren dianggap sebagai lembaga yang sederhana dan masih banyak menyimpan kelemahan. Namun gerak perkembangannya tetap di bawah pengawasan pemerintahan Belanda agar tidak membahayakan. Melihat dari sejarahnya, dualisme pendidikan hampir dialami oleh umat Islam dikarenakan untuk memisahkan dan membuat jarak antara Islam dan Penguasa.

2. Pendidikan Islam Setelah Kemerdekaan

Setelah merdeka, pendidikan Islam mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Di Sumatra, Mahmud Yunus sebagai pemeriksa agama pada kantor pengajaran mengusulkan kepada kepala pengajaran, agar pendidikan agama disekolah-sekolah pemerintah ditetapkan dengan resmi dan guru-gurunya digaji seperti guru umum dan usul pun diterima.26 Selain itu, pendidikan agama disekolah juga mendapat tempat yang teratur, seksama, dan penuh perhatian. Untuk itu dibentuk Departemen Agama pada tanggal 13 Desember 1946 yang bertugas mengurus penyelenggaraan pendidikan agama disekolah umum dan madrasah serta pesantren-pesantren.

Pendidikan Islam perlahan mulai diajukan. Istilah pesantren yang dulu hanya mengajar agama di surau dan menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah mulai ikut mendirikan madrasah dan sekolah umum, sehingga pemuda Islam diberi banyak pilihan. Upaya ini merupakan usaha untuk menata diri ditengah-tengah realitas sosial modern dan kompleks. Pesantren juga telah lebih berkembang dengan berdirinya perguruan tinggi Islam.

Sekolah agama, termasuk madrasah, ditetapkan sebagai model dan sumber pendidikan Nasional yang berdasarkan Undang-undang 1945. Ekstensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-undang pokok pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950, bahwa belajar

26


(33)

sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar27.

Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negeri dengan ketentuan kurikulum 30 % pelajaran agama dan 70 % pelajaran umum. Sistem penyelenggaraannya sama dengan sekolah-sekolah umum dengan perjenjangan sebagai berikut:

1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) setingkat SD lama belajar enam tahun. 2. Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) setingkat SMP lama belajar tiga tahun. 3. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA lama belajar tiga tahun.28

Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis, yaitu 1) sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari pemerintah belanda. 2) Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat sendiri, baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya sebagaimana uraian tersebut diatas.

Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya hanya menjangkau dan dinikmati oleh sebagian masyarakat, terutama kalangan atas saja. Sedangkan yang kedua (sistem pendidikan dan pengajaran Islam) tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat dan berurat berakar dalam masyarakat.29 Hal ini diakui oleh Badan Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dalam usul rekomendasinya yang disampaikan kepada pemerintah, tentang pokok-pokok pendidikan dan pengajaran baru, pada tanggal 29 Desember 1945.30

Merdekanya bangsa Indonesia diharapkan bisa menggali segala potensi yang ada, sehingga dapat digunakan dan dikembangkan untuk tercapainya masyarakat

27

DJumhur, Sejarah Pendidikan, (Bandung: Ilmu,1959) h. 45

28

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985), h. 89

29

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu, 1995) h. 67

30

Sunanto Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2005) h. 69


(34)

adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Harapan ini walaupun sudah lama dicanangkan, namun belum juga terwujud sampai sekarang. Keadaan lebih parah lagi dengan timbulnya gejala-gejala salah urus (mis management)31 akibatnya pada bidang pendidikan fasilitasnya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Lagi pula politik dan usaha-usaha pendidikan tidak berhasil menjadikan sektor pendidikan sebagai faktor penunjang bagi suatu pendidikan.

Perkembangan selanjutnya pendidikan hanya mengakibatkan benih-benih pengangguran. Lahirnya Orde Baru (ORBA) memungkinkan pendobrakan salah urus itu dalam segala bidang juga dalam pendidikan. Dimana, perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional, berorientasi kemasa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat informasi di tinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan manjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.

Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi elekronik seperti computer, faximile, internet, dan lain-lain telah mengubah lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi lewat komunikasi satelit dan computer orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup megelolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan dan visual. Peranan media elektronika yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi manusia yang berlangsung secara tradisional seperti yang dilakukan oleh orang tua, guru, pemerintah, dan sebagainya. Komputer dapat dijadikan teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat juga

31

Sugarda Purbakawaca, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung, 1970) h. 103


(35)

sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban sesegara mungkin atas petanyaan eksistensisal yang mendasar.32

Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan keperibadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorintasi ke masa depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki masyarakat modern tersebut diatas. Dari keadaan ini, keberadaan masyarakat suatu bangsa dengan bangsa lain terjalanin hubungan baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya.

Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia pasti menghadapinya. Masa depan itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dalam dunia kelembagaan materi pendidikan guru metode sarana prasarana dan lain sebagainya. hal ini pada gunanya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.

Memasuki melenium ketiga dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai masalah yang sangat urgen yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak mustahil dunia pendidikan akan ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. Hal demikian dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyipakan masa depan umat manusia adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa.

Oleh karena itu, gagasan pendidikan integral mempunyai peranan sangat penting dan strategis. Peran utama pendidikan integral adalah sebagai respon perkembangan zaman di bawah landasan spiritual, moral dan etika. Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan negara.

32


(36)

C. Paradigma Pengembangan Ilmu Agama dan Umum 1. Pengertian Pendidikan Integral

Sudah menjadi kesepakatan umum oleh pakar pendidikan, bahwa dalam memberi definisi kata pendidikan tidak lepas dari cara dan sudut pandang mereka masing-masing. Perbedaan ini bukan berarti menunjuk kepada tujuan yang berbeda tetapi lebih kepada kompleksitas keilmuan yang mereka miliki. Dengan demikian secara sederhana pendidikan dapat diartikan sebagai proses usaha sadar yang diarahkan untuk menggali potensi yang terpendam dalam diri anak sampai mancapai taraf pendewasaan (jasmani dan rohani) dengan menanamkan sikap moral serta pelatihan otak atau transfer of knowlage.

Kedua penanaman ini harus berjalan sebagaimana mestinya. Keduanya bagaikan koin dengan memiliki sisi yang saling berdampingan dan menyempurnakan. Kehilangan satu sisi akan menyebabkan kepincangan di sisi lain. Artinya sikap moral tanpa diikuti ilmu akan menghasilkan generasi yang tak kenal dengan tanda zaman. Sebaliknya jika pendidikan terbatas pada pelatihan otak semata, akan menghasilkan generasi yang tak kenal batas nilai. Ironisnya pendidikan akan menghasilkan generasi perusak nilai-nilai luhur dari suatu bangsa.

Menurut Jalaluddin33, penanaman moral dalam pendidikan adalah syarat terbentuknya kepribadian yang utama atau ideal serta diikuti sikap mental secara teguh dan sungguh-sungguh memegang dan melaksanakan ajaran atau prinsip-prinsip nilai yang menjadi pandangan hidup secara individu, masyarakat maupun bangsa dan negara. Dengan kata lain, pembentukan moral merupakan syarat terpenting dalam dunia keilmuan.

Gagasan tentang pendidikan integral ini pada hakekatnya berusaha mengembangkan konsepsi ajaran Islam secara normatif-integralistik dengan bertitiktolak dari kecendrungan kuat pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Secara bersamaan, kegagalan terjadi pula pada sistem pendidikan Barat dalam mendidikan anak hanya semata-mata berorientasi pada satu aspek,

“intelektual”. Di satu sisi keseriusan ini mendorong pendidikan di Barat

33


(37)

tergolong ke dalam tingkat pendidikan kelas atas, tetapi di sisi lain sistem pendidikanya terbilang masih jauh dari pada nilai-nilai agama. Hal ini ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi yang sedang memuncak di Barat juga diiringi dengan kriminalitas yang tak kunjung habis-habisnya. Di sini Azyumardi Azra34 memandang bahwa makna pendidikan dipersempit dengan interpretasi bahwa pendidikan hanya terbatas pada sekedar pengajaran atau transfer ilmu belaka. Baginya, pendidikan harus memiliki arti lebih dari itu, yakni adanya penanaman nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.

Namun pendidikan Islam sekarang telah memiliki kecendrungan bergerak ke arah mencetak generasi yang berakhlak mulia. Tetapi itu semua harus diseimbangkan dengan perkembangan zaman, dalam hal ini sebagai tolak ukur kemajuan. Supaya tujuan pendidikan Islam terkontrol dengan nilai-nilai agama. Karena jika pendidikan Islam dilepas begitu saja, secara perlahan-lahan akan menggrogoti nilai-nilai Islam itu sendiri.

