243
5.4. Refleksi Teoritik Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Mantigola
Perbedaan laju perubahan sosial antara orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang tinggal di suatu kawasan yang sama, dalam hal wajah
kapitalisme ; Bajo Mola berkembang demikian cepat, membentuk individu progresif terhadap perubahan, sementara orang-orang Bajo Mantigola cenderung
lebih persisten terhadap perubahan dengan tetap bertahan pada perekonomian yang cenderung “pra kapitalisme” sangat menarik untuk dipahami. Analisa ini
dimaksudkan untuk tidak memberikan generalisasi yang sama kepada pemahaman orang-orang Bajo tentang makna hidup. Meskipun Bajo Mola dan
Bajo Mantigola sama-sama terkespos dengan kehidupan materialism, dengan derajat paparan nilai-nilai materialisme yang berbeda-beda. Karena Mola telah
hidup di darat, maka paparan nilai-nilai materialism jauh lebih kuat dibandingkan Mantigola yang mempertahankan dirinya hidup di atas air.
Namun, sebelum kita membahas mengenai dinamika ekonomi lokal suku Bajo dan merefleksikannya terhadap teori, dan hasil penemuan sebelumnya
pada kasus yang berbeda pada belahan dunia yang berbeda, maka ketegasan mengenai status pengusaha mola Mola sebagai kapitalis local harus ditegakkan
terlebih dahulu, demikian halnya dengan pengusaha Bajo Mantigola apakah benar sebagai pra kapitalis atau tidak?
Merujuk pada konsepsi Booke, mengenai perbedaan ekonomi pra kapitalis, dan kapitalisme pada bab dua mengenai tinjauan pustaka. Maka
berdasarkan tiga indikator, antara lain motivasi spiritual nilai-nilai, organisasi produksi struktur sosial, dan teknologi, maka pengusaha Bajo Mola sudah
dapat dikategorikan sebagai kapitalis. Munculnya kecenderungan individualisme, dan pertimbangan-pertimbangan rasional yang mengarahkan pada akumulasi
capital, melalui penggunaan tenaga upahan, dan penggunaan nelayan, yang sudah tidak tergantung pada nelayan Bajo saja, melainkan menggunakan
nelayan darat yang tidak terikat, merupakan ciri pertama yang identik dengan pengusaha Mola saat ini. Kemudian, kecenderungan munculnya sekularisasi
agama Islam yang sinkretis dengan agama animism Bajo, dimana agama menjadi motivasi ekonomi melalui “ibadah haji”, merupakan makna bahwa
ekonomi telah sejajar dengan agama. Selanjutnya, karena telah hidup di daratan, maka nulai-nilai perkotaan melalui konsumerisme materi, telah menguasai dan
memacu setiap pengusaha untuk mengakumulasikan segala bentuk kekayaan
244 “khas perkotaan”. Berdasarkan struktur sosialnya, maka telah munculnya
pengusaha Bajo yang menjalankan bisnisnya tidak hanya dengan unit individu, unit kekerabatan, ataupun unit rumahtangga melainkan sudah dalam bentuk
korporasi, dan menjalankan bisnis dengan masuk kedalam jaringan ekspor global, menunjukkan bahwa kapitalisme telah merasuk kepada para pengusaha
Bajo. Berdasarkan teknologi, uang digunakan sebagai capital yang berkuasa penuh atas kepemilikan alat-alat penangkapan yang modern, dan teknologi
pengolahan hasil perikanan. Meminjam pemikiran Bernstein 2010 bahwa, terdapat tiga konsep yang
saling berhubungan untuk mendefinisikan karakter dari kapitalisme sebagai suatu moda produksi. Antara lain 1 produksi komoditas, 2 keharusan di dalam
akumulasi kapital, 3 kekuatan komoditas tenaga kerja. Akumulasi kapital yang terjadi di Mola muncul akibat makin meningkatnya permintaan akan barang-
barang, dan jasa yang diproduksi sebagai komoditas di pasar yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Persaingan ini kemudian menciptakan
kompetisi yang mendorong inovasi dan produksitifitas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada bagian wajah kapitalisme local, bahwa persaingan ini
cenderung terjadi dengan para aktor yang berkonsentrasi mengelola ikan kerapu hidup, karena pola usaha yang sensitive terhadap resiko usaha dan masalah
legalitas usaha, dan sangat padat modal. Sementara keharusan didalam akumulasi menjadi ciri utama dari kapitalis, khususnya untuk memperkuat basis
usaha dan memperluas jaringan usaha. Produksi modal dalam bentuk uang yang dijadikan komoditas merupakan cirri utama yang membedakannya dengan
sistem ekonomi lainnya. Keuntungan yang diperoleh orang-orang Bajo Mola kemudian diivestasikan kembali untuk produksi berikutnya dan untuk membuat
keuntungan kembali. Menurut teoritisasi Marx, hal tersebut merupakan “expanded reproduction of capital”. Dan Moda produksi kapitalis sajalah yang
mensyaratkan kekuatan tenaga kerja dan artikulasi cara produksi means of production yang secara luas tersedia sebagai komoditas.
