Kontribusi Mohammad Natsir Dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta

(1)

PERSATUAN ISLAM (PERSIS) 69 JAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk

Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

KHAIRUNNISA

NIM: 1110011000084

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Khairunnisa (1110011000084), 2015, Kontribusi Mohammad Natsir Dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana sumbangsih atau kontribusi Mohammad Natsir dalam perkembangan pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta. Dari tujuan yang sudah disebutkan tadi, penulis mengambil langkah untuk kemudian menganalisis atau menelitinya dengan tujuan mampu mengetahui, memahami, dan mampu mengambil kesimpulan dari kontribusi Mohammad Natsir dalam perkembangan pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta. Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Sedangkan metode pengumpulan data yaitu dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode content analysis.

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini bahwa terdapat hubungan yang erat antara pemikiran atau gagasan Mohammad Natsir dengan perkembangan pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi Mohammad Natsir berupa pemikiran-pemikiran dan gagasan yang beliau kemukakan hingga saat ini masih digunakan di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.

Pemikiran-pemikiran beliau seperti pentingnya pendidikan tauhid sebagai dasar pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju serta mandiri. Dan kurikulum pendidikan Islam yang dikembangkan secara integral. Gagasan dan ide yang beliau kemukakan hingga kini masih diterapkan di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.

Kata Kunci: Kontribusi Mohammad Natsir, Pendidikan Islam di Pesantren


(7)

Khairunnisa (1110011000084), 2015, Contributions Mohammad Natsir In Islamic Education Development Boarding Islamic Union (PERSIS) 69 Jakarta. Thesis, Department of Islamic Education, Faculty of Science and Teaching UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

This study aims to determine the extent of the contribution or contributions Mohammad Natsir in the development of Islamic education in boarding Islamic Union (PERSIS) 69 Jakarta. Of the objectives that have been mentioned earlier, the authors take steps to later analyze or examine it with the aim of being able to know, understand, and is able to draw conclusions on the contribution of Mohammad Natsi in the development of Islamic education in boarding Islamic Union (PERSIS) 69 Jakarta. This type of method used in this study is a qualitative research method, with a phenomenological approach. While the method of data collection is by observation, interviews, and documentation. Then analyzed by using content analysis method.

The results found in this study that there is a close relationship between thinking or idea Mohammad Natsir with the development of Islamic education in boarding Islamic Union (PERSIS) 69 Jakarta. The results showed that the contribution of Mohammad Natsir form of thoughts and ideas that he put forward is still used in the United Islamic boarding school (PERSIS) 69 Jakarta.

His thoughts such as the importance of education as a basic education monotheism of Islam, Islamic educational purposes to form a man who is faithful, pious, noble, advanced and independent. And Islamic education curriculum developed integrally. Ideas and put forward the idea that he is still applied in the Union of Islamic boarding school (PERSIS) 69 Jakarta.

Keywords: Contributions Mohammad Natsir, the Union of Islamic Boarding School (PERSIS) 69 Jakarta


(8)

i

Al-Hamdulillahi rabbil ‘aalamiin, Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga skirpsi ini bisa terselesaikan. Shalawat seiring salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw sebagai suri tauladan bagi kita semua.

Skripsi yang berjudul “Kontribusi Mohammad Natsir Dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69

Jakarta” disusun untuk memenuhi syarat gelar sarjana strata satu (S1)

Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selesainya skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan yang telah diberikan selama masa perkuliahan baik berupa ilmu pengetahuan, tenaga, waktu serta do’a restu serta motivasi dari berbagai pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan pengetahuan serta bimbingan yang dapat memotivasi penulis.

2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, MA, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

3. Ibu Marhamah Shaleh, MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, yang selalu memberikan motivasi serta nasihat.

4. Bapak Dr. Zaimudin, MA, sebagai dosen pembimbing skripsi yang sabar, memberi masukan dan meluangkan waktu dalam proses penyusunan skripsi.

5. Bapak Rusydi Jamil, MA, Dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing penulis selama kurang lebih 4 tahun dalam proses perkuliahan.


(9)

7.

Bapak H.M. Amin Djamaludin, selaku Ketua Lembaga Penelitian dan

Pengkajian Islam (LPPD yang telah meluangkan waktunya untuk

membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8.

Bapak Drs. H.M. Fauzi Nurwahid, selaku Pimpinan Pesantren Persatuan

Islam 69 Jakarta berserta staf pengajar dan santri yang telah membantu

penulis selama pelaksanaan penelitian.

g.

Kedua orang tua, yaitu Ayahanda H.M Soleh Djamaludin dan Ibunda Hj. Siti Kamlah yang telah merawat serta mendidik penulis dengan penuh

kasih sayang, mendoakan dan mencukupi moril dan materil sejak kecil

hingga saat ini.

10. Kakak Urwatul Wutsqah dan Uswatun Hasanah serta adiku Muhammad

Natsir yang selalu memberikan semangat untuk penulis.

11. Teman-teman seperjuangan jurusan Pendidikan Agama Islam 2010 yang telah memberikan dukungan, semangat, motivasi, serta bantuannya. Khususnya teman-teman Molose PAI C 2010 yang selalu menyemangati serta menjaga kekompkan untuk bisa lulus dan sarjana, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini.

12. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat dan saran untuk penelitian skripsi.

Semoga bantuan dan dorongan yang telah diberikan dapat menjadi amal

baik dan mendapat balasan dari Allah Swt. Mudah-mudahan skripsi

ini

dapat

bermanfaat bagi

peneliti

khusunya

dan umumnya

bagi

k'hazanilt ilmu

pengetahuan.

Wassalamu' aluikum Wr. Wb

Jakarta,26 Maret 2015 Penulis,

Khairunnisa


(10)

iii LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Kontribusi ... 8

B. Perkembangan ... 9

C. Prinsip-prinsip Perkembangan ... 10

D. Tahapan Perkembangan ... 11

E. Perkembangan Pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta ... 13

F. Penelitian yang Relevan ... 29

G. Kerangka Berfikir ... 21

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 22

C. Teknik Pengumpulan Data ... 24


(11)

E. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 26

F. Analisis Data ... 27

G. Teknik Penulisan ... 28

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data 1. Riwayat Hidup M. Natsir ... 29

2. Kiprah dan Perjuangan M. Natsir ... 31

3. Karya-karya M. Natsir ... 36

B. Pembahasan 1. PERSIS Sebagai Lembaga Pendidikan ... 37

2. Kontribusi Pendidikan M. Natsir di PERSIS ... 42

a. Pemikiran ... 48

b. Organisasi ... 58

c. Manajemen ... 63

d. Kelembagaan ... 65

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Bagi umat Islam Indonesia nama M. Natsir tentu sudah tidak asing lagi. Ia adalah seorang pemikir, da’i, politisi, dan penulis kreatif sekaligus pendidik Islam terkemuka. Ia dikenal sebagai tokoh bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Ia peletak dasar pendidikan Islam dan arsitek pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Mosi Integral M. Natsir pada tanggal 3 April 1950. Pemikirannya jernih dengan tutur kata yang teratur, kiprah politiknya santun, dan hidupnya sederhana.1

Bagi jagad politik nasional, pendidikan Islam dan dakwah Islamiyah kontribusi M. Natsir sukar untuk dipungkiri. Sebagai birokrat M. Natsir pernah menduduki dua jabatan penting yaitu sebagai Perdana Menteri pertama pada pemerintahan Soekarno dan sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet Sjahrir. Sebagai seorang politisi M. Natsir telah menduduki puncak partai Islam besar, yaitu Masyumi dan pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Adapun sebagai seorang da’i ternama, M. Natsir pernah menduduki jabatan Wakil Presiden Muktamar ‘Alam Islami sekaligus sebagai tokoh puncak Rabithah Alam Islami, serta menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sejak tahun 1967 sampai wafatnya beliau tahun 1993.2

Dalam bidang pendidikan, M. Natsir menjadi guru dan melaksanakan pendidikan Islam yang kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan formal. Dengan peringkat jenjang yang setara dengan taman kanak-kanak (Kindergarten) HIS (Holland Islanndsche School), MULO (Meer Uitgebried Lager Onderwijs) dan bahkan AMS (Algemene Middlebaar School) yang kemudian bernama Pendis (Pendidikan Islam).3

1

Lukman Hakiem, dkk, 100 Tahun Mohammad M. Natsir; Berdamai dengan Sejarah, (Jakarta:Penerbit Republika,2008), h.423

2

Thohir Luth, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta:Gema Insani Press,1999), h.9

3

Jusuf A.Feisal, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta:Penerbit Pustaka Firdaus,2001), h.135


(13)

Sewaktu menjadi ketua Masyumi, Natsir sangat terkenal sebagai seorang yang gigih memperjuangkan aspirasi Islam melalui konstituante. Sayang, aspirasinya yang dikenal sebagai dakwah Islam melalui kekuatan politik tersebut gagal bahkan partai Masyumi yang dipimpinnya dibubarkan oleh kekuasaan Soekarno pada bulan Desember 1960. Dengan dibubarkannya Masyumi dalam panggung politik di Indonesia maka habislah kekuatan dakwah Islam secara politik, kecuali NU, PSII, PERTI pasca Masyumi. Sebagai akibat pembubaran partai tersebut, tokoh-tokohnya berpencar mencari posisi pada ormas-ormas Islam lain.4

Perjuangan sosok bersahaja ini tidak begitu saja berjalan dengan mulus tanpa rintangan dan pengkhianatan. Berkali-kali beliau harus tersingkir dari dunia politik, dilarang berpergian ke luar negeri, bahkan harus berada di penjara dalam memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara. Ini terjadi pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagai bentuk kepedulian seorang muslim yang memahami apa yang menjadi keyakinannya sekaligus seorang warga negara yang mengerti akan kepentingan umat. Bagaimana memadukan antara keyakinan teologis dan realita sosial, terutama masyarakat Indonesia yang plural.

