Pandangan Mohammad Natsir

(1)

Pandangan Mohammad Natsir

”Islam Sebagai Ideologi Negara”

SKIRIPSI

OLEH

020906026

ZULHAM EFFENDY SIREGAR

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

NO : Pribadi Medan, 24 Mei 2007 Lamp : -

Hal : Permohonan Persetujuan Judul Skripsi

Kepada Yth :

Bapak Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP-USU

di-

Medan

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : SOPIAN SITEPU

Nim : 020906045

Program Studi : Strata 1 (S-1)

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Dengan ini mengajukan judul kepada bapak sebagai syarat dalam menyelesaikan pendidikan di departemen Ilmu Politik FISIP-USU. Adapun judul skripsi yang saya ajukan adalah sebagai berikut

1. Pengaruh Neoliberalisme terhadap Integritas Legitimasi Negara (Studi Kasus: Penerapan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960)

2. Neoliberalisme dan Gerakan Petani (Studi Kasus: Gerakan Serikat Petani Sumatera Utara).

3. Pengaruh Pasar Bebas dengan Kebijakan Pangan Indonesia.

Demikianlah surat ini saya perbuat atas perhatian dan persetujuan bapak saya ucapkan terima kasih.

Diketahui Hormat saya,

Ketua Departemen

Drs. Heri Kusmanto, MA Sopian Sitepu

NIP : 132 215 084 NIM : 020906045


(3)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.1.1. Biografi Singkat Mohammad Natsir ... 4

1.1.2. Selintas Pemikiran Politik Mohammad Natsir ... 6

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Pembatasan Masalah...8

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian...8

1.4.1. Tujuan Penelitian...8

1.4.2. Manfaat Penelitian...9

1.5. Tinjaun Pustaka ... 9

1.6. Metodologi Penelitian ... 14

1.7. Jenis Penelitian...15

1.8. Teknik Pengumpulan Data...15

1.8.1. Inventarisasi (data primer)...15

1.8.2. Data sekunder...16

1.9. Metode Analisis Data ...16

1.9.1. Interpretasi...16

1.9.2. Induksi dan deduksi...17

1.9.3. Koherensi intern...17

1.9.4. Kesinambungan historis...18

BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD NATSIR 2.1. Masa Dikampung Halaman………19

2.2. Masa keaktifan di JIB dan Persis………23

2.3. Masa membangun Islam bersama Masyumi………...26

2.4. Penguatan Islam Melalui Da’wah………...31

2.5. Metodologi Berpikirnya……….. ...33


(4)

BAB III ANALISIS DATA

3.1. Konsep Negara menurut Mohammad Natsir………..37 3.2. Islam sebagai Ideologi Negara menurut Mohammad Natsir..40 3.3. Wacana Islam Sebagai Ideologi Dalam Politik

Indonesia Kontemporer………..49

BAB IV Penutup

4.1. Kesimpulan……….53

4.2. Saran………...55


(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Penulisan skripsi ini menfokuskan kajian penelitian pada pemikiran politik Mohammad Natsir (selanjutnya disebut Natsir) tentang agama dalam hal ini agama Islam sebagai ideologi negara dan beberapa aspek pemikirannya yang mengundang kontroversi. Pemikiran Politik1

1

Pemikiran Politik dalam Islam adalah pemikiran yang berhubungan dalam urusan umat manusia dimana nantinya adanya pengaturan dan pemeliharan. Pemikiran politik dalam Islam menggunakan Aqidah Islam yang mengandung sebuah aqidah politik dan spiritual artinya hukum-hukum dan pemikiran menekankan pada urusan dunia dan akhirat pada titik pandang yang sama. Aqidah Islam mengatur pola hubungan manusia dengan tuhannya, berkaitang dengan pemerintah, ekonomi, hubungan sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, hubungan antara rakyat dan penguasa, hubungan antar Negara, dan lainnya. Abdullah Qodim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Bangil : Al-Izzah, 2001, hal., 5-10.

yang dimaksud disini adalah upaya pencarian landasan intelektual bagi konsep negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahiriah maupun bathiniah. Pemikiran politik Natsir dalam hal ini, merupakan ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem bernegara.

Kajian ini juga dilakukan guna menemukan penyebab dan faktor-faktor yang mengakibatkan timbulnya pemikiran politik Natsir tentang Negara Islam, konsep negara Islam dan implikasi serta proyeksi ke depan pemikiran tersebut. Selain itu untuk menjelaskan aspek-aspek yang menjadi kontroversi dalam pemikiran politik Natsir.


(6)

Hubungan agama dan negara2

2

Machiavelli mengatakan bahwa agama memiliki nilai politis yang dapat digunakan dalam kehidupan bernegara, Numa Pompilius seorang pemimpin Romawi berhasil mengkontruksikan agama menjadi sebuah parameter baik dan buruknya seorang manusia. Sehingga agama mernurut Machiavelli berguna membangun dan membentuk sikap manusia menjadi tulus, taat, setia, patuh, dan bersatu. J.H. Rapar, Filsafat Politik,,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001,. hal., 467-470.

selalu menjadi wacana menarik sebagai bahan kajian, sejak dahulunya banyak pertarungan pemikiran antara para pemikir yang mengemukakan bahwa agama harus digabungkan dalam keselurahan aktivitas kehidupan dan pemikir-pemikir yang mengemukakan pemisahan antara agama dan kehidupan politik misalnya. Setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan idenya dalam rangka membangun masyarakat yang dicita-citakannya. Kepedulian seorang tokoh terhadap tanah kelahirannya dapat dilihat dari pemikiran, perjuangan dan tindakannya dalam mengartikulasikan ide-idenya.

Ide-idenya itu dipaparkan secara komprehensif dan meyakinkan. Argumen-argumen yang dibangunnya disampaikan, mulai dari filosopis sampai praktisnya. Sehingga ide-idenya tidak saja memperkaya wacana, namun dapat dijabarkan secara operasional. Hal itu dimungkinkan karena kapasitasnya sebagai intelektual dan negarawan.

Alangkah repotnya memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia tanpa mengenal Natsir. Dan adalah perbuatan yang sia-sia mengabaikan peran Natsir apalagi menutupi dengan sengaja maupun tersembunyi. Karena seperti kata orang bijak, kalau ingin mengenal sejarah, maka kenalilah ide dan gagasan pelakunya.


(7)

Natsir memang telah tiada, namun ia telah mewariskan ide dan gagasan pemikiran yang mahal dan langka. Semuanya telah tertuang dalam beberapa artikel yang jumlahnya tak terhitung.3

Tujuan perjuangan Natsir adalah berlakunya syariat ilahi untuk pribadi dan masyarakat yang tak bisa ditawar. Adapun negara hanyalah alat untuk terwujudnya suasana masyarakat tersebut. Dengan demikian negara hanyalah alat. Jadi, tak jadi soal apa pun namanya.

Islam jelas berpengaruh dalam fikiran dan perjuangannya.

4

Bagaimanakah pandangan Natsir tentang agama? Apakah dengan menjadikan agama sebagai ideologi berarti sama saja dengan mendirikan negara teokrasi? Apakah dengan menggunakan ideologi agama, maka akan menghianati Pancasila? Gagalkah Natsir dalam perjuangannya?

Pertanyaan-pertanyaan di ataslah yang melatarbelakangi penulis sehingga menjadikan tokoh Natsir sebagai hal yang sangat pantas dan menarik untuk diteliti. Alasan ini pula yang mendorong penulis, untuk menjawab pertanyaan seputar pemikiran Natsir terhadap persoalan agama, ideologi, dan negara sekaligus juga berusaha untuk memperluas pemikiran-pemikiran positif dari tokoh yang piawai dengan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

3

Kumpulan artikel Mohammad Natsir dalam Capita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

4

Lihat dalam pengantar Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.


(8)

1.1.1. Biografi Singkat Mohammad Natsir

Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang tak pernah kering meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda, bersekolah di Bandung dan terlibat dalam berbagai polemik intelektual di bidang keagamaan dan politik, ia selalu menjadi fokus perhatian orang.5

Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasa tentang Islam. Ia juga dengan sangat berani mengemukakan gagasannya yang sangat bertentangan dengan pemikir lain salah satunya adalah Presiden Soekarno.

6

Natsir lahir di Minangkabau, Alahan Panjang, Sumatra Barat 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta 5 Februari 1993.7 Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana, ibunya, Khadijah adalah ibu rumah tangga yang bijaksana8

Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol (AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.

dan kakeknya seorang ulama.

9

5

Ibid, hal. 1.

6

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia,, 1981. hal., 7.

7

Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1976. hal., 51.

8

Mohammad Natsir, (d) Op.cit., hal., 8.

9


(9)

Ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia tdak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetuai Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak 1932.10

Walaupun Natsir selalu ’menghendaki’ agama sebagai ideologi negara, akan tetapi ia berusaha menampilkan semangat ke-Islaman-nya dengan wajah terbuka dan lebih luwes. Ia adalah seorang politisi profesional diantara banyak pemikir.11

Namun dibalik temperamennya yang lemah lembut dan mudah tersenyum itu, sosok pribadi Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh. Ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orang-orang lain, ia terkesan terbuka dan malahan cenderung kompromistik, sejauh

Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.

10

Lihat dalam pengantar Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Op.cit.

11

G. H. Jansen, Islam Militan. Terjemahan oleh Armahedi Mahzar, Bandung: Pustaka, 1983, hal., 231, 272.


(10)

kemungkinan kompromi-kompromi itu memang dapat dicapai tanpa mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya.12

Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam musyawarah bersama

1.1.2. Selintas Pemikiran Politik Mohammad Natsir

Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.

13

, seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah

urusan mereka diputuslan dengan musyawarah!”.14

12

Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal.,. 1.

13

Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal., 139.

14

QS. Asy-syura (26): 38.

Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat Islam, dengan dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam sangat dinamis untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman. Dari sudut ini, ia jauh melampaui pemikiran Maududi atupun Ibu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif sistem pemerintahan negara Islam.


(11)

Kedinamisan pemikiran-pemikirannya itu dituangkan dalam beberapa periode. Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang menjadi pokok utama pemikiran Natsir. Yaitu periode 1930-1940, periode pasca kemerdekaan, dan periode konstituante.15

Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni UUD bagi negara Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam akal pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negeri ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas sendi-sendi yang pokok.

Berbicara tentang negara, Natsir berpendapat bahwa negara adalah suatu ‘institution’ yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum.

Negara harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Karena itu, dasar pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan maupun kolektif.

16

15

Mohammad Natsir (d), Op.cit.., hal., 13-14.

16

Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001(c), hal., 198, 200.


(12)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya ”Bagaimanakah Pandangan Mohammad Natsir mengenai, wacana tentang Islam sebagai ideologi negara?”

1.3. Pembatasan Masalah

Masalah penelitian ini akan dibatasi pada salah satu bidang pemikiran Natsir yaitu:

”Pandangan Mohammad Natsir mengenai Islam sebagai ideologi negara”

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Di sini dijelaskan tujuan penelitian yang merupakan sasaran progmatisnya (bukan kegunaan menurut isi),taraf kemajuan dan kebaruan yang ingin dicapai dengan penelitian tersebut.

