Persepsi Manusia terhadap Alam di dalam Bentuk Kapitalisme Lokal

198 yang kemudian juga merubah etika moralitas yang terbagi menjadi dua golongan besar. Antara lain etika moralitas individualisme materialisme oleh orang-orang Bajo Mola yang sekuler, dengan orang-orang Bajo Mantigola yang mempertahankan etika kolektivisme sebagai pemeluk Islam sinkretisme. Jika kita menilik teori Steward mengenai ekologi budaya yang telah dibahas sebelumnya pada bagian dua tinjauan pustaka, maka orang-orang Bajo Mola yang telah sekuler, dan kehilangan demagifikasi dari agama Islam sinkretisme karena hubungan dengan alam lebih renggang. Jiwa kosmopolitan yang terbentuk dari terbukanya ekspansi usaha, dan segala bentuk informasi membuat hidup mereka lebih didasarkan pada landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional, sehingga pandangan agama yang dianut adalah etika agama yang rasional atau sekuler. Pada wajah Bajo Mantigola mempertahankan agama Islam sinkretismenya, karena actor-aktor pengusaha Mantigola lebih tergantung pada proses-proses organik dan kejadian-kejadian alam sebagai penentu nasib mereka.

5.2.2. Orientasi Nilai Budaya di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola

5.2.2.1. Persepsi Manusia terhadap Alam di dalam Bentuk Kapitalisme Lokal

Setiap kebudayaan pada sistem budayanya mengandung serangkaian konsep-konsep abstrak dan luas ruang lingkupnya dalam alam pikiran sebagian warga masyarakat mengenai apa yang dianggap penting dan bernilai dalam hidup Koentjaraningrat, 1987 dalam Saad, 2008. Masyarakat Bajo memandang bahwa segala apa yang ada di dunia ini merupakan anugerah Tuhan untuk kehidupan manusia, tinggal bagaimana memanfaatkannya. Mereka, orang Bajo meyakini bahwa perilaku buruk dalam memanfaatkannya, akan berakibat buruk pula. Sebab itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Bajo, banyak larangan yang harus dipatuhi agar terhindar dari musibah atau kesulitan dalam mencari nafkah. Larangan atau pamali taboo ini dalam perkembangannya menjadi semacam mekanisme budaya dalam mempertahankan keseimbangan sumber daya alam, apabila yang di-pamali-kan itu terkait demi terpeliharanya kondisi kelestarian lingkungan Lampe, 2008 dalam Saad, 2008. Bagi orang Bajo Mantigola laut diibaratkan sebagian bagian dari deru nafas kehidupannya. Alam semesta merupakan sejarah yang digambarkan, visi terhadap ruang kehidupan, yakni laut juga merupakan visi tentang waktu. 199 Menurut Mbo’, kami orang Bajo tidak bisa hidup di darat, kami tidak bisa lepas dari laut tempat kami berasal. Laut memberikan kehidupan, laut juga bisa memberi kemurkaan. Menurut Zacot 2008 orang Bajo sangat unik, karena sesungguhnya selalu menolak hidup di daratan, dan mengikuti kebiasaan makan orang daratan. Itulah sebabnya orang Bajo sedikit memakan sayur, dan buah- buahan, apalagi daging. Kemudian, sampai sekarang orang-orang Bajo Mantigola sangat percaya “pertanda” yang diberikan laut, misalnya tinggi rendahnya air laut yang diukur berdasarkan tiang tancap rumah, mampu memberikan isyarat kabar buruk yang akan menimpa sang pemilik rumah. Tanda penghormatan orang Bajo Mantigola yang masih sangat kuat dipegang ditunjukkan dengan penghoratan terhadap ritual tamoni adalah ritual yang dilakukan dengan maksud untuk menyimpan ari-ari anak yang baru dilahirkan. Sesungguhnya ritual tamoni ini memantapkan makna yang demikian mendalamnya terhadap laut. Bagi orang Bajo, orang-orang Bajo berasal dari laut, semangat hidup mereka berasal dari ari-ari yang dibuang ke laut dalam ritual