M. Natsir adalah di antara sedikit manusia Indonesia yang multi dimensional dan begitu kompleks. Ia adalah seorang pemikir dan pembaharu, ia juga adalah seorang intelektual muslim yang akrab dengan berbagai macam pemikiran. M. Natsir juga adalah seorang aktivis organisasi, yang bergerak sejak dari JIB, PII, PERSIS, Masyumi hingga DDII. Sebagai salah satu anak bangsa M. Natsir adalah seorang pejuang yang gigih memperjuangkan dan mempertahankan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Ia juga seorang pendakwah dan pendidik yang dengan teguh memegang keyakinannya melalui perjuangan tanpa henti sepanjang hayat untuk kemajuan bangsa.5

Dalam kiprah perjuangannya M. Natsir benar-benar mempunyai hubungan secara organisatoris dengan Persatuan Islam (PERSIS) di Bandung. Bahkan melalui PERSIS ini, M. Natsir dapat bergaul dan mendapat didikan

4

Ibid., h.9

5


(14)

langsung dari tokoh utama PERSIS, yaitu Ahmad Hassan. Dikatakan juga dari PERSIS Bandung inilah M. Natsir mulai meniti karirnya sebagai tokoh pejuang, negarawan, dan agamawan. Ini berarti bagi M. Natsir PERSIS merupakan dapur pertama yang menggodoknya menjadi seorang pemimpin terkemuka di negara Republik Indonesia. Dengan pengertian lain, PERSIS sangat berjasa mengantarkan M. Natsir sebagai tokoh dan pemimpin besar di dunia.6

Kehadiran M. Natsir sebagai tokoh PERSIS bukan merupakan suatu kebetulan, tetapi adalah tuntutan intelektualitasnya yang menjatuhkan pilihannya pada PERSIS sebagai wadah meniti karir, apalagi tantangan yang dihadapi oleh umat Islam pada abad ke-20 itu sangat memotivasinya merespon tantangan-tantangan tersebut dengan kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Howard M. Federspiel menyatakan bahwa paling tidak ada tiga hal yang menuntut perhatian umat Islam pada abad ke-20, yaitu: Pertama, menjawab tantangan kebudayaan lokal non-muslim; Kedua, memegang teguh keyakinan dan amalan Islamiyah; dan Ketiga, menyesuaikan diri dengan pikiran dan teknologi modern. Melihat langkah M. Natsir dalam bidang pendidikan, politik, dan keagamaan, tampaknya ketiga hal tersebut menjadi obsesinya pada waktu itu. Artinya, M. Natsir telah memposisikan dirinya melalui organisasi yang dianutnya (PERSIS) untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Ini terlihat pada perdebatan, kegigihan, dan perhatiannya yang begitu serius dalam menjaga Islam dari berbagai tantangan yang menghadangnya.7

Pada awal abad 20 dunia pendidikan Islam lebih berorientasi pada pendidikan agama. Pada sisi lain pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan pendidikan Barat yang sekuler yang tidak mengenal ajaran agama, sedikit banyak mempengaruhi sistem pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren. Padahal diketahui bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan di Indonesia sebelum adanya kolonial Belanda.

Pendidikan sering diartikan bermacam-macam. Dalam kehidupan sehari-hari kata pendidikan diartikan dengan lembaga pendidikan dan adakalanya

6

Thohir Luth, op.cit., h.29

7


(15)

diartikan dengan hasil pendidikan. Pendidikan bisa diartikan sebagai usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak/peserta didik secara teratur dan sistematis ke arah kedewasaan.8

Menurut Lengeveld, pendidikan itu ialah pemberian bimbingan atau bantuan rohani bagi yang masih memerlukan. Pendidikan itu terjadi melalui pengaruh dari seseorang yang telah dewasa kepada orang yang belum dewasa itu dapat disebut mendidik. Sebab mungkin saja pengaruhnya itu tidak mengandung unsur mendidik sama sekali. Karena itu Lengeveld menggariskan bahwa sifat dari pendidikan ialah bahwa semua usaha, pengaruh, perlindungan, serta bantuan yang diberikan harus tertuju kepada kedewasaan anak didiknya atau dengan kata lain membantu anak didik agar cukup cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Hanya mempengaruhi yang demikian sajalah yang dapat disebut mendidik.9

Selanjutnya Lengeveld mengatakan bahwa pendidikan itu merupakan suatu gejala yang terjadi di dalam pergaulan antara orang dewasa dengan orang yang belum dewasa dan pendidikan itu timbul dalam situasi pergaulan apabila ada kewibawaan, yaitu apabila anak didik mengakui atau menerima kewibawaan pendidiknya.10

Kondisi pendidikan selama masa penjajahan asing begitu sangat memprihatinkan. Baik pendidikan umum yang dikelola oleh pemerintah, apalagi pendidikan Islam semisal madrasah-madrasah dan pesantren yang dibangun dan dibiayai oleh masyarakat muslim Indonesia, masih jauh dari yang diharapkan. Diakui memang, sekalipun pada hakikatnya pada saat itu sedang gencar-gencarnya upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pembaharuan, namun kondisi lembaga pendidikan Islam masih saja memprihatinkan. Bahkan kurikulum pendidikan Islam yang diterapkan saat itu dapat kritikan dari M. Natsir. Ia menilai muatan kurikulum terlalu padat dan sarat hafalan.

Kondisi pendidikan Islam yang masih memprihatinkan itu tidak saja dalam bidang sistem pendidikan, akan tetapi juga dalam hal kurikulum yang

8

Ibid., h.7

9

Ibid., h.8

10


(16)

diterapkan. Dengan arti kata, pendidikan yang ada saat itu adalah pendidikan yang sangat dikotomis yang mempertentangkan antara pendidikan agama dengan pendidikan umum sebagai efek negatif dari para penjajah. Dalam hal ini muncul kesadaran dari pendidikan Islam ulama-ulama yang pada waktu itu juga menyadari bahwa sistem pendidikan tradisional dan langgar tidak sesuai dengan iklim pada masa itu. Maka dirasakanlah akan pentingnya mengadakan pembaharuan yaitu memberikan pendidikan secara teratur di madrasah atau sekolah. Kehadiran tokoh-tokoh pergerakan Indonesia seperti halnya M. Natsir dengan ide-idenya yang cukup cemerlang seperti memasukkan pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum sekolah umum, adalah suatu langkah untuk mereformasi kondisi pendidikan Islam yang kurang menguntungkan saat itu.11

M. Natsir juga merupakan salah seorang pemikir di bidang pendidikan yang memberi pandangan dan pemikiran terhadap pendidikan. Sebagai salah satu bentuk kepedulian M. Natsir terhadap pendidikan adalah konsep pendidikan yang universal, integral dan harmonis. Yang mana dari konsep tersebut akan menghasilkan manusia yang benar-benar mengabdi kepada Allah dalam arti yang seluas luasnya dengan misi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam skripsi ini penulis akan mencoba untuk mengungkap sosok seorang M. Natsir dan kontribusinya terhadap perkembangan pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) Melalui tulisan dalam bentuk skripsi yang

berjudul: KONTRIBUSI MOHAMMAD NATSIR DALAM

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI PESANTREN PERSATUAN

ISLAM (PERSIS) 69 JAKARTA

11

Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al Banna dan Mohammad M. Natsir, (Jakarta:Kementrian Agama RI, Desember 2012), h.148-150


(17)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Kontribusi Mohammad M. Natsir dalam perkembangan pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.

2. Respon Mohammad M. Natsir terhadap pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.

3. Kondisi pendidikan Islam pada masa Mohammad M. Natsir.

4. Kiprah perjuangan Mohammad M. Natsir di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.

C. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas maka penulis merasa perlu untuk membatasi pembahasan yaitu pada:

1. Tempat penelitian akan dilakukan di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.

2. Yang akan diteliti adalah kontribusi M. Natsir secara kelembagaan.

3. Masalah yang akan diteliti mengenai sejauh mana kontribusi M. Natsir dalam perkembangan pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

Mengapa M. Natsir dipandang memberikan kontribusi dalam perkembangan pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta?


(18)

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan kontribusi M. Natsir dalam perkembangan pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.

E. Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang diharapkan yaitu sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengalaman, dan pengetahuan peneliti dan sebagai wahana pengayaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Bagi Akademisi

Sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian yang sama atau sejenis atau yang berkaitan dengan kontribusi M. Natsir dalam dunia pendidikan Islam.

3. Bagi Lembaga Pendidikan

Sebagai masukan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam di Indonesia dan sebagai rujukan untuk meningkatkan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.


(19)

8

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kontribusi

Kontribusi berarti sumbangan,1 kata ini berasal dari bahasa Inggris yaitu contribute, contribution, maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan. Berarti dalam hal ini kontribusi dapat berupa sumbangsih atau sumbangan yang dilakukan oleh seseorang. Kontribusi dalam pengertian sebagai tindakan yaitu berupa perilaku yang dilakukan oleh individu yang kemudian memberikan dampak baik positif maupun negatif terhadap pihak lain.

Dengan kontribusi berarti individu tersebut juga berusaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas hidupnya. Hal ini dilakukan dengan cara menajamkan posisi perannya, sesuatu yang kemudian menjadi bidang spesialis, agar lebih tepat sesuai dengan kompetensi. Kontribusi dapat diberikan dalam berbagai bidang yaitu pemikiran, kepemimpinan, profesionalisme, finansial, dan lainnya.

Seperti halnya yang telah penulis singgung di atas bahwa makna dari kontribusi itu sendiri merupakan sumbangan ataupun keterlibatan. Begitu banyaknya kontribusi yang telah dilakukan M. Natsir untuk kemajuan pedidikan Islam bangsa ini, sehingga beliau dianggap sebagai salah satu tokoh pendiri bangsa (founding people) karena perhatiannya yang sangat besar terhadap pendidikan Islam di Indonesia dan bahkan beliau dinilai sebagai pejuang pendidikan Indonesia.

Kontribusi yang telah dilakukan oleh M. Natsir dalam perkembangan pendidikan Islam di antaranya adalah beliaulah yang pertama kali mendirikan sekolah pendidikan Islam (Pendis) di Bandung pada tahun 1932. Pendis merupakan suatu bentuk pendidikan modern yang mengkombinasikan kurikulum pendidikan umum dengan pendidikan pesantren. Dengan didirikannya Pendidikan

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta:Balai Pustaka, 2005), h.592


(20)

Islam (Pendis) tersebut beliau berupaya untuk memerangi kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa ini.

B. Perkembangan

Perkembangan berarti pertumbuhan, tindakan, atau proses dari mem- bawakan sesuatu kepada keadaan yang lebih maju atau lebih efektif.2 Setiap organisme, baik manusia maupun hewan, pasti mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisme tersebut, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak.

Perkembangan adalah suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakteristik psikis yang baru. Perubahan seperti itu tidak terlepas dari perubahan yang terjadi pada struktur biologis meskipun tidak semua perubahan kemampuan dan sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis. Perubahan kemampuan dan karakteristik psikis sebagai hasil dari perubahan dan kesiapan struktur biologis sering dikenal dengan istilah kematangan.3

Secara singkat, perkembangan (development) adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Pertumbuhan sendiri (growth) berarti tahapan peningkatan sesuatu hal dalam jumlah, ukuran, dan arti pentingnya. Pertumbuhan juga dapat berarti sebuah tahapan perkembangan.4

“Perkembangan” adalah perihal berkembang. Selanjutnya, kata “berkembang” ini

berarti mekar terbuka atau membentang, menjadi besar, luas dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan dan sebagainya.5

Menurut F.J. Monks, sebagaimana dikutip Desmita dalam bukunya Psikologi Perkembangan, menjelaskan bahwa perkembangan menunjuk pada

2

Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, (Jakarta:PT Rineka Cipta,1993), h.194

3

M. Ali dan M. Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta:PT. Bumi Aksara,2010), h.11

4

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,1996), h. 40

5

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. (Jakarta:Balai Pustaka,1991), h 538


(21)

“suatu proses ke arah yang lebih sempurna dan tidak dapat diulang kembali.

Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat

diputar kembali”.6

Perkembangan adalah suatu perubahan, perubahan ke arah yang lebih maju, lebih dewasa. Secara teknis, perubahan tersebut biasanya disebut proses. Jadi pada garis besarnya para ahli sependapat, bahwa perkembangan itu adalah suatu proses. Tetapi apabila persoalan kita lanjutkan dengan mempersoalkan proses apa, maka di sini kita dapatkan lagi bermacam-macam jawaban yang pada pokoknya berpangkal kepada pendirian masing-masing ahli.7

Dapat disimpulkan bahwa perkembangan adalah rentetan perubahan jasmani dan rohani manusia menuju ke arah yang lebih maju dan sempurna.

C. Prinsip-prinsip Perkembangan

Dalam perkembangan terdapat beberapa prinsip perkembangan, diantaranya sebagai berikut:

1. Berlangsungnya perkembangan individu yang satu tidak sama cepat atau lambatnya dengan individu yang lain.

2. Berlangsungnya perkembangan individu tidak dengan irama yang konstan, tetapi kadang-kadang dengan irama cepat, lambat, atau bahkan seperti berhenti, dan kemudian cepat sekali seperti dipacu.

3. Perkembangan psikis individu merupakan pengulangan urut-urutan tingkah laku dari perkembangan nenek moyang suatu bangsa. Dapat dikatakan juga bahwa hakikat dan perkembangan manusia merupakan determinasi dari kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

4. Dalam perkembangan anak terdapat suatu saat yang sangat tepat bagi suatu fungsi untuk dapat berkembang dengan baik sekali atau sangat sensitif dan sangat dengan mudah untuk merespon stimulus yang datang kepada dirinya.

6

Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 4

7


(22)

5. Perkembangan individu tidak selalu berlangsung dengan tenang dan teratur, tetapi pada masa-masa tertentu terjadi suatu guncangan yang membawa perubahan secara radikal. Masa ini terjadi dalam dua periode guncangan. Periode guncangan pertama, terjadi ketika individu berada pada usia 3-4 tahun. Periode guncangan kedua terjadi ketika individu berada pada usia sekitar 14-17 tahun.

6. Perkembangan individu merupakan suatu proses yang berlangsung sebagai suatu penjelajahan dan penemuan pada individu yang bersangkutan. Individu yang lahir merupakan warga baru yang belum mengenal dunia sekelilingnya. Oleh karena itu, dia perlu mengenal dan mempelajari segala sesuatu yang ada di dunia sekelilingnya pada saat kehadirannya.

7. Perkembangan pada setiap individu berupa pertahanan diri yang ada dan dapat menjadikan sistem keseimbangan untuk perkembangan kehidupannya. Pertahanan diri yang dimaksud adalah suatu respon dalam bentuk sikap atau perilaku individu yang dimunculkan ketika dirinya merasa mendapatkan stimulus yang tidak sesuai atau tidak menyenangkan.

8. Setiap individu memiliki dorongan alamiah untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Dorongan untuk mengembangkan diri dapat berupa kegiatan yang dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya dan dorongan untuk mengembangkan diri wujudnya berlainan antara satu dengan lainnya.8

D. Tahapan Perkembangan

Dalam hubungan proses belajar mengajar pentahapan perkembangan yang digunakan sebaiknya bersifat elektif (tidak berpaku pada satu pendapat saja). Fase-fase perkembangan individu:

1. Masa usia pra sekolah (0-6 tahun)

8


(23)

Masa ini terbagi 2 yaitu: masa vital masa di mana individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya dan masa estetik (keindahan) adalah masa perkembangan rasa keindahan di mana dalam masa ini perkembangan anak yang terutama adalah fungsi panca inderanya.

2. Masa usia sekolah dasar (6-12 tahun)

Masa ini disebut juga masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Masa ini diperinci menjadi 2 fase, yaitu:

a. Masa kelas-kelas rendah sekolah dasar, Sifat-sifat yang umum pada masa ini biasanya anak tunduk pada peraturan-peraturan tradisional, adanya kecenderungan memuji diri sendiri, suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak yang lain.

b. Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar, sifat-sifat khas anak dalam masa ini antara lain: adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari, amat realistic (ingin mengetahui dan belajar), biasanya anak gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama-sama. Masa keserasian bersekolah diakhiri dengan masa yang disebut poeral. Sifat-sifat khas anak pada masa poeral ini menurut para ahli yaitu: 1) Ditujukan untuk berkuasa (sikap, tingkah laku, dan perbuatan) 2) Ekstraversi (berorientasi keluar dirinya, misalnya mencari teman

sebaya untuk memenuhi kebutuhan fisiknya).

c. Masa usia sekolah menengah ( 12- 18 tahun), masa ini dapat diperinci menjadi beberapa masa, yaitu:

1) Masa praremaja (remaja awal), masa ini ditandai oleh sifat-sifat negatif pada si remaja sehingga seringkali masa ini disebut masa negatif seperti tidak tenang, kurang suka bekerja, pesimistik. 2) Masa remaja (remaja madya), pada masa ini remaja mencari

sesuatu yang dipandang bernilai, pantas dijunjung tinggi dan dipuja-puja, dan ia membutuhkan teman yang dapat memahami dan menolongnya saat suka maupun duka.


(24)

3) Masa remaja akhir, pada masa ini remaja dapat menentukan pendirian hidupnya.

d. Masa usia mahasiswa (18 – 25 tahun), Masa usia mahasiswa biasanya berusia 18–25 tahun, dan pada masa inilah remaja memiliki pemantapan pendirian hidup.9

E. Perkembangan Pendidikan Islam di Persatuan Islam (PERSIS)

Perkembangan pendidikan Islam kini sudah semakin maju dan modern. Seperti telah dibahas oleh penulis sebelumnya bahwa perkembangan adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih maju dan lebih dewasa. Istilah Perkembangan tidak hanya digunakan oleh setiap organisme, seperti manusia, tumbuhan, atau hewan saja. Pendidikan yang kita jalani saat ini pun semakin hari akan semakin berkembang, yaitu perubahan ke arah yang lebih baik.

