Tujuan Penelitian WAJAH KAPITALISME LOKAL SUKU BAJO

86 masyarakat Bajo Mola dan Mantigola ini berciri lokal. Maka pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola? 2. Bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola? 3. Seperti apa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk memahami bagaimana sejarah perkembangan terbentuknya nilai kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo Mola dan Mantigola. 2. Untuk memahami dan menganalisa bagaimana orientasi nilai budaya lokal yang mendasari terbentuknya kapitalisme lokal pada suku Bajo Mola dan Mantigola 3. Untuk memahami dan menganalisa perbandingan dominasi rasionalitas dalam gambaran kapitalisme lokal baik di Bajo Mola dan Mantigola. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ciri-ciri Kapitalisme Menurut Marx dalam Darsono 2007, masyarakat kapitalis adalah masyarakat penghisapan kaum kapitalis atas kerja kaum buruh, atau masyarakat capital yang menghisap darah manusia, dan masyarakat uang yang menimbun barang dagangan, atau masyarakat barang dagangan yang mengejar keuntungan. Dengan demikian masyarakat kapitalisme itu tujuan pokoknya ialah mencari keuntungan yang sebesar-sebesarnya untuk dijadikan kekayaan. 87 Dalam ekonomi masyarakat kapitalis, kapital mempunyai peranan yang sangat penting, sebab tanpa kapital, ekonomi masyarakat kapitalis tidak akan bisa hidup dan berkembang, Nilai atau bobot dan peranan seseorang atau seorang kapitalis diukur dan ditentukan oleh banyak sedikitnya capital yang dimilikinya. Makin besar kapitalnya, maka makin besar pula nilai, bobot, dan peranannya dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat kapitalis, sangat bertolak belakang terhadap sistem ekonomi komunal primitive yakni segala kegiatan ekonomi dimana alat produksi adalah milik semua anggota masyarakat. Hasil kerja dan keuntungan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Karena alat produksi milik bersama seluruh anggota masyarakat, tidak ada kelas-kelas dalam masyarakat seperti halnya masyarakat kapitalis. Perkembangan alat kerjanya menentukan perkembangan tenaga kerja produktifnya dan hubungan produksinya. Booke dalam Dharmawan 2001 membedakan dengan jelas mengenai ekonomi kapitalis yang padat modal dengan ekonomi pra kapitalis yang sarat dengan bentuk-bentuk kepemilikan bersama dan cenderung egalitarianism. Matriks 2 berikut akan menggambarkan perbedaan dua sistem perekonomian tersebut dengan sangat rinci. Matriks 2. Sistem Ekonomi pada Masyarakat Pertanian Suatu Perbandingan oleh Boeke Bentuk Sistem Ekonomi Indikator Perbandingan Pra Kapitalis Kapitalis Kesadaran terhadap ketidaksamaan secara alamiah Kesadaran terhadap kesamaan secara alamiah, namun secara ekonomi terjadi ketidaksamaan Dengan kelompok masyarakatnya cenderung patuh dan mengutamakan pelayanan terhadap sesama Kesadaran yang tinggi terhadap kebebasan, demokrasi, dan tanggung jawab. 1. Motivasi spiritual nilai- nilai Kepuasan pada terpenuhinya kebutuhan dasar Kepuasan pada kuntungan individual 88 Tradisional, dan pemeliharaan status quo. Rasional, dan orientasinya terhadap prestasi individu Komunalisme Individualisme Ekonomi disubordinasi oleh agama Ekonomi dan agama setara Tenaga kerja : sebagai sesuatu yang tidak layak dilakukan, waktu santai diutamakan. Tenaga kerja : sebagai basis usaha Dominasi oleh nilai-nilai pedesaan Dominasi oleh nilai-nilai perkotaan. Hubungan patriarchal kepada majikan Hubungan kerja bersifat kontraktual dan rasional antara bos dan buruh Dominasi terhadap kebutuhan-kebutuhan social. Dominasi terhadap Kebutuhan ekonomi individual Organisasi sosial yang tradisional serta turun- temurun. Individualisme, dan organisasi perusahaan Berdasarkan kekerabatan kinship Berdasarkan organisasi sukarela Unit produksi adalah rumahtangga Unit produksi adalah perusahaan Berbasis status Berbasis hubungan kontraktual Solidaritas yang dipelihara secara terus- menerus Solidaritas sukarela yang sementara Gemeinschaft Gesellschaft 2. Organisasi