dalam pandangan beliau, bahwa dalam upaya mengatasi keterbelakangan pendidikan Islam adalah menata ulang sistem dan kurikulum pendidikan yang
dikotomis menjadi sistem yang integral antara ilmu umum dan ilmu agama dan yang harus menjadi landasannya adalah nilai tauhid sebagai ideologi pendidikan
Islam. Dari pertimbangan yang telah diutarakan diatas, nampak bahwa studi
mengenai pemikiran M. Natsir, terlebih tentang pendidikan merupakan bidang yang amat menarik dan penting untuk diteliti serta cukup beralasan, maka penulis
berusaha menganalisis pemikiran Mohammad M.Natsir, serta membuat format dari gagasan tersebut yang dikemas dalam suatu rumusan:
“GAGASAN PENDIDIKAN INTEGRAL M. NATSIR DAN IMPLEMENTASINYA DI
SEKOLAH TINGGI ILMU DA’WAH STID MOHAMMAD NATSIR
KRAMAT JATI JAKARTA DAN TAMBUN BEKASI ”
B. Identifikasi Masalah
Ada beberapa hal yang perlu di tekankan dalam memilih judul skripsi ini yang erat kaitannya dengan gagasan pendidikan integral M.Natsir, diantaranya:
1. Adanya dualisme sistem pendidikan agama dan pendidikan umum. 2. Adanya dikotomi ilmu pengetahuan.
3. Tidak adanya lembaga pendidikan yang menghasilkan generasi yang kaffah. 4. Kurangya lembaga pendidikan dalam merealisasikan cita-cita yang dapat
memberikan makna hidup dan kebahagiaan manusia. 5. Terjadinya ketimpangan atau ketidak seimbangan antara kehidupan duniawi
dan ukhrawi.
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari keluasan terhadap pembahasan dalam penelitian, maka penulis membatasi masalah pada kajian pendidikan integral menurut M. M. Natsir
dan bagaimana implementasinya di STID M. NATSIR. Adapun yang menjadi pembatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengertian Pendidikan Integral Pendidikan integral yang dimaksud M. Natsir disini adalah pendidikan yang
tidak mempersoalkan didikan yang berasal dari Barat maupun Timur, atau atas dasar warna kulit. Baginya Barat dan Timur kepunyaan Allah Swt dan Islam
hanya mengenal perbedaan yang hak dan batil, semua yang hak akan diterima, meskipun datangnya dari Barat. Begitu pula sebaliknya semua yang batil akan
ditolak, meskipun datangnya dari Timur. 2. Tujuan Pendidikan Integral M. Natsir
Adapun yang menjadi tujuan pendidikan integral M. Natsir adalah untuk dapat menghantarkan manusia mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
3. Implementasi Pendidikan Integral M.Natsir Penulis ingin melihat sejauh mana penerapan gagasan pendidikan integral M.
Natsir di Sekolah Tinggi Ilmu D a’wah STID Mohammad Natsir
4. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas. Ada beberapa hal yang manjadi fokus penulisan skripsi ini dalam merumuskan masalah, diantaranya;
1. Bagaimana Pengertian Pendidikan Integral menurut M. Natsir? 2. Apa Tujuan Pendidikan Integral menurut M. Natsir?
3. Bagaimana Implementasi Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir di STID Mohammad Natsir Kramat Jati Jakarta dan Tambun Bekasi.
5. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan ini adalah:
1. Mendeskripsikan Pendidikan Integral M. Natsir? 2. Mendeskripsikan Tujuan Pendidikan Integral M. Natsir?
3. Mendeskripsikan Implementasi Gagasan Pendidikan Integral M. Natsir di STID Mohammad Natsir Kramat Jakarta dan Tambun Bekasi?
6. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Penulisan skripsi ini dapat di jadikan sebagai bahan dokumentasi, bahan
masukan dalam menyikapi pendidikan Islam kedepan. 2. Dapat menjadi sarana dalam merefleksi suatu kenyataan ilmu pengetahuan
yang sedang berkembang khususnya dunia pendidikan. 3. Sebagai sarana baca untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkait
dengan pendidikan Islam. 4. Menambah khazanah ilmu pengetahuan yang ada dalam diri setiap tokoh
pendidikan Islam.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Historis Tradisi Keilmuan dalam Islam: Telaah Terhadap Integrasi Ilmu Pengetahuan.
Dalam lintasan sejarah, pendidikan Islam adalah bagian dari sejarah kebudayaan umat manusia. Keadaaan ini didorong oleh adanya upaya
membangun peradaban melalui pelestarian tradisi intelektual dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui potensi akal, Islam dapat membangun tradisi
keilmuan yang sangat pesat disamping Islam juga memiliki rujukan yang otoritatif berupa wahyu Ilahiyah. Rujukan ini serat sekali dengan masalah-masalah yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti perintah mencari ilmu, berfikir dan menjadikan ilmu sebagai jembatan dunia menuju akhirat. Dengan demikian, Islam
tidak hanya berdiri dengan konsep pedidikan parsial sebagian, tetapi lebih kepada pengembangan pemikiran pendidikan Islam yang kaffah menyeluruh.
Oleh karena itu, terkait dengan proses Islamisasi ilmu pengetahuan yang perlu dilakukan. Proses ini bertujuan untuk mengukuhkan eksistensi tradisi keilmuan
dalam keislaman. Disini penulis mencoba mengklarifikasi secara singkat sejarah pendidikan pada periode awal perkembangan pendidikan Islam.
Seperti diketahui dari latar belakang sejarah, bahwa pendidikan Islam berkembang sejalan dengan penyebaran agama Islam.
1
Dalam periode Rasul saw.,
1
Hal ini dapat dipahami, pada masa awal perkembangan Islam pendidikan serat dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah yang berlangsung di rumah Dar-al-Arqam. Setelah umat
terbentuk, maka pendidikan diselanggarakan di masjid dalam bentuk halaqah atau lingkaran. Baca,
pendidikan Islam bersumber langsung dari ajaran al-Quran dan al-Sunnah yang diselenggarakan secara sederhana atau bersifat informal. Dengan kata lain, Rasul
memberikan pendidikan kepada para sahabatnya seperti menghafal, memahami, dan mengamalkan isi ajaran al-
Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Hal ini dapat dilihat misalnya pada pengajaran
pendidikan Islam baik di Makkah maupun Madinah dengan materi pendidikan yakni al-Quran. Ia menjadi materi karena mengandung nilai-nilai dari segala
aspek kehidupan manusia.
2
Selanjutnya, pada masa perkembangan dan pertumbuhan ajaran Islam terdapat sebuah proses pembentukan setting nilai dan budaya baik secara
kualitatif dalam arti nilai dan budaya ditingkatkan kualitasnya. Sedangkan pengembangan secara kuantitatif mengarah kepada pembentukan ajaran dan
budaya baru menuju kesempurnaan hidup manusia, Islam yang lengkap, dan sempurna.
3
Dengan kata lain, pada masa Rasul pendidikan diartikan sebagai pembudayaan ajaran Islam, yaitu dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam
kedalam unsur budaya bangsa Arab, baik Islam mendatangkan ajaran yang bersifat memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, maupun Islam
datang meluruskan kembali nilai-nilai yang secara praktik telah menyimpang jauh dari ajaran Islam.
Pada masa awal perkembangan Islam melalui bimbingan Rasul dan pengaruh al-Quran, telah banyak melahirkan tokoh dari kalangan sahabat dengan kualitas
keilmuan yang tidak diragukan. Diantaranya Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaib bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Siti Aisyah
dan lain-lain.