tamoni. Makna filosofis yang terkandung dari ritual ini sesungguhnya agar melancarkan hubungan orang Bajo dengan laut, dan pada akhirnya setiap jiwa orang-orang Bajo selalu terarah ke lautan. Dengan dimulainya kehidupan orang-orang Bajo Mola di daratan Wanci, secara berangsur-angsur makna laut yang bermakna spiritual memudar. Bagi orang Mola, laut digambarkan sebagai “rezeki”. Dengan makna tersebut, orang- orang Mola melepaskan ranah spiritualnya dengan mulai melakukan kegiatan- kegiatan ekonomi produksi yang mulai meninggalkan keselarasan dengan alam. Beragam bentuk modernisasi perikanan perlahan-lahan diterima, seperti yang telah dijabarkan pada bab lima konteks sejarah perkembangan kapitalisme lokal. Sehingga pemaknaan terhadap laut mempengaruhi segala bentuk strategi bisnis yang cenderung agresif dan mulai melakukan cara-cara untuk menguasai alam. Seperti apa yang diungkapkan oleh MN : “laut itu mata pencaharian kita, disitulah tempat kami mencari rezeki. Cuma itu satu-satunya andalan kami bisa berkembang” Wawancara dengan MN, Tanggal 10 Maret 2011. Misalnya bagi sebagian besar pengusaha tuna di Mola, ketergantungan terhadap teknologi citra satelit untuk meramalkan berkumpulnya tuna mulai menarik perhatian mereka. Inovasi yang diperolehnya oleh bagai di Bali menarik 200 perhatian mereka. Menurut para pengusaha tuna di Mola, teknik tradisional tidak mampu lagi memuaskan mereka. Ketidakpastian tidak disukai oleh para pengusaha tuna di Mola. Mereka bersedia mengeluarkan jutaan rupiah untuk memperoleh inovasi tersebut, sehingga efisiensi usaha dapat tercapai. Ini menunjukkan kemunduran orang-orang Mola terhadap kepercayaan mereka terhadap gejala-gejala alam. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola yang bertahan hidup di atas laut, memaknai lautan tidak hanya bermakna magis, akan tetapi juga dianggap orang- orang Mantigola sebagai “kebun” tempat mencari nafkah. Seperti apa yang diungkapkan oleh ibu MM : “Kalo orang darat kebunnya di darat dan di laut. Tapi, orang Bajo kebunnya hanya di laut. Jadi hidup matinya bergantung sama laut”Wawancara dengan Ibu MM’, Tanggal 24-26 Maret 2011. Orang Bajo Mantigola tidak peduli jika tidak memiliki tanah di daratan Kaledupa, mereka hanya meminta “sedikit” tanah untuk liang kubur tubuh mereka didaratan, dan “air tawar” sebagai bilasan setelah mandi di laut, dan untuk memasak, selebihnya air laut yang berperan. Maka dua sumberdaya yang nampaknya sedikit itu, namun bernilai sangat besar bagi orang Bajo, harus bergantung pada kebaikan hati orang-orang darat yakni orang-orang Kaledupa yang memiliki tanah di Kaledupa. Orang-orang Kaledupa yang berperangai tegas, dan cenderung otokratis, menjadikan orang-orang Bajo lebih ofensif, tertutup, dan lebih penakut. Ditambah dengan kesalahan orang-orang Bajo di masa lalu, yang mendukung gerombolan, dan menyebabkan mereka harus terusir ke Mola, maupun ke La Manggau. Semua ini pada akhirnya menciptakan rasa tidak percaya yang berlebihan dari orang Kaledupa terhadap orang-orang Bajo. Semua bentuk penghinaan, dan tindakan-tindakan kasar dari orang-orang Kaledupa diterima oleh orang-orang Bajo Mantigola begitu saja, tanpa berani untuk melakukan perlawanan kepada orang Kaledupa. Karena laut, beserta terumbu karang yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai “kebun” milik, dan sumber pendapatan utama maka orang- orang Bajo Mantigola cenderung memperlakukan laut dengan cara mereka sendiri, yang diikuti dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Selayaknya