Struktur Sosial Skala lokal Lokal terhadap skala global. Pemenuhan kebutuhan subsistensi Pemenuhan kebutuhan pasar 3. Teknologi Tidak ada atau sedikit sekali alur pertukaran Uang sebagai modal, dan merupakan 89 uang ekonomi moneter Tenaga manual, yakni manusia Terjadi mekanisasi Aktivitas tertentu berdasarkan musim Pekerjaan yang cenderung tetap dan aktivitas yang terus- menerus. Industri pedesaan dan rumahtangga Perusahaan Sumber : Koentjaraningrat 1975 dalam Dharmawan 2001 Bagi Marx dalam Magnis-Suseno 2005, dari segi proses, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum: hukum tawar- menawar di pasar. Jadi kapitalisme adalah ekonomi yang bebas, bebas dari berbagai pembatasan oleh siapapun orang boleh membeli dan menjual barang di pasar mana pun, bebas dari pembatasan-pembatasan produksi orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya, bebas dari nilai pembatasan tenaga kerja. Yang menentukan semata-mata hanya untung yang besar. Dari segi output, bagi Marx dalam Magnis-Suseno 2005,perbedaan kapitalisme dari sistem produksi-produksi lain adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh para peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai. Karena dengan memproduksi nilai tukar tersebut menciptakan kelas proletariat yang dipercaya oleh Marx sebagai titik penghabisan kapitalisme. Marx menekankan bahwa tenaga kerja labor sebagai sumber dari pertukaran nilai ekonomi, juga merupakan sumber keuntungan profit. Menurut Marx, keuntungan yang diperoleh oleh kaun borjuis sebagai pemilik modal berasal eksploitasi dari tenaga kerja. Berbanding terbalik dengan pemikiran Hegel maka, agama merupakan factor yang tergantung dari sistem ekonomi, dan bukan sebagai pendorong dari dinamika ekonomi seperti yang diungkapkan oleh Hegel. Kelas social merupakan pusat dari pemikiran Engels dan konsepsi Marx mengenai sejarah kelas social dalam konsepsi Marx berbasis pada material. Kelas didefinisikan sebagai jenis-jenis krusial dari pola-pola hubungan social 90 yang mana diikat berdasarkan hubungan materialism, ideology, dan politik dari setiap komunitas. Properti dalam konsepsi Marx diartikan sebagai hak yang dilegalkan, didukung oleh negara, dan kepemilikan dari barang-marang material. Setiap tipe dari setiap sistem social akan berbeda-beda dalam konsepsi Marx menurut bentuk dari property, dan kelas social. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, pola umum dari kepemilikan property adalah modal industrial. Kelas social dibagi atas kapitalis yang memiliki artikulasi cara produksi means of production dan pekerja atau proletariat, yang tidak memiliki property, dan kekuatan satu-satunya adalah tenaga yang dijualnya pada pasar tenaga kerja untuk tujuan bertahan hidup. Kelas ini lah yang menurut Marx sebagai aktor utama didalam perubahan sejarah suatu masyarakat. Ide-ide dan agama ditentukan oleh kelas sosial. Bagi Marx kelas merupakan actor utama didalam tahap perkembangan sejarah, dan sebagai basis dari terbentuknya ide-ide dan kepercayaan. Di dalam masyarakat kapitalis menurut Marx dan Engels, akan terdapat suatu kelas menengah di dalam sistem social masyarakat kapitalis, yakni yang merupakan kelas pedagang kecil, seniman, dan industry skala kecil. Menurut Marx dan Engels, kelas menengah ini memiliki lingkungan kultur pergaulan tersendiri, malah menjadi actor politik bagi dirinya sendiri. Marx dan Engels menyebutkan orang-orang di kelas menengah ini sebagai “petit bourgeois radicals”. Namun, menurut Marx dan Engels ini tidak berlaku tetap, karena persaingan di dalam sistem kapitalis itu sendiri, maka kelas ini tidak selamanya akan berbentuk radikalisme, karena kapitalisme akan menciptakan consentrasi industry yang semakin lama semakin besar maka Marx dan Engels menduga petit bourgoise akan kehilangan property skala kecilnya, dan jatuh sebagai kelas proletariat. Teori kelas dari Marx dan Engels menunjukkan analisa mengenai sebab dan akibat. Mereka menunjukkan bagaimana perjuangan-perjuangan kelas dapat