1.4.1. Tujuan penelitian

a. Ingin mempelajari karya pemikiran Natsir lebih mendalam tentang hubungan Islam sebagai agama dalam bernegara dan menjelaskan pandangan yang dikemukakan oleh Natsir tentang masalah-masalah yang diusungnya secara terperinci dan alternatif pilihan jalan yang dituangkannya dalam aksi-aksi politiknya

b. Mengkritisi secara objektif terhadap pemikiran tokoh, ketepatan dan kesalahannya dengan kondisi realitas masyarakat saat ini dan menggali sejarah perkembangan pemikiran politik di Indonesia pada awal kemerdekaan.


(13)

1.4.2. Manfaat Penelitan

a. Menjadikan salah satu acuan dalam menjalankan kehidupan bernegara bagi masyarakat khususnya umat Islam.

b. Memperkaya wawasan tentang pemikir-pemikir Islam yang jarang dibahas secara teoritis baik dikampus atau di forum-forum resmi.

c. Menjadi bahan rujukan bagi almamater, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik.

d. Memahami bagaimana Natsir medudukkan Islam sebagai ideologi dalam kehidupan bernegara dan mengetahui pertarungan pemikiran antara golongan pada awal kemerdekaan dalam penentuan ideologi negara.

1.5. Tinjauan Pustaka

Menurut Yusril Ihza Mahendra agama yang diterjemahkan Natsir cenderung penafsiran doktrin sosial politik Islam secara elastis dan fleksibel, karena doktirn memberikan pemahaman yang bersifat umum dan tidak secara terperinci maka ijtihad harus digalakkan. Setiap zaman berbeda maka ijtihad ulama dahulu dapat diperbaharui sesuai tuntutan zaman, Natsir menyimpulkan bahwa Islam merupakan aliran pemikiran Theistic Democracy yaitu demokrasi yang berlandaskan ketuhanan dimana keputusan mayoritas rakyat harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.17

17

Yusril Ihza Mahendra “Mohammad Natsir dan Sayyid Abul A’ala Maududi, Telaah Tentang Dinamik Islam dan Transformasinya ke Dalam Ideologi Sosial Politik”. Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal., 63-74.


(14)

Taufik Abdullah berpendapat bahwa sosok Natsir seorang idealis dalam arti bukan pemimpi, akan tetapi idealis dalam pengertian filosofis, yakin dalam kesadaran iman dan tauhid. Karena itu dia mengatakan peneguhan iman, aqidah dan lainnya, penguatan inilah yang menjadi dasar masyarakat dalam kehidupan bernegara.18

Menurut penggiat Masyumi Zainal Abidin Ahmad, Natsir memandang keterlibatannya secara langsung dalam kekuasaan negara sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Melalui cara demikian hukum-hukum Allah tidak hanya keluar dari mulut para alim ulama di mimbar mesjid, akan tetapi juga keluar dari pegawai pemerintahan dalam bentuk undang-undang.19

Tarmizi Taher juga menyatakan bahwa Natsir merupakan sedikit diantara manusia Indonesia yang multi dimensional dan begitu kompleks. Natsir muslim yang mampu secara intelektual memiliki warisan pemikir Islam, dia mampu mengamalkan nilai-nilai ke-Islamannya dan memadukan dengan wacana pemikiran timur dan barat. Meskipun secara politis Natsir kalah dalam memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara secara konstitusional, dia menerimanya dengan lapang dada dan sebaliknya dengan ikhlas menerima Pancasila sebagai ideologi. Disini Natsir nampaknya sampai kesimpulan, tidak ada pertentangan antara Islam dengan Pancasila, sila-sila yang ada didalamnya selaras. Karena itu tidak perlu dipertentangkan lagi, kegigihan Natsir membela dan menjelaskan Pancasila kepada masyarakat Internasional disetiap kunjungan mancanegaranya merupakan bukti nyatanya.

20

18

Taufik Abdullah. “Diskusi Tentang Agama dan Kebangsaan”, ibid, hal., 45.

19

Ahmad Zainal Abidin, Masjoemi: Partji Politiek Islam Indonesia, Pematang Siantar, 1946, hal 15-16.

20


(15)

Sedangkan menurut Miriam Budiardjo tentang pola hubungan agama dan negara juga sangat penting sebab apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam, apakah dalam Islam diajarkan atau dituntut agar mendirikan negara atau tidak, pada kenyataannya uamat Islam membutuhkan sebuah sistem ketatanegaraan yang Islami. Untuk mengamankan suatu kebijaksanaan dipertukan suatu kekuatan (institusi politik), dalam menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian misalnya, diperlukan suatu kekuasaan apakah itu organisasi politik atau negara. Jika kebijaksanaan itu mengacu pada penegakan ajaran Islam maka perangakat pengaturannya keamanannya seharusnya yang Islami pula, alangkah kurang tepatnya jika dalam menegakkan prinsip-prinsip Islam tetapi menggunakan sistem non-islami.21

Berbeda dengan Ahmad Wahid yang mengatakan aturan itu bukan mutlak adanya, yang pokoknya dalam Islam adalah bagaimana seorang muslim bisa menjadikan Islam sebagai nafas pribadinya. Kumpulan pribadi ini nantinya akan menjadi suatu kelompok yang membawa ideologi dan meluaskannya sampai batas agama.

22

Penerjemahan dalam melakukan tujuan perjuangan tidaklah sesempit terciptanya negara Islam, terciptanya negara Islam tanpa adanya internalisasi nilai-nilai Islam itu sendiri menjadikan suatu kontradiksi dalam menjalankan kehidupan sosial. Internalisasi nilai inilah yang terpenting daripada terbentuknya suatu negara, internalisasi nilai sering dimaknai dengan iman yaitu diucapkan dengan kata-kata, dipahami secara jelas adalam diri, dan dilakukan dengan perbuatan.

21

Miriam Budiardjo, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1983.

22

Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 1981, hal., 79.


(16)

Apakah dan bagaimanakah ide seorang muslim itu? Amat luas dan lebar keterangannya kalau ingin dijabarkan. Tetapi dapat disimpulkan dalam satu kalimah dalam Al-Quran yang artinya: ”tidaklah aku jadikan jin dan manusia,

hanyalah untuk mengabdi kepadaku”.23

23

QS. Addazarijat (51): 56

Jadi, seorang hidup di dunia ini adalah dengan menjadi hamba Allah dengan yang arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan di akherat. Dunia dan akhirat ini sekali-kali tidak mungkin di pisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.

Perbedaan antara konsep negara Islam dan konsep tatanan masyarakat Islam adalah jika dalam konsep negara Islam, politik dan agama adalah bagian-bagian dari suatu totalitas Islam. Sedangkan dalam konsep tatanan masyarakat Islam, politik hanyalah pengungkapan sampingan daripada semangat Islam. Jadi konsep negara Islam lebih Islami dibanding konsep tatanan masyarakat Islam.

Natsir lebih menyukai negara Islam, karena menurutnya untuk menyusun suatu tatanan masyarakat dibutuhkan suatu negara. Disebut apa kepala negara Islam itu tidaklah menjadi persoalan, yang lebih penting adalah adanya hak rakyat untuk mendaulatnya, bahkan dengan kekerasan bila memang diperlukan. Kepala Negara harus bermusyawarah dengan ’mereka yang patut diajak bermusyawarah’. Bagaimana bentuk sistem permusyawaratannya, itu urusan rakyat yang bersangkutan. Bisa saja permusyawaratan itu dengan segala orang atau dengan suatu parlemen yang terdiri dari wakil-wakil partai. Walaupun begitu, Natsir merasa bahwa sistem parlemen barat tidaklah cocok untuk negara-negara yang bukan barat.


(17)

Dia bertanya ’Apakah Islam itu demokrasi?’, dijawabnya sendiri, ’Islam bukan seratus persen demokrasi, dan Islam bukan pula seratus persen otokrasi. Islam adalah Islam. Sebuah negara Islam akan melarang semua yang dilarang oleh Al-Quran: minuman keras, perjudian, pencurian, pelacuran, tahyul dan syirik.24

Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan hukum- hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal. Artinya ia menganggap perlu adanya kekuasaan pemaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk, dalam batas-batas tertentu, memaksa individu untuk patuh dan taat pada hukum-hukum yang telah ditetapkan.25

Masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari banyak menggunakan otoritas ketuhanan yang diturunkan dalam agama melalui al-qur’an dan hadis. Orang melakukan pencurian misalnya bukan takut kepada hukum-hukum pidana,

Islam menanamkan nilai-nilai kebaikan sampai membentuk suatu akar yang kuat dari keseluruhan ajarannya bersumber kepada tauhid. Tauhid yang memiliki makna keyakinan terhadap Tuhanlah yang memiliki otoritas kedaulatan yang dominan diatas kedaulatan-kedaulatan lainnya.

24

G. H. Jansen, Op.cit., hal., 250-252.

25


(18)

karena jelas masyarakat banyak yang tidak paham akan hukum pidana tersebut. Ketakutan mereka untuk tidak melakukan itu dikarenakan ketauhidan yang mereka miliki dimana ketika itu dilakukan maka akan melanggar hukum-hukum Allah. Inilah mengapa Natsir bersikeras mengemukakan Islam sebagai Ideologi, jika tidak ada yang membatasi secara jelas mana haram dan halal mungkin suatu negara akan hancur secara perlahan-lahan.

Batasan wilayah yang besar, jumlah penduduk yang beragam akan memperumit aparat pemerintah dalam menegakkan hukum-hukum yang ada. Sedangkan dengan ketauhidan masyarakat akan tersadarkan sendiri dalam pola tingkah laku kesehariannya, berdampak pada keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga pada titik ketauhidan yang tinggi tidak perlu adanya negara, sementara dalam mengawali perjuangan mencapainya peran negara sebagai lembaga formal masih diperlukan. Atas landasan inilah Natsir melakukan perjuangan politik secara kelembagaan dengan memakai nilai-nilai ketauhidan.26

1.6. Metodologi Penelitian

Salah satu jenis penelitian pemikiran Islam adalah (penelitian biorafi atau studi tokoh) yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang tokoh dalam hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pemikiran dan ide serta pengaruh pemikirannya dan idenya dalam perkembangan sejarah.

26

Mohammad, Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Pidato di Depan Sidang Majelis Konstituante Untuk Menentukan Dasar Negara RI, 1957-1959), Bandung: Sega Arsy, 2004 (d), hal., 72-78.


(19)

1.7. Jenis Penelitian

Penelitian studi tokoh, seperti yang dikatakan Arief Furchan dan Agus Maimun, dikategorikan ke dalam jenis penelitian kualitatif,27

Pada umumnya, penelitian kualitaif ini tidak mempergunakan angka atau nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi, dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.

yaitu suatu penelitian yang membahas tentang konsep-konsep, ide dan pemikiran dari suatu masalah yang akan di bahas.

28

27

Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal., 16.

28

Bruce A. Chodwick, Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk), Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKIP Semarang Press, 1991, hal., 234-243.

