commit to user 1
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Runtuhnya Orde Baru ditandai oleh merosotnya kepercayaan rakyat Indonesia terhadap presiden yang berkuasa pada saat itu karena telah memerintah
secara otoriter, menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dan melanggengkan kekuasaan dengan praktek KKN korupsi, kolusi dan nepotisme,
hingga menyebabkan Bangsa Indonesia jatuh ke dalam situasi krisis moneter. Krisis moneter membawa dampak buruk bagi perekonomian Indonesia.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar menyebabkan harga-harga membumbung tinggi. Bahan-bahan pokok keperluan hidup sehari-hari bukan saja
mahal harganya tetapi sulit didapatkan di pasar. Rakyat kecil adalah bagian terbesar yang menanggung derita paling parah akibat krisis tersebut. Penderitaan
rakyat makin dirasakan dengan maraknya kasus pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan dan pabrik-pabrik kepada karyawannya, membuat sebagian penduduk
tidak memperoleh mata pencaharian. Terbatasnya lapangan kerja yang tersedia memaksa sebagiaan besar
penduduk harus ikut menciptakan sumber pendapatan mereka sendiri. Upaya sebagian penduduk menghasilkan pertumbuhan cepat yang disebut pedagang kaki
lima PKL. PKL yang tidak menuntut jenjang pendidikan formal yang tinggi dianggap sebagian masyarakat sebagai sektor yang mampu menyerap angkatan
kerja pengangguran ditengah krisis dalam waku relatif singkat PKL menjamur di kota-kota Indonesia.
Surakarta sebagai kota perdagangan yang ramai dikunjungi masyarakat bisnis dan konsumen yang berlalu-lalang datang dan pergi dengan kesibukan
kegiatan ekonominya, menjadikan PKL tumbuh sangat subur di kota tersebut. Berbagai tempat strategis di kota Surakarta digunakan pedagang kaki lima secara
liar untuk berdagang. Tempat-tempat yang dahulu dilarang untuk berjualan seperti pinggir jalan, jalur lambat, trotoar-trotar jalan dan taman-taman kota dijadikan
tempat berdagang para PKL, hampir tidak ada ruang publik yang tersedia.
commit to user 2
Keberadaan PKL di kota Surakarta yang menempati tempat terlarang menimbulkan dampak negatif, seperti: gangguan lalulintas, gangguan
keseimbangan hubungan sosial, penurunan kualitas lingkungan dan gangguan ketertiban umum, sehingga menyebabkan kota Surakarta semakin tampak
semrawut, kumuh dan tidak tertib. Terkait dengan visi pengembangan kota Surakarta yang akomoditif
terhadap iklim investasi, keberadaan PKL di kota Surakarta secara liar jelas tidak mendukung visi tersebut, karena untuk menciptakan iklim investasi haruslah
didukung dengan tatanan lingkungan yang aman, tertib, rapi, bersih, sehat serta adanya kepastian hukum dalam berusaha, sehingga para investor tidak enggan
menanamkan modal usahanya di kota Solo. Maka dari itu Pemerintah Kota Surakarta menempatkan masalah penataan pedagang kaki lima sebagai prioritas
paling utama yang harus segera dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM Surakarta 2005-2010 Solopos, 30 Agustus 2006.
Program penataan PKL dimulai Pemerintah Kota Surakarta dari kawasan Monumen ’45 Banjarsari yang merupakan basis hunian PKL terbesar di kota
Surakarta. Berdasarkan data dari Kantor PKL Surakarta, jumlah PKL di kawasan Monumen ’45 Banjarsari dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Jumlah PKL di Kawasan Monumen ’45 Banjarsari No Lokasi
Jumlah 1
2 3
4 5
6 7
8 Jl. Tarakan
Jl. Raden Saleh Jl. Samsurizal
Jl. Trenggono Jl. Tanibar
Jl. Nias dan Jl Samsurizal Barat Monumen ’45 bagian tengah
Stabelan 80 orang
38 orang 41 orang
34 orang 37 orang
92 orang 172 orang
495 orang Jumlah
989 orang Sumber : Solopos, 8 Agustus 2005.
commit to user 3
Pemerintah Kota Surakarta dalam penataan PKL di kawasan Monumen ’45 Banjarsari dilakukan dengan cara yang manusiawi dan bertanggungjawab, yaitu
dilakukan dengan menggunakan konsep ekonomi kerakyatan. PKL tidak dilihat sebagai “momok” melainkan sebagai sebuah potensi ekonomi yang perlu
diberdayakan. Langkah terbaik yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta untuk memberdayakan PKL adalah dengan cara relokasi pemindahan PKL ke wilayah
kecamatan Semanggi dan membangunkan pasar sebagai tempat mereka berdagang.