Membahas tenaga kerja membawa kita pada gambaran paling khusus dari moda produksi kapitalis, yang ditemukan di dalam relasi social antara
kapitalis, pemilik moda produksi dan pekerja, tenaga kerja menukar kekuatannya, atau kapasitasnya untuk bekerja di dalam tujuannya untuk memenuhi batas
subsistensinya. Kekuatan tenaga kerja merupakan basis fundamental dari
245 kapitalisme karena hanya komoditas inilah yang digunakan untuk menciptakan
nilai lebih exchange values daripada nilai pakai use values. Hal ini karena nilai tenaga kerja seperti komoditas lainnya mewakili tenaga kerja yang telah hilang
kedalam produksi barang, diekspresikan oleh upah yang mereka pertukarkan. Kemudian, kekuatan tenaga kerja menjadi property dari kapitalis yang menjual
kekuatan tenaga kerja dan berkuasa atas kekuatan tenaga kerja digunakan untuk menciptakan komoditas baru dengan nilai yang lebih tinggi. Namun yang khas
dari model kapitalisme lokal suku Bajo adalah arah transformasinya tidak menjadi kapitalis penuh, seperti yang digambarkan oleh Marx, bahwa eksploitasi akan
sangat berlebihan dan sangat tidak manusiawi. Nilai-nilai sosial masyarakat Bajo sesungguhnya memang mempunyai peran dalam mengurangi derajat
“keegoisan” sang aktor. Nilai-nilai tersebut menjadi “alarm” bagi sang aktor untuk tidak egois dalam berekspansi dan mengakumulasikan keuntungannya, karena
mereka juga mempunyai peran social membantu sesame orang-orang Bajo sebagai bentuk “inklusifitas” kelompok Bajo.
Kelas sosial yang terbentuk juga bukan berdasarkan kepemilikan alat produksi, akan tetapi pada penguasaan pasar seperti yang diteorikan oleh
Weber. Merujuk pada tulisan Collins 1985 yang telah dibahas pada bab tinjauan pustaka sebelumnya, bahwa meber merujuk tiga aspek dalam dasar kelas sosial
antara lain kelas, status dan party. Kelas sosial yang terbentuk di masyarakat Bajo, selain dilihat dari kepemilikan modal usaha dan alat tangkap, juga
ditentukan oleh factor adanya keterampilan skill dan mengelola usaha kemudian berakumulasi dengan status sosial yang disandangnya di
masyarakatnya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pengelolaan usaha terkait dengan manajemen keuangan dianggap sebagai suatu “bakat”
yang jarang dimiliki oleh orang-orang Bajo pada umumnya. Dan dengan modal dasar tersebutlah, para aktor menjadikannya sebagai modal dasar dalam
berusaha “keinginan yang kuat dan keterampilan mengelola keuangan”. Kapitalisme lokal dimaknai sebagai hybrid capitalism ; warna kapitalisme
tidak akan sepenuhnya muncul,karena nilai-nilai local masih bercokol pada ranah pemaknaan setiap aktor. Sehingga kapitalisme disini tidak teraplikasikan secara
bebas seperti ungkapan Marx, karena kebebasan itu dibatasi oleh nilai-nilai yang sekuat tenaga dipertahankan oleh orang-orang Bajo. Apa yang telah
digambarkan pada bab enam mengenai konflik rasionalitas yang terjadi pada
246 setiap aktor kapitalis Bajo Mola, menunjukkan bahwa nilai-nilai daparanakan
sebagai penghambat laju kapitalisme di Bajo Mola, khususnya kecenderungan untuk memiliki kekayaan sebesar-besarnya untuk diri sendiri, dengan nilai
daparanakan maka para aktor kapitalis lokal Bajo Mola dipaksa untuk tidak egois, dan kekayaan yang dimilikinya digunakan juga untuk melakukan tanggung
jawabnya secara sosial dalam membantu kehidupan orang Bajo lainnya, dan daparanakannya.