1.8. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian studi tokoh dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan:

1.8.1. Inventarisasi (data primer)

Mengumpulkan karya-karya seorang tokoh yang akan diteliti, baik secara pribadi maupun karya bersama (antologi) mengenai topik yang sedang dititi (sebagai data primer). Kemudian dibaca dan ditelusuri karya-karya lain yang dihasilkan tokoh tersebut, mengenai bidang lain. Sebab biasanya seorang tokoh pemikir mempunyai pemikiran yang memiliki hubungan organik antara satu dengan yang lainnya.


(20)

1.8.2. Data sekunder

Menelusuri karya-karya pemikir yang lain mengenai Natsir atau mengenai topik bahasan yang diteliti. Data sekunder ini dicari dalam ensiklopedi, buku sistematis dan tematis. Sebab dalam buku itu biasanya ditunjukkan pustaka yang lebih luas.

1.9. Metode Analisis Data

Beberapa metode yang digunakan dalam analisis data penelitian tokoh.

1.9.1. Interpretasi

Interpretasi dimaksudkan sebagai upaya tercapainya pemahaman yang benar terhadap fakta, data dan gejala. Interpretasi merupakan landasan bagi

hermeneutika.29 Zygmunt Bauman menjelaskan bahwa hermeneutik adalah upaya

menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan dan tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan pendengar atau pembaca.30

29

Hasan Sutanto, Hermeneutik, Prinsip, dan Metode Penafsiran Kitab, (Malang: Seminari al-Kitab Asia Tenggara, Malang, 1989), kata ini merujuk pada dewa Hermes yang bertugas menyampaikan berita (pesan) dari sang Maha Dewa kepada manusia.

30

Zygmunt Bauman, Hermeneutics and Social Science, New York: Calubia University Press, 1978, hal., 7.

Hermeneutika yang dimaksud penulis di sini adalah understanding process

of understanding (Proses pemahaman terhadap sebuah pemahaman).

Hermeneutika dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Pertama, menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Kedua, mengukur seberapa jauh dicampur subjektifitas terhadapi interpretasi objektif yang diharapkan, dan Ketiga, menjernihkan pengertian.


(21)

Dalam suatu interpretasi, penulis menggunakan Emik dan Etik. Emik adalah data-data, kalimat-kalimat dan teks, sebagaimana dipahami pemikir yang merupakan perumusan kalimat seorang tokoh terhadap masalah yang dipahaminya. Sedangkan Etik adalah pemahaman penulis sendiri terhadap pemikiran (data, kalimat, teks dan rumusan)31 tokoh yang diteliti.

1.9.2. Induksi dan deduksi

Pada setiap penelitian terdapat penggunaan induksi dan deduksi. Induksi secara umum dapat diartikan sebagai generalisasi kasus-kasus dan unsur-unsur pemikiran tokoh dianalisis, kemudian pemahaman yang ditemukan di dalamnya dirumuskan dalam statemen umum (generalisasi). Sedangkan deduksi dipahami sebagai upaya eksplisitasi dan penerapan pikiran-pikiran seorang tokoh yang bersifat umum.

1.9.3. Koherensi intern

Agar pemikiran tokoh dapat dipahami secara tepat, maka seluruh konsep dan aspek-aspek pemikirannya dilihat menurut keselarasannya satu dengan yang lain. Selain itu ditetapkan pula inti pikirannya yang paling mendasar dan topik-topik yang paling sentral. Demikian juga diteliti susunan logis sistematis dalam pemikiranya agar ditemukan muatan pemikirannya yang paling substansial.

31

Dalam kaitan ini penulis mencoba menginterpretasikan teks yang terdapat di dalam sumber data utama (buku/tulisan/catatan) yang ditulis secara langsung oleh Mohammad Natsir dan juga sumber data sekunder berupa catatan orang lain mengenai pemikiran Mohammad Natsir. Melalui metode ini penulis berupaya menjelaskan apa makna dari tafsir teks-teks dalam sumber data utama maupun sumber data sekunder tersebut, sehingga penulis dapat mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam teks. Dari referensi yang penulis kumpulkan tentang Natsir, ada beberapa referensi yang berisi pidato-pidato Natsir. Jadi, penulis berusaha menginterpretasikan pidato Natsir tanpa menghilangkan keasliannya.


(22)

1.9.4. Kesinambungan historis

Dalam melakukan analisis dilihat benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikirannya, baik lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh yang dialaminya maupun perjalanan hidupnya sendiri, karena seorang tokoh adalah anak zamannya. Untuk melihat latar belakang internal, diperiksa riwayat hidup tokoh, penddikannya, pengaruh yang diterimanya, relasi dengan pemikir-pemikir sezamannya, dan segala macam yang membentuk pengalamannya. Demikian juga diperhatikan perkembangan intern dalam tahap-tahap pemikirannya. Untuk melihat latar belakang eksternal, diselidiki keadaan khusus zaman yang dialami tokoh, dari segi ekonomi politik budaya dan intelektual.32

32

Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Jakarta: Istiqomah Mulya Press, 2006, hal., 59-64.


(23)

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD NATSIR

2.1. Masa di Kampung Halaman.

Natsir nama yang tidak asing bagi rakyat Indonesia, apalagi umat Islam khususnya kaitannya dengan perkembangan organisasi Islam di Indonesia. Organisasi Islam di Indonesia memiliki fase-fase dalam perkembangannya mulai dari Sarikat Dagang Islam yang dipimpin oleh Tjokro Aminoto sampai Partai Keadilan Sejahtera yang menyatakan sebagai organisasi Islam penyambung aspirasi umat. Zaman revolusi kemerdekaan bagian penting dari sejarah suatu bangsa, titik awal membangun cita-cita bersama dalam bernegara demi terciptanya tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Ideologi negara merupakan sebagai landasan segenap rakyat Indonesia dalam melakukan sikap, perkataan, dalam menjalani kehidupan sosialnya. Dalam masa pergolakan penentuan ideologi bangsa Indonesia inilah Natsir cukup dikenal, karena ketokohannya maka perlu menampilkan kembali biografinya sebelum memahami secara mendalam tentang pemikirannya.

Natsir merupakan orang yang berada dalam ketokohannya meskipun seluruh jabatan formal tidak disandangnya lagi. Hal ini dapat dilihat tidak berubahnya penghormatan yang diberikan masyarakat terhadapnya, sampai akhir hayatnya Natsir dikenal sebagai salah seorang pemimpin umat dan bangsa yang cukup disegani baik dari kalangan dalam negeri maupun dari kalangan luar negeri.


(24)

Natsir dilahirkan di sebuah desa bagian barat Indonesia, terkenal dengan kultur agama Islam yang kental dalam kehidupan sosialnya. Desa Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Propinsi Sumatera Barat, pada hari Jum’at tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908. Ibunya bernama Khadijah, sedangkan ayahnya bernama Mohammad Idris dengan gelar Sutan Saripado. Ayahnya adalah seorang pegawai rendahan sebagai juru tulis dikantor kontroler di Maninjau yang kemudian menjadi sipir di Bekeru (Sulawesib Selatan). Adapun gelar yang diberikan kepada Natsir adalah Datok Sinaro Panjang, gelar pusaka diberikan kepada Natsir setelah menikah dengan Nurnahar pada tanggal 20 Oktober 1934. Gelar tersebut merupakan gelar adat yang diberikan kepada seseorang setelah menikah dan berlaku secara turun temurun.1

Kekentalan Islam dalam kehidupan sosial masyarakat di Minangkabau dan banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional, mengingatkan kita pada negeri kelahiran Natsir. Thohir Luth mengatakan bahwa Ranah Minang atau Minangkabau pada awal abad ke-20 dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang menjadi tempat kelahiran tokoh-tokoh Islam ternama. Mereka menjadi tokoh nasional diberbagai aspek seperti Syahrir dibidang politik, Hamka dibidang pendidikan, Hatta dibidang ekonomi, Tuanku Imam Bonjol, Agus Salim dan Natsir dibidang Agama, dan lain sebagainya.

2

Sumbangsih putra-puta Minangkabau kepada ibu pertiwi tidak perlu dipertanyakan lagi, hal tersebut memiliki dampak positif bagi proses pembaharuan Islam yang cukup lama telah berkembang di Indonesia. Abdul Aziz

1

Yusuf, A. Puar, M. Natsir 70 Tahun Kenang – Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta: Antara, 1978, hal., 4.

2


(25)

Thaba dalam analisisnya menyebutkan pada awal abad ke-20, gerakan pembaharuan kembali melanda Minangkabau dengan tiga pelopornya yaitu : Djamil Djambek (1860-1942), Haji Abdul Ahmad (1878-1933) dan Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945) yang terakhir ini berhasil mendirikan dan mengembangkan Thawaliq Padang Panjang. Perlu juga dicatat peranan Syekh Ahmad Khattib seorang tokoh kontrovesional, ia pernah merantau ke tanah suci Mekkah kemudian menjadi Imam besar Masjidil Haram. Kelak dia menjadi guru dari tokoh pembaharu Islam di Indnesia seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Hasbullah, dan Bisri Syamsuri.3

Natsir mempunyai tiga orang saudara yaitu Yukinan, Ruhiah dan Yohanusun. Sosialisasi keagamaan dan intelektual Natsir banyak dilalui dikampung halamannya. Institusi pendidikan agama yang dilalui tidak ada kekhususan atau keistimewan dalam proses belajar dimasa kecilnya, sebab ayahnya seorang pegawai rendahan. Meskipun denikian Natsir mendapatkan kemudahan untuk dapat bersekolah di Sekolah Dasar Belanda, pendidikan keagamaannya dilalui dengan berguru pada alim ulama dikampungnya. Usia 18 tepat tahun 1926 Natsir berkeinginan untuk melanjutkan sekolah HIS Belanda, keinginannya tidak terwujud dikarenakan status pekerjaan ayahnya yang tidak

Kondisi historis yang demikanlah melatar belakangi sosok Natsir menjadi seorang tokoh besar yang memiliki karekteristik berbeda dimana dia seorang politisi ulung sekaligus seorang da’i.

3

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal., 131.


(26)

Memiliki kedudukan khusus, akhirnya dia melanjutkannnya disekolah HIS Adabiyah di Padang.4

Natsir belajar di Padang tidak sampai dengan tamat dikarenakan ayahnya memindahkannya ke HIS Solok. Disekolah inilah Natsir mulai belajar bahasa Arab dan Fiqih kepada tuanku Mudo Amin, seorang pengikut dan kawan Haji Rasul, Natsir menamatkan pendidikan HIS dan Madrasah Diniyah di Solok, dia juga mengikuti pelajaran secara teratur di Padang yang dibimbing oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang.