Pendidikan merupakan salah satu lembaga sosial yang bersumber pada falsafah setiap bangsa. Ahli-ahli falsafah dari zaman dahulu kala sampai sekarang, semenjak Plato sampai Dewey telah mengharuskan kita untuk menaruh perhatian terhadap pendidikan karena pada zaman modern seperti saat ini, kita dapati pendidikan merupakan pantulan dari falsafah setiap bangsa dan ialah yang merupakan jurubicara dari semangat bangsa tersebut. Maka pendidikan yang dibawa oleh John Dewey adalah satu contoh dari apa yang sekarang ini disebut dalam pendidikan yang menganggap bahwa pelajar itu sebagai alat yang menerima ilmu dan hanya menghafalkan pelajaran saja. Sebaliknya, pendidikan

modern menganjurkan agar pelajar itulah yang “berbuat”, yang menghasilkan,

yang mengajar dirinya sendiri, sehingga siswa menjadi aktif dalam proses belajar mengajar sedangkan guru hanyalah seorang pembimbing.10

Pendidikan merupakan salah satu syarat utama dalam upaya meneruskan dan mengkekalkan nilai-niai kebudayaan dari sebuah masyarakat. Dengan demikian, pendidikan merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan bagi

9

Ibid., h. 26

10


(25)

sebuah masayarakat.11 Sama halnya dengan pendidikan, pendidikan Islam juga merupakan media sosial yang memantulkan jiwa falsafah Islam disatu pihak dan media inilah yang melaksanakan falsafah tersebut dipihak yang lain. Nabi Muhammad saw. sangat memberi perhatian lebih kepada pendidikan semenjak tahun-tahun pertama kebangkitan Islam dengan memerintahkan agar mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti surau dan madrasah-madrasah untuk mengajarkan anak-anak dan orang dewasa menulis dan membaca.

Sejarah pendidikan Islam telah menunjukkan semenjak bangkit dan berkembangnya di tangan Rasulullah saw., yang diutus Allah kepada seluruh umat manusia untuk mengajar mereka hal-hal yang berkaitan dengan agama dan dunia dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah adalah guru pertama dalam Islam. Pendidikan Islam berasakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an merupakan kitab Allah, sedang sunnah adalah amalan dan ucapan Nabi Muhammad saw. oleh karena itu Al-Qur’an adalah kitab yang tetap dan tidak akan pernah berubah semenjak pertama diturunkan hingga akhir zaman untuk dihafalkan ayat-ayatnya dan diamalkan serta sebagai petunjuk bagi kaum muslimin. Sedangkan As-Sunnah dijadikan sebagai penyempurna bagi Al- Qur’an dan merupakan obor yang dijadikan petunjuk bagi tingkah laku umat manusia. Maka tidak heran kalau Islam mempunyai corak pendidikan yang khas, berbeda dalam tujuan dan metodenya dari pendidikan yang lain yang menguasai peradaban-peradaban lain sepanjang sejarah yang mempunyai tujuan dan metode yang berlainan dengan Islam.12

Diawal kelahirannya Persatuan Islam atau yang lebih dikenal dengan PERSIS dimulai dengan diskusi berkala. Organisasi ini dilahirkan di Bandung, pada tanggal 12 Sepetember 1923 atau 1 Shafar 1342. Pada mulanya H. Zamzam dan Muhammad Yunus mengadakan diskusi yang berkala. Kegiatan ini dilakukan untuk merespon konflik keagamaan antara kaum muda dan kaum tua. H. Zamzam dan Muhammad Yunus merupakan orang yang paling berpengaruh didiskusi ini.

11

Samsul Nizar, Pengantar dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2001), h. 95

12


(26)

Pada awalnya anggota diskusi tersebut bukan hanya diisi oleh kaum muda modernis saja, akan tetapi ia juga banyak beranggotakan kaum tua tradisionalis. Sehingga dengan adanya diskusi tersebut bukan hanya sebatas diskusi akan tetapi ia juga dijadikan media yang mempertemukan kaum muda dan kaum tua. Topik diskusinya antara lain: masalah-masalah agama yang ada di majalah Al-Munir Padang, Al-Manar Mesir, Friksi-friksi golongan Arab (Al- Irsyad vs Jamiat Khair) serta perkembangan ideologi komunisme yang mengakar dan berhasil memecah belah Serekat Islam (SI).

Pada perkembangan diskusi selanjutnya pihak H. Zamzam dan para anggota lainnya mencoba mengenalkan ide-ide kaum modernis sebagai tema sentralnya yang pada akhirnya diskusi tersebut lebih condong pada ide-ide kaum modernis, alhasil muncullah ketidaksukaan dari anggota yang lainnya yang mendukung paham tradisionalis, sehingga pada tahun 1926 anggota diskusi yang masih berpaham tradisionalis membentuk sebuah organisasi tandingan yang diberi nama Pemufakatan Islam. Sementara anggota yang lainnya yang setuju dengan ide-ide pembaharu tetap mempertahankan nama Persatuan Islam dan berhasil mendeklarasikan diri sebagai organisasi pembaharu.13

Perjuangan PERSIS dalam bidang pendidikan adalah dengan mendirikan madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren. Awal mulanya sekolah tersebut ditujukan untuk anak-anak anggota PERSIS, namun kemudian diperluas dan menerima anak-anak lain. Suatu hal yang menonjol dalam organisasi ini yang membedakannya dengan organisasi-organisasi lain adalah dalam menyebarkan ide-idenya, PERSIS lebih senang dengan cara perdebatan-perdebatan dan polemik. Organisasi PERSIS kerap mengajak orang-orang yang berbeda pendapat dan pemikiran untuk berdebat.14

Terbentuknya Persatuan Islam di Bandung memberikan angin baru terhadap pola keagamaan masyarakat Bandung. Ahmad Hassan yang bergabung dengan gerakan ini pada tahun 1924 adalah anggota yang memberikan format dan

13

Howard M. Federspiel, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Aba XX,

(Yogyakarta:Gadjah Mada University Press,1996), h.18

14

Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern Di Dunia Islam, (Bandung:CV Pustaka Setia, 2001), h.125


(27)

individualitas nyata kedalam barisan Muslim modernis.15 Sehingga ketika organisasi ini terpecah anggotanya pada tahun 1926, A. Hassan tampil sebagai peletak dasar ideologi Persatuan Islam yang membawa Persatuan Islam menjadi gerakan purifikasi Islam. Masuknya A. Hassan ke dalam tubuh organisasi PERSIS membawa PERSIS semakin jelas dalam gerakannya yaitu gerakan tajdid (pembaharu), gerakan purifikasi Islam (pemurnian ajaran Islam) dan gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Selain bidang dakwah, PERSIS juga menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana dan wahana bagi tercapainya tujuan PERSIS. Pada tahun 1930 di Bandung diselenggarakan pertemuan antara PERSIS dengan tokoh umat Islam yang menaruh perhatian terhadap pendidikan generasi muda Islam. Pertemuan tersebut telah menghasilkan satu keputusan untuk mendirikan sebuah yayasan pendidikan Islam, berusaha memadukan dan mengembangkan pelajaran dan pengetahuan modern dengan pendidikan dan pengajaran Islam dalam arti yang seluas-luasnya. Program yang telah disetujui dalam pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memenuhi kekurangan pelajaran bagi generasi muda mengingat mereka haus sekali terhadap pengetahuan modern dan sesuai pula dengan penghematan pemerintah dalam pendidikan.

2. Mengatur pendidikan dan pengajaran generasi muda dengan berdasarkan kepada jiwa Islam dan mempraktikkannya secara lebih rapi.

3. Mengatur dan menjaga pendidikan generasi muda agar mereka tidak bergantung kepada gaji dan honor setelah keluar dari sekolah dan dapat bekerja dan percaya kepada kemampuan sendiri.16

Untuk mencapai tujuan itu, usaha yang dilakukan ialah mendirikan sekolah-sekolah seperti Taman Kanak-Kanak, HIS, MULO, Pertukangan dan perdagangan, kursus-kursus dan ceramah-ceramah. Persatuan Islam atau PERSIS adalah salah satu lembaga kemasyarakatan (lembaga sosial) yang ada di Indonesia. Lembaga kemasyarakatan itu sendiri merupakan terjemahan langsung dari istilah asing social institution. Pengertian lembaga lebih menunjuk pada

15

Howard M. Federspiel, op.cit., h. 17

16


(28)

sesuatu bentuk, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Namun disamping itu kadang-kadang juga dipakai istilah lembaga sosial.17

Robert MacIver dan Charles H. Page mengartikan lembaga kemasyarakaan sebagai tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan yang dinamakannya asosiasi. Sedangkan menurut Leopold Wiese dan Howard becker mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai suatu jaringan proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya.18

Lembaga kemasyarakatan terdapat di dalam setiap masyarakat tanpa memperdulikan apakah masyarakat tersebut mempunyai taraf kebudayaan bersahaja atau modern. Karena setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok yang apabila dikelompok-kelompokkan, terhimpun menjadi lembaga kemasyarakatan.

Lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud kongkrit lembaga kemasyarakatan tersebut adalah asosiasi (association).19

Fungsi lembaga sosial adalah sebagai berikut :

a. Memberikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya b. Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan

c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, yakni sistem pengaasan oleh masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Menurut John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, ada enam macam ciri lembaga sosial, yaitu sebagai berikut :

17

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.190

18

Ibid., h.192

19


(29)

a. Lembaga sosial merupakan himpunan pola-pola pemikiran dan tingkah laku yang dicerminkan dalam kegiatan kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.

b. Lembaga sosial mempunyai taraf kekekalan tertentu. Lembaga sosial mempunyai satu atau lebih tujuan.

c. Lembaga sosia mempunyai berbagai sarana untuk menepati tujuannya. d. Lembaga sosial mempunyai lambang/ simbol yang khas.

e. Lembaga sosial mempunyai tradisi lisan maupun tertulis yang berisikan rumusan tujuan, sikap, dan tindak tanduk individu yang mengkuti lembaga tersebut.20

Sebagai suatu lembaga kemasyarakatan PERSIS memiliki ciri khas. Ke-khasan PERSIS dalam penyebaran paham keagamaan dengan Umat, selain dalam bentuk tulisan di majalah yang diterbitkannya sendiri juga dalam bentuk dakwah lisan, kelompok study, perdebatan, tabligh dan khotbah-khotbah yang dianggap orang sebagai berani, keras, tegas, lugas tetapi jelas terkadang menimbulkan kesan kebencian. Ini terbukti ketika PERSIS menjelma menjadi organisasi paling ekstrim, liberal dan radikal dalam melakukan pertentangan terhadap tradisi-tradisi yang dianggap sebagai ajaran agama padahal bid’ah, khurafat dan takhayul.

Para pendiri PERSIS menilai bahwa masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Namun, mereka melihat bahwa sebagian besar umat Islam telah tenggelam dalam

„buaian’ taklid, jumud, khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu, PERSIS berdiri atas dasar kewajiban terhadap tugas Ilahi untuk mengubah kemandekan berpikir dan membuka ketertutupan pintu ijtihad.

Pada masa kini PERSIS berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan PERSIS tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.

20


(30)

F. Penelitian Yang Relevan

Tulisan-tulisan tentang M. Natsir sudah banyak dikaji orang, begitu juga dengan penelitian tentang beliau, tokoh ini sangat berpengaruh di bidangnya sebagai buktinya yaitu karya-karya beliau yang sampai sekarang masih dapat dibaca dan dikaji.

Sepengetahuan peneliti, ada beberapa penelitian yang sudah membahas dan mengkaji mengenai pemikiran M. Natsir baik itu dalam bidang pendidikan, politik, maupun dakwah. Diantaranya adalah :

1. “Gagasan Pendidikan Integral Menurut Mohammad Natsir”.

Skripsi ini disusun oleh Hasan Fathoni. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif analisis, yakni mendeskripsikan semua data-data yang sudah diperoleh dan dianalisis, sehingga menjadi satu bentuk kesatuan yang utuh dan menyeluruh serta sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam skripsi ini membahas mengenai pemikiran M. Natsir tentang pendidikan Islam integral yaitu model pendidikan yang memadukan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Untuk mengimplementasikan pendidikan Islam integral M. Natsir kurikulum yang dipakai adalah kurikulum nasional dan kurikulum agama serta melaksanakan keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, keseimbangan antara badan dan roh. Konsep pendidikan Islam M. Natsir ini merupakan ide untuk pembaharuan PAI yang sekarang semakin banyak kaum sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Kesamaan dalam skripsi ini adalah mengangkat mengenai M. Natsir. Akan tetapi, perbedaannya terdapat dalam masalah yang dibahas. Jika Hasan Fathoni membahas tentang pendidikan integral M. Natsir maka penelitian ini membahas mengenai kontribusi pemikiran M. Natsir.

2. “Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir dan


(31)

Skripsi ini menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, dalam skripsi ini penulisnya memberikan uraian/deskripsi yang seluas-luasnya terhadap pemikiran M. Natsir tentang pendidikan Islam. Penelitiaannya menggunakan data-data pustaka, baik berbentuk jurnal, majalah, ataupun artikel yang menulis tentang pemikiran beliau. Fokus penelitian di skripsi ini adalah konsep pendidikan M. Natsir dan implementasinya di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) M. Natsir. Sama halnya seperti skripsi sebelumnya, pada skripsi ini memiliki kesamaan membahas mengenai M. Natsir. Akan tetapi terdapat perbedaan pada masalah yang dibahas. Jika Huseyni membahas tentang konsep pendidikan Islam M. Natsir sedangkan dalam penelitian ini membahas tentang kontribusi pemikiran M. Natsir.

3. “Gagasan Mohammad Natsir Tentang Tauhid Sebagai Dasar

Pendidikan Islam”. Skripsi ini disusun oleh Siti Khanifah. Skripsi ini menggunakan penelitian library research, yakni penelitian yang menekankan pada literatur baik buku, majalah, jurnal, dll. Skripsi ini membahas mengenai konsep dan gagasan M. Natsir tentang tauhid sebagai dasar dari pendidikan Islam. Pemikiran beliau tentang tauhid sebagai dasar pendidikan Islam terlihat dari bagaimana beliau memandang pentingnya sebuah tujuan hidup. M. Natsir memaknai tauhid sebagai esensi kehidupan muslim dimana tanpa tauhid kita tidak akan menemukan kebahagiaan. Oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya mempunyai arah tujuan hidup di dunia. Sama halnya dengan skripsi sebelumnya, pada skripsi ini memiliki kesamaan membahas mengenai M. Natsir. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam pembahasan. Jika Siti Khanifah membahas mengenai gagasan M. Natsir tentang tauhid maka dalam penelitian ini membahas tentang kontribusi pemikiran M. Natsir.


(32)

Dari sekian data yang penulis peroleh di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak ada skripsi khusus yang membahas mengenai Kontribusi M. Natsir dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta, sehingga penulis dapat mengatakan bahwa judul skripsi yang penulis susun adalah penelitian asli yang belum dibahas oleh mahasiswa PAI khususnya dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya.

G. Kerangka Berfikir

Pendidikan yang digagas oleh M. Natsir bersifat integral, harmonis, dan universal. Sifat pendidikan tersebut juga merupakan reaksi serta refleksi M. Natsir terhadap kenyataan sosio historis yang ditemukannya di masyarakat. Hal tersebut menurut M. Natsir ternyata tidak atau belum ditemukan dalam masyarakat Islam di manapun. Menurutnya pendidikan yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam tidak sesuai dengan pendidikan ideal yang dicita-citakan M. Natsir.

Pendidikan yang ada saat itu masih bersifat parokhial, diferensial, dan disharmonis. Kondisi tersebut menurut M. Natsir diakibatkan dunia Islam sekian lama berada dalam alam kegelapan karena didominasi oleh pemikiran tasawuf dan berada dalam penajajahan Barat selama berabad-abad.

Banyak kontribusi yang telah diberikan M. Natsir untuk perkembangan pendidikan Islam di Indonesia saat ini. Kontribusi beliau dalam perkembangan pendidikan di Indonesia ini mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk pendidikan di Indonesia termasuk juga untuk kemajuan dalam perkembangan pendidikan Islam di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.


(33)

22

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di Pesantren Persatuan Islam 69 Jakarta Timur. Penelitian ini dilakukan pada masa dan bulan mengajar efektif sehingga memudahkan penelitian untuk menjaring data dan informasi yang dibutuhkan dari responden. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Februari 2015 sampai bulan Maret 2015, hal ini memungkinkan peneliti memahami lebih dalam objek penelitian kemudian mendapatkan gambaran yang jelas tentang objek tersebut.

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan tekhnik pengumpulan dan analisis data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah. Penelitian kualitatif ini merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Suatu penelitian kualitatif dirancang agar hasil penelitiannya memiliki kontribusi terhadap teori.1

Alasan peneliti menggunakan kualitatif adalah karena jenis penelitian ini berlandaskan pemahaman akan realitas sosial berdasarkan konteksnya dan menganggap realitas sosial sebagai proses dan merupakan produk dari konstruksi sosial. Jenis penelitian kualitatif juga berusaha memahami pembentukan makna secara utuh dalam konteks sosial dalam pemikiran M. Natsir.

Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Karena terkait langsung dengan gejala-gejala yang muncul disekitar lingkungan manusia terorganisir dalam satuan pendidikan

1Djam’an Satori dan Aan Komariah,

Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta,2013), h.25


(34)

formal. Pendekatan fenomenologi merumuskan satu pernyataan (persepsi) partisipan mengenai fenomen yang sedang diteliti. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meminta partisipan untuk mengungkapkan persepsi mereka tentang fenomena.

Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subyektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Pendekatan fenomenologi juga berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu.2

Istilah fenomenologi sering dipergunakan sebagai anggapan umum untuk menunjukkan pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang.

Penyelidikan fenomenologis bermula dari diam. Keadaan “diam”

merupakan upaya menangkap apa yang dipelajari dengan menekankan pada aspek-aspek subjektif dari perilaku manusia. Fenomenologis berusaha bisa masuk ke dalam dunia konseptual subjeknya agar dapat memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subjek tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.3

Paradigma definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian.

Adapun sumber data kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer

Data primer yaitu data atau sumber pertama yang diperoleh secara langsung dengan mata kepala sendiri atau melalui pancaindera yang lain atau dapat pula melalui orang, alat yang ada pada peristiwa yang sedang diceritakan atau disebut sebagai alat mekanis diktafon.