4
Yang kemudian dari sini dapat dikatan sebagai permulaan tumbuh dan berkembangnya ilmu-ilmu agama.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, Cet. IV, h. vii
2
Zainal Efendi Hasibuan, “Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal”, dalam Samsul Nizar ed. , Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Sejara Pendidikan Era Rasulullah Sampai
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009, Cet. III, h. 11
3
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, Cet. VIII, h. 69
4
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Kencana, 2007, h. 21
Adapun permulaan dan berkembang ilmu pengetahuan dimulai dengan penamaan ilmu agama seperti tajwid, qiraat, tafsir, ilmu hadits, dan nahwu,
terdapat pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hal ini dapat dilihat misalnya dari adanya cara untuk mempermudah pengajaran al-Quran pada masa itu.
Diantaranya ilmu tajwid, tumbuh sebagai tata cara membaca al-Quran dengan baik dan benar, ilmu qiraat untuk mengetetahaui validitas bacaan al-Quran sesuai
dengan mushaf. Sehingga muncul ilmu Qiraat al- Sab’ah. Ilmu tafsir, ilmu yang
menjelaskan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh al-Quran. Ilmu kaidah-kaidah bahasa Arab yang dikenal dengan ilmu nahwu.
5
Jadi dengan adanya proses pertumbuhan keilmuan dalam Islam menandai bahwa ajaran Islam serat dengan ajaran yang mendorong lahirnya Suatu
peradaban dan tumbuhnya keilmuan atas dukungan wahyu. Terjadinya pergerakan dalam bidang ilmu keagamaan pada masa itu dikarenakan menjadi sebuah
tuntutan dan kebutuhan masyarakat kala itu. Atas dasar framework ini, menurut Samsul Nizar ada perhatian serius di
bidang pendidikan. Khususnya al- Qur’an dan hadist semenjak pasca wafatnya
Rasulullah Saw Hal ini menjadi wajar, karena kompleksnya tuntutan umat Islam di segala bidang termasuk pendidikan. Maka menjadi relevan ruang lingkup
pendidikan Islam berkembang pesat dan meluas. Sehingga berbagai disiplin ilmu tumbuh diseputar kajian ajaran agama Islam. Selain itu, penambahan corak ilmu-
ilmu klasik
6
yang dikenal melalui kontak cultural dimana masing-masing kelompok masyarakat tersebut mempunyai pewarisan kebudayaan dan
intelektualisme Yunani dan Persia.
7
5
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam….h. 80-81
6
karya-karya klasik pendidikan Muslim pada tahun 700-1350 maka sebagian besar karya membicarakan tentang beberapa komponen dalam pendidikan diantaranya; tujuan pendidikan
Muslim, metode, teori pengetahuan, kurikulum, pendidikan moral, religius, psikologi pendidikan, riset pendidikan, persoalan disiplin, organisasi pendidikan dan administrasi pendidikan. Setiap
karya memiliki ciri khas dan anjuran masing-masing tergantung kondisi sosial pada masa karya tersebut ditulis. Baca, Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskriptif
Analisis Abad Keemasan Islam, terj. dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education, oleh Joko S. Kahhar dan
Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, Cet. II, h. 103
7
Samsul Nizar, Pengantar Dasar- Dasar Pemikiran….h. 10
Dari ungkapan di atas dapat digaris bawahi, bahwa dengan adanya kegiatan ilmiah oleh para sahabat. Kemudian kegiatan tersebut dilanjutkan oleh tokoh-
tokoh klasik. Darinya melahirkan berbagai bidang dan cabang disiplin ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama. Artinya, ilmu pengetahuan umum baru
tumbuh dan berkembang memasuki awal periode Bani Umayyah melalui kontak kultural dengan negara lain. Sedangkan ilmu pengetahuan mencapai puncak
keemasannya pada masa Bani Abbasyiah. Penting pula dicatat, dari kedua Dinasti ini yang menjembatani lahirnya tokoh-tokoh Muslim terkemuka, baik tokoh yang
bernuansa ilmu keagamaan maupun tokoh yang bernuansa ilmu pengetahuan umum seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Qutaibah, Ibnu Sina, Imam al-Ghazali dan
seterusnya masih banyak lagi tokoh-tokoh pada masa klasik yang tidak mungkin penulis menyebutkanya disini secara keseluruhan.
Sejarah melecak pada periode Dinasti Umayyah kejayaan masih bertumpu kepada perluasan dan penaklukan wilayah
8
, sehingga prestasi yang paling menonjol darinya adalah prestasi di bidang politik dan meliter.
9
Dinasti ini juga mengalami perkembangan berbagai aliran keagamaan yang turut serta
memperkaya khazanah keislaman dan juga dalam soal budaya misalnya melahirkan kreatifitas keilmuan dalam bentuk seni bangunan, sastra dan ilmu
pengetahuan setelah terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim dengan negeri-negeri taklukannya yang memiliki tradisi luhur seperti Persia, Mesir, Eropa
dan sebagainya.
10
Meskipun dalam perkembangan keilmuan Dinasti Umayyah boleh dikatakan terbatas. Hal ini diduga karena kesibukan para khalifah dalam menyelenggarakan
pemerintahan yang mapan. Disamping itu pula terjadinya perluasan wilayah-
8
Pada masa Dinasti ini di bawah pemerintahan al-Walid, Hisyam dan khalifah lainnya emperium Islam berhasil memperluas wilayah sampai batas-batas yang membentang luas dari
pantai Lautan Atlantik dan Pyrenees hingga ke Indus dan perbatasan Cina. Pada masa ini pula terjadi penaklukan Transoxiana, Afrika Utara, Eropa dan Spanyol. Baca terj, Philip K. Hitti,
History of The Arabs, oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008, h. 255
9
Didin Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Kerja Sama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007, Cet. I, h. 60
10
Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebuyaan Arab, Ciputat: Logas Wacana Ilmu, 1997, h. 83
wilayah baru.
11
Namun kemajuan yang pernah diraihnya, merupakan cikal bakal tradisi keilmuan dalam peradaban Islam.
Selanjutnya perkembangan keilmuan dapat dikatakan tumbuh pesat sejak munculnya Bani Abbasiyah
12
. Karena pada masa ini, baik ilmu agama ataupun ilmu umum mendapat perhatian cukup tinggi. Darinyalah tumbuh berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan India.
13
Adapun pemikiran asing yang mempengaruhi dunia intelektual Muslim atau yang lebih dikenal dengan penetrasi
Hellenisme. Melalui sentuhan kreatif para intelektual Muslim dan perpaduan yang harmonis antara Islam dan filsafat mampu melahirkan intelektualis Muslim yang
mampu memberikan warna peradaban umat Islam yang dinamis, teruma di bidang ilmu pengetahuan.
14
Daulah Abbasyiah mencapai popularitasnya di zaman khalifah Harun al- Rasyid dan putranya al-
Ma’mun. Selain terjadinya pergerakan penerjemahan buku-buku dari Yunani, juga berdirinya sebuah lembaga penerjemahan bernama
Bait al-Hikmah berfungsi sebagai perpustakaan dan Universitas.
15
Dapat dikatakan pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat dan tak tertandingi. Yang mampu menguasai world view secara komprehensif tanpa harus meninggalkan tradisi ajaran dalam Islam. Di bawah
dinasti ini pula, orang-orang Muslim dari dunia Arab, Spanyol, Mesir, India, dan sebagainya, telah melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang tidak buta
terhadap kekayaan ilmu pengetahuan dan literatur mereka masing-masing, serta terhadap ilmu pengetahuan dan literatur dari dunia Helenistik dan Kristen. Hal ini
11
Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam ….h. 83
12
Dalam catatan sejarah, ketenaran Bani Abbasiyah muncul setelah memperoleh kemenangan tentara Islam atas orang Bizantium pada Masa al-Mahadi dan al-Rasyid. Yang membuat periode
ini sangat terkenal yaitu sejak adanya gerakan intelektual dalam sejarah Islam yang ditandai oleh proyek terjemahan karya-karya berbahasa asing diantaranya; Persia, Sanksekerta, Suriyah, Arab
dan Bahasa Yunani. Bahasa yang disebut terakhir banyak mempengaruhi alam pikiran intelektual Islam pada periode ini. Baca, terj Philip K. Hitti,
History of The Arabs….h. 381
13
Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam ….h. 102-103
14
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam ….h. 10
15
Usman, “Institusi Pendidikan Islam pada Masa Harun ar-Rasyid”, dalam Suwito, et al. ed. , Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005, Cet. I, h. 96
menandakan adanya semangat penelitian dan semangat kreatif yang merupakan ciri khas pada abad-abad awal Islam.