Adapun istilah integral secara bahasa dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mempunyai arti sebagai berikut; 1. mengenai keseluruhannya; meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap; utuh; bulat; sempurna. 2. Tidak terpisahkan; terpadu. 35 sedangkan dalam kamus bahasa inggris, kata integral dapat di lihat dalam bentuk kata sifat, kata ini merujuk pada kata integral yang bermakna hitungan integral, bulat, utuh, yang perlu untuk melengkapi. kata kerja to integrate yang berarti mengintegrasikan, menyatu-padukan, mengabungkan, mempersatukan. Integrated yang berarti yang digabungkan, yang terbuka untuk siapa saja. Sebagai kata benda, integration, yang berarti integrasi, pengentegrasian atau penggabungan. Integrationist yang bermakna penyokong paham integrasi, pemersatu. Integrity berarti ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan.36

34

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi….h. 3

35

Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 383

36

John M. Echols dan Hasan Shadily, kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gremedia Pustaka Utama, 2005), h. 326


(38)

Dari paparan rumusan di atas dapat diambil penampilan sementara bahwa pendidikan integral yaitu proses usaha sadar terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak oleh pendidik menuju terbentuknya kepribadian yang utuh, bulat, sempurna sehinga ia dapat melaksanakan tugas hidupnya dengan baik. Atau dapat juga diartikan, pendidikan integral adalah usaha memadukan intelektual, moral, spiritual menuju kepada kepribadian yang utuh. Oleh sebab itu, dari segi substansi pola gagasan pendidikan integral dapat dipandang sebagai pola dalam pembentukan keseimbangan antara kekuatan intelektual dan kekuatan spiritual. Sehingga kedua hal tersebut secara bersamaan membentuk pribadi yang utuh melalui ajaran tauhid.

2. Model Integrasi Keilmuan

Wacana tentang usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-19, meski keadaanya mengalami pasang-surut.37 Hal ini dilakukan paling kurang, selain untuk membendung terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan antara ilmu umum dan ilmu agama juga dilakukan sebagai respon arah pendidikan Islam di era globalisasi yang serat sekali dengan kemajuan. Dalam kerangka analisis itu, menurut Muhaimin38 dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu melalui tiga model yaitu: purifikasi, modernisasi Islam dan Neo-Modernisasi.

a. Model Purifikasi

Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses ini berusaha menyelenggarakan penyucian ilmu pengetahuan agar sejalan dengan nilai dan norma Islam secara kaffah, lawan dari Islam yang parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuan Muslim dituntut menjadi

aktor beragama yang loyal, concern dan komitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupannya, serta bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat, kemampuan, dan bidang keahliannya masing-msing dalam perspektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan. Model Islamisasi di atas, dapat di cermati juga dari rencana

37

Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRCD Press, 2005), h. 125

38

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 61


(39)

kerja Islamisasi pengetahuan sebagaimana yang dikembangkan oleh al-faruqi dan al-Attas, meliputi: 1) Pengusaan khazanah ilmu pengetahuan Muslim, 2) Penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, 3) Indentifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya ideal Islam, 4) Rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi paduan yang selaras dengan wawasan dan ideal Islam.

b. Model Modernisasi

Modernisasi disini berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnattullah. Model modernisasi ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir dalam memahami agama Islam, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-Muslim. Islamisasi disini cendrung mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial dan perkembangan iptek, adaptif terhadap perkembangn zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhdap unsur negatif dan proses modernisasi.

Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah. Sunnatullah ini mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam (perintah Allah Swt) yang pada giliran berikutnya, akan melahirkan ilmu pengtahuan. Menyadari akan keterbatasan paham hukum alam yang dimiliki manusia sehingga manusia perlu menempuh secara tahap demi tahap. Karena itu, menjadi modern berarti progresif dan dinamis. Jadi arti Islamisasi pengetahuan yang ditawarkan oleh model modernisasi Islam adalah membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progresif, dan terus melakukan perbaikan agar terhindar dari keterbelakngan dan ketertingalan di bidang iptek.39

c. Model Neo-Modernis

Model ini berusaha memahami ajaran-jaran Islam dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits dengan

39


(40)

mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencari kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh IPTEK. Model ini menurut Muzani bertolak dari landasan metodologis; 1) Persoalan-persoalan kontemporer umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhdap al-Quran, 2) Bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang tidak sesuai dengan kontemporer, maka selanjutnya menalaah konteks sosi-historis dari ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, 3) Melalui telaah historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan etika sosial al-Quran, 4) Dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati relevansi dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang dihapi umat rersebut, 5) Al-Quran berfungsi evaluatif, legitimatif hingga memberi landasan dan arahan moral terhadap persolan yang ditanggulangi.40

Menurut hemat penulis, model-model integrasi keilmuan di atas memiliki pola dasar tujuan yang sama. Pola dasar tujuan yang sama tersebut bertemu dalam kesimpulan yaitu mengembalikan nuansa tradisi penalaran intelekual pemikir dan keilmuan Muslim dan sekaligus memecahkan permasalahan disharmoni yang diakibatkan oleh terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan dengan merujuk kembali kepada al-Quran dan al-Hadits.

Terkait dengan model-model integrasi diatas, permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah integrasi ilmu pengetahuan antara “ilmu agama dan ilmu

umum” mungkin dapat dilakukan sehingga keduanya dapat berjalan dengan baik

dan menghasilkan produk yang baik pula jika keduanya dapat di padukan. Disini Azyumardi Azra41 mengemukakan tiga tipologi respon cendikiawan Muslim terkait dengan hubungan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ketiga respon tersebut di antaranya; restorasionis, rekonstruksionis dan pragmatis. Menurutnya, dua kelompok terakhir memiliki kerja analitis yang bermanfaat, di mana

40

Abuddin Nata, dkk, Integrasi Ilmu….h. 175

41Azyumarsi Azra, “Reintegrasi Ilmu

-ilmu dalam Islam”, dalam Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama; Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan Media Utama, 2005), Cet. I, h. 206-211


(41)

seseorang dapat menguji masalah-masalah dan kemungkinan-kemungkinan pengembangan sebuah sains yang berorientasi kemasyarakatan dalam Dunia Islam. pertama: Restorasionis, Respon ini berusaha mencari versi ideal masa lalu dan meletakkan kegagalan, kekalahan, dan kemunduran orang Islam disebabkan penyimpangan mereka dari jalan yang benar, yakni Islam yang orisinal dan murni pada periode nabi dan sahabat-sahabatnya.

Kedua: Rekonstruksionis, Kelompok ini berusaha menginterprestasikan kembali ajaran-ajaran Islam untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka berpendapat, bahwa Islam pada masa nabi Muhammad Saw dan sahabatnya sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Ketiga,

Reintegrasi, respon ketiga ini merupakan rekonstruksi keilmuan yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan berasal dari al-ayah kauniyyah. Berarti kembali pada kesatuan transedental semua pengetahuan.

3. Konsep Islam tentang Ilmu Pengetahuan

Pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan tak dapat di pisahkan dari pembahasan mengenai kedudukan dan tradisi keilmuan dalam Islam. sebab Islam sendiri sangat mendukung terhadap pengembangan dan penguasaannya. Memisahkan agama dari ilmu pengetahuan berarti melumpuhkan sumber satu yang berasal dari Allah Swt. Hal ini tidak mengherankan, karena sesungguhnya ayat-ayat Allah Swt dapat di kaji melalui dua bentuk. Pertama, Mengkaji ayat-ayat Allah Swt yang bersifat qauliyah berupa wahyu. Kedua. Mengkaji ayat-ayat Allah Swt yang bersifat kauniyah berupa alam semesta.

Menurut Zuhairini, keduanya adalah merupakan satu kesatuan. Dengan kata lain, pemahaman terhadap alam semesta dapat di kaji melalui wahyu. Wahyu pun dapat dibuktikan melalui kenyataan yang ada di alam semsesta. Karena wahyu berasal dari Tuhan Yang Maha Mengetahui, maka kebenaran menjadi mutlak dan tidak berubah meskipun ada perkembangan zaman. Sedangkan ilmu pengetahuan berpijak dan terikat pada pemikiran rasional yang berasal dari alam semesta, dan kebenarannya bersifat relatif. Oleh karena agama dan ilmu dalam posisi tidak bertentangan.


