Ikhtisar WAJAH KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO

256 untuk memperoleh keuntungan yang berlimpah, namun meruntuhkan solidaritas antara orang-orang sama.

5.5. Ikhtisar

Perbedaan antara orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang dalam hal wajah kapitalisme ; Bajo Mola berkembang demikian cepat, membentuk individu progresif terhadap perubahan, sementara orang-orang Bajo Mantigola cenderung lebih persisten terhadap perubahan ditengarai disebabkan oleh dikotomi etnik yang terkait dengan pemaknaan dari nilai-nilai Sama dan Bagai bagi masyarakat Bajo Mola terdapat kecenderungan mulai berubah. Kontak budaya dengan orang Wanci dan seorang pengusaha Tionghoa An Tje merupakan penyebab meleburnya batas-batas ini. Sementara, orang Bajo Mantigola, identitas etnik yang terkait dengan pemaknaan sama dan bagai cenderung semakin tegas dan menonjol. Penyebab identitas ini semakin tajam adalah karena orang-orang Bajo tidak memiliki tanah di Pulau Kaledupa, masyarakat Bajo diposisikan sebagai masyarakat lapisan bawah oleh orang-orang Buton Kaledupa, sehingga pembauran cenderung rendah, identitas etnik selalu ditampilkan melalui tatanan, adat istiadat dan simbol-simbol yang berbeda oleh orang-orang Bajo terhadap orang-orang Buton, pasar-pasar di Pulau Kaledupa tidak berkembang. Perbedaan kecepatan perubahan sosial di Mola juga cenderung disebabkan karena orang-orang Bajo Mola berhasil mengembangkan dirinya menjadi aktor kapitalis lokal, karena orang Wanci Mandati cenderung berjiwa demokratis. Sebaliknya, orang Bajo Mantigola persisten terhadap perubahan, dan mandek ekonominya, karena Bajo menghadapi orang Buton Kaledupa yang cenderung autokrasi dan berperangai sangat tegas. Pengaruh kepercayaan sedikit banyak mempengaruhi perkembangan usaha orang-orang Mola dan Mantigola. Bagi orang-orang Mola, kepercayaan animisme memang perlahan-lahan telah runtuh, namun tidak serta merta juga meningkatkan domain keislaman mereka. Salah satu unsur Islam yang berubah fungsi menjadi salah satu “pemacu” etos kapitalisme para pengusaha-pengusaha di Mola adalah melakukan ibadah Haji.Sementara di satu sisi kenyataan yang 257 berbeda terjadi di Mantigola, kepercayaan animisme masih kuat “bercokol” dalam jiwa orang-orang Bajo Mantigola, sehingga tidak memberikan etos tersendiri bagi perkembangan usaha yang dikelola oleh orang-orang Mantigola. Dari apa yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan gambaran dikotomi masyarakat kapitalis dan pra kapitalis oleh Booke, dan dengan menggunakan hasil temuan Howard 1978 mengenai rich peasant dan rich famer, maka para pengusaha Mola telah cenderung bertransformasi menjadi aktor kapitalis, namun dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tertentu, misalnya nilai daparanakan, dan nilai inklusifitas baong Sama yang memberikan warna “lokal” terhadap kapitalisme ala Bajo Mola. Sebaliknya orang-orang Mantigola tetap mempertahankan diri dalam ekonomi pra kapitalis yang cenderung menekankan pada batas tegas nilai-nilai Sama dan Bagai. Dan pada akhirnya memberikan warna pada kehidupan perekonomiannya. Sumber dari munculnya kapitalisme di masyarakat suku Bajo, berasal dari diterimanya nilai-nilai usaha, baik dari An Tje, maupun dari hasil akulturasi budaya dengan masyarakat wanci Mandati. Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis local tidak seperti etika yang dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme, melainkan ada etika dari kepercayaan, nilai-nilai budaya Bajo yang mewarnai kapitalisme lokal suku Bajo. Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Ternyata pada akhirnya, orang Mola menguasai pasar, dan kemudian melakukan perubahan artikulasi cara produksi hingga berani melakukan eksplotasi terhadap saudaranya sendiri, maka teori Marx yang digunakan untuk memahami gejala tersebut. Namun sekali lagi, bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola terhadap saudaranya bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu di hati para aktor kapitalis lokal. 