16
Fakta sejarah membuktikan warisan keilmuan pada kedua Dinasti masih memberikan sentuhan dalam bidang ilmu pengetahuan. Dimana warisan
intelektual mereka masih diakui eksistensi oleh negara Barat. Meskipun demikian kedua Dinasti tersebut tidak dapat dipertahankan dan pada saatnya mengalami
kemunduran dikarenakan faktor internal maupun faktor eksternal. Kehancuran yang dialami kedua Dinasti ini berdampak kepada pendidikan dan menjadi
terkotak-kotak yang kemudian mempengaruhi kebudayaan Islam di seluruh dunia Islam, terutama dibidang intelektual.
Berdasarkan uraian singakat di atas, kejayaan yang ditorehkan oleh umat Islam, tampak terdapat asas integrasi bentuk keragaman keilmuan dalam Islam.
Tanpa adanya integrasi keilmuan dalam Islam sulit untuk bisa membentuk peradaban yang kuat. Dengan demikian, Islam pada dasarnya tidak mengenal
adanya pemisahan atau dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum keduanya saling berpadu, harmonis dan saling melengkapi. Adanya pemikiran asing yang
masuk ke dalam tubuh Islam berfungsi sebagai bahan pengayaan dan bukan unsur pendominasi ajaran Islam. Akan tetapi sebagai upaya pelestarian keilmuan dalam
menjawab persoalan-persoalan yang muncul di setiap zaman. Memasuki era modern, perhatian di bidang keilmuan dipertanyakan
eksistensinya. Mengingat kehancuran total yang dialami oleh kedua Dinasti tersebut. Salah satu bentuk pergerakan kembali di bidang ilmu pengetahuan
adalah mengadakan pembaharuan modernisasi oleh pemikir Islam. Hal itu dilakukan dalam rangka membangun kembali orientasi masyarakat ilmiah yang
mampu turut serta membangun kualitas keilmuan dan memberikan respons Islam terhadap perkembangan zaman.
Menurut Harun Nasution,
17
periode modern di mulai sejak tahun 1800 M. Periode ini di tandai oleh Jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Hal ini membuat Islam
sadar dan mengerti akan kelemahannya. Sedangkan di Barat telah timbul
16
Mehdi Nakosten, Kontribusi Islam….h. 17
17
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 6
peradaban baru yang merupakan ancaman bagi umat Islam. Situasi ini mendorong para pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan
kekuatan Islam kembali. Di periode inilah timbulnya ide-ide pembahruan dalam Islam atau kebangkitan umat Islam terutama di bidang ilmu pengetahuan.
Secara garis besar pola pembaharuan dalam Islam dapat di bagi dalam dua pola: Pertama, pola pembaharuan pendidikan Islam yang mengadopsi pola
pendidikan modern di Barat. Gerakan ini disebut sebagai gerakan modernis. Kedua, pola pembaharuan pendidikan Islam dengan cara kembali kepada ajaran
Islam secara kaffah.
18
Salah satu secara garis besar dari kedua pola pembaharuan tersebut akan menjadi pembahasan khusus soal integrasi keilmuan sebagai
pembahasan pokok tentang gagasan pendidikan integral menurut M. Natsir. Sebelum itu sedikit penulis meninjau kembali kondisi pendidikan Islam di
Indonesia pada masa M. Natsir.
B. Tinjauan Historis Pendidikan di Indonesia pada Masa M. Natsir: Telaah Terhadap Dikotomi Keilmuan.
Sebagaimana yang telah di paparkan pada bab sebelumnya, bahwa dalam ajaran Islam tidak ada pemisahan keilmuan. Karena dalam pandangan Islam
sendiri semua ilmu itu berasal dari Yang satu yaitu Allah Swt. Namun persolan yang berkembang dan melanda pendidikan di Indonesia khususnya, sebagai akibat
terjadinya dualisme atau dikotomi dalam sistem pendidikan ketika itu. Keadaan ini memotivasi M. Natsir untuk berusaha keras dalam mengintegrasikan ilmu
umum dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan olehnya adalah sistem pendidikan yang bersifat integral.
Jika dilihat dari tahun lahir sampai wafat beliau yakni 17 Juli 1908 - 6 pebruari 1993. Maka beliau hidup dalam periode akhir abad 19 sampai abad 20.
Pendidikan itu sendiri pada masa M. Natsi melewati dua periode yakni sebelum dan setelah kemerdekaan. Oleh karena itu beliau bisa dikatakan pelaku atau saksi
sejarah perjalanan pendidikan di indonesia. Adapun gambaran pendidikan Islam
18
Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003, Cet. I, h. 123-124
pada masa sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan diuraikan sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan
Pendidikan Islam sebelum kemerdekaan memiliki ruang gerak yang sempit dan diwarisi peraturan serta kebijakan yang menghambat pendidikan Islam untuk
berkembang, yaitu dengan adanya kebijakan pemerintah Hindia Belanda berupa ordonansi guru.
19
Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin
terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru
agama untuk melaporkan diri. Pada tahun yang sama. Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang
lebih ketat lagi, berupa tidak semua orang kyai boleh memberikan pelajaran mengaji.
20
Hal ini terkait dengan Snouck Hourgronje yang pernah mengemukakan usul untuk memberikan pengawasan ketat kepada para pegawai agama.
21
Hal ini menunjukan Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi
pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan
organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.
Pada tahun 1926, Ordonansi Guru disalahgunakan oleh Pemerintah lokal untuk menghambat gerakan ummat Islam. Peristiwa itu dialami oleh kalangan
Muhammadiyah di Sekayu Palembang. Pada waktu itu, pengurus Pusat yang akan
19
Ordonansi guru adalah surat perintah mengenai kebijakan pada Hindia Belanda untuk guru agama yang ditekankan yakni guru agama Islam diharuskan mendapatkan surat ijin mengajar oleh
pemerintah Hindia Belanda. Jelas ini akan menyudutkan, karena fakta dilapangan untuk mendapatkan ijin dipersulit. Apalagi untuk guru-guru agama yang mempunyai misi pergerakan
dan pembaharuan yang bersifat radikal. Biasanya diperlakukan bagi guru-guru yang pernah mendapat pengaruh dari pembaharu dari luar, seperti Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani,
dll. Karena mereka dianggap akan memperkuat umat Islam dan mengancam keberadaan pemerintahan Hindia Belanda. Baca,
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, Cet. VIII, h. 199
20
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah ed. Terj, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islmaondererricht Door, oleh Abdurrahman, Jakarta, PT. Pustaka LP3ES Indonesia,
1994, Cet. II, h. 111
21
Karel A. Streenbrink, Pesan tren, madrasah, Sekolah….h. 108
meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tiba-tiba dilarang, padahal sebelumnya mereka sudah memberitahukan rencana kegiatan itu kepada Residen
Palembang.
22
Oleh karena Ordonansi Guru pada hakikatnya adalah kebijakan yang digunakan untuk mematikan gerakan pembaharuan terutama pendidikan
Islam yang sedang digalakkan. Kebijakan lain yang menghambat selain Ordonansi Guru yakni Ordonansi
Sekolah Liar. Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi.