(42)

Sejalan dengan itulah, konsep Islam dengan ilmu pengetahuan saling mengikat, sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Oleh karena itu penggunaan ilmu pengetahuan jika dilandasi agama akan menghasilkan orang-orang yang beriman dan berilmu pada posisi yang lebih tinggi. 42 Hal ini dinyatakan dalam firmanNya:

Allah akan meninggikan orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS. al-Mujadalah [58:11])

Saling mengikatnya ilmu pengetahuan dalam Islam bertanda Islam memiliki konsep yang holistik mengenai ilmu pengetahuan. ajaran Islam yang mencakup semua aspek kehidupan ini merupakan totalitas integral yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Sebab itu, Islam datang memberi pandangan yang luas kepada umat manusia bahwa Islam mempunyai konsepsi yang matang, terarah dan sesuai dengan perkembangan zaman yang sebagian ditandai dengan akselerasi peradaban, rekayasa indusrti dan teknologi. Dengan pandangan yang demikian, Islam merupakan agama yang benar-benar mengarahkan manusia menjadi makhluk yang kreatif dan dinamis dan penuh dinamika berfikir.43 Dengan demikian, Islam telah mengembangkan sebuah kesadaran yang tinggi mengenai kedudukan akal sebagai inti dalam tradisi-tradisi agama dan dalam mempertahankan sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan.44

4. Basis Integrasi Keilmuan

Konsep ilmu dalam dunia Islam erat kaitannya dengan pandangan Islam yang berpusat pada konsep tauhid. Tauhid merupakan pusat dimana seluruh konsep-konsep Islam menyatu. Dengan kata lain pemahaman Islam tentang kedua ayat

42

Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), Cet. III, h. 56-58

43

Rohadi Abdul Fatah, Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 7

44

Ziauddin Sardar, Sains Teknologi dan Pembangunan di Dunia Islam, Terj. Science, Technology and Defelopment in the Muslim World, oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1989), h. 31


(43)

Allah itu merupakan kunci Islam tentang ilmu pengetahuan. karena itu, konsep tidak dapat di nilai secara utuh tanpa lebih dahulu memahami pandangan dunia Islam.

Dengan basis integrasi keilmuan yang berpusat pada tauhid. Dimana sejarah telah membuktikan tradisi keiilmuan Islam mengajarkan obyektifitas dalam upaya intelektual yang berakar pada fitrah. Sehingga ilmu pengetahuan tidak dapat terpisahkan dari kesadaran religius tauhid. Agama bukan penghalang untuk merealisasikan obyektifitas pengetahuan yang merupakan syarat bagi ilmu pengetahuan.45

Karena pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid.46 Maka dengan dasar ini maka orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan penerangan jiwa, karena sasaran akhir dari pendidikan adalah untuk meciptakan manusia yang bertauhid dan bertujuan untuk menjadi manusia yang mengabdi kepada Allah Swt. Konsep tauhid sendiri diambil dari formula konfensional Islam “LaaIlahaIllaAllah”yang artinya “tidak ada Tuhan selain Allah” sebagai prinsip dan ajaran yang paling dasar dari ajaran Islam dan menjadi asas pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan.47

Tauhid sebagai basis dari integrasi keilmuan memberi pemahaman bahwa ilmu dan iman menghasilkan amal/ perbuatan yang saling berkaitan.48 Dengan kata sepadan, menegakkan kalimat tauhid harus menyatukan antara iman dan amal, konsep dan pelaksanaan, pemikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks.

45

Muhammad Irfan & Mastuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid sebagai Pradigma Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung, 2000) Cet. I, h. 51

46

Inilah gagasan M. Natsir yang telah didengungkan pada sebuah artikel yang diterbitkan Pedoman Masyarat dengan Judul Tauhid sebagai Dasar Didikan, yang terbit pada tahun 1937. Dalam tulisan beliau, disebutkan pentingnya pendidikan berdasarkan tauhid. Karena tanpa itu, kita akan gagal menjalan misi dan tujuan hidup Muslim. Dimana menurut beliau tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup, yakni penghambaan kepada Allah. Sebagai hamba, sepatutnya kita mentauhidkan diri kita kepada Allah semata.