258 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada dua komunitas yaitu komunitas Suku Bajo Mola, dan Suku Bajo Mantigola, menunjukkan telah terjadi perubahan sosial, sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya masyarakat, dan kuatnya arus komersialisasi. Hal ini didasarkan pada perubahan orientasi nilai-nilai budaya, etika moralitas, dan rasionalitas yang dimiliki baik di Bajo Mola maupun di Mantigola. Kemunculan beberapa aktor kapitalis local Bajo di Mola merupakan suatu indikator bagaimana masyarakat Bajo tengah mengalami perubahan orientasi hidup yang semula hidup berpindah-pindah dengan pola hidup subsistensinya. Dahulu individualisme bagi orang Bajo bukan untuk cara orang Bajo untuk memperkaya diri atau mengumpulkan kekayaan. Dahulu juga orang Bajo bukan masyarakat yang berada. Orang-orang Bajo menggambarkan kesederhaan dan kemiskinan sebagai ciri khas keberadaan mereka. Saat ini, roda pergerakan ekonomi bergerak sedemikian cepatnya, Sistem penghidupan masyarakat yang semula dibangun dengan sistem kolektivitas cenderung berganti menjadi sistem ekonomi kapitalis yang bergantung pada pasar dan sifatnya komersial. Namun, falsafah hidup orang Bajo yang terkait dengan nilai-nilai daparanakan, dan falsafah sama dan bagai, serta bentuk keyakinan rupanya memberikan warna khas dalam sistem ekonomi kapitalis Bajo, khususnya Bajo Mola. Pengaruh An Tje sebagai sang pembawa nilai-nilai baru, yakni nilai kapitalisme melalui pertukaran ekonomi rupanya berhasil memunculkan golongan perintis kapitalis lokal pada masyarakat Mola. Perubahan ini juga didukung oleh peran orang-orang Mandati yang adalah seorang kapitalis, membawa iklim yang kondusif untuk mengembangkan usaha. Posisi orang-orang Bajo di dalam mekanisme pertukaran yang terjadi cenderung setara antara orang Bajo dan orang Mandati, karena orang Bajo dianggap sebagai konsumen potensial sekaligus sebagai produsen utama kegiatan perdagangannya. Dan tidak bisa dipungkiri juga bahwa rutinitas pelayaran di Wanci sangat tinggi sejak dahulu. Di Bajo Mantigola penggunaan tenaga kerja, khususnya nelayan sudah tidak harga mati bahwa harus orang Bajo. Karena tekanan permintaan pasar 259 yang tinggi, maka mau tidak mau hubungan kerja juga harus melibatkan nelayan- nelayan darat. Sistem perekrutan nelayan Bajo sendiri tetap dilandasi oleh ketentuan “daparanakan” sebagai basis hubungan produksi, dan masih berlakunya hubungan “patron client” antara nelayan dengan pengumpul. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa di Mola terjadi mekanisme “pertarungan” antara etika sosial kolektif dengan individual materialisme, dalam bentuk konflik rasionalitas. Yakni rasionalitas subyektif, yang menekankan pada iklusifitas kelompok Bajo, dan rasionalitas instrumental dalam bentuk rasionalitas ekonomi praktis. Bentuk konstelasi pertarungan nilai ini pada akhirnya menyebabkan kapitalisme yang terbentuk pada actor-aktor pengusaha Mola. Etika social kolektif pada actor kapitalis Mola cenderung semakin melemah, akibat gempuran kekuatan “uang”, sebagai contoh munculnya persaingan yang tinggi antara sesama pengumpul ikan hidup, meskipun mereka sama-sama orang Bajo sama. Bagi aktor yang dominan pada basis etika social kolektif maka rasionalitas yang dibangun antara lain rasionalitas moral social, dan rasional ekonomi, dimana keuntungan untuk kesejahteraan social. Sebaliknya bagi actor yang dominan membangun etika sosial individual materialisme, rasionalitas yang dibangun cenderung pada rasionalitas formal, dan rasionalitas ekonomi dimana bisnis untuk keuntungan individu semata. Sebaliknya, bagi Bajo Mantigola, perubahan sosial terjadi begitu lambat. Tekanan –tekanan yang dialami oleh masyarakat Bajo Mantigola oleh orang- orang Kaledupa dalam bentuk perlakuan yang diskriminatif, secara