23
Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinnya atau memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi Sekolah Liar.
24
Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme- Islamisme tahun 1928, berupa sumpah pemuda.
25
Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya ordonansi pengawasan ini. Salah satu faktornya adalah Pemerintah
kolonial pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan memperendah menghambat segala aktifitas termasuk dalam
bidang pendidikan khususnya Islam. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang-orang
Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidak mampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan
dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya sekolah suw
asta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang
ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor
22
Maksum Muchtar, Madrasah, Sejarah Perkembangannya Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001 h. 116
23
Suwendi, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, Cet. I, h. 81
24
Maksum Muchtar, Madrasah, Sejarah Perkembangannya ….h. 118
25
Sumpah Pemuda adalah sebuah komitmen dari pemuda-pemuda yang ingin lepas dari segala bentuk penjajahan. Isi dari sumpah pemuda yakni 1. Kami putra-putri Indonesis mengaku
bertanah air satu, tanah air Indonesia, 2. Kami putra-putri Indonesis mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia, 3. Kami putra-putri Indonesia mengaku berbahasa satu, Bahasa Indonesia.
resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.
Adapun pendidikan yang berdiri pada masa Hindia Belanda, yaitu Pesantren dan Sekolah Belanda. Disinilah adanya dualisme pendidikan yang sengaja
diciptakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun pesantren dianggap sebagai lembaga yang sederhana dan masih banyak menyimpan kelemahan.
Namun gerak perkembangannya tetap di bawah pengawasan pemerintahan Belanda agar tidak membahayakan. Melihat dari sejarahnya, dualisme pendidikan
hampir dialami oleh umat Islam dikarenakan untuk memisahkan dan membuat jarak antara Islam dan Penguasa.
2. Pendidikan Islam Setelah Kemerdekaan
Setelah merdeka, pendidikan Islam mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Di Sumatra, Mahmud Yunus sebagai
pemeriksa agama pada kantor pengajaran mengusulkan kepada kepala pengajaran, agar pendidikan agama disekolah-sekolah pemerintah ditetapkan dengan resmi
dan guru-gurunya digaji seperti guru umum dan usul pun diterima.
26
Selain itu, pendidikan agama disekolah juga mendapat tempat yang teratur, seksama, dan
penuh perhatian. Untuk itu dibentuk Departemen Agama pada tanggal 13 Desember 1946 yang bertugas mengurus penyelenggaraan pendidikan agama
disekolah umum dan madrasah serta pesantren-pesantren. Pendidikan Islam perlahan mulai diajukan. Istilah pesantren yang dulu hanya
mengajar agama di surau dan menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah mulai ikut mendirikan madrasah dan sekolah umum, sehingga pemuda Islam
diberi banyak pilihan. Upaya ini merupakan usaha untuk menata diri ditengah- tengah realitas sosial modern dan kompleks. Pesantren juga telah lebih
berkembang dengan berdirinya perguruan tinggi Islam. Sekolah agama, termasuk madrasah, ditetapkan sebagai model dan sumber
pendidikan Nasional yang berdasarkan Undang-undang 1945. Ekstensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-undang
pokok pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950, bahwa belajar disekolah-
26
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2003 h. 67
sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar
27
. Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negeri
dengan ketentuan kurikulum 30 pelajaran agama dan 70 pelajaran umum. Sistem penyelenggaraannya sama dengan sekolah-sekolah umum dengan
perjenjangan sebagai berikut: 1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri MIN setingkat SD lama belajar enam tahun.
2. Madrasah Tsanawiyah Negeri MTsN setingkat SMP lama belajar tiga tahun. 3. Madrasah Aliyah Negeri MAN setingkat SMA lama belajar tiga tahun.
28
Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis, yaitu 1 sistem pendidikan dan
pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari pemerintah belanda. 2 Sistem pendidikan dan
pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat sendiri, baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintesis dengan
berbagai variasi pola pendidikannya sebagaimana uraian tersebut diatas. Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta
tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya hanya menjangkau dan dinikmati oleh
sebagian masyarakat, terutama kalangan atas saja. Sedangkan yang kedua sistem pendidikan dan pengajaran Islam tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat
dan berurat berakar dalam masyarakat.
29
Hal ini diakui oleh Badan Komite Nasional Indonesia Pusat BP-KNIP dalam usul rekomendasinya yang
disampaikan kepada pemerintah, tentang pokok-pokok pendidikan dan pengajaran baru, pada tanggal 29 Desember 1945.
30
Merdekanya bangsa Indonesia diharapkan bisa menggali segala potensi yang ada, sehingga dapat digunakan dan dikembangkan untuk tercapainya masyarakat
27
DJumhur, Sejarah Pendidikan, Bandung: Ilmu,1959 h. 45
28
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985, h. 89
29
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu, 1995 h. 67
30
Sunanto Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2005 h. 69
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Harapan ini walaupun sudah lama dicanangkan,
namun belum
juga terwujud
sampai sekarang.
Keadaan lebih parah lagi dengan timbulnya gejala-gejala salah urus mis management
31
akibatnya pada bidang pendidikan fasilitasnya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Lagi pula politik dan usaha-usaha pendidikan tidak berhasil
menjadikan sektor pendidikan sebagai faktor penunjang bagi suatu pendidikan. Perkembangan selanjutnya pendidikan hanya mengakibatkan benih-benih
pengangguran. Lahirnya Orde Baru ORBA memungkinkan pendobrakan salah urus itu dalam segala bidang juga dalam pendidikan. Dimana, perkembangan
masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat
modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional, berorientasi kemasa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat
informasi di tinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan manjadi
peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah. Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang
peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi elekronik seperti computer, faximile, internet, dan lain-lain telah mengubah
lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi lewat komunikasi satelit
dan computer orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup megelolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan dan
visual. Peranan media elektronika yang demikian besar akan menggeser agen- agen sosialisasi manusia yang berlangsung secara tradisional seperti yang
dilakukan oleh orang tua, guru, pemerintah, dan sebagainya. Komputer dapat dijadikan teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat juga
31
Sugarda Purbakawaca, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1970 h. 103
sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban sesegara mungkin atas petanyaan eksistensisal yang mendasar.
32
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan keperibadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup
bertahan hanyalah mereka yang berorintasi ke masa depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciri-ciri
sebagaimana yang dimiliki masyarakat modern tersebut diatas. Dari keadaan ini, keberadaan masyarakat suatu bangsa dengan bangsa lain terjalanin hubungan baik
dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia pasti
menghadapinya. Masa depan itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dalam dunia kelembagaan materi pendidikan guru metode sarana
prasarana dan lain sebagainya. hal ini pada gunanya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.
Memasuki melenium ketiga dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai masalah yang sangat urgen yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak mustahil
dunia pendidikan akan ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang
timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. Hal demikian dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan merupakan salah satu
pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyipakan masa depan umat manusia adalah
merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, gagasan pendidikan integral mempunyai peranan sangat
penting dan strategis. Peran utama pendidikan integral adalah sebagai respon perkembangan zaman di bawah landasan spiritual, moral dan etika. Agama
sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan
negara.
32
Maksum Muchtar, Madrasah, Sejarah Perkembangannya …h. 118
C. Paradigma Pengembangan Ilmu Agama dan Umum 1. Pengertian Pendidikan Integral
Sudah menjadi kesepakatan umum oleh pakar pendidikan, bahwa dalam memberi definisi kata pendidikan tidak lepas dari cara dan sudut pandang mereka
masing-masing. Perbedaan ini bukan berarti menunjuk kepada tujuan yang berbeda tetapi lebih kepada kompleksitas keilmuan yang mereka miliki. Dengan
demikian secara sederhana pendidikan dapat diartikan sebagai proses usaha sadar yang diarahkan untuk menggali potensi yang terpendam dalam diri anak sampai
mancapai taraf pendewasaan jasmani dan rohani dengan menanamkan sikap moral serta pelatihan otak atau transfer of knowlage.