Kemudian, jika merujuk pada hasil temuan Howard 1978 pada komunitas petani coklat di Dharfur, menunjukkan bahwa tipe kapitalisme seperti
di Mola, cenderung pada arah transformasi petani kaya rich peasant kepada pengusaha pertanian yang kaya rich farmer. Howard mengungkapkan bahwa
perbedaan antara rich peasant dan rich farmer terletak pada orientasi keuntungan akan diarahkan pada investasi untuk mengekspansi usaha seperti
yang dilakukan oleh rich farmer, ataukah rich peasant yang menggunakan keuntungannya untuk menguatkan status quo sebagai orang terpandang, dan
mengeksploitasi sesama sukunya sendiri yang tidak berdaya melalui pinjaman uang, dan hidup dari uang riba, dan menggunakan tenaga kerabat untuk
mengolah lahan pertaniannya. Sebaliknya, bagi pengusaha Mantigola, merujuk pada temuan Howard
adalah produsen pertama seperti peasant tribesman pada suku Darfur di Ghana, merujuk pada dominasi nilai-nilai pedesaan, yang cenderung kurang menyukai
keuntungan yang berlebih di satu tangan, dominasi nilai-nilai social, kepuasan hanya pada saat basis kebutuhan dasar hidup terpenuhi, agama Islam
sinkretisme masih merajai dan mendominasi ekonomi. Berdasarkan organisasi produksi penggunaan tenaga kerja non kontraktual antara lain anggota
rumahtangga, maupun anggota kerabat daparanakan menjadi basis perekrutan tenaga kerja. Serta kemitraan yang terbatas, karena ketakutan akan resiko yang
dihadapi, dan teknologi tradisional yang masih dipertahankan menggambarkan bahwa pengusaha Mantigola sekalipun sangat kaya hanya bisa diidentikkan
sebagai rich peasant jika merujuk pada temuan Howard di Darfur, yang membedakan antara rich peasant dan rich farmer, berdasarkan orientasi usaha
yang digunakan, dan unsur-unsur yang dimanipulasinya untuk akumulasi capital, karena dominasi perekonomian pra kapitalisme di Mantigola.
247 Berdasarkan hasil temuan, mengenai penyebab perubahan sosial dari
aspek kesejarahan perkembangan kapitalisme di dua komunitas suku Bajo baik Mola dan Mantigola menunjukkan bahwa penyebab dari munculnya kapitalisme
sesungguhnya lebih layak digambarkan dan dianalisa dengan “kacamata” Weber mengenai munculnya kapitalisme sebagai merasuknya nilai-nilai etika ekonomi,
khususnya pertukaran ekonomi. Melalui pertukaran ekonomi, ideologi kapitalisme merasuk kedalam pemikiran orang-orang Bajo Mola. Namun, tanpa melalui
pertarungan internal formasi sosial “yang berdarah-darah” antara formasi sosial kapitalis, dan formasi social buruh yang proletar ala Marxian. Hasil penelitian ini
memperkaya kritik terhadap pendapat banyak peneliti terdahulu bahwa kapitalisme modern muncul hanya melalui revolusi industri Bernstein, 2010.
Menurut Bernstein 2010, bahwa sejarah terbentuknya kapitalisme –dari hasil perbandingannya terhadap terbentuknya kapitalisme baik di Eropa,
Amerika, dan Asia- tidak sesederhana seperti apa yang diungkapkan oleh Marx, terbentuknya kapitalisme tergantung pada konteks sejarahnya. Maka menurut
Bernstein analisa mengenai kemunculan kapitalisme harus terkait pada konteks social masing-masing, karena bagi Bernstein kedinamisan dari kapitalisme
bergantung pada konteksnya “origin capitalism is uniquely”. Berbeda saluran perubahannya trajectories, maka akan berbeda pula perwajahan dari
kapitalisme itu sendiri. Apa yang terjadi pada kapitalisme lokal di Mola, berdasarkan
pembahasan Bernstein 2010, cenderung mirip dengan yang terjadi di Amerika. Kapitalis di Amerika, yang awalnya melakukan petty commodity production,
muncul mejadi aktor kapitalis tanpa harus mengalami transisi dari sistem feodalisme, dan kapitalisme itu muncul secara internal di dalam sistem social.