Program Pemerintah Kota Surakarta dalam pembangunan pasar di wilayah Semanggi untuk memberdayakan PKL disambut positif oleh para PKL, sehingga
pada tanggal 23 juli 2006 berhasil dilaksanakan relokasi PKL dari kawasan Monumen ‘45 Banjarsari ke pasar baru yang diberi nama ”pasar Klithikan
Notoharjo”. Relokasi PKL tersebut dilaksanakan dengan prosesi kirab budaya bernuansa Jawa, melibatkan para pejabat Pemerintah Kota Surakarta diikuti oleh
seluruh PKL dan disaksikan oleh warga kota Surakarta. Para PKL Setelah menempati pasar Klithikan Notoharjo Semanggi sudah
tidak lagi menyandang statusnya sebagai pedagang kaki lima namun berubah menjadi pedagang pasar seperti pada umumnya saudagar pasar, karena
Pemerintah Kota Surakarta telah memberikan secara gratis kepada para PKL Surat Hak Penempatan SHP, Surat Izin Usaha Perdagangan SIUP, Tanda Daftar
Perusahaan TDP dan Kartu Tanda Pengenal Pedagang KTPP kepada para PKL sebagai legalisasi atau syarat untuk menempati pasar Klithikan Notoharjo yang
sah. Atas keberhasilan Pemerintah Kota Surakarta dalam memindahkan PKL
kawasan Monumen ‘45 Banjarsari ke pasar Klithikan Notoharjo Semanggi, Walikota Surakarta Ir. Joko Widodo sebagai pemrakarsa pemindahan tersebut
mendapatkan setifikat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia MURI dengan kategori ”perpindahan komunitas PKL dengan jumlah terbanyak tanpa
menimbulkan konflik yang dilakukan dengan Kirab Budaya. Berbagai pujianpun diberikan kepada Walikota Joko Widodo atas
keberhasilannya dalam merelokasi PKL di kawasan Monumen ‘45 Banjarsari ke
commit to user 4
pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Diantaranya pujian datang dari Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto dan Menteri Koperasi Suryadarma Ali yang menyatakan
bahwa program penataan dan penertiban PKL di sekitar Monumen Banjarsari dengan cara relokasi ke pasar Klithikan Notoharjo merupakan solusi yang tepat.
Apa yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta tersebut dapat menjadi contoh positif dalam penanganan PKL di Indonesia.
Kepopuleran walikota Surakarta Joko Widodo sejak saat itu memang terus meningkat, namun sayangnya hal itu tidak terjadi juga dengan kondisi
perkembangan pengoperasian
pasar Klithikan
Notoharjo. Pada awal
pengoperasiannya, pasar Klithikan Notoharjo mengalami masalah sepinya pengunjung yang datang ke pasar tersebut. Keadaan tersebut mengakibatkan para
pedagang pasar Klithikan Notoharjo mengalami penurunan pendapatan yang drastis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hanung Widhieatmaka pada
tahun 2007, perpindahan pasar dari kawasan Monumen “45 Banjarsari ke pasar Klithikan Notoharjo Semanggi berpengaruh terhadap hasil pendapatan yang
mereka peroleh, yang mana pendapatan mereka rata-rata turun hampir 50 persen seperti yang tertera pada tabel berikut :
Tabel 2. Perbandingan Tingkat Pendapatan di Pasar Lama dan di Pasar Baru Dari 55 Pedagang
Pendapatan Pedagang Pasar Lama
Pasar Bru
Rata-rata pendapatan kotor
selama 1 hari Perpedagang
Rp. 170.000,00
Rp. 65.000,00
Keseluruhan Rp.
215.000,00 Rp.
120.000,00 Pendapatan Bersih
Rp. 35.000,00
Rp. 17.000,00
Rata-rata pendapatan kotor
selama 1 minggu Perpedagang
Rp. 775.000,00
Rp. 455.000,00
Keseluruhan Rp.
915.000,00 Rp.
510.000,00
commit to user 5
Pendapatan Bersih Rp.
190.000,00 Rp.
90.000,00 Rata-rata
pendapatan kotor selama 1 Bulan
Perpedagang Rp.
1.850.000,00 Rp.
775.000,00 Keseluruhan
Rp. 1.900.000,00
Rp. 815.000,00
Pendapatan Bersih Rp.
420.000,00 Rp.