2

Moleong Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2010) cet 28, h.15

3


(35)

Dalam penelitian ini data yang diperoleh yaitu dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung pada Pimpinan PERSIS 69 Kramat Asem. Rujukan selanjutnya adalah salah satu karya M. Natsir yaitu Capita Selecta jilid 1 dan kejadian-kejadian sosial yang terjadi di Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 69 Jakarta.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data atau sumber yang diperoleh dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata atau orang yang tidak hadir pada saat peristiwa yang diceritakan. Atau sebagai data pendukung yaitu berupa data-data tertulis baik itu buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas. Salah satunya seperti Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press,1999), atau jurnal, majalah, internet dan lain sebagainya yang ikut memperkaya dalam memberikan data yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dikaji maka dalam pengumpulan data ini melewati berbagai prosedur, di antaranya adalah seleksi buku yang relevan dari sumber primer dan sumber sekunder. Kemudian menelaah buku mengenai masalah yang diteliti dn yang terakhir katagorisasi informasi melalui data yang ada.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data melalui:


(36)

1. Observasi

Menurut Syaodih N observasi adalah suatu tekhnik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung.4 Atau suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.5 Pengamatan langsung dilakukan di tempat penelitian yaitu Pesantren Persatuan Islam 69 Jakarta Timur. Yang diamati yakni adminisrasi sekolah, kurikulum, serta sarana dan prasarana.

2. Wawancara

Yaitu percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut yang bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan tertentu.6 Disini penulis melakukan jenis wawancara semi terstruktur. Jadi pewawancara selain tidak membatasi jawaban dari terwawancara selama jawaban tersebut tidak keluar dari konteks pembicaraan dan tema. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dan penjelasan langsung mengenai data-data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

Jenis wawancara yaitu pendekatan yang menggunakan wawancara bebas terpimpin. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan.

4Djam’an Satori dan Aan Komariah

, op.cit., h.105

5

Ibid, h.131

6

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika,2012), h.118


(37)

3. Dokumentasi

Yaitu mencari informasi dengan menggunakan tulisan-tulisan yang ada dan mengumpulkan dokumen tentang bahan yang diteliti, seperti buku-buku, laporan atau arsip yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik ini penulis pergunakan untuk mendapatkan data tambahan tentang penelitian yang sedang dibahas dalam skripsi ini. Dalam hal ini penulis mendapatkan dokumentasi di Pesantren Persatuan Islam 69.

D. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode fenemonologi, yakni studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita memahami suatu obyek dan peristiwa yang menjadi pengalaman seseorang secara sadar. Selain itu fenomenologi juga merupakan gagasan mengenai bagaimana seharusnya peneliti dalam memandang realitas sosial, fakta sosial atau fenomena sosial yang menjadi masalah penelitian.7 Karena terkait langsung dengan gejala-gejala yang muncul di sekitar lingkungan manusia terorganisir dalam satuan pendidikan formal. Pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang menjelaskan latar belakang munculnya konsepsi tersebut.

E. Pemeriksaan Keabsahan Data

Untuk memperoleh data penelitian yang valid mengenai kejelasan fenomena penelitian sesuai dengan kenyaataan. Maka data dikelola secara sistematis dalam bentuk dokumentasi sehingga dapat memberikan informasi. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik triangulasi sebagai pemeriksaan dan pengecekan keabsahan sebuah data. Triangulasi dapat dipahami sebagai tekhnik pemeriksaan keabsahan data untuk keperluan pengecekan atau membandingkan dari keseluruhan data yang ada.8

7

Moleong Lexy, op.cit., h.8

8


(38)

1. Triangulasi sumber, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Dalam hal ini peneliti membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

2. Triangulasi metode, terdapat dua strategi yaitu:

a. pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data yaitu berupa wawancara langsung.

b. pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.

3. Triangulasi penyidik, yaitu dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.

4. Triangulasi teori, yaitu membandingkan hasil temuan dengan teori yang ada di Bab II. Dalam hal ini peneliti, membandingkan data dari hasil wawancara dengan data-data yang diperoleh melalui referensi yang ada.9

F. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap terpenting dari sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini dapat dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan.

Teknik analisa dari penulisan ini adalah analisa isi (content analysis), yakni pengolahan data dengan cara pemilihan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran tokoh pendidikan. Maka, disini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga dapat dijadikan suatu kesimpulan.

Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka arah pembahasan skripsi ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku dikaitkan dengan masalah masalah pendidikan yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya dipaparkan secara obyektif dan sistematis.

9


(39)

G. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang dipakai perpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.


(40)

29

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Riwayat Hidup M. Natsir

M. Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang, terlahir di Jembatan

Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat pada hari Jum’at

tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 dari seorang wanita yang bernama Khadijah. Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripodo, seorang pegawai rendah sebagai juru tulis pada kantor kontroler di Maninjau dan sipir penjara Sulawesi Selatan.1 M. Natsir mempunyai tiga orang saudara kandung, yaitu Yukinan, Rubiyah, dan Yohanusun. Layaknya anak-anak Minang, M. Natsir kecil juga menghabiskan waktu di surau untuk mengaji dan bersenda gurau. Pendidikan di surau tidaklah cukup. M. Natsir kecil sangat ingin belajar di sekolah modern.2

Pada tahun 1916, M. Natsir berumur delapan tahun telah mempunyai angan-angan ingin masuk sekolah rendah berbahasa Belanda, yaitu Holands Inlandse School (HIS). Pada tahun 1912 pemerintah Belanda telah mendirikan sekolah kelas 1 berbahasa Belanda, dan kemudian pada tahun 1915 sekolah itu diberi nama HIS. Murid-murid yang bisa memasuki sekolah tersebut adalah anak demang, yaitu kepala distrik seperti wedena atau anak pegawai pemerintah lainnya. Anak-anak dari golongan kaum petani atau kaum buruh dan pegawai kecil tidak memasukinya.

Ayahnya Idris Sutan Saripado bekerja sebagai juru tulis kontroler di Minanjau, Kabupaten Agam. M. Natsir di sekolahkan di sekolah Gubernemen kelas II dengan berbahasa melayu. Dengan ayahnya pegawai kecil pada pemerintah, keinginan M. Natsir untuk sekolah HIS tidak terpenuhi. Kegembiraan M. Natsir muncul, ketika makciknya Rahim membawa tinggal

1

Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 73

2


(41)

bersama di Padang, karena kota Padang ada sekolah HIS. Dengan harapan ia mendapat kesempatan sekolah yang diinginkannya.3 Namun kenyataannya bahwa ia tidak bisa masuk sekolah HIS tersebut. M. Natsir bukanlah anak pegawai tinggi, ia hanyalah anak juru tulis.

Meski impiannya kandas untuk bersekolah di HIS Padang, M. Natsir tak patah arang. Ia kemudian bersekolah di HIS Adabiyah Padang, sebuah sekolah yan diperuntukkan bagi anak-anak pribumi dari keluarga berpenghasilan rendah. Selama bersekolah disini, M. Natsir dititipkan kepada mamaknya yang biasa ia sapa Makcik Ibrahim.4

Selama lima bulan di Padang, ia melewati kehidupan dengan perjuangan berat. Ia memasak nasi, mencuci pakaian sendiri, dan mecari kayu bakar di pantai. Kehidupan yang berat tersebut dilalui dengan senang hati. Kesulitan-kesulitan yang dirasakannya itu menimbulkan kesadaran padanya. Kesadaran, bahwa rasa bahagia itu tidaklah terletak pada kemewahan dan keadaan segala cukup. Rasa bahagia itu lebih banyak timbul dari kepuasan serta dari hati yang tidak tertekan dan bebas.5 Selepas dari Makcik Ibrahim, ia kemudian dipindahkan ke HIS pemerintahan di Solok. Oleh ayahnya, M. Natsir dititipkan ke Haji Musa, seorang saudagar kaya di daerah tersebut.

Di daerah Solok inilah M. Natsir pertama kali belajar bahasa Arab dan Fiqih kepada tunaku Mudo Amin di samping bersekolah di HIS di pagi hari. Sore hari, ia belajar di madrasah diniyah dan di malam hari belajar mengaji.

Pendapat di atas sejalan dengan pernyataan M. Natsir sendiri seperti yang disarikan oleh Yaswirman, di mana M. Natsir menuturkan sebagai berikut:6

3

Yusuf Abdullah Puar, M. Natsir 70 tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta:Pustaka Antara: 1978), h. 4

4

Artawijaya, op.cit, h. 2

5

Yusuf Abdullah Puar, op.cit., h. 5

6

Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan al Bana dan M. Natsir, (Jakarta:Kementrian Agama RI, 2011), h. 142


(42)

“Sejak kecil makanan saya sehari-hari adalah mengaji. Sejak di Hollands Islands School (HIS) saya sudah ngaji di surau. Menginjak kelas II, saya tinggal di rumah seorang saudagar, Haji Musa namanya di Solok. Selepas maghrib, malam hari saya mengaji. Kebetulan waktu

itu ada guru ngaji tamatan sekolah Thawalib Padang Panjang”

Di samping belajar, ia juga mengajar dan menjadi guru bantu kelas 1 pada sekolah yang sama. Pada tahun 1920, ia pindah ke Padang atas ajakan kakaknya Rubiah. Di HIS Padang itulah M. Natsir masuk kelas lima dan bersekolah di situ selama tiga tahun hingga selesai pada tahun 1923. Setelah lulus dari HIS, M. Natsir mengajukan permohonan untuk mendapat beasiswa dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs) dan ternyata lamarannya itu diterima. M. Natsir aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler, tetapi kegiatan kurikuler di MULO tetap menjadi perhatiannya. Di MULO Padang inilah M. Natsir mulai aktif dalam organisasi. Ia masuk menjadi anggota Pandu Nationale Islamietische Pavinderij (Natipij), sejenis Pramuka sekarang, dari perkumpulan Jong Islamieten Bond (Serikat Pemuda Islam) yang diketuai oleh Sanusi Pane. Menurut M. Natsir organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkan di sekolah, dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada M. Natsir.7