Dan sangat berbeda dengan sejarah terbentuknya kapitalis di Prusia, yakni metmorfosisnya tuan tanah yang feodal, atau munculnya kapitalis di Inggris
karena revolusi pertanian pada abad ke 18, atau munculnya kapitalisme di Jepang karena peran Negara, dan kapitalisme di Korea Selatan yang disebabkan
karena ekonomi kolonialisme. Dikotomi etnik yang terkait dengan pemaknaan dari nilai-nilai sama dan
bagai bagi masyarakat bajo Mola terdapat kecenderungan mulai berubah, dan ini merupakan konsekuensi dari mulai merasuknya ekonomi uang material, melalui
perdagangan hasil-hasil laut merchant capitalism. Pemaknaan ini
248 sesungguhnya menggambarkan orang-orang Bajo dalam melihat dirinya, dan
orang lain di luar sistem sosialnya yang berbeda budaya dengannya dalam hal gaya hidup, pola mencari nafkah, bahasa, bentuk rumah dan senjata, standar
nilai. Pada awalnya orang-orang Bajo hidup berkelana, maka pola konsumsi terhadap barang dan jasa cenderung rendah. Namun dengan pola hidup
menetap, pola konsumsi cenderung tinggi, sehingga orang-orang Bajo beradaptasi dengan melakukan perencanaan-perencanaan, termasuk dalam
bentuk tabungan dan investasi. Kontak budaya dengan orang Wanci dan seorang pengusaha Tionghoa An Tje ditengarai memudahkan penetrasi nilai-
nilai entrepreneurship kepada beberapa aktor kapitalis lokal Bajo Mola. Peleburan batas etnik antara orang Bajo Mola sama dengan orang darat
Bagai juga dipengaruhi oleh ikatan positif yang menjalin hubungan antara beberapa kelompok etnik dalam suatu sistem budayanya yang saling
melengkapi. Kondisi demikian dapat menimbulkan saling ketergantungan atau kondisi simbiosis. Misalnya orang Wanci Mandati menganggap orang-orang Bajo
sebagai “pemegang kunci” perdagangan untuk barang-barang hasil-hasil laut yang mereka perdagangkan. Sebaliknya, orang-orang Bajo menganggap orang
Mandati sebagai satu-satunya penyedia atau produsen busu-busu atau tempayan yang terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk menampung air
tawar. Menurut Lotte 2006, beberapa unsur yang menjadi bagian hidup orang Bajo setelah hidup menetap terdapat di daratan. Maka mau tidak mau orang Bajo
harus beradaptasi dengan orang-orang Darat. Unsur tersebut antara lain : 1 air tawar ; 2 barang-barang ; 3 informasi dan komunikasi ; 4 alternatif nafkah di
luar kegiatan penangkapan, dan pelayaran ; 5 dan pendidikan formal. Kecenderungan yang terjadi pada masyarakat Bajo Mola rupanya serupa
dengan temuan Bordieu 1958 dalam Barth 1988 di Algeria, yaitu hubungan antara orang-orang Barbar dan orang Arab. Kebanyakan suku bangsa yang
hidup berdekatan saling tergantung dalam hal produknya masing-masing, sehingga perlu ada pertukaran barang dan jasa. Dalam hal ini, di Algeria juga
terlihat contoh kehidupan yang saling melengkapi antara bangsa kelana dan petani di sebagian besar orient. Kalaupun ada permusuhan antar kelompok,
pertukaran yang paling minimal tetap dipertahankan. Pasar sebagai tempat pertemuan antara produsen, sekaligus distributor
yang adalah orang Bajo, dan Produsen yang adalah orang-orang Mandati
249 merupakan wadah penetrasi kapitalisme yang sangat efektif. Pasar yang terbuka
dan mapan rupanya menjadi wadah interaksi yang potensial bagi proses adaptasi dan akulturasi nilai-nilai Mandati kepada orang-orang Bajo.
Sebaliknya, orang Bajo Mantigola, identitas etnik yang terkait dengan pemaknaan sama dan bagai cenderung semakin tegas dan menonjol. Polarisasi
dasar etnik semakin tajam antara suku Bajo dan suku Buton Kaledupa. Pada akhirnya hubungan ini mempengaruhi perkembangan ekonomi orang-orang Bajo
di Pulau Kaledupa. Penyebab identitas ini semakin tajam adalah karena : pertama, orang-orang Bajo tidak memiliki tanah di Pulau Kaledupa, karena
asumsi yang mendasari pola kepemilikan laha di Pulau Kaledupa adalah siapa yang pertama datang, dia yang menguasai sumberdaya yakni lahan. Dengan
hilangnya salah satu kebutuhan dasar yakni memiliki tanah untuk digarap, berarti hilang juga salah satu kebutuhan dasar untuk beradaptasi secara ekologis
dengan lingkungan darat, dan orang-orang Kaledupa ; Kedua, masyarakat Bajo diposisikan sebagai masyarakat lapisan bawah oleh orang-orang Buton
Kaledupa, sehingga pembauran, dan kontak social cenderung rendah ; Ketiga, identitas etnik selalu ditampilkan melalui tatanan, adat istiadat dan simbol-simbol
yang dirasakan berbeda oleh orang-orang Bajo terhadap orang-orang Buton ; Keempat, pasar yang selayaknya sebagai tempat pertemuan penjual dan
pembeli yang setara, sekaligus menjadi daerah pusat tempat orang-orang asing berhubungan, tidak kondusif. Pasar-pasar di Pulau Kaledupa tidak berkembang,
pada akhirnya roda ekonomi serasa jalan di tempat demikian pula halnya dengan ekonomi orang-orang Bajo.
