Rumusan Masalah Penelitian WAJAH KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO

76

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Telah banyak studi-studi mengenai transformasi ekonomi pedesaan, dan khususnya studi pembentukan kapitalisme lokal di Indonesia. Studi mengenai transformasi ekonomi dimulai oleh studi Boeke 1947 yang terkenal dengan tesisnya mengenai dualisme ekonomi. Dalan kajian dualisme ekonominya, Boeke memberikan tekanan pada ciri khas pedesaan Jawa yang menurutnya tidak mungkin diungkapkan melalui prinsip maupun dalil teori ekonomi klasik Barat. Oleh sebab itu menurut Boeke masyarakat pribumi tidak ada keinginan untuk mencari keuntungan maupun mengumpulkan modal dan mereka juga menjauhkan diri dari setiap tindakan yang mengandung resiko, sehingga pada akhirnya masyarakat pribumi akan berkembang ke arah dalam atau menurutnya ekspansi statis. Inti teori Boeke selanjutnya adalah sifat sosial ganda adalah pertarungan antara sistem sosial impor dari luar melawan sistem sosial lokal yang bergaya tersendiri. Menurutnya, pada akhirnya pertarungan masyarakat pribumi gagal menyesuaikan diri dan menarik manfaat dari pertarungan itu, tubuh komunitasnya akan tercerai berai dan merana, anggota-anggotanya makin melarat. Perspektif yang sama terlihat dari karya Geertz tentang moral subsistensi, yang akhirnya akan terus bermuara pada perkembangan yang semakin buruk. Retorika teoritisnya tentang involusi pertanian merupakan bukti pandangannya yang pesimis tentang sikap petani tradisional, yang sulit masuk ke dalam perspektif rasional, seperti dalam sistem masyarakat kapitalisme. Dalam sikap moral yang tradisional, diikuti oleh terbatasnya sumber alam, maka kehidupan ekonomi masyarakat tradisional bersangkutan mengalami proses involusi yang semakin buruk keadaannya dari waktu ke waktu. Tulisan Boeke mengenai dualisme ekonomi banyak menuai kritik. Tesis Boeke yang cenderung pesimis terhadap perkembangan ekonomi pribumi perlahan mulai terbantahkan. Studi Hefner 1999 adalah satu dari sekian peneliti social yang hasil penelitiannya menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap kesimpulan Boeke mengenai statis dan kehidupan kebersamaan yang membawa pada kehidupan ekonomi desa Jawa terdampar pada jalan yang buntu, tidak musnah, namun terperangkap dalam hubungan dualisme yang tidak terselesaikan sehingga kehidupan mereka seluruhnya menjadi tergantung dari kekuatan-kekuatan luar. Menurut Hefner orang Tengger tidak berubah menjadi 77 komersial karena gesekan dengan ekonomi kapitalis, masyarakat kecil mungkin telah melakukan interaksi dengan ekonomi luar tetapi mereka tidak terbelit oleh gambaran ekonomi kapitalis secara keseluruhan. Mereka tetap memelihara pola ritual dan status. Semua kekayaan yang masuk secara cermat disesuaikan dengan kebutuhan atau pembendaan yang berlaku. Kebebasan pribadi tetap ada, hanya akumulasi kekayaan ditentukan oleh batas-batas penggunaannya secara ketat oleh masyarakat. Selanjutnya, Husken 1988 dalam penelitiannya mengenai transformasi masyarakat desa Gondosari mengungkapkan bahwa masyarakat desa Jawa sebenarnya bukanlah masyarakat yang egaliter, subsistensi pasca tradisional, tetapi telah berkembang melalui penguasaan teknologi dan kekuasaan atas tanah pertanian. Beberapa tulisan mengenai gejala pembentukan formasi kapitalis lokal menunjukkan bahwa masyarakat pribumi mampu membentuk formasi kapitalis khas lokal wilayah masing-masing. Tulisan Tetiani 2005 mengenai memudarnya dualisme ekonomi, studi mobilitas sosial komunitas perkebunan teh Kertamanah Pengalengan Jawa Barat menunjukkan kritik terhadap tesis Boeke. Tetiani mengungkapkan bahwa Boeke hanya membaca sebagian fakta yang terjadi di Jawa. Ada fakta lain yang semula tersortir, bahwa terjadi respon kapitalistik warga desa sejak masa kolonial akibat keberadaan perkebunan teh, kemudian munculnya serikat buruh, perolehan keuntungan buruh dalam perkembangan kebun, pola mobilitas sosial yang terstruktur, dan kekuatan elit lokal penekan penduduk desa yang merosot memudarkan pasar tenaga kerja ganda. Penelitian Nurjannah 2003 mengenai pola produksi dan gejala pembentukan kelas pedagang dalam masyarakat pengrajin di desa Banyumulek Lombok Barat menemukan bahwa sebagian mean of production dan pembagian kerja teknis cenderung dikuasai oleh pedagang, sehingga force of production pedagang meningkat. Kemudian pedagang gerabah berasal dari komunitas Banyumulek, dan muncul dari golongan elit ekonomi tradisional, yang karena kemampuannya dalam menguasai pemasaran tampil sebagai kapitalisme merkantilisme. Kemampuan pedagang melakukan mobilitas sosial, berdampak pada perubahan stratifikasi masyarakat. Selain itu terjadi pemudaran nilai-nilai pedesaan, perubahan hubungan sosial, dan perubahan tipe ekonomi. 