2. Kiprah dan Perjuangan M. Natsir

Kiprah dan perjuangan M. Natsir terlihat saat dia belajar MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs). Ia aktif di berbagai kegiatan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Aktivitas M. Natsir semakin berkembang ketika ia menjadi siswa di Algememe Midelbare School (AMS) di Bandung. Di kota Bandung inilah bermula sejarah panjang perjuangannya. Beliau belajar agama Islam secara mendalam dan berkecimpung dalam gerakan politik, dakwah, dan pendidikan. Di kota ini M. Natsir bertemu dengan tokoh

7


(43)

radikal Ahmad Hassan, pendiri Persis yang diakuinya sangat mempengaruhi alam pemikirannya.8

Aktivitas M. Natsir semakin berkembang, ia menceritakan keinginanannya untuk bisa melanjutkan studinya ke Algememe Midelbare School (AMS) kepada orang tuanya. Maka, setamat dari MULO ia meneruskan pendidikan formalnya ke AMS di Bandung. Sejak mulai belajar di AMS, ia mulai tertarik pada pergerakan Islam dan belajar politik di perkumpulan JIB, sebuah organisasi pemuda Islam yang anggotanya adalah para pelajar bumiputera yang bersekolah di sekolah Belanda. Organisasi ini mendapat pengaruh intelektual dari H. Agus Salim. Dalam organisasi tersebut M. Natsir sempat bergaul dengan para tokoh nasional seperti M. Hatta, Prawoto Mangunsasmito, Yusuf Wibisono, Tjokroaminoto, dan Moh. Roem. Dan berkat kemampuannya yang menonjol, mengantarkannya menduduki ketua JIB Bandung pada tahun 1928 hingga tahun 1932.9

Setelah belajar di AMS, M. Natsir tidak melanjutkan kuliah, melainkan mengajar di salah satu MULO di Bandung. Kenyataan ini merupakan panggilan jiwanya untuk mengajarkan agama yang pada masa itu dirasakan belum memadai. Sadar terhadap keadaan sekolah umum yang tidak mengajarkan agama, M. Natsir lalu mendirikan Lembaga Pendidikan Islam (Pendis). Suatu bentuk pendidikan modern yang mengkombinasikan kurikulum pendidikan umum dengan pendidikan pesantren. M. Natsir menjabat sebagai Direktur Pendis sampai 1942. Lembaga tersebut kemudian berkembang di berbagai daerah di Jawa Barat dan di Jakarta.10

Pada tahun 1938, M. Natsir mulai akif di bidang politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Pada tahun 1940-1942, Beliau menjabat ketua PII Bandung, pada tahun 1942-1945, ia merangkap jabatan di pemerintahan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kodya Bandung, serta sebagai sekertaris Sekolah Tinggi Islam

8

Ibid, h. 23

9

A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta:Amzah, 2009), h. 114

10


(44)

(STI) di Jakarta yang merupakan Perguruan Tinggi Islam pertama yang berdiri Pasca kemerdekaan.11

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945, Jepang merasa perlu merangkul Islam, maka dibentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), suatu badan federasi organisasi sosial dan organisasi politik Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, majelis ini berubah menjadi Majelis Syura Indonesia (Masyumi) pada tanggal 07 November 1945 dan selanjutnya mengantarkan M. Natsir sebagai salah satu ketuanya hingga partai tersebut dibubarkan.

Pada masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, M. Natsir tampil menjadi salah seorang politisi dan pemimpin negara, dalam karier politiknya, dia menjadi salah seorang anggota kerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Menteri Penerangan (1946-1948), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), dan Perdana Menteri pertama RI (1950-1951). Pelantikan M. Natsir sebagai Perdana Menteri adalah konsekuensi logis dan wajar dari kedudukannya sebagai ketua Partai Islam Masyumi, partai politik terbesar di masa itu ditandai dengan perolehan kursi terbanyak di DPR.12

Tampilnya M. Natsir ke puncak pemerintahan tidak terlepas dari langkah strategisnya dalam mengemukakan mosi pada sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 3 April 1950, yang lebih

dikenal dengan sebutan “Mosi Integral M. Natsir”. Mosi itulah yang

memungkinkan Republik Indonesia yang telah berpecah belah sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi tujuh belas negara bagian, kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.13

Pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno pada tahun 1958, M. Natsir mengambil sikap menentang politik pemerintah. Keadaan ini

11

Abuddin Nata, op.cit.,, h. 77

12

Saidun Derani, M. Natsir dan Keterlibatannya dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, pada Program Ilmu Agama Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, h. 40

13


(45)

mendorongnya untuk bergabung dengan para penentang lainnya dan membentuk pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), suatu pemerintahan tandingan di pedalaman Sumatera. Tokoh PRRI menyatakan bahwa pemerintah di bawah presiden Soekarno saat itu secara garis besar telah menyeleweng dari Undang-undang Dasar 1945. Sebagai akibat dari tindakan M. Natsir dan tokoh PRRI lainnya yang didominasi anggota Masyumi ditangkap dan dimasukkan penjara. M. Natsir dikirim ke Batu Malang (1962-1964), Syafrudin Prawiranegara dikirim ke Jawa Tengah, Burhanuddin Harahap dikirim ke luar negeri. Partai Masyumi dibubarkan melalui pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960. M. Natsir dibebaskan pada bulan Juli 1966 setelah pemerintah Orde Lama digantikan oleh pemerintah Orde Baru.14

Pada saat Orde baru muncul, M. Natsir tidak mendapat tempat kedudukan di pemerintahan Orde Baru untuk ikut memimpin negara. Oleh karena itu, pada tahun 1967, M. Natsir beserta para ulama lainnya, melalui yayasan yang dibentuknya di Jakarta, yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) memilih dakwah sebagai format gerakannya, tidak melalui format politik. Namun demikian, ia juga tetap kritis terhadap berbagai masalah politik. Sikap kritis dan korektif M. Natsir pada masa itu membuat hubungannya dengan pemerintah Orde Baru menjadi tidak harmonis.15

Keberaniannya mengoreksi pemerintah Orde Baru dan ikut menandatangani Petisi 50 pada tanggal 5 mei 1980 menyebabkan ia dicekal ke luar negeri tanpa melewati proses pengadilan RI yang berdasarkan negara hukum. Pencekalan inipun terus berlangsung tanpa ada proses hukum yang jelas dari pemerintah Orde Baru, dan ini berjalan hingga M. Natsir dipanggil ke hadirat Ilahi.

Keharuman nama M. Natsir juga merebak di luar negeri karena berbagai kegiatan dakwah Islam internasionalnya. Pada tahun 1956, bersama

Syekh Maulana Abul A’la al- Maududi (Lahore) dan Abu Hasan an-Nadawi

14

Saidun Derani, op.cit., h. 41

15


(46)

(Lucknow), M. Natsir memimping sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus. Ia juga menjabat Wakil Presiden Kongres Islam Sedunia yang berpusat di Pakistan dan Muktamar Alam Islamy di Arab Saudi. Pada tahun yang sama, ia menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah.16

Di dunia Internasional, M. Natsir dikenal karena dukungannya yang tegas terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan Afrika dan usahanya untuk menghimpun kerja sama antara negara-negara muslim yang baru merdeka.

Sebagai penghormatan terhadap pengabdian M. Natsir kepada dunia Islam, ia menerima penghargaan Internasional berupa Bintang Penghargaan dari Tunisia dan dari Yayasan Raja Faisal Arab Saudi (1980). Di dunia akademik, ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Lebanon (1967) dalam bidang Sastra, dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Sains Teknologi Malaysia (1991) dalam bidang pemikiran Islam.17

M. Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan dengan

tanggal 14 Sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,

dalam usia 85 tahun. Beliau meninggalkan seorang istri, Nur Nahar yang dinikahinya pada tanggal 20 Oktober 1934 di Bandung dan enam orang anak serta sejumlah cucu.

Berita wafat M. Natsir menjadi head line utama dalam berbagai media cetak dan elektronik. Beragam komentar muncul baik dari kalangan kawan seperjuangan maupun lawan politiknya. Ada yang bersikap pro terhadap kepemimpinannya dan ada pula yang bersikap kontra. Mantan Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda, yang diwakili oleh Nakajima menyampaikan ucapan belasungkawa atas kepulangan M. Natsir kehadirat penciptanya, seorang tokoh bangsa yang dicintai rakyatnya dengan ungkapan

16

Thohir Luth, op.cit., h. 26

17


(47)

“Berita wafatnya Pak M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima”18

3. Karya-karya M. Natsir

M. Natsir, selain sebagai sosok aktivis pergerakan yang secara langsung menggerakkan berbagai organisasi pergerakan, adalah juga seorang ilmuwan yang banyak menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan, baik di majalah, harian, maupun buku-buku. Tidak kurang dari 52 judul tulisan yang telah ditulis M. Natsir dalam berbagai kesempatan, sejak tahun 1930. Buku- buku tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Islam Sebagai Ideologi, diterbitkan tahun 1951 di Jakarta. Buku ini berisi tentang ajaran Islam dalam kedudukannya sebagai pedoman hidup manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.

b. Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam, diterbitkan di Medan tahun 1951, berbicara tentang hubungan agama dan negara.

c. Capita Selecta, diterbitkan di Jakarta berisi dua jilid, jilid I ditulis pada tahun 1954 dan jilid II pada tahun 1957. Kedua buku ini mengulas tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pemikiran umum mengenai politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya.

d. The New Morality (Moral Baru), terbit tahun 1969 di Surabaya. Buku yang mengupas tentang pengaruh paham sekuler dalam kehidupan manusia.

e. Islam dan Kristen di Indonesia, diterbitkan oleh CV. Bulan Sabit di Bandung pada tahun 1969, berisi tentang uraian mengenai keberadaan Islam dan dalam menghadapi upaya kristenisasi di Indonesia.

f. Di Bawah Naungan Risalah, buku yang berisi tentang bimbingan Islam dalam kehidupan manusia, diterbitkan di Jakarta tahun 1971.

g. Ikhtaru, Al-Khas Sabilani, Addinu Aw La Dinu, buku yang mengulas tentang konsistensi sikap manusia sesudah beragama, diterbitkan di Jeddah tahun 1971.