Menurut Alexander
1999 dalam Malik 2010 keberadaan pasar
dikonsepsikan sebagai sebuah institusi ekonomi yang memungkinkan bagi setiap individu untuk melakukan interaksi sosial. Artinya, pasar bukan hanya sekedar
berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses transaksi jual-beli barang dan jasa antara penjual dengan pembeli. Tetapi, institusi pasar merupakan suatu
sistem sosial yang di dalamnya melibatkan para pedagang, seperti: pengecer, pedagang besar, dan pedagang perantara, yang dihubungkan oleh hubungan-
hubungan yang melembaga dan secara simultan lebih bersifat ekonomi dan sosial. Adapun bersifat ekonomi, karena mengaitkan hubungan mereka dengan
tersedianya pasokan pasokan barang dan uang. Sedangkan secara sosial, menghubungkan anggota keluarga, pelanggan, dan klien.
250 Melihat peran dari orang-orang darat “tertentu” yang membentuk pola
adaptasi yang berbeda, maka kecenderungan dari perkembangan jiwa entrepreneurship antara orang Bajo Mola dan orang Bajo Mantigola dari dengan
“siapa” mereka beradaptasi. Menurut Izikowitz dalam Barth 1988, hubungan antar kelompok, ditinjau dari segi yang lain, identifikasi atau pengenalan pada
dasarnya penting, yaitu bukan pengenalan dari kelompoknya sendiri, melainkan penilaian dari luar kelompoknya dan bagaimana penilaian itu diterima. Hubungan
antaretnik diungkapkan dalam bentuk-bentuk interaksi, sehingga interaksi itu sendiri tergantung dari sikap hubungannya, nilai yang diterimanya oleh kelompok
lain, dan pada akhirnya ini dapat berkembang dalam bentuk peperangan, pemberontakan, penganiayaan, penjiplakan budaya, perdagangan yang sehat,
atau berbagai betuk yang lain. Selanjutnya,
Izikowitz dalam Barth 1988 mengatakan bahwa hubungan
antar kelompok yang berdekatan ini tergantung juga dari kontaknya dan apakah kelompok itu menganut sistem demokrasi atau autokrasi ; atau masyarakat yang
bersifat hirarkhi atau tidak. Maka berpijak pada pemikiran ini, disimpulkan bahwa orang-orang Bajo Mola berhasil mengembangkan dirinya menjadi aktor kapitalis
lokal, karena orang Wanci Mandati
12
cenderung berjiwa demokratis. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola persisten terhadap perubahan, dan mandek ekonominya,
karena bajo menghadapi orang Buton Kaledupa yang cenderung autokrasi dan berperangai sangat tegas.
Menurut Weber
dalam Turner 1991 yang mengatakan bahwa kondisi masyarakat duniawi modern sebagai kekecewaan dengan mana Weber
memaksudkan bahwa manusia tidak lagi terkurung dalam sebuah dunia suci dengan kekuatan-kekuatan magis dan gaib. Dari pernyataan Weber ini
12
Jika kita menarik benang merah dari dua bentuk kecenderungan-kecenderungan yang berbeda dari dua komunitas Bajo tersebut. Maka, pertanyaan yang harus dijawab adalah
faktor apakah yang paling dasar dan mempengaruhi perbedaan kecenderungan- kecenderungan tersebut?. Menurut Steward, ada hubungan sebab akibat antara budaya
dengan lingkungan. Selanjutnya, menurut Arensberg 1963 dalam Barth 1988 lingkungan alam yang berbeda menyebabkan perbedaan tingkat dan tatanan ekonomi
mulai dari pola sederhana untuk keperluan nafkah, sampai ke perdagangan yang lebih spesifik. Misalnya mengapa orang Wanci Mandati mengembangkan sistem ekonomi
perdagangan, karena secara ekologis bagian tanah yang subur sangat curam , dan kondisi tanah yang cenderung berbatu, dan posisi di wilayah pesisir, sehingga usaha
dikembangkan pada usaha perdagangan bukan pertanian. Dengan perdagangan memaksa sudut pandang menjadi cenderung demokratis.