78 Tulisan Purnomo 2005 mengenai transformasi pedesaan Jawa dengan judul perubahan struktur ekonomi lokal : studi dinamika moda produksi di Desa Pegunungan Jawa menyimpulkan bahwa moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang yang berasal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan oleh oleh faktor- faktor eksternal daripada internal sistem sosial. Dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsur-angsur memudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali. Kemudian, tulisan Sitorus 1999 mengenai pembentukan golongan pengusaha tenun dalam masyarakat Batak Toba, menegaskan bahwa golongan pengusaha kapitalis lokal terutama berasal dari golongan elit sosial ekonomi tradisional yang terdapat dalam komunitas lokal yang bersangkutan. Kemunculan golongan pengusaha kapitalis lokal merupakan resultan dari dua unsur pokok yaitu, pertama, terpenuhinya prakondisi produksi kapitalis berupa pembentukan modal uang pada golongan elit ekonomi lokal dan pembentukan golongan buruh upahan dalam komunitas lokal yang bersangkutan dan kedua adanya rekayasa sosial dari negara dalam bentuk bantuan teknis dan permodalan khususnya terdapat sejumlah elit sosial ekonomi tersebut. Penelitian Khan 1974 dalam Purnomo 2005 di Minangkabau melihat kehadiran tiga moda produksi bersamaan, yakni ; 1 cara produksi subsistensi subsistensi production yakni usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terjadi dalam keluarga inti dan bersifat egaliter ; 2 produksi komersialis petty commodity production yakni usaha di pertanian dan luar pertanian yang sudah berorientasi pasar dimana hubungan produksi menunjukkan gejala eksploitasi surplus melalui hubungan kekerabatan, dan hubungan sosial egaliter karena umumnya keluargakerabat, namun bersifat kompetitif; 3 produksi kapitalis yakni usaha padat modal yang berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup hubungan struktur buruh- majikanpemilik modal dan pemilik tenaga. 79 Dari beberapa studi mengenai berfokus pada komunitas masyarakat nelayan Matriks 1, terdapat studi mengenai perubahan sosial, transformasi ekonomi pedesaan dan gejala terbentuknya kelompok kapitalis lokal. Tulisan Satria 2000 mengenai modernisasi perikanan dan mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan, menemukan bahwa modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, dimana cara produksi lama yang tradisional harus bersaing dengan cara produksi baru yang lebih modern, yang rupanya sering diikuti dengan konflik-konflik antar pelaku dari masing-masing cara produksi. Kemudian selanjutnya yang terjadi adalah tersingkirnya cara produksi tradisional centrang 2 , payang 3 , dan klitik 4 dalam dinamika formasi sosial usaha penangkapan ikan di Pekalongan. Kelembagaan produksi yang tercipta kemudian mengarah pada proses hubungan yang eksploitatif. Temuan Satria yang berikutnya adalah modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, munculnya gejala kompradorisasi, dan di dalam menghadapi modernisasi, nelayan melakukan tiga jenis pilihan strategi, antara lain strategi adaptasi, strategi bertahan, atau strategi keluar atau menyingkir dari persaingan. Matriks 1. State of the Art Studi tentang Masyarakat Nelayan No Penulis Fokus Kajian Temuan 1. Satria, 2000 Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan. Modernisasi perikanan menciptakan formasi sosial baru, menciptakan konflik-konflik baru antar pelaku masing-masing cara produksi. Kemudian, tercipta kelembagaan kerja modern yang eksploitatif. Modernisasi perikanan yang berlangsung di Pekalongan telah memunculkan sejumlah elit pengusaha perikanan, antara lain kelompok perintis, pengikut, dan kelompok penerus. 