18


(48)

h. Dakwah dan Pembangunan, buku ini memuat tentang relevansi dakwah Islam dan kontribusi ajaran Islam terhadap pembangunan nasional, diterbitkan tahun 1974 di Bangil.

i. Dari Masa ke Masa, buku yang memuat perjalanan hidup seseorang dalam kaitannya dengan kesadaran memanfaatkan waktu yang ada. Buku ini ditulis pada tahun 1975 dan terbit di Jakarta.

j. Buku Pendidikan Moral Pancasila dan Mutiara yang Hilang, buku yang berisi tentang koreksi terhadap penyimpangan materi buku PMP yang bermuara pada pendangkalan akidah Islam.

k. Mempersatukan Umat Islam, dan masih banyak buku lainnya baik yang berbahasa Indonesia maupun Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.19

B. Pembahasan

1. PERSIS Sebagai Lembaga Pendidikan

M. Natsir adalah salah seorang tokoh pendidikan Islam yang memiliki kontribusi di Persatuan Islam (PERSIS). beliau menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa yang ingin maju. Menurutnya, maju mundurnya suatu kaum bergantung pada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan kaum tersebut. Artinya, kemajuan dan kemunduraan bergantung pada ada atau tidaknya sifat-sifat dan bibit-bibit kesanggupan dalam suatu umat yang menjadikan mereka layak atau tidak menduduki tempat yang mulia di atas dunia ini.20

Dikemukakan dalam riwayat hidupnya bahwa M. Natsir benar-benar memiliki hubungan secara organisatoris dengan PERSIS. Bahkan melalui PERSIS ini, M. Natsir mendapat didikan langsung dari tokoh utama PERSIS, yaitu Ahmad Hassan. Persatuan Islam (PERSIS) secara formal didirikan pada tanggal 12 September 1923 di Bandung, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H oleh sekelompok muslim yang tertarik pada kajian dan aktivitas keagamaan.

19

A. Susanto, op.cit., h. 118

20

Jusuf A. Feisal dkk, Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 127


(49)

Pendirian perhimpunan ini bermula dari upaya beberapa muslim untuk memperluas diskusi-diskusi keagamaan. Dua tokoh yang berpengaruh dalam diskusi-diskusi itu adalah H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. H. Zamzam sempat belajar di Timur Tengah selama tiga setengah tahun dan kemudian mengajar di sekolah agama Darul Muta’allimun di Bandung, pada tahun 1910.21 H. Muhammad Yunus, seorang pedagang sukses yang sama-sama kelahiran Palembang yang di masa mudanya memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan menguasai bahasa Arab, sehingga ia mampu autodidak melalui kitab-kitab yang jadi perhatiannya. Latar belakang pendidikan dan kultur yang sama ini, menyatukan mereka dalam diskusi-diskusi tentang keislaman. Tema diskusi biasanya mengenai beberapa masalah di sekitar gerakan keagamaan yang tengah berkembang saat itu, atau masalah agama yang dimuat dalam majalah al-Munir terbitan Padang dan majalah al-Manar terbitan Mesir, yang telah lama menjadi bacaan dan perhatian mereka.22

Di awal-awal kelahirannya PERSIS merupakan sebuah pengajian yang bertemakan tentang tauhid, ibadah, dan fiqih dalam kegiatannya pun hanya sebatas pengajian biasa. Namun ketika A. Hassan menjadi bagian dari pengajian tersebut, PERSIS berubah mindsetnya yang tadinya hanya sebatas pengajian biasa berubah menjadi forum diskusi yang pada akhirnya sering terjadi perdebatan sesama anggota pengajian. Perdebatan ini pun akhirnya sampai keluar di mana A. Hassan sering melakukan perdebatan untuk memasarkan ijtihadnya sehingga A. Hassan menjadi icon baru dikalangan kaum muda modernis.

Pada perkembangan diskusi selanjutnya pihak H. Zamzam dan para anggota yang lainnya mencoba mengenalkan ide-ide kaum modernis sebagai tema sentralnya yang pada akhirnya diskusi tersebut lebih condong pada

21

Howard M.Federspiel, Labirin Ideologi Muslim;Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957, (Jakarta:SERAMBI,2004), h. 112

22

Badri Khaeruman, Persatuan Islam, Sejarah Pembaruan Pemikiran “kembali kepada

Al-Qur’an dan Al-Sunnah”,(Bandung:Forum Alumni Pondok Pesantren Persatuan Islam (FAPPI), 2010), h. 45


(50)

ide kaum modernis, alhasil muncullah ketidaksukaan dari anggota yang lainnya yang mendukung paham tradisionalis.

Pada tahun 1926, perbedaan-perbedaan antara dua tren dalam kelompok kajian itu mencapai puncaknya hingga terjadilah perpecahan. kelompok memisahkan diri, yang terdiri dari kaum tua mendirikan organisasi tandingan yang terkenal dengan Pemufakatan Islam. Sedangkan kelompok yang sisanya mempertahankan nama Persatuan Islam dan mendeklarasikan diri sebagai gerakan Islam modern.23

Untuk mencapai tujuan organisasi, PERSIS melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain: pendidikan yang dimulai dengan mendirikan pesantren PERSIS pada tanggal 4 Maret 1936 di Pajagalan, Bandung. Dari pesantren ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudhatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain: majalah Pembela Islam (1929), majalah Al- Fatwa (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At- Taqwa (1937), majalah berkala Al- Hikam (1939), majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda Iber (1967).

Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan lainnya adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah- daerah, baik atas inisiatif pimpinan pusat PERSIS maupun permintaan dari cabang-cabang PERSIS, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya serta masyarakat luas.24

Sebagai organisasi, PERSIS memiliki ciri khas dalam gerak dan langkahnya, yaitu menitikberatkan pada pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui pendidikan dan lain-lain. Kecenderungan PERSIS untuk menempatkan dirinya sebagai pembentuk paham keagamaan Islam di Indonesia, dibuktikan dalam setiap aktivitasnya yang dibawa oleh misi Persatuan Islam. Pedoman pokok yang di dalamnya terkandung prinsip-

23

Howard M. Federspiel, op. cit., h. 114

24


(51)

prinsip perjuangan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, sekaligus sebagai identitias yang mewarnai seluruh gerak langkah organisasi dan anggota-anggotanya, secara kongkrit tertulis dalam Qanun Asasi (Anggaran Dasar) dan Qanun Dakhili (Anggaran Rumah Tangga) Persatuan Islam.25

Setiap organisasi atau lembaga pendidikan yang berdiri pasti memiliki tujuan, begitu pula halnya dengan Persatuan Islam (PERSIS) yang bertujuan: Pertama, mengamalkan ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat, kedua, menempatkan kaum muslimin pada ajaran aqidah

dan syari’ah berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Untuk mencapai tujuan

ini, maka organisasi dijalankan dalam bentuk ber-jama’ah, imamah, ber-imarah seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Agar organisasi tetap terarah dalam mengemban misi perjuangannya maka Persatuan Islam menentukan sifatnya sebagai organisasi pendidikan, tabligh dan kemasyarakatan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.26

Untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut, PERSIS mewujudkannya dalam Rencana Jihad sebagaimana tercantum dalam Qanun Asasi PERSIS Bab II Pasal 1 tentang rencana Jihad Umum sebagai berikut:

a. Mengembalikan kaum muslimin kepada pimpinan Al-Qur’an dan Sunnah.

b. Menghidupkan ruhul jihad dan ijtihad dalam kalangan umat Islam.

c. Membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, taqlid dan syirik dalam

kalangan umat Islam.

d. Memperluas tersiarnya tabligh dan dakwah Islamiyah kepada segenap lapangan masyarakat.

e. Mengadakan, memelihara, dan memakmurkan masjid, surau dan langgar serta tempat ibadah lainnya untuk memimpin peribadatan umat Islam menurut sunnah nabi yang sebenarnya menuju kehidupan taqwa.

f. Mendirikan pesantren atau madrasah untuk mendidik putera-putera Islam dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah.

g. Menerbitkan kitab, buku, majalah dan siaran-siaran lainnya guna mempertinggi kecerdasan kaum muslimin dalam segala lapangan ilmu pengetahuan.

25

Badri Khaeruman, op.cit., h. 50

26


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)