251 ditafsirkan bahwa dunia modern identik dengan sekularisasi yang melepaskan
dirinya dari kehidupan ritual-ritual magis animisme yang irasional. Melihat kondisi yang terjadi pada perkembangan kapitalisme lokal atau
disebut Weber sebagai sekularisasi di Bajo Mola maupun Mantigola. Maka tesis Weber mengenai agama dan spirit kapitalisme harus dicerna dengan seksama.
Apakah tesis tersebut sesuai dengan penggambaran fenomena kapitalisme lokal di dua komunitas Bajo ini atau tidak?.
Bagi orang-orang Bajo baik Mola dan Mantigola, kepercayaan- kepercayaan animisme dan ritual-ritual yang menyertainya berhubungan erat
dengan batas tegas ekologi laut dan daratan. Bagi orang Bajo kepercayaan animisme muncul sebagai suatu bentuk pemaknaan yang mendalam
penghormatan khusus mereka terhadap laut sebagai suatu wilayah yang “keramat” baik sebagai pemberi kesembuhan maupun pemberi bencana. Batas
tegas antara daratan dan lautan selalu berhubungan dengan kepercayaan animisme dan agama Islam. Proses menetapnya orang-orang Bajo, hingga
tinggal di daratan membawa pengaruh islamisasi orang Bajo dikemudian harinya. Bagi orang-orang Mola, kepercayaan animisme memang perlahan-lahan
telah runtuh atau disebut Weber demagifikasi, akibat perkembangan arus ekonomi uang, dan proses urbanisasi pemukiman di Mola. Namun tidak serta
merta juga meningkatkan domain keislaman mereka. Yang menarik adalah salah satu unsur Islam yang berubah fungsi menjadi salah satu “pemacu” etos
kapitalisme para pengusaha-pengusaha di Mola adalah melakukan ibadah Haji, sebagai pelaksanaan rukun Islam yang kelima. Tidak berarti ibadah haji
dilakukan semata-mata untuk meminta keridhoan Allah SWT, dalam bentuk rasionalitas berorientasi nilai-nilai luhur Islam, sebagai panggilan Allah SWT,
melainkan juga cenderung dilakukan dalam bentuk rasionalitas instrumental, karena naik haji bagi orang-orang Bajo dianggap sebagai suatu simbol prestise,
dan kemapanan ekonomi. Kenyataan yang terjadi di Mantigola, kepercayaan animisme masih kuat
“bercokol” dalam jiwa orang-orang Bajo Mantigola. Sehingga derajat “keislaman” mereka masih berada dalam posisi kedua setelah kepercayaan animism. Melihat
ciri khas Bajo Mantigola yang cenderung lambat perubahan ekonominya, serta kuatnya animism di dalam masyarakatnya, bisa disimpulkan bahwa kepercayaan
252 animism yang menggarisbawahi kepemilikan secara bersama-sama atau
komunal tidak memberikan etos tersendiri bagi perkembangan usaha yang dikelola oleh orang-orang Mantigola. Meskipun naik haji juga dijadikan sebagai
landasan prestise bagi orang-orang Mantigola, namun pemikiran irasional dari beberapa orang-orang Mantigola yang rela berhutang “sana-sini” hanya untuk
naik haji, menunjukkan bahwa naik haji bagi sebagian orang-orang Mantigola tidak juga memberikan bentuk “semangat” untuk mempercepat laju perputaran
ekonomi mereka, malah memberikan bentuk “perangkap” baru terhadap kemandekan ekonominya.
Apa yang menjadi orientasi agama, dan kepercayaan animisme orang- orang Bajo Mantigola sesuai dengan temuan Hefner 1999 mengatakan bahwa
tradisi orang gunung orang Tengger mempunyai basis komunal yang kuat. Mereka percaya semua penduduk berasal dari cikal bakal desa, serta
ketergantungan bersama para toh-roh penguasa tanah, dan air. Sebagian penduduk mengaku Islam, yang lain Hindu, atau Budha. Tetapi keduanya
menyembah roh leluhur dan perlindungan desa, menekankan pentingnya upacara komunal, serta menganjurkan toleransi antara orang Islam dan orang
Hindu. Progresifitas ekonomi yang terjadi pada usaha-usaha yang
dikembangkan oleh pengusaha-pengusaha lokal Bajo di Mola mengisyaratkan keusangan tesis Weber yang menyatakan bahwa kapitalisme rasional hanya
muncul di dunia Barat. Rasionalitas ekonomi cenderung mendominasi segala bentuk kegiatan ekonomi, dengan juga tidak dipungkiri bahwa rasionalitas moral
social masih tersisa di dalam ruang pemikiran sang actor kapitalis. Malah cenderung terjadi pertarungan rasionalitas disana.