Kedua penanaman ini harus berjalan sebagaimana mestinya. Keduanya bagaikan koin dengan memiliki sisi yang saling berdampingan dan
menyempurnakan. Kehilangan satu sisi akan menyebabkan kepincangan di sisi lain. Artinya sikap moral tanpa diikuti ilmu akan menghasilkan generasi yang tak
kenal dengan tanda zaman. Sebaliknya jika pendidikan terbatas pada pelatihan otak semata, akan menghasilkan generasi yang tak kenal batas nilai. Ironisnya
pendidikan akan menghasilkan generasi perusak nilai-nilai luhur dari suatu bangsa.
Menurut Jalaluddin
33
, penanaman moral dalam pendidikan adalah syarat terbentuknya kepribadian yang utama atau ideal serta diikuti sikap mental secara
teguh dan sungguh-sungguh memegang dan melaksanakan ajaran atau prinsip- prinsip nilai yang menjadi pandangan hidup secara individu, masyarakat maupun
bangsa dan negara. Dengan kata lain, pembentukan moral merupakan syarat terpenting dalam dunia keilmuan.
Gagasan tentang pendidikan integral ini pada hakekatnya berusaha mengembangkan konsepsi ajaran Islam secara normatif-integralistik dengan
bertitiktolak dari kecendrungan kuat pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Secara bersamaan, kegagalan terjadi pula pada sistem pendidikan Barat
dalam mendidikan anak hanya semata-mata berorientasi pada satu aspek, “intelektual”. Di satu sisi keseriusan ini mendorong pendidikan di Barat
33
Jalaluddin Abdullah, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, h. 3
tergolong ke dalam tingkat pendidikan kelas atas, tetapi di sisi lain sistem pendidikanya terbilang masih jauh dari pada nilai-nilai agama. Hal ini ditandai
dengan pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi yang sedang memuncak di Barat juga diiringi dengan kriminalitas yang tak kunjung habis-habisnya. Di sini
Azyumardi Azra
34
memandang bahwa makna pendidikan dipersempit dengan interpretasi bahwa pendidikan hanya terbatas pada sekedar pengajaran atau
transfer ilmu belaka. Baginya, pendidikan harus memiliki arti lebih dari itu, yakni adanya penanaman nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang
dicakupnya. Namun pendidikan Islam sekarang telah memiliki kecendrungan bergerak ke
arah mencetak generasi yang berakhlak mulia. Tetapi itu semua harus diseimbangkan dengan perkembangan zaman, dalam hal ini sebagai tolak ukur
kemajuan. Supaya tujuan pendidikan Islam terkontrol dengan nilai-nilai agama. Karena jika pendidikan Islam dilepas begitu saja, secara perlahan-lahan akan
menggrogoti nilai-nilai Islam itu sendiri. Adapun istilah integral secara bahasa dapat dilihat dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang mempunyai arti sebagai berikut; 1. mengenai keseluruhannya; meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap;
utuh; bulat; sempurna. 2. Tidak terpisahkan; terpadu.
35
sedangkan dalam kamus bahasa inggris, kata integral dapat di lihat dalam bentuk kata sifat, kata ini
merujuk pada kata integral yang bermakna hitungan integral, bulat, utuh, yang perlu untuk melengkapi. kata kerja to integrate yang berarti mengintegrasikan,
menyatu-padukan, mengabungkan, mempersatukan. Integrated yang berarti yang digabungkan, yang terbuka untuk siapa saja. Sebagai kata benda, integration,
yang berarti integrasi, pengentegrasian atau penggabungan. Integrationist yang bermakna penyokong paham integrasi, pemersatu. Integrity berarti ketulusan
hati, kejujuran dan keutuhan.
36
34
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi….h. 3
35
Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, h. 383
36
John M. Echols dan Hasan Shadily, kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT Gremedia Pustaka Utama, 2005, h. 326
Dari paparan rumusan di atas dapat diambil penampilan sementara bahwa pendidikan integral yaitu proses usaha sadar terhadap perkembangan jasmani dan
rohani anak oleh pendidik menuju terbentuknya kepribadian yang utuh, bulat, sempurna sehinga ia dapat melaksanakan tugas hidupnya dengan baik. Atau dapat
juga diartikan, pendidikan integral adalah usaha memadukan intelektual, moral, spiritual menuju kepada kepribadian yang utuh. Oleh sebab itu, dari segi substansi
pola gagasan pendidikan integral dapat dipandang sebagai pola dalam pembentukan keseimbangan antara kekuatan intelektual dan kekuatan spiritual.
Sehingga kedua hal tersebut secara bersamaan membentuk pribadi yang utuh melalui ajaran tauhid.
2. Model Integrasi Keilmuan
Wacana tentang usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-19, meski keadaanya mengalami pasang-surut.
37
Hal ini dilakukan paling kurang, selain untuk membendung terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan
antara ilmu umum dan ilmu agama juga dilakukan sebagai respon arah pendidikan Islam di era globalisasi yang serat sekali dengan kemajuan. Dalam kerangka
analisis itu, menurut Muhaimin
38
dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu melalui tiga model yaitu: purifikasi, modernisasi Islam dan Neo-Modernisasi.
a. Model Purifikasi
Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses ini berusaha menyelenggarakan penyucian ilmu pengetahuan agar
sejalan dengan nilai dan norma Islam secara kaffah, lawan dari Islam yang parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuan Muslim dituntut menjadi
aktor beragama yang loyal, concern dan komitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupannya, serta
bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat, kemampuan, dan bidang keahliannya masing-msing dalam perspektif Islam untuk kepentingan
kemanusiaan. Model Islamisasi di atas, dapat di cermati juga dari rencana
37
Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRCD Press, 2005, h. 125
38
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, h. 61
kerja Islamisasi pengetahuan sebagaimana yang dikembangkan oleh al-faruqi dan al-Attas, meliputi: 1 Pengusaan khazanah ilmu pengetahuan Muslim, 2
Penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, 3 Indentifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya ideal Islam, 4
Rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi paduan yang selaras dengan wawasan dan ideal Islam.
b. Model Modernisasi
Modernisasi disini berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnattullah. Model modernisasi ini berangkat dari kepedulian terhadap
keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir dalam memahami agama Islam, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu
pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-Muslim. Islamisasi disini cendrung mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial
dan perkembangan iptek, adaptif terhadap perkembangn zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhdap unsur negatif dan proses modernisasi.
Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah. Sunnatullah ini mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga
untuk melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam perintah Allah Swt yang pada giliran berikutnya, akan melahirkan ilmu
pengtahuan. Menyadari akan keterbatasan paham hukum alam yang dimiliki manusia sehingga manusia perlu menempuh secara tahap demi tahap. Karena
itu, menjadi modern berarti progresif dan dinamis. Jadi arti Islamisasi pengetahuan yang ditawarkan oleh model modernisasi Islam adalah
membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progresif, dan terus melakukan perbaikan agar terhindar dari keterbelakngan dan
ketertingalan di bidang iptek.
39
c. Model Neo-Modernis
Model ini berusaha memahami ajaran-jaran Islam dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits dengan
39
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Isla m….h. 62-63
mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencari kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh IPTEK.