2 Jenis alat tangkap tradisional karena telah digunakan secara turun-temurun, berbentuk mini purseine,yang digunakan untuk menangkap jenis ikan pelagic kecil. Bobot kapal di bawah 10 GT. 3 Umumnya alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagic kecil, banyak dioperasikan di wilayah perairan pantai Utara Jawa. 4 Adalah alat tangkap berbentuk jaring, digunakan untuk menangkap ikan pelagic kecil yang sifatnya sculling atau berkumpul pada titik lokasi tertentu. 80 2. Peribadi, 2001 Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat bajo, Sebuah Studi Komunitas di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dijalankan sesuai yang diharapkan oleh norma adat dan agama yang menjadi pegangan utama. Pengaruh tersebut nampak pada berbagai pola pengambilan keputusan, baik di bidang produksi, maupun domestik. Dominasi laki-laki dalam bidang produksi, sementara dominasi perempuan di bidang domestik atau rumahtangga. 3. Wulansari,2001 Kajian Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Pulau Untung Jawa Perempuan pesisir mengalami ketimpangan gender pada beban kerja, adanya stereotipe peran perempuan dan laki-laki, subordinasi dan marginalisasi dari setiap program-program pembangunan. Ketimpangan gender ini mengakibatkan kurangnya akses maupun kontrol mereka terhadap pengelolaan sumberdaya. 4. Arnis, 2003 Jaringan Sosial Perempuan Bakul Ikan Studi Kasus Perempuan “Bakul Ikan di Desa Bandar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati Jaringan sosial yang dibentuk oleh perempuan bakul ikan baik itu “bakul seret” maupun “bakul bengkel” dilandasi oleh motivasi relasi ekonomi. Karakter jaringan kegiatan produksi yang dibentuk oleh perempuan bakul ikan adalah simetris resiprokal. Konflik atau pertengkaran antar perempuan bakul ikan sering terjadi karena perebutan ikan pancingan, perebutan konsumen, persaingan harga, dan perebutan pelanggan. Pada akhirnya, jaringan sosial yang telah dibentuk oleh perempuan bakul ikan merupakan modal sosial yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga nelayan. 5. Herwening, 2003 Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik Studi Kasus di Kelurahan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi Bahwa implikasi kegiatan modernisasi perikanan di Pelabuhanratu telah menimbulkan berbagai potensi konflik, misalnya saja terdapat potensi konflik antara armada yang karena konflik pemanfaatan wilayah antar bagan apung dengan perahu payang. Selanjutnya, potensi konflik 81 dalam pola hubungan produksi terlihat dalam hubungan antara pemilik modal dengan pemilik perahu, pemilik kapal dengan ABK, yang ditunjukkan dengan adanya gejala eksploitasi. Seiring dengan peningkatan teknologi, maka ketimpangan pendapatan antara pemilik alat produksi dengan ABK semakin lebar, namun hal ini tidak menyebabkan gejala polarisasi. Komunitas nelayan terdeferensiasi lebih kompleks sehingga menyebabkan perubahan pada pola stratifikasi. 6. Iqbal, 2004 Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur Secara garis besar terdapat dua jenis strategi nafkah yang dipergunakan masyarakat lapisan bawah di dalam menghadapi tekanan hidup, yaitu strategi produksi ekonomi dan strategi non produksi pemanfaatan modal sosial. Strategi ekonomi erat kaitannya dengan kondisi ekologi, ketersediaan modal finansial dan sumberdaya manusia. Sementara strategi non produksi memanfaatkan modal sosial yang ada sebagai jaminan keamanan sosial social security, seperti memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan lokal, jaringan, unsur norma dan nilai-nilai. 7. Shaliza, 2004 Dinamika Konflik antar Komunitas dan Transformasi Modal Sosial Studi Kasus Konflik antara Komunitas Nelayan Parit III dan Melati di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau Konflik antar nelayan di Bengkalis telah berlangsung sejak tahun 1985, dengan lima titik ekstrim. Konflik disebabkan oleh dan berimplikasi pada perubahan pola hubungan sosial dan transformasi modal sosial. Kemudian pada komunitas nelayan Parit III, periode komersialisasi menggeser pelapisan sosial secara budaya menjadi pelapisan sosial secara ekonomi, namun sifatnya masih sederhana. Kemudian, konflik menimbulkan perubahan pada dimensi modal sosial. Serta penyebab konflik antar kedua komunitas nelayan adalah karena perbedaan tindakan pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir, 82 perubahan pola hubungan dan perbedaan orientasi nilai budaya. 8. Kinseng, 2007 Kelas dan Konflik Kelas pada Kaum Nelayan di Indonesia Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur Struktur kelas kaum nelayan di Balikpapan berkembang ke arah yang lebih “rumit” dengan munculnya kelas menengah baru atau kelas borjuis baru yang adalah nelayan pemilik, sehingga struktur kelas kaum nelayan terdiri dari emapt kelas, yakni buruh, nelayan kecil, nelayan menengah, dan nelayan besarkapitalis. Selanjutnya, kaum buruh nelayan sawi masih belum mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas kaum buruh nelayan belum terjadi. Sebaliknya kelas pemilik secara keseluruhan telah mempunyai kesadaran kelas, dan formasi kelas telah terjadi. Konflik kelas yang terjadi antara nelayan puse seine dengan nelayan tradisional disebabkan oleh dominasi nelayan kapitalis besar terhadap nelayan tradisional dalam proses penangkapan, dengan basis dominasi kelas tersebut adalah tingkat teknologi penangkapan. 9. Hamzah, 2008 Respons Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara Hasil penelitian menunjukkan bahwa modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap mini purseine dan pukat cincin gae diperkenalkan di Lagasa pada tahun 1976-1977, namun Bajo yang adopter cenderung lebih banyak dalam golongan pengadopsi lambat. Sejumlah kecil pengadopsi cepat memiliki umur yang lebih muda, dan tingkat pendapatan yang tinggi. Selanjutnya, terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Modernisasi perikanan di desa lagasa berdampak pada perubahan pola kerja, yakni daya jelajah lebih jauh, jumlah pekerja sawi lebih banyak dengan sifat semi bebas, dan perekrutan lebih selektif. 10. Widodo, 2009 Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir Kasus Dua Desa di Kemiskinan di kedua desa kasus disebabkan oleh rendahnya akses rumahtangga terhadap sumber- 83 Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bengkalan, Propinsi Jawa Timur sumber nafkah. Kenaikan harga BBM menjadi masalah tersendiri bagi rumahtangga nelayan karena meningkatkan biaya melaut, ditambah lagi dengan konflik perebutan sumberdaya diantara sesama nelayan sehingga memperparah kondisi keuangan rumahtangga. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan miskin di kedua desa dilakukan dengan mencoba mempersluas basis nafkahnya, bukan saja pada terbatas pada basis nafkah on farm, dan off farm saja namun telah meluas hingga ke non farm. 11. Nuryaddin, 2010 Kapital Sosial Nelayan Suku Bajo : Studi Kasus Komunitas Suku Bajo di Pulau Baliara, Provinsi Sulawesi Tenggara Struktur sosial yang paling memungkinkan kapital sosial tertambat pada skala komunitas, yakni bonding social capital dimana tingkatan kinerja integrasi dan jejaring yang ada menunjukkan indikator- indikator yang relatif tinggi karena faktor ; 1 homogenitas etnik suku yang penuh didasari hubungan kekeluargaan danshitang, kekerabatan kinship, relatif kecil small scale, gotong-royong sitabangan, dan menghindari konflik orrai lesse, dan 2 homogenitas pekerjaan yaitu nelayan dimana bekerja sebagai nelayan adalah sumber atau tempat menggantungkan hidup kalumanine. Relasi sosial nelayan suku Bajo dengan pemilik modal punggawa tidak hanya berdimensi patron client, tetapi juga mutual simbiosis karena fungsi punggawa selain sebagai pemodal dan pengumpul, tetapi juga sebagai institusi jaminan sosial nelayan. 12. Susilo, 2010 Dinamika Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir : Kapasitas Ruang dan Titik Kritis Struktur Sosial masyarakat Nelayan di Dusun Karanggoso, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur Dinamika kapasitas ruang struktur sosial di ekosistem pesisir Karanggoso selama masa pengamatan, yaitu dalam tiga masa kehidupan isolasi, terbuka-1, dan terbuka-2, secara umum dapat dijelaskan ada dua indikator yang penting, yakni indikator obyektif yaitu berupa ketersediaan peluang bekerja 84 dan berusaha dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kedua tingkat aksesbilitas individu di dalam pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya pesisir. Kapasitas ruang struktur sosial yang secara obyektif berkembang meluas tidak selalu diikuti oleh tingkat kemampuan akses individu atau sistem sosial yang ada dalam struktur sosial. Serta struktur sosial mendekati titik kritis di masa isolasi terjadi secara umum. Dari beberapa hasil penelitian yang ditampilkan di dalam matriks 1. Menunjukkan bahwa saat ini baik