Jarak Solok ke Padang memang tidak begitu jauh, tetapi ini membuat Natsir untuk hidup mandiri dikarenakan telah berpisah dengan keluarga. Hari-hari pertama dia menjalaninya cukup membuat kelelahan, memasak sendiri, mencuci pakaian dan mencari kayu bakar. Kemandirian inilah yang membuat Natsir memiliki kesederhanaan nantinya walaupun dia memilliki jabatan paling tertinggi di pemerintahan Indonesia. Kebahagian bukan didapat atas kemewahan harta yang melimpah ruah, kebahagiaan didapat dari keadaan dimana hati terpuaskan tanpa adanya tekanan , bebas, berani mengatasi kesulitan hidup, tidak menyerah pada keadaan, tidak mudah berputus asa, dan percaya dengan potensi yang ada pada diri sendiri.

5

4

Thohir Luth, Op. cit., hal., 27.

5

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, hal., 100. Dari keterangan diatas dapat dilihat bagaimana Natsir telah mendapatkan dasar-dasar pemikiran pembaharuan Islam, minat inilah yang nantinya berkembang secara pesat dalam pemikirannya hingga berada di Bandung negeri perantauan pertamanya.


(27)

Setelah selesainya pendidikannya di Solok Natsir diajak kakaknya Rubiah ke Padang dan tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Natsir aktif di kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler, tapi fokus utamanya kegiatan kurikuler MULO, dia masuk anggota Pandu Nationale Islamistizche Paviderij sejenis pramuka sekarang dan Jong Islamiten Bond (JIB) Padang yang diketuai oleh Sanusi Pane.6

Sejak belajar di AMS Bandung, Natsir mulai tertarik pada pergerakan Islam dan mulai belajar politik di perkumpulan JIB sebuah organisasi pemuda Islam. Anggota – anggotanya adalah pelajar-pelajar Bumi Putera yang bersekolah di sekolah Belanda, organisasi ini mendapatkan pengaruh intelektualnya dari Haji Agus Salim. Hal yang cukup baik bagi orang muda seperti Natsir telah banyak mengenal dan berinteraksi bersama tokoh-tokoh nasional, pada masa itu juga

2.2. Masa keaktifan di JIB dan Persis.

Organisasi merupakan sebagai tempat belajar pelengkap dari yang didapat didalam kelas, kegiatannya begitu banyak di organisasi menunjukkan keuletannya dalam manajemen organisasi, tidak mengherankan nantinya Natsir juga terkenal sebagai seorang administrator ulung. Tamat dari MULO Natsir kemudian melanjutkan sekolah ke Algemene Middelbare Schol (AMS) afdelling A di Bandung hingga tamat pada tahun 1930. AMS awal Natsir berproses dalam pematangaan cakrawala berpikirnya, dikota ini dia bertemu dengan seorang aktivis pendiri Persis yang diakui Natsir nantinya sebagai orang berpengaruh dalam pemikirannya bernama Ahmad Hasan.

6


(28)

keinginan belajar agama semakin menguat dan resmi jadi anggota JIB cabang Bandung. Keseriusannya di JIB membuahkan hasil sebuah kepercayaan kawan-kawannya dengan mengangkatnya sebagai ketua periodesasi 1928-1932, di organisasi inilah Natsir total aktif dan total mengasah kemampuan politiknya sesuai dengan garis perjuangan JIB.

Natsir juga aktif dalam sidang Jum’at yang dilakukan secara teratur oleh Persis, kedekatan secara emosional tentu terbangun dengan sendirinya, ditambah lagi keikutsertaan Natsir dalam kelas khusus yang diselenggarakan Hassan untuk anggota-anggota muda Persis. Natsir tentu mendapatkan tempat dimana dia bisa memecahkan berbagai keresahan yang ada pada dirinya tentang problema bangsa. Disamping aktif di JIB Natsir juga memasuki periode keaktifan di organisasi Persis, Persis adalah organisasi ang didirikan pada tahun 1920-an yang dipelopori oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.

Dalam bukunya Abdul Aziz Thaba mengatakan, perhatian utama mereka adalah penyebaran cita-cita dan pemikirannya melalui khutbah, ceramah, diskusi, pendirian sekolah, penyebaran pamflet, penerbitan majalah dan penerbitan buku-buku. Kegiatan bertumpu pada tiga hal: tabligh, pendidikan dan publikasi yang menggunakan methode perdebatan dan polemik.7

Melalui majalah Pembela Islam Natsir banyak memberikan kontribusi pemikirannya, dalam majalah tersebut dia menuangkan pemikirannya dan

Persis merupakan organisasi Islam yang kritis pada zamannya, Natsir banyak memperoleh pemahaman Islam modern disini, di Persis juga dengan leluasa menyalurkan pemikiran kritisnya tentang ke-Islaman.

7


(29)

mendapat pro dan kontra tidak hanya dari kalangan Islam akan tetapi dari luar Islam juga, pendeta Christoffes misalnya pernah memberikan tanggapan terhadap tulisan Natsir.8

Natsir mempunyai motivasi terjun ke duni a pendidikan dengan Persis dimana cita-cita dan pemikiran membangun suatu sistem pendidikan yang sesuai hakikat ajaran Islam. Motivasi ini muncul sebab sistem yang berlaku terdapat kepincangan dari Kolonial Belanda dan sitem pendidikan Indonesia sendiri dalam pesantren dan madrasah yang tidak memenuhi kebutuhan masyarakat zaman itu, pendapat ini dikemukakan oleh Yusuf A. Puar.

Persis memang merupakan organisasi Islam yang cukup kritis, kelemahannya terletak pada kerapian organisasi. Kegiatan Persis dalam pengembangan wacana kritisnya begitu memperkaya pemahaman baru bagi masyarakat dimana Natsir terlibat langsung. Pertama, kegiatan penerbitan dan publikasi jurnalistik, maka terbitlah majalah Pembela Islam, majalah Al-Fatwa yang hanya membicarakan seputar agama tanpa ada tendensi politik dan tanya jawab agama. Kedua, da’wah yang mana Natsir mempunyai andil besar secara organisatoris terhadap Persis dan dakwah Islam secara keseluruhan. Ketiga, dibidang pendidikan dengan berdirinya sekolah Pendidikan Islam yang didirikan anggotanya A.A. Banama, dimana sekolah ini dipimpin Natsir dan kemudian dua tahun berikutnya Persis mendirikan Kweekschool di Bandung.

9

Keaktifan Natsir bersama kawan-kawannya di Persis di bidang Pendidikan menunjukkan mereka salah satu pelopor pendidikan modern Islam di Indonesia. Natsir menggagas sistem pendidikan yang bersifat tanggap dalam mengantisipasi

8

Thohir Luth, Op.cit., hal., 33.

9


(30)

masalah-masalah sosial masyarakat termasuk masalah pendidikan pada lemabag dan madrasah. Secara pribadi keterlibatan di Persis tentu menjadi sebuah proses pematangan Natsir secara intelektualitas, keterlibatannya disini menjadikan dia menjadi seorang yang kritis dan aktif dalam berbagai kegiatan keislaman sedangkan keaktifan di JIB telah memberikan kematangan secara keorganisasian dan politik.

2.3. Masa Membangun Islam Bersama Masyumi.

Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) berdiri pada tanggal 17 November 1945 melalui Kongres Nasional Umat Islam di Yogyakarata yang diketuai Sukiman, dulunya orang-orang didalamnya aktif di Majelis Islam A’la Indonesia. Natsir termasuk pelopor terbentuknya Masyumi, bahkan dia juga menjabat sebagai staf ketua sampai Masyumi dibubarkan pada masa pemerintahan Soekarno. Keterlibatan Natsir di partai Masyumi inilah yang mengantarkannya sebagai politisi sekaligus seoarang negarawan, setelah Natsir dipercaya menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sementara pada masa pemerintahan Sutan Sjahrir dia diangkat sebagai Menteri Penerangan.

Masyumi ini berbeda dengan Masyumi yang pernah dibentuk oleh Pemerintahan Jepang pada akhir tahun 1943, Masyumi bentukan Jepang ini hanya terbuka bagi perserikatan-perserikatan yang telah diberi status hukum oleh pemerintahan militer. Kiai dan ulama yang telah mendapat persetujuan dari pemeritahan bisa menjadi anggota, diperparah lagi mereka dibawah kontrol pemerintahan Jepang. Dengan demikian Masyumi bentukan Jepang tentu saja bertujuan untuk memuluskan kepentingan Jepang, sementara Masyumi yang


(31)

dibentuk pasca kemerdekaan adalah organisasi politik yang berdiri tanpa campur tangan luar dan menadapat sambutan baik dari oraganisai Pergerakan Islam Nasional maupun sosial keagamaan. 10

Masyumi dalam perjalanan programnya ternyata memiliki persoalan internal, karena pada Juli 1947 salah satu organisasi pendukungnya yaitu PSII keluar dan meninggalkan Masyumi untuk kembali menjadi partai politik independent. Alasan kenapa memilih untuk keluar dari Masyumi juga tidak dijelaskan secara terperinci, kondisi perpecahan ini juga diperparah dengan keluarnya NU mengikuti PSII pada tahun 1952. NU merupakan organisasi Dalam Masyumi terdiri dari beberapa oraganisai Islam antara lain: Muhammadiyah, Persis, Nahdhatul Ulama, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Natsir terlibat di Masyumi dari awal berdirinya dan tahun 1949 sampai tahun 1958 dia terpilih sebagai orang nomor satu di partai Masyumi. Komitmen Natsir yang kuat terhadap Islam dan berbagai kegiatan organisasi yang menjadikan Islam sebagai komitmen dalam perjuangan, hal inilah yang juga membuat Natsir berada di Masyumi.

Perjalanan melakukan perubahan sesuai dengan cita-cita bersama didalam Masyumi ternyata tidak semulus dalam pemikiran para penggagasnya. Cita-cita bersama dalam membangun bangsa Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, tersendat di perjalanan perjuangan. Persoalan-persoalan yang timbul bukan persoalan yang datang dari luar layaknya Masyumi buatan Jepang dimana diintervensi oleh pemerintah Jepang akan tetapi persoalan timbul dari internal Masyumi sendiri.

10


(32)

masyarakat terbesar pendukung Masyumi, keluarnya NU diduga karena pemimpin keagamaan (sebagian besar anggota NU di Masyumi diturunkan kedudukannya hanya sebagai penasehat) sedangkan pengurus besarnya dipegang ormas-ormas lain. Penyebab lainnya adalah perebutan jabatan Menteri Agama Kabinet Wilotopo pada tahun 1952 dimana Fakih Usman (Muhammadiyah) dipilih sebagai Menteri Agama bukan Wahid Hasyim yang diharapkan para pemuka NU.11

Keberhasilan Natsir dalam mewacanakan mosi integral ternyata masih menyimpan cita-cita yang lebih besar yaitu bagaimana menjadikan Islam sebagai

Sikap yang diambil PSII untuk keluar dari Masyumi tidak membawa dampak besar sebab massa PSII memang tidak cukup besar, berbeda dengan keluarnya NU dampaknya sangat terasa sebab NU merupakan massa pendukung terbesar Masyumi.

Natsir selaku pimpinan Masyumi saat itu tentu mengalami perpecahan dengan mitranya yang merintis Masyumi dari awal berdirinya. Kelihaian Natsir diuji disaat itu sebagai seorang pemimipin untuk mengakomodir dan menyelesaian perbedaan yang bisa berakhir dengan perpecahan.