jika kita memiliki kebun di daratan, misalnya alih fungsi lahan ke dalam bentuk apapun bisa kita lakukan menjadikannya sebagai kebun kacang, atau mendirikan 201 rumah adalah otoritas kita. Demikian pula halnya dengan orang-orang Bajo, malah perlakuannya kepada laut diidentikkan sebagai upaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Misalnya mengambil kayu bakau untuk dijadikan bahan bakar untuk memasak, mencungkil terumbu karang untuk mendapatkan mata tujuh abalone yang bersembunyi dibalik batu karang, dan mengambil kima yang duduk di atas karang, bahkan dahulu orang Bajo sering memakai bahan peledak untuk mencari ikan. Kemudian, karena “kebun” orang Bajo Mantigola sangat luas, dan memiliki sumberdaya yang berlimpah. Jika orang Bajo lapar, tinggal mengambil perahu dan jaring, maka ketika ikan tertangkap, masalah kelaparan bisa teratasi. Dengan sistem pengelolaan semberdaya seperti ini yaitu dengan berburu gathering, menciptakan suatu pola tertentu pada masyarakat Bajo Mantigola dalam sifatnya mengelola keuangan rumahtangga yakni sifat boros yang berlebihan. Sehari saja nyaris enam kali orang Bajo menghabiskan makanan. Belum jajan yang merupakan “keharusan” untuk dinikmati oleh setiap rumahtangga Bajo Mantigola. Menurut Zacot 2008 laut adalah tempat kesayangan orang-orang Bajo. Orang Bajo membedakan tiga jenis tempat. Semua daerah karang, bukit karang, pasir tapi yang tidak terlalu dalam dan dapat dilihat pada saat air surut merupakan sappa atau nappo. Pulau pasir kecil juga termasuk di dalam sebutan ini. Di sekeliling sappa inilah dahulu perahu-perahu orang Bajo merapat. Laut di sana tenang, Sappa di dalam dunia besar orang-orang Bajo alam basar. Dasar laut yang berbatu-batu, yang tidak dapat dilihat, dan yang tidak tampak ketika laut surut disebut lana. Semua bukit karang dan karang besar yang tidak dapat dilihat, dan menghilang di dalam kegelapan air dinamakan timpusu. Lama dan timpusu termasuk dunia dimana penglihatan kurang luas , yaitu dunia kecil alam didikki. Ada satu hal yang harus dipahami dalam perubahan makna laut bagi orang-orang Bajo Mola. Kehidupan di daratan yang telah dialami oleh orang- orang Bajo, bisa menjadi faktor yang menyebabkan bergesernya makna laut yang sedemikian dalamnya bagi orang-orang Bajo, baik bermakna magis sebagai persemayaman leluhur, dan tempat hidup kuta dan tulli, bermakna sosial sebagai identitas sosial, dan bermakna ekonomi sebagai sumber nafkah. 202 Sebelumnya, makna magis menguasai ranah pemaknaan terhadap laut. Misalnya seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya dalam bagian agama terhadap kapitalisme lokal, bahwa berkat kepercayaan yang berlebihan mengenai laut beserta daya magis yang dapat ditimbulkannya, menyebabkan timbulnya hubungan-hubungan, pertukaran-pertukaran diantara orang Bajo dapat dilaksanakan, dan kehidupan bermasyarakat yang harmonis tanpa harus hitung- hitungan untung dan rugi seperti seorang kapitalis. Kepercayaan terhadap laut juga menghilangkan ketegangan-ketegangan yang bisa ditimbulkan di antara orang-orang Bajo. Menurut Zacot 2008 orang Bajo beserta kepercayaannya yang mendalam terhadap laut beserta makna magisnya memberikan dampak pada harmonisasi di dalam kehidupan orang-orang Bajo. Amarah dianggap orang Bajo sebagai api, dan api merupakan perwujudan setan. Jika orang Bajo dapat menguasai amarahnya, berarti dapat menguasai setan, dan sekaligus dapat melindungi kelompoknya.

5.2.2.2 Hakekat Manusia dengan Manusia di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo