Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap

27 kondisi cuaca buruk maka hasil tangkapan nelayan sedikit. Sebaliknya jika cuaca baik maka hasil tangkapan nelayan pun akan semakin banyak.

4.5. Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap

Di Pelabuhan Perikanan Pantai PPP Labuan, ikan kurisi merupakan ikan yang dominan ditangkap menggunakan alat tangkap cantrang. Menurut hasil wawancara dengan nelayan di PPP Labuan, ikan kurisi juga ditangkap oleh alat tangkap selain cantrang yaitu jaring rampus. Pada penelitian ini, dikhususkan untuk sumberdaya ikan kurisi yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Berdasarkan data statistik perikanan Labuan alat tangkap ikan kurisi yang dominan adalah cantrang dan jaring rampus. Dengan melakukan standarisasi alat tangkap, kedua alat tangkap ini dipilih untuk menentukan upaya yang tepat. Hasil produksi dari alat tangkap yang telah distandarisasi disajikan pada Lampiran 6. Data hasil tangkapan catch, upaya penangkapan effort di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan menggunakan alat tangkap jaring rampus dan cantrang dengan perahu motor 2-3 GT dan 10-24 GT, berdasarkan Statistik Perikanan PPP Labuan dari tahun 2001-1011 disajikan pada Gambar 9. Hal ini berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyawati 2011 yang dilakukan di Perairan Teluk Banten, dimana ikan kurisi ditangkap oleh alat tangkap dogol. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Fitriyanti 2011 di Perairan Teluk Jakarta dimana ikan kurisi ditangkap menggunakan alat tangkap dogol. Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan kurisi di PPP Labuan, Banten mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 13.421,88 kg, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 7.626,00 kg. Dari tahun 2001 ke tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 3.134,64 kg. Kemudian mengalami penurunan pada tahun 2006 sebesar 4.655,00 kg. Pada tahun pada tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi sebesar 1.2740,16 kg dan kembali mengalami penurunan pada tahun 2011 sebesar 4.844,00 kg dari tahun 2010. Upaya penangkapan ikan kurisi dari tahun ke tahun mengalami penurunan, namun dari tahun 2001 ke tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 73 trip alat tangkap. Dari 28 tahun 2002 ke tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 291 trip alat tangkap, sedangkan dari tahun 2006 ke tahun 2010 mengalami penurunan trip alat tangkap menjadi 153 trip, dan ke tahun 2011 terjadi penurunan yang tidak terlalu besar yaitu sebesar 21 trip alat tangkap. Gambar 9. Produksi dan upaya penangkapan ikan kurisi di PPP Labuan Hasil tangkapan pada prinsipnya merupakan keluaran dari kegiatan penangkapan atau effort. Hasil tangkapan ikan kurisi di Selat Sunda pada tahun 2001 sampai 2011 dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9, dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan kurisi mengalami fluktuasi. Pada tahun 2006 dan 2011, hasil tangkapan ikan kurisi mengalami penurunan. Penurunan hasil tangkapan ini dapat disebabkan oleh faktor cuaca, misalnya pada saat keberadaaan ikan kurisi yang melimpah, di daerah penangkapan tersebut terjadi gelombang laut tinggi menyebabkan nelayan tidak melaut dan menyebabkan jumlah hasil tangkapan ikan kurisi berkurang. Pada tahun 2002 dan 2010 terjadi peningkatan hasil tangkapan dari tahun-tahun sebelumnya, hal ini dapat disebabkan karena sumberdaya tersebut sudah pulih kembali sehingga produksi ikan kurisi meningkat. Peningkatan hasil tangkapan ikan kurisi juga dapat disebabkan oleh upaya penangkapan yang meningkat sehingga daerah penangkapannya pun meluas dari sebelumnya. Menurut Widodo dan Suadi 2006, laju produksi sangat bervariasi karena faktor fluktuasi lingkungan, pemangsaan dan berbagai interaksi dengan 29 populasi lain. Fluktuasi hasil tangkapan terjadi dikarenakan faktor lingkungan, ekonomi