47

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dan Agama dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: UIN Jaarta Press, 2003), Cet. I, h. 25

48

M. Hadi Masruri & Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam al-Qur’an; Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama, (Malang: UIN Malang Press, 2007), Cet. I, h. 78


(44)

Dengan demikian, bertauhid adalah meng-Esa-kan Allah Swt. Sehingga tidak mungkin terjadi pemisahan.49

Oleh M. Hadi Asruri, bahwa Ibnu Hazm menyatakan ilmu dan iman berasal dari sumber yang sapadan keduanya pemberian Tuhan untuk tujuan yang sama. Yaitu menerima totalitas kebijakan sebagaimana ditentukan Tuhan dalam

al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini senada dengan pernyataan Sayyid Qutub yang

menyatakan bahwa ilmu merupakan kesatuan pemikiran dan tindakan. Menurutnya, tindakan tidak berada di luar bidang ilmu, namun merupakan unsur yang esensial.50

Dengan demikian ilmu yang dibangun dengan ruh tauhid akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang memiliki pembuktian terhadap nilai kebenaran yang dikandungnya. Adapun prinsip tauhid memberikan tiap kehidupan arti dalam keseluruhan dan menyatu dan menjadikan Tuhan sebagai ide. Kesatuan ini juga bukan pantheisme yang bertentangan dengan trensenden, karena bagi Muslim, hal itu akan menjadikan alam tanpa Tuhan.51

5. Munculnya Ide Integrasi Keilmuan

Sebagai respon terhadap perkembangan di era globalisasi dengan tetap mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan yang berkembang sebagai konsekuensi globalisasi dengan beraneka perubahan. Oleh karena itu, diperlukan kualitas sumber daya manusia yang labih adaptif, mandiri, dan produktif untuk mengimbanginya. Salah satu upaya yang ditawarkan sebagai paradigma baru adalah integrasi keilmuan.

Lahirnya pemikiran tentang integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang di dengungkan oleh pakar intelektual Muslim antara lain, Naquib al-Attas dan Ismail al-Faruqi. Selain dari kesedaran beragama52, telah terjadi pula

49

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Berbasis Integratif-Interkonetif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. I, h. 39-40

50

M.Masruri & Rossidy, Filsafat Sain dalam….h. 78

51

Zainal Habib, Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Presepktif,

(Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 26

52


(45)

sebuah stagnasi, ketertinggalan dan ketertindasan kaum Muslim dari orientalis Barat, dan juga merupakan bagian dari perjuangan dalam rangka mengembalikan identitas kaum Muslim yang selama ini terpendam.53

Di samping itu pula. Munculnya ide integrasi keilmuan tidak lepas dari permasalahan dikotomi54 yang dapat dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama, atau juga dengan adanya dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Seiring terjadinya dikotomi maka muncul anggapan bahwa ilmu terdiri dari dua bagian antara ilmu agama dan ilmu umum. Seakan keduanya memiliki wilayah masing-masing dan tak dapat untuk dipertemukan. Baik dari objek formal-materiil, metode penelitian, kreteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan maupun status teori dan bahkan sampai kepada institusi penyelengaraannya. Dengan kata lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu. Oleh karena itu, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu adanya koreksi dan diluruskan.55 Kondisi inilah yang mendorong para cendikiawan Muslim untuk berusaha keras mengembalikan keutuhan keilmuan. Usaha yang pertama kali diusulkan adalah Islamisasi ilmu pengetahuan.56

Usaha cendikiawan Muslim dalam mengintegrasikan ilmu atau Islamisasi ini, telah diadakan di beberapa tempat melalui konferensi internasional. Konferesinsi

pertama, diadakan di Swiss (1977), kedua, di Islamabad (1982), ketiga, di Kuala

53

Zainal Habib, Islamisasi Sains….h. 35-36

54

Terjadinya dikotomi dapat dilacak dari akar sejarah Eropa, atau zaman pertengahan yaitu antara tahun 500-1600 M. zaman itu disebut sebagai zaman tanpa arti. Karena pada zaman itu manusia memang tidak diperkenankan berfikir dengan menggunakan akal. Sebab hidup manusia diatur dan ditentukan oleh golongan gereja. Mereka hanya menerima ajaran gereja sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Semua penemuan ilmiah dianggap sah bila penemuan tersebut sesuai dengan doktrin geraja. Hal ini mendorong para ilmuan bekerja sama dengan raja untuk menumbangkan kekuasaan gereja. Kerja sama pun berhasil, akhirnya gereja pun dapat ditumbangkan yang pada gilirannya muncul gerekan renaissense, gerakan ini kemudian melahirkan gerekan sekularisasi (pemisahan urusan agama dan akhirat) darinyalah lahir dikotomi dalam ilmu pengetahuan. Baca, Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005) h. 74-75 dan bisa juga baca M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 16