Mosi integral yang diajukan Natsir dalam menyelamatkan Republik Indonesia dengan jalan konstitusi menjadikan debut politik amat cemerlang baginya. Dalam mengajukan gagasan mosi integral ini Natsir tentu melakukan perjuangan yang cukup menguras tenaga, lihat bagaimana dia harus melakukan pendekatan terhadap oragnisasi politik dan organisasi masyarakat . PKI sebagai organisasi barisan kiripun tidak luput untuk didekati, pertemuaan Natsir dengan Sakirman yang mewakili PKI misalnya tetap berjalan dengan baik.

11


(33)

landasan atau dasar negara , perjuangan in dilakukannya bersama Masyumi. Dalam pidatonya yang berjudul “Islam Sebagai Dasar Negara” Natsir mengatakan bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan yaitu sekulerisme (la diniyah) atau paham keagamaan (dini). Sedangkan Pancasila menurut pendapatnya adalah la diniyah sebab itu Pancasila sekuler karena tidak mengakui wahyu sebagai sumber, bisa dikatakan Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat.

Sesuai dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Natsir, mengajak masyarakat untuk melihat bahwa Islam sebagai agama anutan mayoritas masyarakat Indonesia. Tentu dengan posisi mayoritas anutan masyarakat menjadikan Islam memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia, sebab itu menjadikan alasan yang kuat menjadikan Islam sebagai dasar negara. Argumentasi lain mengapa partai-partai Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, menurut Natsir karena ajaran Islam mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat juga menjamin keragaman hidup antara berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi.12

12

Thohir Luth, Op.cit., hal., 49.

Keyakinan yang ditanamkan Natsir dalam dirinya bahwa Islam sajalah yang membuat kemajuan bangsa Indonesia menuju kehidupan sosial masyarakat yang damai, adil dan sejahtera. Perjuangan mengaplikasan Islam sebagai dasar negara tidak semudah perjuangan mosi internal, persoalan dasar negara harus Islam, Pancasila atau lainnya mengalami perdebatan panjang di konstituantae sejak November 1956 sampai dengan Juni 1959 akhir dari perdebatan ini tanggal 2 Juni 1959 tan adanya satu keputusan.


(34)

Pihak pemerintah membaca situasi ini sebagai suatu kemacetan konstitusi yang serius, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno dengan sokongan penuh pihak militer mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 dan sekaligus membubarkan Majelis Konstituante yang dipilih rakyat. Situasi tersebut tentu menjadikan suatu guncangan tersendiri bagi umat Islam baik secara politis maupun secara psikologis.13

13Ibid

, hal., 51.

Dekrit yang dikeluarkan Soekarno membuat dia menggenggan pimpinan yang memilki kekuasaan secara politis, dimana kekuasaan tersebut tanpa tapal batas dan sejak itulah setiap usulan mengganti dasar negara dengan Islam selalu dilemahkan. Soekarno menggunakan kesempatan pada posisi pemegang tampuk kekuasaan teringgi untuk meminimalisir wacana menghidupkan ideologi Islam. Pada tanggal 31 Desember 1959 Soekarno menetepkan kebijakan Penetapan Presiden (Penpres) No. 7/ 1959 yang mengatur kehidupan dan pembubaran partai, selanjutnya dikeluarkan pula Keputusan Presiden (Kepres) No. 200/ 1960 yang secara resmi memerintahkan pembubaran Masyumi dan PSI yang diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1960

Pembubaran Masyumi tidak lepas dari keterlibatan para pimpinan dan anggotanya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. PRRI dibentuk sebagai bagian proses pembentukan kabinet Djuanda yang tidak konstitusional serta terlalu tolerannya pemerintah pusat terhadap komunis, memfokuskan pembangunan hanya kedaerah Jawa tanpa memperhatikan daerah diluar Jawa.


(35)

2.4. Penguatan Islam Melalui Da’wah.

Bubarnya Masyumi membuat Natsir membuka lembaran baru dalam memperjuangan nilai-nilai Islam yang Rahmatin Alamin, metode perjuangan yang digunakannya sebagai juru da’wah. Kesulitan untuk membangun kembali Masyumi membuat Natsir dan para aktifis yang aktif di Masyumi dulunya membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia(DDII) pada tanggal 26 Februari 1967, lembaga ini didirkan atas dasar kesepakatan beberapa alim ulama pada pertemuan halal bi halal di Jakarta.

Pada periode pertama yayasan ini dipimpin oleh Natsir sebagai ketua, H.M. Rasyidi sebagai wakilnya, sekretaris I dan II masing-masing H. Buchari Taman dan H. Nawari Duski, serta bendahara H. Hasan, dengan beberapa anggota yaitu: H. Abdul Malik Ahmad, Prawoto Mangkusasmito, H. Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, Desnan Raliby dan Abdul Hamid.14

Selama perjalanannya DDII tidak terlepas dari sosok Natsir, prinsip-prinsip musyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan penentuan kebijakan DDII membuat mereka semakin solid dibaawah kepemimpinan Natsir.

Bentuk kepengurusan diatas tidak berubah selama dua puluh tahun lamanya, oleh karena didirikan para aktifis Masyumi maka DDII tidak lepas dari kecurigaan ingin menghidupkan kembali Masyumi. Walaupun demikian para petinggi DDII menekankan doktrin bahwa DDII didirikan atas dasar takwa, diinginkan agar Islam dapat tersebar keseluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat sekaligus memurnikan kembali tradisi keislaman yang ternodai oleh nilai-nilai non Islam.

14

Lukman Hakim, 70 Tahun H. Buchari Taman: Menjawab Panggilan Risalah, Jakarta: Media Dakwah, 1992, hal., 147.


(36)

DDII tentu memiliki pedoman dalam segala hal, termasuk misalnya bagaimana mengatur hubungan antar agama, antara lain:

1. Islam dinyatakan sebagai agama disisi Allah, namun Islam melarang pemaksaan dalam agama.15

2. Islam memperingatkan bahwa golongan Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada umat Islam sebelum umat Islam mengakui agama mereka.16

3. Kemudian akan didapati orang yang paling keras permusuhannya kepada orang-orang yang beriman, yakni orang-orang Yahudi dan mereka yang menyekutukan Allah . Juga akan ditemukan manusia-manusia yang paling akrab kecintaannya kepada orang-orang yang beriman yakni mereka yang mengatakan: “ kami orang Nashara”. Yang demikian itu karena diantara mereka ada pendeta-pendeta (terpelajar dan berbakti), rahib-rahib dan sesungguhnya mereka tidak takabbur.17

Melalui pola gerakan pedoman diatas maka DDII melakukan kegiatan seperti pembangunan mesjid, pengiriman dana dan penerbitan. Perjuangan Natsir bersama DDII ternyata disambut baik oleh masyarakat Inonesia maupun luar negeri. Natsir sebenarnya telah lama terlibat dalam dunia Islam sejak di Masyumi, tahun 1956 Natsir bersama Maududi dan Abul Hasan An Nadawy memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus. Natsir juga menjabat sebagai Wakil Presiden Kongres Islam se-Dunia yang berpusat di Pakistan dan Muktamar Alam Islamy di Arab Saudi.

15

QS. Al-Baqarah (2): 256. dan QS. Ali Imran (3): 19

16

QS. Al-Baqarah (2): 120.

17


(37)

Natsir juga banyak mendapatkan penghargaan diantaranya Bintang Penghargaan dari Tunisia dan dari Yayasan Raja Faisal Arab Saudi (1980). Dia juga mendapatkan gelar Doktor Honorus Causa daru Universitas Islam Libanon dalam bidang sastra dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universiti Kebangsaan Malaysia.18

Natsir adalah tokoh pejuang Islam angkatan 45 yang pernah memasuki pentas kehidupan kenegaraan merupakan orang yang terakhir hidup. Dia bukan saja tokoh dan pemimpin bagi umat Islam, akan tetapi juga bagi bangsa Indonesia.

Natsir wafat di Jakarta dalam usia 85 tahun pada tanggal 6 Februari 1993 bertepatan pada tanggal 14 Sya’ban 1413 H, beliau meninggal tanpa adanya sosok anaknya yang ingin meneruskan perjuangan sepertinya. Wafatnya beliau telah berakhir pula perjuangan yang dilakukannya beliau adalah pemikir Islam yang kritis dan menunjukkan kecintaannya kepada Islam. Hal ini dibuktikannya sejak muda hingga akhir hayatnya terlibat dalam kegiatan yang memiliki keberpihakan kepada Islam.

2.5. Metodologi Berpikirnya.

Natsir dikenal sebagai ulama intelektual, dia banyak melahirkan karya-karya monumental yang meliputi bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan dakwah. Sebagaimana telah disebutkan dari awal bahwa Natsir hidup dilingkungan Islam yang berparadigma kritis, hal ini berpengaruh besar pada pembentukan pola pikirnya. Keterlibatannya di JIB seta Persis menambah keyakinannya bahwa Islam adalah Din Al-Rahmah.

18


(38)

Seorang yang mengaku aktivis khususnya yang berkecimpung dalam organisasi Islam tidak lengkap jika tidak mengenalnya dengan baik, demikian juga orang yang ingin mengenal sejarah pertumbuhan Indonesia sebagai bangsa. Natsir tidak hanya dikenal sebagai tokoh Masyumi dan mantan Perdana Menteri, juga dikenal sebagai pemimpin Islam yang paling tangguh dan piawai dengan pandangan-pandangannya berkualitas seorang ulama, negarawan dan sekaligus berbobot intelektual.19

Ciri khas berpikirnya yang kedua, penalarannya terhadap akal tanpa menempatkan akal diatas agama terbukti dengan penolakannya terhadap pandangan negara sekuler. Natsir mengatakan salah satu tiang ajaran Nabi Muhammad SAW yang penting adalah penghargaan akal manusia, orang Islam diwajibkan untuk memakai akal dalam memikirkan ayat-ayat Al-Qur’an agar mengerti maksud dan tujuannya. Islam sangat mencela orang yang tidak

Pernyataan diatas membuktikan Natsir seorang yang memiliki kematangan, dia tidak hanya politisi juga seorang negarawan, tidak hanya sekedar intelektual tapi juga ulama, tidak mengherankan dia seorang yang amat dihormati dikalangan dunia Islam internasional. Metodologi berpikir Natsir menekankan pada dua hal yaitu pertama, keterikatan sepenuhnya Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai seutama-utama hujjah. Tulisan Natsir secara keseluruhan memang tidak pernah meninggalkan keterikatan terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah, corak berpikir seperti inilah yang menunjukkan Natsir sebagai tokoh yang hanya mau diikat oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Secara otomatis dia menjadi seorang yang merdeka dan terbebas dari bid’ah, khurafat, takhyul, serta taqlid.

19

Abdul Munir Mulkan, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episod Kehidupan M.Natsir dan Azhar Basyir, Yogyakarta: Sipress, 1996, hal., 4.