225.000,00 Sumber : Hanung Widhieatmaka, 2007 : 43
Rendahnya pendapatan yang diperoleh sebagian besar pedagang pasar Klithikan Notoharjo membuat mereka sulit bertahan berdagang di pasar tersebut.
Berdasarkan data dari Dinas Pengelolaan Pasar DPP Surakarta pada tanggal 25 September 2008 atau selama dua tahun lebih sejak pengoperasian pasar Klithikan
Notoharjo, dari 1.005 total kios yang ada terdapat sebanyak 98 unit kios tutup, 893 kios rutin dibuka, sementara 50 unit dalam kondisi buka tutup, sedangkan
yang dicabut sebanyak 25 kios http:www.solopos.comberita.php?ct=9556
, diakses 1 Agustus 2008
Belum membaiknya pengoperasian pasar Klithikan Notoharjo juga ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah pedagang yang menunggak pembayaran
retribusi pasar. Mereka terpaksa menunggak membayar retribusi karena minimnya pendapatan yang diperoleh. Berdasarkan data yang berasal dari kantor pasar
Klithikan Notoharjo pada tanggal 11 Desember 2008 jumlah pedagang yang menunggak membayar retribusi mencapai jumlah 104 pedagang sedangkan di
tahun 2010 sampai bulan April yang menunggak berjumlah 50 pedagang. Para pedagang pasar Klithikan Notoharjo mengaku terpaksa menunggak membayar
retribusi karena memang hasil pendapatan yang ia peroleh terlalu sedikit atau pas- pasan tidak mencukupi kebutuhan, bahkan ada yang harus rela menombok. Sesuai
dengan peraturan, bagi pedagang yang tidak dapat melunasi hingga waktu yang telah ditentukan setelah mendapat surat peringatan kios yang mereka tempati
terpaksa disegel. .
commit to user 6
Rendahnya pendapatan yang diperoleh para pedagang pasar Klithikan Notoharjo menunjukkan minimnya pengunjung yang datang ke pasar tersebut.
Minimya pengunjung pasar Klithikan Notoharjo dapat ditunjukkan dari jumlah pengguna parkir di pasar Klithikan Notoharjo sebagaimana data yang penulis
ambil dalam dua periode yaitu di tahun 2008 dan tahun 2010 dengan sampel masing-masing selama 7 hari saat beroperasinya pasar Klithikan Notoharjo.
Adapun hasil pengambilan data jumlah pengguna parkir tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Data Jumlah Pengguna Parkir Pasar Klithikan Notoharjo Tahun 2008
No Hari
Tgl Jumlah Karcis Parkir
1 Minggu
28-12-2008 1200
2 Senis
29-12-2008 1000
3 Selasa
30-12-2008 800
4 Rabu
31-12-2008 800
5 Kamis
01-01-2008 900
6 Jum’at
02-01-2008 900
7 Sabtu
03-01-2008 1000
Jumlah = 6600 Rata-rata perhari adalah 6600 : 7 = 943
Sumber : Arsip, 2008
Tabel 4. Data Jumlah Pengguna Parkir Pasar Klithikan Notoharjo Tahun 2010
No Hari
Tgl Jumlah Karcis Parkir
1 Rabu
28-05-2010 914
2 Kamis
29-05-2010 891
3 Jum’at
30-05-2010 1200
4 Sabtu
31-05-2010 857
5 Minggu
01-06-2010 915
6 Senis
02-06-2010 1017
7 Selasa
03-06-2010 1028
Jumlah = 6822 Rata-rata perhari adalah 6822 : 7 = 975
Sumber : Arsip, 2010
commit to user 7
Masalah yang sedang terjadi di pasar Klithikan Notoharjo apabila dibiarkan berlangsung terus menerus akan menimbulkan ancaman yang sangat serius bagi
pedagang pasar Klithikan Notoharjo Semanggi maupun bagi Pemerintah Kota Solo. Bukan tidak mungkin para pedagang akan meninggalkan tempat tersebut
dan memilih kembali berdagang di pinggir jalan sehingga pembangunan pasar Klithikan Notoharjo Semanggi yang mengeluarkan biaya yang sangat besar akan
menjadi sia-sia.`Oleh karena itu sebagai salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut salah satunya adalah dengan mempromosikan
kembali pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Atas latar belakang tersebut diatas, penulis bermaksud untuk menyusun
suatu perancangan desain komunikasi visual yang dapat digunakan sebagai sarana penunjang promosi untuk pasar Klithikan Notoharjo Semanggi yang selanjutnya
penulis angkat sebagai proyek tugas akhir.
B. Rumusan Masalah