dan nelayan. Faktor lingkungan merupakan faktor umum yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan kurisi karena lingkungan memberikan pengaruh yang langsung terhadap ikan kurisi. Contohnya, jika keadaan lingkungan perairan yang buruk maka akan mempengaruhi kisaran ukuran ikan yang tertangkap dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan ikan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan ikan kurisi adalah jenis subtrat, ketersediaan makanan dan pemangsaan. Upaya penangkapan merupakan masukan dari kegiatan penangkapan. Upaya penangkapan ikan kurisi di Selat Sunda terdiri dari 2 macam yaitu cantrang dan jaring rampus. Ikan kurisi merupakan hasil tangkapan dominan bagi alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Adapun kapal motor yang digunakan untuk alat tangkap jaring rampus adalah 2-3 GT dengan operasi penangkapan selama satu hari sedangkan untuk alat tangkap cantrang sebesar 10-24 GT dengan operasi penangkapan selama 3-4 hari per trip atau keberangkatan. Upaya penangkapan tahunan ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 9. Upaya penangkapan mengalami peningkatan dan penurunan. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ekonomi. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi adalah cuaca atau musim yang mempengaruhi operasi penangkapan ikan. Faktor ekonomi meliputi kecenderungan nelayan dalam memperhitungkan untung atau ruginya dalam melakukan operasi penangkapan ikan sehingga upaya penangkapan terkadang mengalami peningkatan dan terkadang mengalami penurunan. Pada tahun 2002 upaya penangkapan sebanyak 516 trip namun pada tahun 2006 hingga 2011 mengalami penurunan, hal ini dapat diakibatkan karena faktor ekonomi nelayan dan faktor ketersediaan ikan kurisi di alam yang berkurang sehingga banyak nelayan yang beralih profesi. Tangkapan per satuan upaya CPUE atau sering disebut dengan catch per unit effort dapat menggambarkan suatu kelimpahan ikan di suatu wilayah. Menurut Widodo dan Suadi 2006, kecenderungan kelimpahan relatif selang beberapa tahun sering dapat diukur dengan menggunakan data hasil tangkapan per satuan upaya yang diperoleh dari suatu perikanan atau dari penelitian penarikan contoh. Pola 30 sebaran hasil tangkapan per satuan upaya CPUE ikan kurisi dari tahun 2001 hingga 2011 ditampilkan pada Gambar 10. Gambar 10. Hasil tangkapan per unit upaya Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa CPUE ikan kurisi tiap tahunnya memiliki fluktuasi yang berbeda-beda. Nilai CPUE tertinggi berada pada tahun 2010 sebesar 83, 27 kgtrip, sedangkan nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 23,22 kgtrip. Pada tahun 2001 hingga 2010 terjadi peningkatan, hal ini menggambarkan pada masa tersebut kelimpahan ikan kurisi cukup banyak serta merupakan musim penangkapan yang baik bagi nelayan. Nilai CPUE yang rendah seperti pada tahun 2011 disebabkan karena kelimpahan ikan yang cenderung menurun akibat sudah ditangkap pada tahun sebelumnya. Dengan adanya data hasil tangkapan per unit penangkapan serta data upaya penangkapan per tahun maka dapat dilakukan suatu analisis regresi untuk mendapatkan tingkat produksi lestari atau maximum sustainable yield MSY serta untuk mendapatkan upaya penangkapan yang optimal. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan, salah satunya pendekatan surplus produksi menggunakan model Schaefer dan Fox yang sering digunakan. 31 Hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer dan Fox disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12. Dimana pendekatan Schaefer merupakan hasil regresi dari upaya penangkapan dengan hasil tangkapan per satuan upaya CPUE, Gambar 11. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer Sedangkan grafik dengan menggunakan pendekatan Fox, dimana pendekatan Fox merupakan hasil regresi dari upaya penangkapan dengan logaritma natural dari CPUE. Grafik hubungan pendekatan Fox adalah sebagai berikut : Gambar 12. Grafik hubungan effort dan Ln CPUE dengan pendekatan Fox 32 Dari hasil regresi yang dilakukan dengan pendekatan model Schaefer dan Fox dapat diketahui nilai tangkapan lestari atau sering disebut dengan maximum sustainable yield MSY dan upaya penangkapan optimal yang harus dilakukan lihat Tabel 2 Tabel 2. Hasil dari pendekatan Schaefer dan Fox Parameter Schaefer Fox a 80,68 4,52 b -0,12 0,00 r 0,69 0,81 R 68,90 80,80 Fmsy 342 500 MSY 13.790,81 16.875,33 Berdasarkan Tabel 2, maka dapat dilihat bahwa hasil hubungan regresi antara effort per tahun dengan CPUE yang menggunakan model Schaefer dan Fox didapatkan koefisien determinasi R 2 sebesar 68,90 dan 80,80. Koefisien determinasi model Schaefer lebih kecil daripada koefisien determinasi model Fox. Namun, model Schaefer yang digunakan untuk menggambarkan dinamika stok ikan kurisi di Perairan Selat Sunda pada periode 2001-2011. Potensi lestari merupakan suatu parameter pengelolaan yang dihasilkan dalam pengkajian stok sumberdaya perikanan dan merupakan suatu unsur penunjang bagi peluang pengembangan di suatu wilayah Badrudin 1992 in Syamsiah 2010. Hasil analisis model stok Schaefer memperoleh nilai upaya penangkapan optimum f MSY sebesar 342 trip per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari MSY sebesar 13.790,81 kg per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan TAC sebesar 11.032,65 kg per tahun. Secara umum menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan kurisi di perairan Selat Sunda telah melebihi potensi lestarinya MSY yang terjadi pada tahun 2001-2010. Selain itu, pada tahun 2011 produksi ikan kurisi belum mencapai produksi lestari. TAC merupakan 80 dari nilai MSY, sehingga berdasarkan Tabel 3, pada tahun 2002 dan 2006 produksi aktual sudah 33 melebihi produksi lestari berdasarkan model Schaefer. Upaya penangkapan ikan kurisi dari tahun 2001 hingga 2006 telah melebihi upaya penangkapan optimum. Penurunan hasil tangkapan terjadi karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor ekonomi nelayan lihat Tabel 3. Tabel 3. Produksi aktual rata-rata dan upaya aktual rata-rata sumberdaya ikan kurisi di PPP Labuan Tahun produksi aktual rata- rata kg upaya aktual rata- rata trip Fox Schaefer Fmsy trip MSY kgtrip Fmsy trip MSY kgtrip 2001 24.689,35 1.063 500 16.875,33 342 13.790,81 2002 32.212,50 1.238 2006 17.533,75 450 2010 19.110,24 230 2011 7.626,00 132 Menurut Widodo dan Suadi 2006 beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil yang kemudian diikuti penurunan produktivitas hasil tangkapan per satuan upaya. Berdasarkan tangkapan per satuan upaya ikan kurisi di PPP Labuan menunjukkan adanya trend kecenderungan yang menurun. Analisis hasil tangkapan yang telah dilaksanakan di PPP Labuan terhadap sumberdaya ikan kurisi diperoleh model Fox. Oleh karena itu, untuk pengelolaan perikanan yang bersifat multispesies dengan alat tangkap yang sama digunakan pendekatan Fox. Pertimbangannya, jika dalam pelaksanaannya digunakan upaya penangkapan optimum dengan model Fox maka kelestarian sumberdaya ikan kurisi akan terancam. Dapat disimpulkan bahwa ikan kurisi di Perairan Selat Sunda telah mengalami overfishing dari tahun 2001 hingga 2010, sedangkan pada tahun 2011 hasil tangkapan ikan kurisi belum mencapai MSY sehingga pada tahun 2011 ikan kurisi di Perairan Selat Sunda belum mengalami overfishing. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi jumlah armada penangkapan di PPP Labuan dari tahun ke tahun mengalami penurunan. 34 Berdasarkan Sulistiyawati 2011, ikan kurisi di Teluk Banten didapatkan upaya penangkapan telah melebihi upaya penangkapan optimum, selain itu berdasarkan hasil tangkapan ikan kurisi di Teluk Banten telah melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan sehingga disimpulkan bahwa ikan kurisi di Teluk Banten telah mengalami overfishing.

4.6. Pola Musim Penangkapan Ikan Kurisi