(39)

menggunakan akal yang telah diberikan Allah SWT, jelas akal sebagai nilai lebih manusia dibanding mahkluk lainnya.20

DDII yang didirikannya cukup banyak memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan pertumbuhan dakwah di Indonesia. Ajakan dakwah yang dilakukannya merata keseluruh lapisan mulai dari kalangan masyarakat awam sampai para birokrat. Dakwah yang dilakkannya tidak hanya memprioritaskan di wilayah perkotaan tapi merambah sampai kedaerah tepencil, program pembinaan masyarakat terpencil melalui pengiriman da’i sampai kedesa terpencil. Para da’i

Natsir tidak hanya menceritakan tentang keistimewaan Islam dengan segala hal yang berkaitan dengannya, dia juga seorang aktivis yang menulis tidak berpanjang lebar atau langsung penjelasan secara mendetail. Natsir juga bukan hanya sebagai sosok pemikir, akan tetapi dia juga mengaplikasikannya dalam kehidupan kesehariannya, contohnya kegiatan dakwah bersama kawan-kawannya di DDII.

2.6. Peran Dakwahnya di Indonesia.

Natsir adalah putra ternama Indonesia yang tidak hanya piawai dalam bidang politik, birokrasi, tapi juga beliau adalah da’i ternama. Sebagai seorang da’i beliau pernah menduduki jabatan Wakil Presiden Muktamar Alam Islami sekaligus sebagai tokoh puncak Rabithah Alam Islami, dia juga menjadi Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia sejak tahun 1967 sampai akhir hayatnya tahun 1993.

20


(40)

yang dikirim dengan tujuan memberikan pemahaman keislaman dan juga menerobos pendirian sarana-sarana pendidikan dan dakwah.21

1. Memperluas pengertian dakwah dari pengertian hanya sebagai tabliqh, kepada pengertian yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat sebagai kelanjutan risalah Nabi Muhammad SAW.

Melalui DDII telah banyak usaha-usaha yang dilakukan dalam memberikan pemahaman Islam melalui dakwah, sementara itu ada beberapa usaha –usaha lain yang dilakukan DDII terbagi beberapa kelompok, yaitu:

2. DDII memberikan pengertian kepada para jamaahnya bahwa tugas dakwah merupakan fardhu ain bagi setiap muslim

3. Mengembalikan fungsi mesjid sebagai pusat pembinaan masyarakat seperti di zaman Rasulullah.

4. Mengingatkan dan meningkatkan mutu dakwah.

5. Meningkatkan usaha pembelaan terhadap umat dan perbaikan aqidahnya. 6. Membangkitkan ukhuwah Islamiyah Al-Alamiyah (persaudaraan Islam

Internasional).22

Paket-paket program diatas telah berjalan selama keaktifan Natsir di DDII, secara langsung memberikan sumbangan besar bagi kegiatan dakwah di Indonesia. Pada kenyataannya Natsir membangun sebuah visi dakwah yang luas dan luwes, dakwah yang tidak hanya mengurusi persoalan ibadah saja tapi juga sisi sosial kehidupa manusia.

21

Thohir Luth, Op.cit., hal., 11.

22


(41)

BAB III ANALISIS DATA

3.1. Konsep Negara menurut Mohammad Natsir.

Pembahasan tentang negara mungkin wacana yang kuno, kekunoannya dari zaman plato hingga sekarang wacana ini terus berkembang mencari format yang ideal. Perkembangannya mengakibatkan juga semakin banyaknya defenisi negara serta konsep menjalankannya secara praktisnya, lihat saja Machiavelly dengan konsep pemisahan antar agama dan negara dalam membangun masyarakat. Ibnu Khaldun dengan konsep Islam yang mengatur tatanan masyarakat layaknya yang dicontohkan pada masa Rasullah di Madinah agama sebagai landasannya, dan begitu banyak ahli-ahli lainnya.

Tafsiran terhadap apa itu negara yang begitu banyak membuat lebih rumit dalam memahaminya, untuk itu perlu adanya batasan dibuat untuk memudahkan memahaminya. Batasan dibuat dengan mengemukakan apa yang menjadi sifat-sifat dari sebuah negara atau elemen yang ada didalamnya sampai tugas dan fungsinya. Penggunaan cara ini mempermudah memahami tentang negara sekaligus bisa menjadi sebuah parameter apakah negara tersebut bisa disebut negara dan apakah negara telah menjalankan peran atau fungsinya.

Negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak dan tugas dan tujuan khusus. Apakah institution itu? Institution dalam arti umum adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum1

1

Mohammad Natsir (c), Op.cit., hal., 198.


(42)

Institution pendidikan seperti Universitas Sumatera Utara misalnya, mempunyai tenaga pengajar dalam melaksanakan proses belajar mengajar, memiliki pegawai lainnya dalam pengaturan administratif. Disamping itu secara materialnya Universitas Sumatera Utara memiliki gedung kuliah, gedung pertemuan, gedung olahraga dan gedung lainnya. Tidak ketinggalan juga didalam Universitas terdapat peraturan-peraturan didalamnya yang mengatur pola kerja, interaksi dan peraturan lain. Dimana aturan tersebut menguntungkan semua yang ada dalam teritorial Unversitas tersebut, bukan sebaliknya ada yang ditindas baik secara material dan in material.

Berbagai macam banyaknya insitution yang ada dalam masyarakat seperti: institution ekonomi, politik, budaya, perdagangan dan sebagainya. Kesemua institution tersebut bertujuan untuk membuat suatu badan yang besar dengan bertujuan mengatur orang yang terlibat didalam institution tersebut. Setiap institution memiliki ruang gerak yang berbeda, memiliki anggota dan memilki kedaulatan yang diakui anggotanya. Nilai tentu ada dalam institution yang mana nilai itu dijunjung tinggi oleh anggotanya, bentuk nilai tersebut bisa saja tidak tertulis sering dilakukan tranformasikan melalui proses perkaderan secara seleksi yang ketat. Metode seperti transformasi yang ketat berlaku biasanya pada institution yang eksklusif, dan pelanggaran setiap aturan tentu diikuti sanksi.

Insititution dapat dikatakan apabila institution itu memiliki2

a. Sebuah tujuan dalam membutuhi kebutuhan jasmani maupun rohani masyarakat.

:

2Ibid,


(43)

b. Keberadaannya diakui oleh masyarakat.

c. Mempunyai alat-alat dalam pelaksanaan tujuan bersama.

d. Memiliki peraturan-peraturan, norma-norma, nilai-nilai tertentu. e. Berdasarkan atas paham hidup masyarakat yang ada.

f. Mempunyai keanggotaannya.

g. Mempunyai daerah berlakunya atau teritorial. h. Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.

i. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-normanya.

Maka negara sebagai institution , juga mempunyai: a. Wilayah.

b. Rakyat. c. Pemerintah. d. Kedaulatan

e. Undang-undang Dasar atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis.

Karena itu mengandung konsekuensi:

a. Negara meliputi seluruh masyarakat dan segala institution yang terdapat didalam negara tersebut.

b. Negara mengikat ataupun mempersatukan institution-institution itu dalam satu peraturan hukum.

c. Menjalankan koordinasi dan regulasi atas seluruh bagian-bagian masyarakat. d. Mempunyai hak untuk memaksa anggotanya untuk mengikuti


(44)

e. Mempunyai tujuan untuk memimpin dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhannya.

Natsir bersama Masyumi sebagai partai politik Islam memperlihatkan konsistensi mereka dengan peduli terhadap masalah umat Islam, selaku masyarakat yang mayoritas di Indonesia. Ideologi hal substansi harus diselesaikan pada awal kemerdekaan, Natsir selaku tokoh Islam tentu memperjuangan Islam sebagai ideologi negara, negara yang juga mayoritas Islam, dimana Islam telah menjadi dasar mereka bahkan sebelum merdeka. Jadi, tidak mengherankan jika persoalan penentuan ideologi dalam pandangan Natsir sangatlah penting adanya. Seperti yang pernah diucapkan Natsir :

“ Di Indonesia faham yang hidup menggerakkan rakyat adalah agama. Agama yang sifat-sifat umumnya yang telah saya kemukakan. Dengan sendirinya asas negara kita harus berdasarkan agama, bukan suatu rangkaian berupa ide yang dianggap oleh masyarakat umum, sebagai Pancasila. Pancasila tidak dipercayai sebagai agama. Meskipun didalamnya terumus sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sumbernya adalah sekuler, la diniyah, tanpa agama.”3

Uraian diatas dapat defenisikan bahwa negara merupakan bentuk dari masyarakat yang ada, dimana antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Jelas sudah negara yang ada harus memiliki akar-akar kuat yang telah berada pada masyarakat itu juga, tidak mungkin diambil dari akar atau falsafah hidup masyarakat diluar negara tersebut, kemudian mayoritas masyarakat Indonesia yang muslim, inilah landasan Natsir dalam memahami negara dan Islam.

3


(45)

3.2. Islam sebagai Ideologi Negara menurut Mohammad Natsir.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia banyak pembenahan perangkat kenegaraan yang harus dipersiapkan untuk membangun suatu tatanan masyarakat yang kedepan sejahtera, adil dan makmur. Ideologi 4

Pembentukan majelis konstituante untuk menentukan dasar atau ideologi negara Republik Indonesia, maka didalam majelis tentu berbagai pemikiran bertarung untuk menghasilkan ideologi bangsa ini. Dari kesemua pemikiran memiliki kesamaan untuk memakai demokrasi sebagai salah satu acuannya. Demokrasi dianggap bisa membawa kemajuan bangsa dengan prinsip

sebagai landasan dasar suatu negara untuk mengerakkan negara dan rakyatnya tentu menjadi penentu yang berpengaruh besar, jadi tidak mengheran dalam penentuan ideologi negara Indonesia juga mengalami pertarungan ide cukup dinamik dalam penentuannya. Pertarungan ini menjadi sebuah sejarah penting bagi rakyat Indonesia dimana ideologi tersebut menjadi acuan dalam menjalani hidup keseharian nantinya.

Para pejuang bangsa Indonesia memiliki beberapa ideologi dalam melakukan perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, misalnya : Islam, Primordial, Sosialis, dan lain sebagainya. Setelah merdeka tidak mungkin kesemua itu dipakai secara bersamaan sebab dalam membangun negara harus memilih satu pilihan yang benar-benar menjadi pilihan dalam menjawab realitas masyarakat. Memang bukan hal yang mudah memilih satu diantara sekian pilihan untuk menjadi ideologi negara, apalagi ideologi tersebut telah mendarah daging disetiap penganutnya.

4

Ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan azas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; prinsip-prinsip atau nilai yang mengarahkan secara sah tingkah laku masyarakat dan lembaga-lembaga politik. Ideologi mungkin digunakan untuk memelihara status quo (kemapanan), atau sebagai pembenaran dari tindakan-tindakan yang ingin mengubah status quo ((B.N. Marbun, Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.)


(46)

kesederajatan, kebebasan, dan lain sebagainya. Ada tiga dasar yang dikemukakan komisi I yang akan dimajukan sebagai ideologi negara, yaitu Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi.

