233 oleh kapitalis sesungguhnya semata-mata untuk membela dirinya atas
eksploitasi yang dilakukannya, karena penggunaan nelayan-nelayan yang sifatnya terikat dari suku Bajo sendiri, memang sangat diperlukan oleh actor
untuk menjamin ketersediaan komoditas yang akan diperjualbelikan di pasar internasional.
Pada bagian pembahasan mengenai karakteristik aktor kapitalis lokal khususnya yang membahas mengenai rasionalitas, menunjukkan bahwa nilai-
nilai ekonomi materialisme memang sudah menggerus ranah pemikiran ekonomi, dalam hal perhitungan untung dan rugi. Namun, nilai-nilai sosial
kolektivisme tetap “bercokol” pada ranah pemaknaan, sehingga konflik rasionalitas terjadi. Konflik rasionalitas ini membuktikan bahwa nilai-nilai sosial
kolektifisme yang menjadi landasan hidup orang-orang Bajo, mampu mencegah terjadinya “keserakahan” yang berlebihan dari para pengusaha di Mola, tidak
seperti yang diteorikan oleh Marx mengenai kaum borjuis yang selalu haus akan keuntungan.
5.3.2. Pola Ekspansi Ekonomi
Terkait dengan ekspansi ekonomi, menurut Marx dalam Magnis-Suseno, 2005 ciri khas dari ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya
mengakui satu hukum : hukum tawar-menawar di pasar. Sehingga kapitalisme adalah ekonomi yang bebas: bebas dari berbagai pembatasan oleh raja dan
penguasa lain orang boleh membeli dan menjual barang di pasar manapun, bebas dari pembatasan-pembatasan produksi orang bebas mengerjakan dan
memproduksi apapun yang dikehendakinya, bebas dari pembatasan tenaga kerja orang boleh mencari pekerjaan dimana pun, ia tidak terikat pada desa atau
tempat kerjanya. Yang menentukan semata-mata keuntungan yang lebih besar. Sistem ekonomi kapitalis dibedakan oleh kepentingan utama dari
produksi kapital. Produksi capital dalam bentuk uang kemudian diinvestasikan di dalam komoditas artikulasi cara produksi dan kekuatan tenaga kerja yang
memiliki nilai lebih. Keuntunganan yang diperoleh aktor kemudian diinvestasikan kembali, seperti apa yang diungkapkan Marx sebagai expanded reproduction of
capital. Weber sebaliknya, bahwa dibalik kapitalisme bukan saja didorong oleh
keinginan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, melainkan juga
234 karena etika moralitas yang mendorong timbulnya rasionalitas tertentu dalam
berusaha. Deterministik ekonomi ala Marx menurut Weber belumlah cukup untuk menggambarkan sistem ekonomi kapitalistik. Sebab jauh dari kepentingan
ekonomi semata-mata, ada suatu nilai-nilai yang secara filosofis mendorong dan mewarnai bentuk-bentuk kapitalisme yang berkembang dalam suatu sistem
social terntentu. Jika melihat fenomena para aktor kapitalis Bajo di Mola, apa yang
diteorikan Marx juga tidak sepenuhnya bisa menggambarkan sistem kapitalisme lokal di Mola. Kenyataannya, jika dibandingkan dengan ekspansi usaha yang
dilakukan oleh orang-orang Mantigola. Para aktor kapitalis di Mola memang cenderung lebih terbuka terhadap bentuk peluang usaha, sejauh itu bisa
memberikan peluang keuntungan akan mereka lakukan. Namun, tidak bisa semua peluang ekonomi yang datang kemudian serta-merta mereka terima.
Usaha utama yang akan mereka kembangkan haruslah berbasis sumberdaya laut. Pemaknaan terhadap laut worldview dan nilai-nilai sama dan bagai
menjadi “filter” pemilihan sektor usaha yang dikembangkan. Karena bagi orang- orang Bajo satu-satunya lahan nafkah yang terlegitimasi untuk mereka adalah
lautan, dan orang darat bagai berkuasa di daratan. Maka jangan berharap orang Bajo akan menjual barang-barang bekas pakai selundupan RB di pasar
seperti orang Mandati, atau membuka lahan tambak didaratan seperti orang- orang Bugis di Delta Mahakam.
Di Mantigola lebih ekstrim lagi-karena transisi belum pada ekonomi kapitalisme-ekspansi usaha jauh lebih tertutup. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya pada bagian sejarah perkembangan kapitalisme, dan pembahasan orientasi nilai budaya, maka kecenderungan ekspansi yang tertutup karena
hakikat hidup orang-orang Bajo memandang kerja dan usaha sebagai sesuatu yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan penghindaran resiko
usaha. Kemudian, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tekanan struktural baik dari taman nasional yang membatasi ruang gerak masyarakat
Mantigola dalam mencari nafkah, dan keterikatan dan ketergantungan yang tinggi kepada orang-orang Mola membuat pola ekspansi kapital lebih terbatas
dan tertutup. Makna hubungan dengan sesama yang terkait dengan kekuasaan darat dan laut melalui nilai-nilai sama dan bagai yang sangat tegas juga
menyebabkan tidak pernah sedikit pun mereka ingin berekspansi ke darat.
235
5.3.3. Individualisme-Profit Properti