55

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam….h. 267

56

Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004), Cet. I, h. 99


(1)

Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 61

42 38 II 25

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam….h. 62-63

43 39 II 25

Abuddin Nata, dkk, Integrasi Ilmu….h. 175

44 40 II 26

Azyumarsi Azra, “Reintegrasi Ilmu -ilmu dalam Islam”, dalam Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama; Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan Media Utama, 2005), Cet. I, h. 206-211

45 41 II 27

Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan II Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), Cet. III, h. 56-58

46 42 II 28

Rohadi Abdul Fatah, Sudarsono, Ilmu dan Teknologi Dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 7

47 43 II 28

Ziauddin Sardar, Sains Teknologi dan Pembangunan di Dunia Islam, Terj. Science, Technology and Defelopment in the Muslim World, oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1989), h. 31

48 44 28

Muhammad Irfan & Mastuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid sebagai Pradigma Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung, 2000) Cet. I, h. 51

49 45 II 28

Inilah gagasan M. Natsir yang telah didengungkan pada sebuah artikel yang diterbitkan Pedoman Masyarat dengan Judul Tauhid sebagai Dasar Didikan, yang terbit pada tahun 1937. Dalam tulisan beliau, disebutkan pentingnya pendidikan berdasarkan tauhid. Karena tanpa itu, kita akan gagal menjalan misi dan tujuan hidup Muslim. Dimana menurut beliau tujuan pendidikan sama dengan tujuan


(2)

hidup, yakni penghambaan kepada Allah. Sebagai hamba, sepatutnya kita mentauhidkan diri kita kepada Allah semata

50 46 II 29

Mulyadhi Kartanegara, Itegrasi Ilmu dan Agama dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: UIN Jaarta Press, 2003), Cet. I, h. 25

51 47 II 29

M.Hadi Masruri & Imron Rossidy, Filsafat Sain dalam al-Qur’an, (Malang: UIN Malang Press, 2007), Cet. I, h. 78

52 48 II 29

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Berbasis Integratif-Interkonetif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. I, h. 39-40

53 49 II 29

M.Masruri & Rossidy, Filsafat Sain dalam….h. 78

54 50 II 29

Zainal Habib, Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Presepktif, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 26

55 51 II 30

Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam….h. 124

56 52 II 30

Zainal Habib, Islamisasi Sains….h. 35-36

57 53 II 30

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam….h. 267

58 54 II

Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 74-75 dan M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 16

59 55 II 31

Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004), Cet. I, h. 99


(3)

60 56 II 31 Zainal Habib, Islamisasi Sains….h. 37-38

61 57 II 32 Mulyadhi Kartanegara, dan Agama…. Integrasi Ilmu h. 28

62 58 II 32

Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dan Agama….h. 29

63 59 II 33

Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK II, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1998), h. 21-22

64 60 II 33

Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains Teknologi & Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), h. 102

65 61 II 33

Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains….h. 104

66 62 II 34 Zainal Habib, Islamisasi Sain….h. 22

67 63 II 35

Amin Abdullah dkk, Islamic Studies; Dalam Paradigma Integratif-Interkoneksi, (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), h. 27

68 64 II 35 Zainal Habib, Islamisasi Sains….h. 25

69 1 III 37

P. Jokon Subagyo, Metode Penelitian; Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Cet. IV, h. 39

70 2 III 37

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), Cet. VI, h. 85

71 3 III 37

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. XVIII, h. 13-14.