Model ini menurut Muzani bertolak dari landasan metodologis; 1 Persoalan- persoalan kontemporer umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil
ijtihad para ulama terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhdap al-Quran, 2 Bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang tidak sesuai
dengan kontemporer, maka selanjutnya menalaah konteks sosi-historis dari ayat- ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, 3 Melalui telaah
historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan etika sosial al-Quran, 4 Dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati relevansi
dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang dihapi umat rersebut, 5 Al-Quran berfungsi
evaluatif, legitimatif hingga memberi landasan dan arahan moral terhadap persolan yang ditanggulangi.
40
Menurut hemat penulis, model-model integrasi keilmuan di atas memiliki pola dasar tujuan yang sama. Pola dasar tujuan yang sama tersebut bertemu dalam
kesimpulan yaitu mengembalikan nuansa tradisi penalaran intelekual pemikir dan keilmuan Muslim dan sekaligus memecahkan permasalahan disharmoni yang
diakibatkan oleh terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan dengan merujuk kembali kepada al-Quran dan al-Hadits.
Terkait dengan model-model integrasi diatas, permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah integrasi ilmu pengetahuan antara
“ilmu agama dan ilmu umum” mungkin dapat dilakukan sehingga keduanya dapat berjalan dengan baik
dan menghasilkan produk yang baik pula jika keduanya dapat di padukan. Disini Azyumardi Azra
41
mengemukakan tiga tipologi respon cendikiawan Muslim terkait dengan hubungan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ketiga respon
tersebut di antaranya; restorasionis, rekonstruksionis dan pragmatis. Menurutnya, dua kelompok terakhir memiliki kerja analitis yang bermanfaat, di mana
40
Abuddin Nata, dkk, In tegrasi Ilmu….h. 175
41
Azyumarsi Azra, “Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam”, dalam Zainal Abidin Bagir ed, Integrasi Ilmu dan Agama; Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan Media Utama, 2005, Cet. I,
h. 206-211
seseorang dapat menguji masalah-masalah dan kemungkinan-kemungkinan pengembangan sebuah sains yang berorientasi kemasyarakatan dalam Dunia
Islam. pertama: Restorasionis, Respon ini berusaha mencari versi ideal masa lalu dan meletakkan kegagalan, kekalahan, dan kemunduran orang Islam disebabkan
penyimpangan mereka dari jalan yang benar, yakni Islam yang orisinal dan murni pada periode nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kedua: Rekonstruksionis, Kelompok ini berusaha menginterprestasikan kembali ajaran-ajaran Islam untuk memperbaiki hubungan peradaban modern
dengan Islam. Mereka berpendapat, bahwa Islam pada masa nabi Muhammad Saw dan sahabatnya sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Ketiga,
Reintegrasi, respon ketiga ini merupakan rekonstruksi keilmuan yang berasal dari al-ayah al-
qur’aniyah dan berasal dari al-ayah kauniyyah. Berarti kembali pada kesatuan transedental semua pengetahuan.
3. Konsep Islam tentang Ilmu Pengetahuan
Pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan tak dapat di pisahkan dari pembahasan mengenai kedudukan dan tradisi keilmuan dalam Islam. sebab Islam
sendiri sangat mendukung terhadap pengembangan dan penguasaannya. Memisahkan agama dari ilmu pengetahuan berarti melumpuhkan sumber satu
yang berasal dari Allah Swt. Hal ini tidak mengherankan, karena sesungguhnya ayat-ayat Allah Swt dapat di kaji melalui dua bentuk. Pertama, Mengkaji ayat-
ayat Allah Swt yang bersifat qauliyah berupa wahyu. Kedua. Mengkaji ayat-ayat Allah Swt yang bersifat kauniyah berupa alam semesta.
Menurut Zuhairini, keduanya adalah merupakan satu kesatuan. Dengan kata lain, pemahaman terhadap alam semesta dapat di kaji melalui wahyu. Wahyu pun
dapat dibuktikan melalui kenyataan yang ada di alam semsesta. Karena wahyu berasal dari Tuhan Yang Maha Mengetahui, maka kebenaran menjadi mutlak dan
tidak berubah meskipun ada perkembangan zaman. Sedangkan ilmu pengetahuan berpijak dan terikat pada pemikiran rasional yang berasal dari alam semesta, dan
kebenarannya bersifat relatif. Oleh karena agama dan ilmu dalam posisi tidak bertentangan.
Sejalan dengan itulah, konsep Islam dengan ilmu pengetahuan saling mengikat, sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Oleh
karena itu penggunaan ilmu pengetahuan jika dilandasi agama akan menghasilkan orang-orang yang beriman dan berilmu pada posisi yang lebih tinggi.
42
Hal ini dinyatakan dalam firmanNya:
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang- orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. QS. al-Mujadalah
[58:11] Saling mengikatnya ilmu pengetahuan dalam Islam bertanda Islam memiliki
konsep yang holistik mengenai ilmu pengetahuan. ajaran Islam yang mencakup semua aspek kehidupan ini merupakan totalitas integral yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Sebab itu, Islam datang memberi pandangan yang luas kepada umat manusia
bahwa Islam mempunyai konsepsi yang matang, terarah dan sesuai dengan perkembangan zaman yang sebagian ditandai dengan akselerasi peradaban,
rekayasa indusrti dan teknologi. Dengan pandangan yang demikian, Islam merupakan agama yang benar-benar mengarahkan manusia menjadi makhluk
yang kreatif dan dinamis dan penuh dinamika berfikir.
43
Dengan demikian, Islam telah mengembangkan sebuah kesadaran yang tinggi mengenai kedudukan akal
sebagai inti dalam tradisi-tradisi agama dan dalam mempertahankan sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan.
44
4. Basis Integrasi Keilmuan
Konsep ilmu dalam dunia Islam erat kaitannya dengan pandangan Islam yang berpusat pada konsep tauhid. Tauhid merupakan pusat dimana seluruh konsep-
konsep Islam menyatu. Dengan kata lain pemahaman Islam tentang kedua ayat
42
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004, Cet. III, h. 56-58
43
Rohadi Abdul Fatah, Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, h. 7
44
Ziauddin Sardar, Sains Teknologi dan Pembangunan di Dunia Islam, Terj. Science, Technology and Defelopment in the Muslim World, oleh Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka,
1989, h. 31
Allah itu merupakan kunci Islam tentang ilmu pengetahuan. karena itu, konsep tidak dapat di nilai secara utuh tanpa lebih dahulu memahami pandangan dunia
Islam. Dengan basis integrasi keilmuan yang berpusat pada tauhid. Dimana sejarah
telah membuktikan tradisi keiilmuan Islam mengajarkan obyektifitas dalam upaya intelektual yang berakar pada fitrah. Sehingga ilmu pengetahuan tidak dapat
terpisahkan dari kesadaran religius tauhid. Agama bukan penghalang untuk merealisasikan obyektifitas pengetahuan yang merupakan syarat bagi ilmu
pengetahuan.
45
Karena pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid.
46
Maka dengan dasar ini maka orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan
penerangan jiwa, karena sasaran akhir dari pendidikan adalah untuk meciptakan manusia yang bertauhid dan bertujuan untuk menjadi manusia yang mengabdi
kepada Allah Swt. Konsep tauhid sendiri diambil dari formula konfensional Islam “Laa Ilaha Illa Allah” yang artinya “tidak ada Tuhan selain Allah” sebagai prinsip
dan ajaran yang paling dasar dari ajaran Islam dan menjadi asas pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan.
47
Tauhid sebagai basis dari integrasi keilmuan memberi pemahaman bahwa ilmu dan iman menghasilkan amal perbuatan yang saling berkaitan.
48
Dengan kata sepadan, menegakkan kalimat tauhid harus menyatukan antara iman dan
amal, konsep dan pelaksanaan, pemikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks.