Natsir seorang yang berpendirian terhadap konsep Islam sebagai ideologi negara Indonesia, Natsir dalam hal ini berjuang bersama kawan-kawan bersama partai Masyumi. Natsir mengemukakan bahwa Indonesia harus berdiri diatas ajaran Islam atau “Negara Demokrasi berdasarkan Islam”, inilah ide yang dibangunnya tentang konsep ideologi negara.

Pengetahuan Islam memang sudah tidak asing lagi bagi Natsir lingkungan sekolahnya dikampung halaman, lingkungan keluarganya, akan tetapi perkembangan pemahamannya tentang Islam lebih dalam sejak dia di Bandung. Proses pencarian pemahaman tentang Islam semakin pesat ketika bertemu dengan A. Hasan seorang saudagar dari Pakistan yang memiliki wawasan yang luas tentang Islam, diskusi pemahaman keislaman semakin mendalam mereka lakukan hingga membuat pencerahan melalui media. Banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dan umat Islam Indonesia, membuat Natsir berpikir keras bagaimana penyelesaiannya dengan mengacu pada Al-qur’an dan Sunah Nabi.

Beragam persoalan yang ada dijawab Natsir, dengan dasar pemikiran bahwa Islam adalah agama yang dalam arti memiliki nilai atau aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablum minal-Lah) dan mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (hablum minan-nas). Hablum minal-lah berisi tentang aturan mengenai ibadah yang berhubungan dengan Alminal-lah seperti tauhid, shalat, sedangkan hablum minan-nas berisi tentang aturan kehidupan perorangan, kehidupan kekeluargaan, kehidupan masyarakat dan kehidupan


(47)

kenegaraan. Dengan kata lain ketika kita menghadapi persoalan dengan hukum dalam bernegara tentu kita harus mengaitkannya dengan ajaran Islam sebab kita adalah hamba pengabdi.

Natsir juga memiliki dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam amat dinamis untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman. Dari sudut ini, ia jauh melampaui pemikiran Maududi ataupun Ibnu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif sistem pemerintahan negara Islam.5

Islam mengatur dan menjawab persoalan manusia secara luas dan mengakar dapat kita berikan contoh, seorang yang menderita karena ditinggal mati oleh seorang yang dikasihi, dapat memperoleh penjelasan dan ketenangan. Kematian seseorang itu ada artinya dalam kehidupan, demikian juga bagi mereka yang ditinggalkan, perasaan yang ditinggalkan tidak dibiarkan begitu saja, sampai bagaimana kelangsungan hidup yang ditinggalkan diselesaikan. Keluasan Islam

Tentu dalam pendekatannya juga berbeda jika Maududi lebih kepada ideal dengan acuan masa pemerintahan Rasulullah sedangkan Natsir melalui pendekatan realistis menuju idealistis dengan koridor Al-qur’an dan Sunah.

Pertentangan dalam konsep kemanusiaan tidak mungkin dapat diselesaikan dengan pandangan manusia, keterbatasan manusia dalam pemakaian akal menyebabkan relatifitas dalam memahami sesuatu. Islam sebagai agama memberikan dasar yang tetap, semua yang bergerak dan berubah harus memiliki dasar yang tetap atau sering dikatakan sebagai titik tempat mengembalikan sesuatu.

5


(48)

dalam memberikan tuntunan bukan hanya sebatas itu melainkan disegala bidang kehidupan, pikiran, perasaan, tindakan, dan lainnya. Islam memberikan dasar-dasar pokok yang sesuai dengan fitrah manusia, yang abadi dan tidak berubah, yang bisa berlaku pada semua tempat dan semua zaman, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang.

Islam mempunyai kaidah, mengenai soal ibadah, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, semua dilarang kecuali yang diperintahnya. Dan mengenai soal muamalah, yakni hubungan dengan sesama manusia, semua boleh kecuali yang dilarangnya. Menurut istilah yurispundensi Islam, hal ini dinamakan “al-bara-atul-ashliyah”6

Kehidupan sosial masyarakat dengan sikap saling tolong menolong yang menjadi salah satu falsafah hidup di masyarakat Indonesia, sikap ini juga sangat dipelihara dalam ajaran Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Tatanan demikian dapat kita lihat pada perjuangan yang dilakukan Rasulullah dengan menjadi tauladan yang bersikap toleran terhadap siapapun tanpa mengenal ras, agama. Pembebasan kota Mekkah dengan keberhasilan tanpa pertumpahan darah Islam hanya memberikan dasar-dasar pokok tersebut, disamping itu Islam memberikan penjelasan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana yang patut dan tidak patut, dan sampai dimana batasannya. Diluar konteks itu maka manusia boleh menggunakan kreatifitas sendiri dengan penggunaan akal dalam menghadapi persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sosial. Selama tidak adanya benturan terhadap nilai pokok dalam Islam, maka kebebasan manusia tidak dikekang.

6Ibid


(49)

dan ketika dikuasai Rasul mengatakan siapa yang berada tetap dirumah dijamin keselamatannya membuktikan sikap toleran yang tinggi bagi semua orang tanpa mengenal ras, agama, bahkan seorang kafirpun dijamin keselamatannya.

Penguatan untuk saling tolong menolong ini dapa kita lihat dengan ayat al-qur’an yang berbunyi “……Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya7. Dari penggalan ayat diatas kita sebagai hamba pengabdi disuruh untuk saling tolong menolong dalam melakukan kebajikan dalam kehidupan keseharian, tentu ini juga berlaku bagi umat sebelum nabi Muhammad sebab Muhammad adalah penyempurna dari nabi-nabi sebelumnya. Sangatlah jelas sikap tolong menolong jauh sudah diadopsi dalam Islam, sikap ini telah menjadi acuan tauladan bagi seorang hamba Allah.

Keberagaman masyarakat dalam suatu negara tentu sangat membuat variasi sendiri yang banyak menimbulkan kompetitif satu dengan lainnya, dimana ini nantinya akan mempunyai bias dalam membangun tanah air. Sikap chauvinisme, rasialisme, dan kenophobie, misalnya dapat menimbulkan keegoan berlebihan, merasa bangsa yang lebih tingi kedudukannya dari bangsa lain, ras yang lebih unggul dari yang lainnya8

7

QS. Al-Maidah (5): 2.

8

Chauvinime adalah sikap nasionalime yang ekstrem (dipelopori seorang tentara Napoleon bernama Nicolas Chauvin yang sangat terkenal karena kesetiaan tanpa batasnya terhadap pemimpin serta kekaisran Prancis. Rasialisme adalah rasa emosional atas keungulan dan kesempurnaan ras sendiri yang berdasarkan pra-anggapan bahwa ras lain jauh lebih rendah. Kenophobie adalah sikap terlalu takut pada negara/golongan lain yang tidak disenangi (B.N.Marbun, S.H, Op.cit., hal., 94, 465.

. Islam sebagai agama yang memiliki jawaban terhadap permasalahan sosial juga menjelaskan bagaimana kita harus bersikap dengan perbedaan demi membangun tanah air. “ Hai manusia,


(50)

sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal9. Ayat diatas memberikan tuntunan

bahwa kita sebagai manusia memang secara fitrahnya tercipta dengan keberagaman akan tetapi bagaimana keberagaman ini dipergunakan untuk saling mengenal, menghargai, dan bertujuan untuk menjalin kebersamaan dalam membangun bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kemakmuran bersama.

Problema dalam bermasyarakat, bernegara, sering terjadi akibat ketimpangan sosial yang tinggi dimana adanya dominasi golongan satu terhadap golongan lainnya. Pada kondisi seperti ini maka ada yang ditindas baik secara materi ataupun inmateri, dalam Islam diistilahkan dengan kaum tertindas (mustad’afin). Kaum tertindas selaku bagian yang dirugikan tentu mengalami berbagai kesulitan dalam aspek kehidupannya. Disinilah Islam mengajak untuk membela mereka secara totalitas dengan spirit ilahi dengan pengorbanan yang tidak berbatas pada materi, akan tetapi sampai fisik, maupun spiritual.

Proses pembelaan bukan semata-mata menyuruh membela orang yang lemah dalam arti biasa, tetapi mengajak mengangkat senjata

9

QS. Al- Hujaarat (13): 49.

dan mempertaruhkan jiwa untuk melepaskan kaum lemah dari segala bentuk penindasan. Jika sekarang orang sering menyebut memberantas penindasan atau pemerasan manusia atas manusia, yaitu ucapan dalam bahasa lain disebut dengan istilah “exploitation of


(51)

man by man”10

Pola interaksi dalam masyarakat akan berjalan sebagai proses pembangunan akan berjalan dengan baik jika adanya suatu pemerataan disetiap masyarakat. Pemerataan terwujud dengan adanya sikap tidak mementingkan diri sendiri, memperkaya diri sendiri dengan menumpuk harta sebanyak-banyaknya, agar lihat orang tanpa melihat realitas masyarakat disekitarnya sering disebut

. Pembelaan kaum tertindas telah dilakukan Islam sejak berabad-abad yang lalu, dengan proses demikian juga daerah kekuasaan Islam semakin luas hingga ke benua Afrika, Spanyol, dan lainnya.

Nilai pembelaan kaum tertindas dalam Islam sangat tegas dikemukakan, hamba yang beriman tentu akan menanamkan secara mendalam tentang nilai tersebut. Secara otomatis dia akan tergerak sendiri secara total untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan, tanpa pamrih sampai pengorbanan jiwanya. Konsep pembelaan kaum tertindas merupakan salah satu dasar kuat yang sering disebut “al-jihad”, metode pemberantasan ketertindasan dengan perlawanan sampai titik darah penghabisan. Apalagi dari beberapa golongan dalam Islam ada yang sampai melakukan bom bunuh diri tanpa keraguan didalamnya.

Penggunaan spirit pembelaan kaum tertindas di Indonesia terbukti juga ketika para pejuang kemerdekaan melakukan peperangan terhadap penjajah. Pangeran Diponegoro seorang ulama termuka melawan penjajah dengan menanamkan semangat jihad kepada pasukannya, Tuanku Imam Bonjol melakukan perang melawan kaum adat dengan menggunakan metode jihad, lihat saja Sumatera Barat memiliki nuansa yang kental keislamannya.

10


(52)

kaum kapitalisme. Keberadaan hak milik terhadap harta yang dicari diakui dalam Islam bahkan mencari nafkah adalah suatu kewajiban dalam mencari kesuksesan hidup didunia. Tapi, dalam Islam ditegaskan bahwa didalam harta setiap orang itu ada hak orang lain atau setiap harta yang kita miliki ada milik orang lain.