masyarakat manapun khususnya masyarakat pesisir mengalami bentuk-bentuk transformasi, dan masyarakat pesisir bereaksi dalam beragam bentuk. Keseluruhan proses transformasi pedesaan menghasilkan dampak lanjutan berupa : 1 derajat ketidakamanan sumber nafkah degree of livelihood insecurity, serta 2 lumpuhnya struktur-struktur kelembagaan jaminan nafkah asli yang telah mapan Dharmawan, 2007. Juga tidak bisa dipungkiri juga terdapat gejala-gejala terbentuknya masyarakat kapitalistik sebagai respon atas serangan-serangan yang mengguncang sistem ekonomi subsisten yang dahulu dipertahankan beserta nilai-nilai yang menyertainya. Sesuai dengan pemikiran dari para ahli sosiolog aliran strukturalis aliran klasik yang menyatakan bahwa gejala-gejala perubahan masyarakat yang awalnya subsisten pra kapitalis kemudian menggejala layaknya kapitalis dicirikan sebagai masyarakat yang mulai meninggalkan romatisme hubungan yang guyub “gemeinschaft” yang dalam pandangan Tonnies sebagai suatu masyarakat yang lebih “alamiah” dan “organis”, kemudian perlahan-lahan masyarakat semakin menghargai materi, dan pengejaran terhadap materi, berani melakukan akusisi kapital, dan karena kecenderungan mentuhankan materi maka masyarakat cenderung menjadi sangat individualistik dan egoistic. Ciri-ciri ini rupanya mulai merasuk dan dianut oleh para nelayan-nelayan Bajo baik di Mola dan Mantigola. Namun, tidak berarti kecepatan dalam perkembangan kapitalisme di setiap masyarakat Bajo akan sama, karena ada yang dengan mudah menerima, ada pula yang berupaya “bertahan” dengan subsistensinya. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan laju perubahan sosial yang terjadi di Mola dan Mantigola. Maka, berdasarkan kenyataan tersebut, tulisan ini 85 akan secara lebih mendalam membahas satu persatu gejala perubahan sosial yang terjadi di Mola maupun dan Mantigola, serta sekaligus membandingkannya, dan merefleksikannya dengan teori-teori kapitalisme dan hasil penelitian mengenai transformasi masyarakat yang telah dilakukan sebelumnya pada beberapa sistem masyarakat tertentu. Kemudian, penelitian ini juga sangat diperlukan, karena studi-studi mengenai transformasi ekonomi dan gejala kapitalisme lokal komunitas adat Bajo masih sangat langka. Misalnya saja penelitian Suyuti 1995 fokus mengenai perubahan makna sama dan bagai pada komunitas Bajo Sulaho Kolaka. Stacey 1999 dengan judul tulisan Boats To Burn, Bajo Fishing Activity in The Australian Fishing Zone yang membahas mengenai hilangnya hak perikanan tangkap tradisional nelayan Bajo Wakatobi akibat terbitnya MoU Box 1974. Kemudian, tulisan Peribadi 2000 membahas mengenai kedudukan dan peranan perempuan dalam sistem kekerabatan masyarakat Bajo Soropia, penelitian Hamzah 2008 mengenai respon komunitas nelayan Bajo Lagasa Muna terhadap modernisasi perikanan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi, serta modernisasi menyebabkan perubahan struktur sosial dengan sistem bagi hasil yang menjadi pranata nelayan, stratifikasi yang kompleks dan diferensiasi beragam dan pola hubungan semi eksploitatif, dan tulisan Nuryaddin 2010 berfokus tentang kapital sosial nelayan Bajo Baliara. Lebih lanjut, melihat telah terjadinya fenomena transformasi ekonomi masyarakat Bajo Mola sehingga muncul nelayan kapitalis lokal Bajo, dan hal ini tidak terjadi pada komunitas Bajo lainnya di Wakatobi, termasuk juga Bajo Mantigola yang adalah kampung asal Bajo Mola. Maka penelitian ini akan memfokuskan pada proses transformasi sosial masyarakat Bajo Mola dengan membandingkan transformasi immaterial dalam bentuk perubahan orientasi nilai dan rasionalitas yang pada akhirnya mengubah moda produksi nelayan Bajo Mola dan Mantigola, kemudian menguraikan perubahan moda produksi nelayan Bajo Mola bercirikan subsistensi pada awalnya hingga menjadi kapitalis seperti saat ini. Berdasarkan fakta yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa terjadi kemunculan kapitalisme dengan derajat perkembangan kapitalisme yang berbeda-beda, dan rupanya gambaran kapitalisme yang dialami orang 86 masyarakat Bajo Mola dan Mantigola ini berciri lokal. Maka pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola? 2. Bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola? 3. Seperti apa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola?

1.3. Tujuan Penelitian