45
Muhammad Irfan Mastuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid sebagai Pradigma Pendidikan Islam Jakarta: Friska Agung, 2000 Cet. I, h. 51
46
Inilah gagasan M. Natsir yang telah didengungkan pada sebuah artikel yang diterbitkan Pedoman Masyarat dengan Judul Tauhid sebagai Dasar Didikan, yang terbit pada tahun 1937.
Dalam tulisan beliau, disebutkan pentingnya pendidikan berdasarkan tauhid. Karena tanpa itu, kita akan gagal menjalan misi dan tujuan hidup Muslim. Dimana menurut beliau tujuan pendidikan
sama dengan tujuan hidup, yakni penghambaan kepada Allah. Sebagai hamba, sepatutnya kita mentauhidkan diri kita kepada Allah semata.
47
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dan Agama dalam Perspektif Filsafat, Jakarta: UIN Jaarta Press, 2003, Cet. I, h. 25
48
M. Hadi Masruri Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam al- Qur’an; Melacak Kerangka
Dasar Integrasi Ilmu dan Agama, Malang: UIN Malang Press, 2007, Cet. I, h. 78
Dengan demikian, bertauhid adalah meng-Esa-kan Allah Swt. Sehingga tidak mungkin terjadi pemisahan.
49
Oleh M. Hadi Asruri, bahwa Ibnu Hazm menyatakan ilmu dan iman berasal dari sumber yang sapadan keduanya pemberian Tuhan untuk tujuan yang sama.
Yaitu menerima totalitas kebijakan sebagaimana ditentukan Tuhan dalam al- Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini senada dengan pernyataan Sayyid Qutub yang
menyatakan bahwa ilmu merupakan kesatuan pemikiran dan tindakan. Menurutnya, tindakan tidak berada di luar bidang ilmu, namun merupakan unsur
yang esensial.
50
Dengan demikian ilmu yang dibangun dengan ruh tauhid akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang memiliki pembuktian terhadap nilai kebenaran yang
dikandungnya. Adapun prinsip tauhid memberikan tiap kehidupan arti dalam keseluruhan dan menyatu dan menjadikan Tuhan sebagai ide. Kesatuan ini juga
bukan pantheisme yang bertentangan dengan trensenden, karena bagi Muslim, hal itu akan menjadikan alam tanpa Tuhan.
51
5. Munculnya Ide Integrasi Keilmuan
Sebagai respon terhadap perkembangan di era globalisasi dengan tetap mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya
manusia untuk memenuhi tuntutan yang berkembang sebagai konsekuensi globalisasi dengan beraneka perubahan. Oleh karena itu, diperlukan kualitas
sumber daya manusia yang labih adaptif, mandiri, dan produktif untuk mengimbanginya. Salah satu upaya yang ditawarkan sebagai paradigma baru
adalah integrasi keilmuan. Lahirnya pemikiran tentang integrasi keilmuan Islamisasi ilmu pengetahuan
dewasa ini yang di dengungkan oleh pakar intelektual Muslim antara lain, Naquib al-Attas dan Ismail al-Faruqi. Selain dari kesedaran beragama
52
, telah terjadi pula
49
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Berbasis Integratif-Interkonetif, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, Cet. I, h. 39-40
50
M.Masruri Rossidy, Filsafat Sain dalam ….h. 78
51
Zainal Habib, Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Presepktif, Malang: UIN Malang Press, 2007, h. 26
52
Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam ….h. 124
sebuah stagnasi, ketertinggalan dan ketertindasan kaum Muslim dari orientalis Barat, dan juga merupakan bagian dari perjuangan dalam rangka mengembalikan
identitas kaum Muslim yang selama ini terpendam.
53
Di samping itu pula. Munculnya ide integrasi keilmuan tidak lepas dari permasalahan dikotomi
54
yang dapat dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama, atau juga dengan adanya dualisme sistem pendidikan antara pendidikan
agama dan pendidikan umum. Seiring terjadinya dikotomi maka muncul anggapan bahwa ilmu terdiri dari dua bagian antara ilmu agama dan ilmu umum. Seakan
keduanya memiliki wilayah masing-masing dan tak dapat untuk dipertemukan. Baik dari objek formal-materiil, metode penelitian, kreteria kebenaran, peran yang
dimainkan oleh ilmuan maupun status teori dan bahkan sampai kepada institusi penyelengaraannya. Dengan kata lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan
agama tidak memperdulikan ilmu. Oleh karena itu, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu adanya koreksi dan diluruskan.
55
Kondisi inilah yang mendorong para cendikiawan Muslim untuk berusaha keras mengembalikan keutuhan
keilmuan. Usaha yang pertama kali diusulkan adalah Islamisasi ilmu pengetahuan.
56
Usaha cendikiawan Muslim dalam mengintegrasikan ilmu atau Islamisasi ini, telah diadakan di beberapa tempat melalui konferensi internasional. Konferesinsi
pertama, diadakan di Swiss 1977, kedua, di Islamabad 1982, ketiga, di Kuala
53
Zainal Habib, Islamisasi Sains….h. 35-36
54
Terjadinya dikotomi dapat dilacak dari akar sejarah Eropa, atau zaman pertengahan yaitu antara tahun 500-1600 M. zaman itu disebut sebagai zaman tanpa arti. Karena pada zaman itu
manusia memang tidak diperkenankan berfikir dengan menggunakan akal. Sebab hidup manusia diatur dan ditentukan oleh golongan gereja. Mereka hanya menerima ajaran gereja sebagai
kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Semua penemuan ilmiah dianggap sah bila penemuan tersebut sesuai dengan doktrin geraja. Hal ini mendorong para ilmuan bekerja sama
dengan raja untuk menumbangkan kekuasaan gereja. Kerja sama pun berhasil, akhirnya gereja pun dapat ditumbangkan yang pada gilirannya muncul gerekan renaissense, gerakan ini kemudian
melahirkan gerekan sekularisasi pemisahan urusan agama dan akhirat darinyalah lahir dikotomi dalam ilmu pengetahuan. Baca, Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta:
Erlangga, 2005 h. 74-75 dan bisa juga baca M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, Malang: UIN-Malang Press, 2008, h. 16
55
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam ….h. 267
56
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, Cet. I, h. 99
Lumpur 1984, dan keempat, diadakan di Khartoun 1987.
57
Menurut hemat penulis. Islamisasi yang diperbincangkan dalam beberapa konferensi ini memiliki
pandangan berbeda-beda jika ditinjau dari aspek kinerjanya, tetapi jika ditinjau dari sudut pandang tujuannya, konferensi ini memiliki inti yang sama. Yaitu
membangun peradaban melalui islamisasi ilmu.
6. Hakekat Integrasi Keilmuan
Mengembangkan konsep integrasi keilmuaan secara umum memang menimbulkan kesan bahwa Islam mengenal dikotomi keilmuan. Umat Islam
seolah memandang ilmu dengan sebelah mata. Padahal Islam sendiri tidak mendiskriminasikan ilmu yang satu dengan lain. Realitas ini, benar-benar
membawa dampak keterbelakangan umat Islam dalam beberapa abad lalu. Dengan demikian, munculnya ide integrasi dapat dipahami sebagai usaha positif
dalam mengembalikan hakekat keilmuan dalam Islam bahwa ilmu berasal dari Allah Swt.