72 4 III 39

Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), h. 154

73 5 III 39

Kadir, dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 64

74 1 IV 41 Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan


(4)

al-Banna dan Mohammad Natsir, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011), Cet. I, h. 140-141

75 1 IV 41

Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minagkabau, (Jakarta: Suara ADI bekerjasama dengan UMJ Press, 2009), Cet. I, h. 49

76 2 IV 41

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), Cet. VIII, h. 100

77 3 IV 42

Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) Cet. I, ed. Sholihat, h. 21

78 4 IV 42

Sekolah HIS Padang didirikan oleh H. Abdullah Ahmad pada tanggal 23 Agustus 1915 dengan isi dan bentuk lain dari HIS Belanda. Sekolah ini mengadopsi dari HIS Belanda hal ini terbaca dengan sistem klasikal dan kurikulum yang sama dengan HIS Belanda. Hal yang berbeda adalah HIS Padang memberikan mata pelajaran agama dan menekankan semangat nasionalisme. Selain itu terbuka bagi semua anak dari semua golongan masyarakat termasuk petani, pedagang, dan buruh kecil. Dan HIS Padang menghasilkan tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti Mohammad Natsir,

79 5 IV 42

1

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia….h. 100

80 6 IV 43

Yusuf A. Puar, M. Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan Perjuangan (Jakarta: Pustaka Antara, 1978), h. 4

81 7 IV 43

Pengangkatan gelar pusaka ini diberikan kepada M. Natsir setelah ia menikah dengan Nurhanar pada tanggal 20 Oktober 1934. Ini merupakan adat Minangkabau bahwa gelar tersebut akan diberikan yang berhak menerimanya secara turun temurun setelah yang bersangkutan


(5)

melangsungkan perkawinan, walaupun tidak selamanya demikian (Pen). Yusuf A. Puar, M. Natsir 70 Tahun…. h. 4

82 8 IV 44

A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta, Amzah, 2009), Cet. I, h. 114

83 9 IV 44

Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam….h. 143

84 10 IV 44

Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan….h. 75

85 11 IV 44

Khalimi, Ormas-ormas Islam; Sejarah, Akar teologi dan politik, (Jakrta: Gaung Persada Press, 2010), h. 346

86 12 IV 44

Salah satu prestasinya yang membanggakan adalah pada saat Mohammad Natsir menjadi perdana Menteri. Beliau mengeluarkan keputusan untuk mewajibkan pelajaran Agama Islam disekolah-sekolah Umum. (Adian Husaini, Mohammad Natsir; Pahlawan dan Pendidik Teladan, Republika. Ahad, 21 Maret 2010)

87 13 IV 45

Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan….h. 76-77

88 14 IV 45

Lembaga ini menjadi model alternatif dari sistem pendidikan kolonial. Sekaligus hadir sebagai jawaban dari sistem pendidikan sekular belanda saat itu. Beliau berpendapat pendidikan bukanlah bersifat parsial. Pendidikan adalah universal, ada keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat jasmani dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-cabang ilmu. Beliau berusaha menggabungkan pendidikan pengetahuan umum dengan agama. Beliau tidak sepakat dengan sistem pendidikan sekular, yang memisahkan


(6)

agama dari dunia.

89

15 IV 46

Badru Tamam: Konsep Pendidikan Mohammad Natsir, Diakses tanggal 29 Mei 2012 dari, (http://www. voa-Islam. com)

90 16 IV 46

Mantan perdana menteri Jepang yang diwakili Nakajima mengungkapkan berita wafatnya Natsir ini dengan ungkapan: Berita wafatnya Pak Mohammad Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom Hirosima (Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 81)

91 17 IV 47 Yusuf A. Puar, Tahun…. M. Natsir 70 h. 4

92 18 IV 48

M. Natsir, Kapita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. III, h. 15

93 19 IV 48

Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) h. 29

94 20 IV 49

M. Natsir, Dunia Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Panji Maskara, 1981) h. x

95 21 IV 50 M. Natsir, Capita Selecta….h. 96 22 IV 50 M. Natsir, Capita Selecta….h. 78 97 23 IV 51 Abudin Pembaharuan….Nata, Tokoh-tokoh

h. 87

98 24 IV 51 M. Natsir, Capita Selecta….h. 84-85 99 25 IV 52 M. Natsir, Capita Selecta….h. 85 100 26 IV 52 M. Natsir, Capita Selecta….h. 85 101 27 IV 53 M. Natsir, Capita Selecta….h. 82 102 28 IV 53 M. Natsir, Capita Selecta….h. 82 103 29 IV 53 M. Natsir, Capita Selecta….h. 84