Bentuk pertarungan tersebut sangat disadari oleh sang aktor sebagai konsekuensi logis dari ikut sertanya mereka dalam proses komersialisasi dan
ekonomi uang. Namun di satu sisi nilai-nilai inklusifitas kelompok dan nilai-nilai daparanakan juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Realisasi dari pertarungan
ini adalah mulai melemahnya batas sama dan bagai dengan merekrut orang- orang darat untuk masuk ke dalam sistem usahanya, sebagai nelayan bebas.
Dan mulai memperhitungkan eksistensi nelayan Bajo dengan sistem terikat yang bagi mereka “itu cenderung tidak ekonomis”. Tapi harus dilakukan karena para
actor kapitalis Mola memang dibebani oleh kewajiban-kewajiban moral yang
253 terkait dengan institusi daparanakan, dan patron client sebagai mekanisme
mendistribusikan kembali harta kekayaan. Inilah yang cenderung membedakannya dengan aktor kapitalis Tionghoa yang cenderung sangat
spekulatif, terwujud dalam hasrat yang berlebih-lebihan untuk mencari untung Die dalam Tan, 1981.
Dengan etika individual materialism dan etika utilitarianisme, maka jaringan bisnis bersifat terbuka. Strategi bisnis yang dikembangkan difensif, dan
pengambil resiko tinggi. Itu merupakan suatu bentuk adaptasi orang Bajo Mola terhadap ekonomi uang, dan tekanan pasar. Begitu pula dengan bentuk ekspansi
bisnis yang sangat terbuka luas bagi investasi kepada usaha sektor perikanan, dan juga non perikanan yang hasilnya akan mendukung usaha utama perikanan.
Namun, yang masih dipertahankan oleh aktor kapitalis lokal Bajo adalah tidak melakukan ekspansi usaha yang berhubungan dengan usaha yang dilakukan
oleh orang-orang darat. Gambaran kapitalisme lokal di suku Bajo Mola menunjukkan bahwa tesis
Boeke mengenai kemandekan ekonomi pribumi karena membenci modal, sedikit sekali pada mutu barang, tidak memiliki kecakapan usaha, tidak ada satuan ukur
baku, persediaan tak kenyal, tidak ada organisasi dan disiplin, spesialisasi setempat dan kolektif sudah tidak bisa diterima lagi. Karena sifat ekonomi yang
mandek pribumi tidak bersifat abadi. Kegesitan dalam berbisnis oleh orang-orang Bajo membuktikan keberhasilan orang Bajo Mola yang dahulu pra kapitalis
menjadi pengusaha hasil laut yang sukses karena mampu menyesuaikan diri terhadap ekonomi pasar, bukan gagal menyesuaikan diri dan gagal menarik
manfaat dari ekonomi uang, dan tercerai-berai dan merana karena gagal beradaptasi seperti apa yang diungkapkan oleh Boeke. Kesalahan Boeke
memandang, bisa dimengerti karena wajah ekonomi dualistis hanya dipahami untuk kasus ekonomi pribumi di Jawa, sementara di luar jawa, di pedalaman
sekalipun terdapat kecenderungan yang berbeda. Sebaliknya, kegesitan pengusaha Mola tidak diikuti dengan saudaranya di
Mantigola. Pada kenyataannya ekonomi Mantigola cenderung lambat perputaran ekonominya. Dorongan bagi laba maksimal adalah kecil. Munculnya rasionalitas
ekonomi individualisme, dihambat oleh kuatnya rasional moral social. Bukan berarti mereka tidak bisa berpikir rasional ekonomi, tapi karena dengan
dipertahankannya etika social moralitas kolektivisme sebagai suatu bentuk
254 adaptasi orang-orang Bajo Mantigola terhadap segala bentuk kesulitan hidup
yang dihadapi. Maka, karena standar nilai tersebut yang dianut oleh orang Bajo Mantigola, maka bentuk ekspansi capital cenderung tertutup, bukan saja karena
usaha non perikanan di darat tidak mau dan tidak mampu dikuasai oleh Bajo Mantigola, juga karena segala bentuk keuntungan dikerahkan oleh orang
Mantigola untuk mempertahankan eksistensi usaha yang dikelolanya. Termasuk ketidakberdayaannya terhadap “ketergantungan” yang sangat tinggi terhadap
daparanakannya di Mola yang memberikan pinjaman untuk modal usaha yang sifatnya mengikat. Bagi orang Mantigola “hubungan daparanakan adalah
pertalian erat yang luar biasa, dan saling percaya-mempercayai, dan menyebabkan orang Bajo Mantigola boleh dikata mudah mendapat uang dan
kredit, dengan bunga yang relative rendah, dan sangat fleksibel, yang dapat digunakan untuk usaha”.