Telah di paparkan pada bab sebelumnya, bahwa ayat-ayat Allah Swt dapat di kaji dengan mengambil dua bentuk; pertama. Mengkaji ayat-ayat Allah Swt yang
bersifat qauliyah. Ayat ini dapat dipahami sebagai sumber utama dalam ajaran Islam yaitu, al-Quran dan Hadits. Kedua. Mengakji ayat-ayat Allah Swt yang
bersifat kauniyah alam semesta dan manusia. Kedua ayat ini sama-sama bersumber dari Allah. Karena bersumber dari Allah, maka keduanya memiliki
kebenaran yang mutlak. Disinilah Kartanegara
58
melihat kedua macam ilmu tersebut menemukan basis integrasinya, yakni pada ayat-ayat Allah, yang berupa
kitab di satu pihak, dan alam semesta dipihak lain. Dilahat dari kedudukannya sebagai sama-sama tanda Allah, maka baik al-Quran maupun alam memiliki
hubungan yang sama dengan sumbernya, dan kalau yang satu disebut sakral, maka yang lainpun harus berbagi sakralitas tersebut.
Oleh karena itu, sebagai tanda-tanda Ilahi, alam semesta tidak bisa dipandang sebagai realitas-realitas independen yang tidak mempunyai kaitan apapun dengan
57
Zainal Habib, Islamisasi Sains….h. 37-38
58
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dan Agama….h. 28
realitas lain yang lebih tinggi. Bahkan sebagian sufi menganggap alam semesta beserta bagian-bagiannya sebagai menifestasi sifat-sifat Tuhan, dan karena itu
tidak dapat dipandang sama sekala sebagai profan. Ilmuan memandang alam sebagai kitab besar dan al-Quran sebagai kitab kecil, keduanya memiliki korelasi
positif. Banyak sekali keterangan al-Quran yang sangat akurat tentang fenomena alam. Jadi sebagai sama-sama ayat Allah kedua sumber pengetahuan manusia ini
tidaklah bersifat eksklusif melainkan saling masuk satu sama lain. Misalnya deskripsi al-Quran tentang perkembangan janin sangat akurat menurut penemuan-
penemuan medis modern.
59
Dengan demikian. Selain al-Quran dan Hadits di pandang sebagai sumber utama dalam wacana keislaman. Ada sumber lain juga yang tidak boleh diabaikan,
bahkan harus dipelajari, ditadabburkan, diobservasi, diteliti dan dilakukan nadhar sebagaimana yang dilakukan terhadap al-Quran dan al-Hadits adalah alam
semesta al-Kaun. Sumber ini akan memberikan kelengkapan yang detail bagi pemahaman dan penafsiran al-Quran dan al-Hadits. Kebenaran sumber ketiga ini
sesuai dengan firman-Nya dalam QS. ad-Dukhan:44 [38-39].
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan
dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. QS. 44:38-39
Ketiga sumber kebenaran ilmiah ini bersifat komplementer atau saling melengkapi dan saling menguatkan satu dengan yang lain yang merupakan
sumber dari informasi ilmu dan hukum yang lengkap serta di jamin kebenarannya.
60
Terkait dengan tiga sumber di atas. Menurut Sahrul bahwa dalam Islam ayat pertama kali turun adalah
iqra’, bacalah. Menurut pandangannya, kalimat bacalah mempunyai pengertian berpikir secara sistematik, terarah dalam mempelajari
firman dan ciptaan-Nya. Ayat kemudian, “dengan menyebut nama Tuhanmu”,
59
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dan Agama….h. 29
60
Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK II, Jakarta: PT RajaGrafindo, 1998, h. 21-22
bararti dalam proses membaca harus menyebut nama Allah sehingga terpadu dengan dzikir. Melalui hal tersbut, manusia akan lebih mudah menangkap dan
membaca apa-apa yang telah diciptakan-Nya yaitu al-Quran, as-Sunnah, al-Kaun. Dengan demikian proses pembacaan terhadap firman dan ciptaan-Nya terkait
langsung dengan transedensi spiritual, yang akan menepatkan manusia tidak hanya sebagai tukang mengumpulkan beragam informasi ilmu pengetahuan tapi
lebih dari itu, sebagai khalifah dan hamba Allah. Dengan kata lain, mengaitkan rasionalitas manusia dengan nilai transedensi Tuhan yang telah menciptakan
segala sesuatu dan memberi kesempatan manusia untuk membuka dan mengenal kebesaran kekuasan-Nya.
61
Oleh karena itu menurut pandanganya. Dengan cara menalaah terhadap tiga sumber kebenaran ilmiah umat Islam akan mampu menghadapi segala tantangan
zaman, menjawab dan menyelesaikan persoalan dalam kehidupan dunia yang serba dinamis, cepat dan rumit, seperti yang nampak dalam era globalisai ini.
62
7. Tujuan Integrasi Keilmuan
Sebagaimana yang telah dipaparkaan pada bab sebelumnya bahwa kehidupan intelektual masa kejayaan umat Islam ditandai dengan perkembangan keilmuan
begitu pesatnya dengan maraknya kejian ilmu pengetahuan, suatu sebab mengantarkan umat Islam pada masa itu menempatkan dirinya sebagai umat
terkuat dan tak tertandingi. Melalui sentuhan kreatifitas intelektual Muslim telah banyak mengalir tidak terbatas pada ilmu agama tetapi juga ilmu-ilmu umum.
Namun kegemilangan umat Islam di bidang keilmuan mulai rapuh dan pada akhirnya mengalami kemunduran. Keadaan ini dimanfaatkan oleh orang-orang
Barat setelah mempelajari dari Islam dan mencapai puncaknya pada masa renaissanse.
Setelah umat Islam mengalami kemunduran semua bidang terutama bidang pendidikan, sedangkan di Barat ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, justru
dalam Islam muncul dikotomi ilmu pengetahuan yang berdampak pada
61
Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains Teknologi Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999, h. 102
62
Sahirul Alim, Mengua k Keterpaduan Sains….h. 104
pengkaplingan keilmuan bahkan sampai pada permusuhan. Menurut Taufiq at- Thowil menyatakan bahwa ilmuwan Muslim seharusnya menyelesaikan
permusuhan antara agama dan ilmu pengetahuan, setelah kemanusiaan tersebut mengalami
kerugian akibat pertentangan ini dan „tersandung langkahnya’ menuju puncak perkembangan, walaupun kenyataan sejarah menegaskan kesulitan
manusia mencapai apa yang diidealkan agama.
63
Bahkan Abid al-Jabary dalam Amin Abdullah mengatakan: merupakan kecelakaan sejarah umat Islam, ketika bangunan keilmuan natural science al-
ulum al-kauniyah menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan ilmu-ilmu keislaman
yang pondasi dasarnya adalah “teks” atau nash. Meskipun peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang
dikenal mengusai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti al-Biruni w. 1041 seorang ensiklopaedis Muslim, Ibn Sina seorang failasuf dan ahli kedokteran, Ibn
Haitsam w. 1039 seorang fisikawan, Ibn Khaldun, Ibn al-Nafis Hayyan, al- Khawarizmi dan lain-lain. Sayang, perguruan tinggi Islam, yang ada sekarang
kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi, lebih- lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealamaan yang berkembang
seekarang ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu- ilmu keislaman yang ada sekarang.
64
Oleh karena itu tujuan integrasi adalah menempatkan aspek material sains dan aspek aqidah tauhid dalam posisi yang sejajar. Sehingga integrasi keilmuan
memberikan eksistensi kepada manusia tanpa menyalahi akidah dan kebenaran. Hal ini senada dengan pendapat Arkoun yang menunjukan penelitian ilmiah tidak
menghadapi halangan religius dan ranah Islam. sehingga integrasi keilmuan menjadi jalan tengah antara pengalaman ilmiah dengan kontemplasi religius
mengenai kebaikan dan kekuasaan Tuhan.
65
63
Zainal Habib, Islamisasi Sain….h. 22
64
Amin Abdullah dkk, Islamic Studies; Dalam Paradigma Integratif-Interkoneksi, Yogyakarta: SUKA Press, 2007, h. 27
65
Zainal Habib, Islamisasi Sains….h. 25
D. Hasil Penelitian yang Relevan