Islam menegaskan bahwa harta yang dimiliki harus memancarkan faedah dan manfaat bagi golongan yang tidak memilikinya. Harta dan kepemilikan tidak boleh ditumpuk sekedar untuk memuaskan nafsu kemewahan sendiri, harta itu harus dimasukkan kedalam proses produksi untuk mempertinggi kemakmuran sehingga lebih merata untuk rakyat banyak.11

Pemaparan tentang Islam dan beberapa nilai yang ada didalamnya hanya sedikit gambaran tentang Islam yang begitu luas cakupannya. Hal lain yang cukup penting tentang bagaimana Islam menanggapi sifat fanatisme

12

“ Aku diperintahkan (oleh Tuhan) supaya berlaku adil terhadapmu. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhanmu. Bagi kami amalan kami. Bagi kamu amalan kamu. Tak ada persengketaan agama diantara kami dengan kamu. Allah yang mempertemukan kita dan kepada-Nya-lah kita semua kembali”

, Islam menegaskan menentang konsep tersebut dengan sikap yang ditegaskan Rasulullah didepan ahli kitab yaitu pemeluk agama Nasrani dan Yahudi dengan mengatakan:

13

Pernyataan diatas menegaskan bagaimana Islam menghargai pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam, jika diteliti secara mendalam pernyataan

11

Mohammad Natsir (d), Op.cit., hal., 69.

12

Fanatisme adalah keyakinan yang buta dan berlebihan, sehingga menjadi kepicikan yang tidak menggunakan akal-budi sehat, tetapi bertindak , membabi buta khususnya dalam bidang politik, kesukuan, agama dan ideologi (B.N. Marbun, Op.cit., hal., 163).

13


(53)

diatas juga memiliki makna yang jelas untuk memberikan kebebasan terhadap penganut agama lain menjalankan agamanya. Pemaksaan sangatlah mempunyai efek yang sangat riskan ketika agama sebagai pedoaman hidup, sebab itu yang diperlukan adalah keyakinan yang kuat dengan melakukan secara ikhlas.

Sebenarnya banyak nilai-nilai ajaran agama Islam yang belum dipaparkan dan dijelaskan secara mendalam, dapat dilihat bersama begitu banyaknya persamaan nilai yang dituntun dalam Islam dengan falsafah atau kebiasaan bangsa Indonesia. Tidak mengherankan itu terjadi dikarenakan Islam merupakan ajaran yang cukup banyak dipakai masyarakat Indonesia yang latar belakang seorang hamba Allah. Jadi, tidak mengherankan kalau ajaran Islam dijadikan sebagai ideologi negara Indonesia, yang telah berurat dan berakar di dalam qalbu masyarakatnya.

3.3. Wacana Islam Sebagai Ideologi Dalam Politik Indonesia Kontemporer.

Perdebatan wacana keagamaan di tanah air, mengalami suatu perkembangan yang cukup pesat (terutama) secara kuantitatif, kalaupun belum dapat disebut maju secara kualitatif. Secara kuantitatif disebut berkembang pesat, karena tingginya intensitas wacana dan perdebatan yang muncul. Selain itu, juga oleh sebab banyaknya literatur pemikiran keagamaan yang menjadi trend bacaan. Kita menyaksikan, adanya lonjakan mood luar biasa di kalangan terpelajar Islam di Indonesia untuk membuka akses lebih luas lagi demi penyebaran wacana keagamaan, dan itu dikontestasikan secara massif dan lebih terbuka.

Semaraknya perdebatan itu, tentu saja menemukan berbagai corak, bentuk, dan warna warni respon. Di kalangan pemikir dan peminat wacana keagamaan, ada keyakinan kuat bahwa kondisi ini harus diteruskan mengingat usaha


(1)

begitu juga dengan orang diluar Islam tidak ada yang harus ditolak aturannya sebagaimana juga telah dibahas keuniversalan nilai-nilai didalamnya.

1. Sempurnanya Islam harus dijalani secara Kaffah dalam arti keseluruhan bagian dalam Islam berarti memahami Syariat, Makrifat dan Hakikat. Kunci Islam buka n terletak pada salah satu bagian sebagaimana kita lihat perdebatan yang terjadi saat ini hanya berkisar pada syariat.

Besar Islam tentu secara duniawi seperti terlihat pada masa kejayaannya berkaitan pada umatnya, sejauh mana umat dalam memahami realitas menuju idealitas yang diatur dalam Islam. Beberapa masukan yang dapat dijadikan suatu acuan dalam membesarkan agama Allah agar menjadi sebuah kejayaan dan menjawab permasalahan realitas sosial:

2. Negara memang dalam krisis kepercayaan maka pembenahan yang efektif melalui pembaharuan kultur masyarakat yang terpengaruhi oleh barat Diperlukan sebuah kajian kembali dengan konsep barat yang dipakai dalam bernegara, apakah masih layak untuk dipakai menjawab permasalahan kita saat ini atau ternyata kita harus kembali dengan cara nenek moyang kita yang lebih mengedepankan sebuah kolektifitas daripada egoisme.

3. Kehausan spiritual di barat merupakan bukti tidak bisanya akal menjawab permasalahan keseharian, dilihat dari perkembangan masyarakat Indonesia dengan budaya meniru sangat berbahaya pada generasi selanjutnya. Penggalian dan penegasan kembali nilai-nilai masyarakat yang dahulunya sudah tidak dipakai perlu untuk dilaksanakan, sangat berpengaruh besar hasil dari penggalian tersebut. Masyarakat Indonesi dari sebuah masyarakat yang religius menuju masyarakat modern (barat), sementara barat menuju masyarakat yang lebih religius


(2)

4. Ketauladanan dalam masyarakat sangat kurang, apalagi para pemimpin yang mengayomi masyarakat justru banyak bermasalah, penggelapan uang, penyalahgunaan wewenang, pembuatan kebijakan sesuai kepentingan pribadi, dan lainnya. Konsep ketauladan layaknya Rasullulah sering disebut seperti Al-qur’an berjalan sulit ditemukan, padahal kalau dipodium forum seminar, diskusi, layaknya malaikat penolong umat. Pada masa kampanye disetiap pemilu atau pilkadasung, banyak mengumbar janji demi kemaslahatan umat yang nyatanya semakin terpuruknya bangsa Indonesia kejurang kemiskinan. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi dalam membangun suatu peradaban, kesungguhan dalam mengimplementasikan dari ideologi yang dianut dengan sikap mengimaninya. Kesungguhan dalam menjalaninya tentu konsep awal sebagaimana dialami Nabi dan Rasul terdahulunya yaitu memahami tauhid secara detail, mudah-mudahan kejayaan Islam akan dicapai kembali. Bukan hanya sebatas kehidupan dunia sebagi tempat persinggahan sementara yang berakhir ketika dicabut ruh dari badan kita, akan tetapi sampai pada kehidupan yang kekal seperti dijanjikan Allah dan disampaikan Rasulnya. Semoga kita sebagai hamba yang menjali amanah didunia bisa merenungkan kembali tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran

Al-Quran, Surah Al-Baqarah (2), ayat 120 dan 256.

Al-Quran, Surah Ali Imran (3), ayat 19. Al-Quran, Surah Al-Maidah (5), ayat 82. Al-Quran, Surah Asy-syura (26), ayat 38. .

Al-Quran, Surah Addazarijat (51), ayat 56.

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia. 1981. Bauman, Zygmunt, Hermeneutics and Social Scienc. New York: Calubia

University Press Chodwick, Bruce. A.,1991. Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk). Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Semarang: IKIP Semarang Press, 1978.

Boland, B.J, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafitti Press, 1985. Budiardjo, Miriam, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia,1983.

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.

Furchan, Arief dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Hakim, Lukman, 70 Tahun H. Buchari Taman: Menjawab Panggilan Risalah, Jakarta, Media Dakwah, 1992.

Harahap, Syahrin, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam. Jakarta: Istiqomah Mulya Press, 2006.

Harjono, Anwar, et. al., Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Jansen, G. H, Islam Militan. Terjemahan olehArmahedi Mahzar. 1983. Bandung: Pustaka, 1979.

Luth, Thohir, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insan Press, 1999.


(4)

Natsir, Mohammad, M. Natsir Versus Soekarno, (Sebuah Dokumen), Padang: Yayasan Pendidikan Islam, 1968(a).

Natsir, Mohammad, World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1976(b).

Natsir, Mohammad, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001(c).

Natsir, Mohammad, Islam Sebagai Dasar Negara, (Pidato di Depan Sidang Majelis Konstituante Untuk Menentukan Dasar Negara RI, 1957-1959), Sebuah Dokumen Sejarah. Dalam pengantar Kholid O. Santosa (Ed.), Mohammad Natsir: Sang Negarawan Islam Legendaris. Bandung: Sega Arsy, 2004 (d).

Natsir, M, Capita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 (e).

Marbun, B.N. Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002

Mulkan, Abdul Munir, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episod Kehidupan M.Natsir dan Azhar Basyir, Yogyakarta: Sipress, 1996.

Rapar, J.H, Filsafat Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2001. Salam, Solichin, Wajah Nasional, Jakarta: PSPI, 1990.

Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 1981.

Puar, Yusuf. A, M. Natsir 70 Tahun Kenang – Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta: Antara, 1978

Zallum, Abdullah Qodim, Pemikiran Politik Islam, Bangil : Al-Izzah. 2001. Internet

Gamal Abdul Nasir Zakaria, Mohammad Natsir: Pendidik Ummah, 2003, (Online),

Mardias Gufron, Negara Islam (Studi Terhadap Pemikiran Politik Mohammad

Natsir), 2000, (Online),

Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online),


(5)

RANCANGAN BAB PENELITIAN

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, selintas mengenai pemikiran Mohammad Natsir, riwayat kehidupan Natsir, perumusan masalah, pembatasan masalah, kerangka pemikiran, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metodologi penelitian dalam menganalisis pemikiran Muhammad Natsir.

BAB II : BIOGRAFI INTELEKTUAL MOHAMMAD NATSIR

Bab ini akan membahas tentang sejarah kehidupan Muhammad Natsir dari sejak ia dilahirkan sampai wafatnya Natsir. Dengan adanya biografi intelektual, juga akan membantu mengungkap latar belakang pemikiran Natsir, serta apa dan siapa yang mempengaruhi pemikirannya.

BAB III : PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR

TENTANG AGAMA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

Bab ini akan membahas pemikiran Mohammad Natsir tentang agama sebagai ideologi negara. Di sini akan dijelaskan, mengapa Natsir memilih ’agama’ sebagai ideologi negara.

BAB IV : KESIMPULAN


(6)

RANCANGAN BAB PENELITIAN

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, selintas mengenai pemikiran Mohammad Natsir, riwayat kehidupan Natsir, perumusan masalah, pembatasan masalah, kerangka pemikiran, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metodologi penelitian dalam menganalisis pemikiran Muhammad Natsir.

BAB II : BIOGRAFI INTELEKTUAL MOHAMMAD NATSIR

Bab ini akan membahas tentang sejarah kehidupan Muhammad Natsir dari sejak ia dilahirkan sampai wafatnya Natsir. Dengan adanya biografi intelektual, juga akan membantu mengungkap latar belakang pemikiran Natsir, serta apa dan siapa yang mempengaruhi pemikirannya.

BAB III : PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR

TENTANG AGAMA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

Bab ini akan membahas pemikiran Mohammad Natsir tentang agama sebagai ideologi negara. Di sini akan dijelaskan, mengapa Natsir memilih ’agama’ sebagai ideologi negara.

BAB IV : KESIMPULAN