Pengertian Kapitalisme Lokal Kerangka Pemikiran

108 pemaknaan memberikan justifikasi atau alasan terhadap tindakan tertentu yang ditampilkan.

2.3. Pengertian Kapitalisme Lokal

Di dalam penelitian ini pumpunan penelitian yang paling krusial adalah menggambarkan munculnya kapitalisme di masyarakat suku Bajo dilihat sebagai suatu gejala sosiologis yang berlangsung di dalam suatu sistem social tertentu. Terminologi local khususnya disebut sebagai kapitalisme local diartikan sebagai suatu fenomena hibridisasi nilai-nilai local suku Bajo dengan nilai-nilai kapitalisme penuh yang kemudian memberikan warna pada perekonomian yang dikembangkan di Bajo Mola dan Bajo Mantigola. Serupa dengan penelitian Sitorus 1999 yang melihat gejala pembentukan pengusaha lokal penenun di Batak Toba yang melihat gejala ini bukan sebagai gejala social mikro lokal yang terisolir, melainkan terkait dengan sistem social di luar dari sistem social lokal masyarakat Bajo Mola dan Mantigola. Maka ekonomi local dalam bentuk kapitalisme lokal yang dimaksud adalah bagaimana pemaknaan dan pada akhirnya membentuk struktur ekonomi yang dilihat dalam konteks lokal. Lokal artinya merujuk pada satu komunitas tertentu, yang terkait dengan nilai-nilai tertentu, dan pada akhirnya mewarnai segala aspek kehidupannya termasuk sistem ekonominya. Perubahan ekonomi dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial kelompok masyarakat terkait aktifitas-aktifitasnya dalam usaha pemenuhan hidup Purnomo, 2005. Penelitian ini akan menggambarkan bagaimana posisi “lokal” ekonomi masyarakat suku Bajo Mola dan Mantigola dalam suatu kontinum perubahan sosial masyarakat dari sistem ekonomi pra kapitalistik, yang hasil produksi tidak dipertukarkan ke pasar komersial, namun untuk digunakan bersama secara social, dan berorientasi pada nilai pakai use value. Sementara sistem ekonomi kapitalistik sebaliknya, hasil produksi dipertukarkan ke pasar komersial yang berorientasi pada nilai tukar exchange value.