kontekstual terjadi karena, posisi masyarakat Bajo di Pulau Kaledupa, berada pada lapisan terbawah dari sistem sosial. Dengan kondisi seperti ini tidak membawa pada iklim yang kondusif dalam berusaha. Kondisi seperti ini menimbulkan etos tersendiri, dan menciptakan mentalitas Bajo yang cenderung penakut, dan kurang berani mengambil resiko. Goncangan-goncangan sosial dan ekonomi semakin menjadi-jadi karena lahan nafkah semakin sempit akibat zonasi taman nasional Wakatobi. Beberapa produk-produk yang menjadi sumber keuntungan terbesar adalah komoditas yang terlarang untuk diperdagangkan. Di tengah berbagai ironi yang mendera pada akhirnya menciptakan bentuk etika social moralitas tertentu, dan akumulasi capital tersendiri dan strategi bisnis tersendiri, yang ditujukkan untuk “bertahan” untuk mencari nafkah untuk hidup. 260 Agama juga menjadi faktor penting yang berperan di dalam munculnya kapitalisme lokal di suku Bajo. Bagi orang-orang Mola, kepercayaan animisme memang perlahan-lahan telah runtuh atau disebut Weber demagifikasi, akibat perkembangan arus ekonomi uang, dan proses urbanisasi pemukiman di Mola. Analisis orientasi nilai budaya juga menunjukkan bagaimana pemaknaan memberikan warna terhadap kapitalisme masyarakat Bajo Mola maupun Mantigola. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, bahwa nelayan Bajo Mola telah bertransformasi menjadi manusia yang optimistic dan progresif. Dimana bagi orang-orang Bajo Mola orientasi hidup tidak lagi berdasarkan masa lalu, tetapi lebih kepada orientasi masa depan, Kemudian orang-orang Bajo Mola menganggap bahwa manusia berhasrat untuk menguasai alam untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dan karya yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo Mola ditujukkan untuk akumulasi capital. Sebaliknya nelayan Mantigola cenderung fatalis. Akibat beragam bentuk tekanan pada ruang-ruang nafkah, baik oleh orang-orang Kaledupa, mekanisme ketergantungan yang diciptakan oleh orang-orang Bajo sendiri, khususnya orang Mola, serta tekanan karena semakin sempitnya lahan nafkah akibat zonasi taman nasional sehingga penghidupan relative tidak stabil, dan ketahanan nafkah relative rendah, menimbulkan orientasi nilai masyarakat yang cenderung fatalis. Pada akhirnya kita menyimpulkan bahwa gambaran mengenai perbedaan orientasi perkembangan kapitalisme lokal, baik pada Bajo Mola yang progresif dalam perkembangan kapitalismenya, dan Mantigola cenderung lebih lambat menjustifikasi bahwa orang-orang Bajo melalui beragam tahap yang berbeda dalam menuju bentuk ekonomi kapitalisme yang digambarkan melalui enam dimensi kapitalisme lokal yang telah digambarkan secara rinci dalam tulisan ini antara lain : 1 profit maksimisasi ; 2 pola ekspansi ekonomi ; 3 individualisme-profit propertu ; 4 Hubungan sosial produksi. Pemaknaan menunjukkan cirri-ciri lokal yang melekat pada bentuk ekonomi baik di Mola maupun Mantigola, yang bukan berarti menyebabkan kegagalan dalam berekonomi ekspansif, namun memberikan warna tersendiri terhadap kapitalisme yang terbentuk pada orang Bajo Mola dan Mantigola dalam bentuk gambaran rasionalitasnya. Ciri lokal, dan kaitannya dengan konteks sosial sphere of life juga tidak bisa ditinggalkan sebagai faktor penting pembentuk kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo. Semua temuan ini sekaligus juga membuktikan bahwa 261 teori Boeke tentang simbol kelambanan lekat pada ekonomi pribumi tidak sepenuhnya benar bahwa ekonomi moneter dan kapitalisasi yang secara teori semestinya mentransformasikan pedesaan menuju ekonomi modern ternyata memberikan suatu gambaran perkembangan yang berbeda, yakni di satu sisi progresif, dan di satu sisi mengalami kemandekan ekonomi pribumi. Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme. Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu yang mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo .

6.2. Saran