Begitu pula halnya dengan bentuk jaringan usaha yang cenderung tertutup. Karena ketakutan orang Mantigola atas resiko usaha yang akan
dihadapi.Kerjasama cenderung dilakukan oleh daparanakan di Mola. Daparanakan yang menyediakan pasar, dan modal. Pengusaha di Mantigola .
upaya ini dilakukan cenderung pada komoditas yang memiliki resiko usaha yang sangat tinggi, seperti perdagangan ikan hidup.
Gejala munculnya rasionalitas transedental di dalam pemaknaan orang- orang Mantigola di dalam memandang hidup terjadi karena “keputusasaan”
orang Mantigola terhadap beragam kesulitan yang mereka hadapi, yang menghambat perkembangan ekonomi. Namun, bukan berarti orang-orang Bajo
adalah orang-orang yang pemalas, menurut Lotte 2009 kulit tubuh orang-orang Bajo yang hitam legam menunjukkan etos kerja yang tinggi, dan gambaran
perjuangan mereka untuk bertahan hidup dalam kondisi kemiskinan. Sedikit saja keuntungan yang diperoleh diarahkan pada upaya mempertahankan usaha.
Untuk hal yang berbau resiko terkait menghadapi permasalahan hukum, orang Bajo Mantigola cenderung penakut, dan mengambil posisi menyingkir dari
persaingan. “Menjadi penakut” itu muncul karena keadaan ekonomi dan kehidupan rumahtangga orang Bajo Mantigola selalu dihadapkan kepada
ketidakpastian. Dari segi bentuk kepemilikan profit property melalui akusisi capital, para
pengusaha di Mola cenderung terbuka kesempatan untuk melakukan akusisi
255 capital, dibandingkan dengan pengusaha di Mantigola. karena persaingan yang
cenderung tinggi antara pengumpul teripang dan ikan hidup. Strategi yang digunakan oleh pengusaha Bajo di Mola adalah dengan akumulasi capital dari
beragam sumber pendapatan usaha, kemudian dengan keuntungan tersebutlah yang dijadikan alat untuk merebut pasar, informasi, bos eksportir, dan nelayan
produsen. Sebaliknya di Mantigola peluang akusisi capital cenderung kecil, karena upaya-upaya yang dibangun oleh pengusaha di Mantigola ditujukan untuk
mempertahankan usaha yang ada. Dan tidak diarahkan untuk “mencaplok” kekuatan produksi orang lain.
Aliansi kepada negara yang dibangun oleh pengusaha di Mola dan Mantigola juga cenderung berbeda. Pengusaha Mola “giat” melakukan bentuk-
bentuk aliansi politik dengan elit pemerintah untuk memperkuat posisi mereka status quo sebagai pengumpul hasil-hasil laut, dan agar pemerintah lebih
“berpihak” terhadap mereka dalam rangka pengembangan usaha yang mereka lakukan. Begitu pula halnya dengan orang-orang Mantigola. Namun aliansi yang
dibangun oleh elit Negara, bukanlah elit sembarangan. Karena mereka hanya mau membangun aliansi kepada pihak-pihak yang “betul-betul” peduli dengan
kondisi mereka, bukan terhadap “pihak-pihak” yang oportunis terhadap mereka. Karena sifat inklusifitas orang-orang Bajo Mantigola sangat kuat maka aliansi
politik dibangun bersama elit negara yang adalah orang Bajo. Karena mereka yakin hanya sesame orang Bajo lah yang lebih mengerti kondisi mereka.
Melihat gambaran perlambatan perubahan ekonomi orang-orang Mantigola, maka sekali lagi keusangan teori Boeke terjadi. Menurut Boeke,
pandangan hidup yang berbeda antara orang-orang pribumi dengan orang-orang Barat akan tetap terlihat, bahwa orang Indonesia juga tidak mampu bekerja
keras, atau merasa wajib bekerja keras, sesuai dengan ukuran-ukuran Barat. Fakta di Mantigola menunjukkan bahwa apa yang diungkapkan Boeke itu tidak
bisa lagi diterima. Meskipun perekonomian orang Bajo Mantigola cenderung “mandek”, namun bukan berarti mereka malas dan tidak mampu bekerja keras,
mereka bekerja keras, namun bukan dengan tujuan dan ukuran-ukuran seperti orang-orang Barat yang terpusat pada ekonomi uang, tetapi karena itu
merupakan suatu pilihan hidup, dan mereka merasa nyaman dengan “keguyuban” mereka. Bukan dengan saling menjatuhkan satu sama lainnya
256 untuk memperoleh keuntungan yang berlimpah, namun meruntuhkan solidaritas
antara orang-orang sama.
5.5. Ikhtisar