2.4. Kerangka Pemikiran

Penelitian mengenai pembentukan kapitalisme lokal nelayan suku Bajo dilatarbelakangi oleh fenomena unik dari munculnya nelayan Bajo Mola yang sangat kapitalis namun di satu sisi dalam ruang-ruang kehidupannya masih 109 dilandasi oleh etos-etos dan pandangan hidup yang terkandung di dalam keyakinannya dan pandangannya terhadap alam dan laut sebagai sumber kehidupan worldview, nilai-nilai antara sama dan bagai, dan fungsi daparanakan kinship sebagai penopang keberhasilan usaha. Sementara ada fenomena lain dari masyarakat Bajo, khususnya Mantigola yang tetap mempertahankan kehidupan Bajo yang tradisional. Dengan pola nafkah lebih berorientasi pada subsistensi rumahtangga, anggota keluarga sebagai tenaga kerja keluarga, hubungan produksi bersifat egaliter, moral ekonomi nelayan masih berpijak pada basis sosial kolektif. Hidup menetapnya orang-orang Bajo di pulau Wanci maupun di Kaledupa rupanya merubah sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat Bajo. Mekanisme pertukaran social dan posisi orang Bajo di dalam struktur social pada kelompok masyarakat tertentu dimana ia terlekati bisa jadi menguatkan nilai-nilai dan norma yang dipertahankan, atau menimbulkan pergeseran serta pemaknaan baru terhadap lima dasar dalam kehidupan manusia oleh Kluckhon, antara lain mengenai hakekat hidup manusia, hakekat karya manusia, hakekat manusia terhadap ruang dan waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hakekat manusia dengan sesamanya oleh masyarakat Bajo Mola merupakan wujud dari adaptasi yang terjadi di komunitas Bajo Mola terhadap lingkungan fisik maupun sosial di Pulau Wanci. Perubahan sikap dan etika subsistensi nelayan Bajo menyebabkan mereka melibatkan diri dalam perkembangan ekonomi kapitalisme yang bergerak atas dasar motif rasional, keuntungan individu, pengambil resiko yang tinggi, dan selalu mencoba berbagai inovasi yang baru. Pemahaman terhadap pemaknaan masyarakat Bajo terhadap lima masalah dasar kehidupan manusia sebagai landasan untuk mempertanyakan kembali pemikiran Boeke melalui konsepsi masyarakat gandanya, bahwa sikap mental masyarakat pribumi tidak atau belum sesuai dengan rasionalisasi pola pikir kehidupan kapitalisme. Analisa awal dalam melihat gejala terbentuknya kapitalisme lokal adalah untuk memahami alasan terjadinya perbedaan laju perubahan sosial antara komunitas Bajo Mola dan Bajo Mantigola, melalui pemahaman yang mendalam konteks social masing-masing yang melatarbelakanginya. Berpijak pada pandangan Weberian, bahwa sebelum terjadinya perubahan teknologi terlebih dahulu telah terjadi perubahan gagasan baru dalam pola pemikiran masyarakat 110 Bajo. Menurut Weber, di setiap masyarakat terdapat suatu sistem nilai yang hidup dan bertumbuh secara khusus, yang membedakan masyarakat satu dengan lainnya. Nilai yang merupakan gagasan tersebut akhirnya menjadi kekuatan yang dominan dari suatu kelompok masyarakat, sehingga menjadikan kelompok masyarakat tersebut berbeda dari kelompok masyarakat yang lainnya. Konteks sosial juga berperan dalam member warna “lokal” sekaligus sebagai penyebab perbedaan orientasi ekonomi lokal yang dikembangkan baik di Bajo Mola dan Mantigola. Konteks sosial dimaknai dalam tulisan ini sebagai “wadah” tumbuh dan berkembangnya kapitalisme di masyarakat Bajo Mola, namun di satu sisi juga berperan di dalam perlambatan perkembangan kapitalisme di Mantigola. Konteks social dianalisis melalui sejarah pembentukan kapitalisme lokal, dan agama yang mewadahi perkembangan kapitalisme di Mola dan Mantigola. Rasionalitas di sini diartikan sebagai tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan tidak dapat dijelaskan hanya dengan merujuk pada motif individu semata. Sebagai bentuk dari tindakan sosial, tindakan ekonomi terlekat embedded pada jaringan hubungan masing-masing individu dari pada sebagai individu yang berdiri sendiri. Merujuk Weber, maka rasionalitas yang mendasari tindakan ekonomi bias saja dalam bentuk rasionalitas instrumental mean-ends rationality dan rasional berorientasi nilai substantive rationality. Semua ini pada akhirnya membentuk transformasi ekonomi dengan gejala lokal yang khas. Kapitalisme lokal dalam tulisan ini seperti yang telah dibahas sebelumnya, dimaknai sebagai terintegrasinya nilai-nilai ekonomi kapitalis yang berciri dominasi nilai-nilai materialism dengan nilai-nilai lokal tradisional. Secara perlahan-lahan masyarakat Bajo menuju suatu bentuk ekonomi kapitalisme, namun ruang-ruang nilai memberikan warna lokal terhadap tahap-tahap menuju kapitalismenya. Derajat menuju orientasi ekonomi kapitalisme diukur berdasarkan kecenderungan dimensi-dimensi kapitalisme seperti profit maksimisasi, pola ekspansi ekonomi, transfer nilai-nilai keuntungan dari pasar komersial, kepemilikan properti ekonomi secara individu sehingga memberikan warna hubungan social produksi yang dapat dilihat bagaimana hubungan buruh dan majikan dalam bentuk eksploitatif, atau bisa jadi hubungan yang non eksploitatif dengan merujuk pada jejaring bisnis dalam bentuk aliansi startegis ke luar. 111 Profit maksimisasi dipinjam dari teorisasi Marxian dan Weberian bahwa nilai keuntungan diciptakan melalui produksi, dan juga pemeliharaan nilai-nilai tertentu. Kegiatan ekonomi kapitalisme memang bertujuan untuk mencari keuntungan. Apa yang para kapitalis miliki, termasuk keluarga bahkan dirinya sendiri diupayakan menjadi modal kapital untuk memperoleh keuntungan, namun disatu sisi untuk warna kapitalisme lokal suku Bajo keuntungan tidak semata-mata diciptakan untuk maksimisasi untuk diri sendiri, nilai-nilai lokal tertentu juga member warna dalam pembentukan profit, beserta tujuan maksimisasinya. Pola ekspansi ekonomi sesungguhnya erat kaitannya dengan beragam upaya yang dilakukan para aktor kapitalis untuk meningkatkan skala usaha, dan pada akhirnya mengarahkan pada maksimisasi profit. Dahulu model ekspansi usaha dengan berniaga di berbagai wilayah, memperluas pasar. Bahkan dengan bersaing keras dengan para kapitalis lainnya. Bangsa kolonial malah melakukan ekspansi melalui penjajahan. Untuk ekspansi usaha para kapitalis akan menempuh jalan seperti meningkatkan kualitas produksinya, memodernisasi alat- alat kerjanya agar lebih efisien, dan dapat menurunkan biaya produksinya, kemudian mampu mengatasi persaingan harga. Tujuan produksi kapitalis ialah memperoleh nilai lebih semaksimal mungkin, untuk mengembangkan capital dan menumpuk kekayaan. Maka individualisme menjadi cirri utama sistem ekonomi ini. Keuntungan kapitalis hakikatnya ialah hasil dari pemerasan dan penghisapan atas kerja kaum buruh. Bagi Marx juga keuntungan ini bukan karena modernisasi alat-alat produksi, namun melainkan dari pemerasan atas kekuatan tenaga kerja. Hubungan antar manusia pada sistem kapitalisme berdasarkan pada fungsinya. Manusia sebagai individu berorientasi mencari keuntungan. Manusia yang memiliki kapital kemudian dapat mengeksploitasi manusia yang tidak memiliki kapital. Namun, karena masih ber”cokol’nya ruang-ruang nilai di diri sang aktor, dan motivasi spiritual, menciptakan hubungan produksi yang khas. Penelitian ini menekankan bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Mola dan Mantigola. Di dalam tulisan ini proses sosial yang dipahami bahwa masyarakat Bajo sekalipun tengah “bertarung” menuju sistem ekonomi kapitalis, bukan karena itu yang mereka inginkan, namun tekanan kehidupan membuat mereka harus bertarung dengan mengandalkan kekuatan 112 internal dari dirinya. Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana orang-orang Bajo menuju ekonomi kapitalisme melalui tahap-tahap yang berbeda dengan ciri khas lokal. Secara skematis dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

2.5. Hipotesa Pengarah