dianalisa ke dalam konflik dan persekutuan diantara kelas sosial yang mengejar perbedaan minat ekonomi tertentu Collins, 1985. Menurut marx, kelas social erat sekali hubungannya dengan ekonomi dan politik. Sistem ekonomi diorganisasikan melalui kepemilikan property, yang mendefinisikan kelas, dan property dikuatkan oleh kekuatan politik Negara. Properti tidak sendirinya dimiliki begitu saja, melainkan sesuatu dimiliki oleh seseorang hanya karena negara yang membentuk legalitas secara hukum 91 perundang-undangan terhadap property tersebut, dan akan berperan untuk menjalankan klaim-klaim kepemilikan bisa juga dengan cara menggunakan cara- cara militer. Selanjutnya bagi Marx, properti dalam beragam cara tidak akan dapat dicabut haknya oleh individu, tanpa dukungan dari sistem sosialnya itu sendiri. Misalnya, seseorang yang secara legal memiliki sebidang tanah namun tidak memiliki modal untuk membudidayakan tidak akan bermakna apapun. Karena alasan inilah, beberapa kelas ekonomi yang dominan harus sangat peduli terhadap politik. Namun, bukan berarti mereka terus-menerus bercokol di negara. Namun, peduli terhadap kondisi politik untuk memastikan bahwa negara tetap meneruskan perlindungan terhadap minat kepemilikan dari para kaum borjuis, dan sangat dibutuhkan intervensi dari kekuatan pemerintah untuk menciptakan peluang-peluang keberuntungan. Politik merupakan suatu cara perjuangan kaum borjuis untuk mengontrol keberlanjutan dukungan negara, dan kaum borjuis selalu memenangkan perjuangan ini, terkecuali situasi sejarah sebagai basis produksi berubah Collins, 1985. Konsepsi ekonomi Marx sesungguhnya mengungkapkan bahwa masyarakat kapitalis muncul karena adanya kontradiksi secara internal sistem social yang membawa pada konsentrasi dari kepemilikan property oleh para actor kapitalis atau borjuis, di satu sisi menciptakan pertumbuhan jumlah besar kaum proletariat yang pengangguran, dan terkadang muncul suatu krisis ekonomi. Sehingga bagi Marx satu-satunya cara untuk keluar dari kondisi ini adalah dengan menghapuskan kepemilikan pribadi dari sistem social Collins, 1985. Satu prinsip yang paling krusial bahwa kekuasaan bergantung pada kondisi mobilisasi material. Berdasarkan analisa Engels mengenai alasan mengapa petani di Jerman pada masa lampau dengan mudah dikuasai oleh kaum aristokrasi. Padahal sesungguhnya, kaum petani melakukan upaya-upaya untuk melawan kaum aristocrat di Jerman saat itu. Namun, para kaum bangsawan selalu memenangkan perlawanan kaum tani. Hal ini menurut Engels disebabkan karena kaum ningrat superior dalam hal memobilisasi. Kaum ningrat dengan mudah memecahkan para petani, membayar kelompok petani tertentu, untuk menyerang kelompok petani lainnya. Kaum ningrat mengorganisasikan dirinya dengan para proletariat melalui persekutuan, dan manuver secara militer. Petani kecil selalu kalah karena mereka tidak memiliki kepemilikan untuk 92 mengorganisasi mereka di dalam perlawanan secara politik. Keadaan petani di Jerman saat itu menurut Engels seperti petani-petani di Perancis: ‘Mereka terpecah-pecah” mereka mengatakan “kami seperti kentang-kentang di dalam karung “like potatoes in a sack” yang melulu menjadi gumpalan besar nampak dari luar secara bersama-sama, namun tidak menjadi satu. Kondisi material lah yang memisahkan mereka satu sama lain, dan menghambat mereka dalam mencapai kekuasaan Collins, 1985. Kelas pemilik secara politik selalu mendominasi karena mereka lebih dominan dalam hal mobilisasi politik. Kapitalis sendiri sebuah sistem ekonomi saling interkoneksi. Para pebisnis misalnya sangat aktif berhubungan satu sama lainnya, mengawasi pesaing, berani mengambil pinjaman, dan malah memberikan pinjaman, dan membentuk kartel. Jejaring finansial, dan pasar itu sendiri dalam arti komunikasi lah yang membawa kelas kapitalis dalam jaringan sosial ekonomi yang lebih dekat. Berdasarkan alasan ini para pebisnis, khususnya pada golongan atas pebisnis, telah sangat terorganisasi. Kelompok pebisnis ini telah memiliki sebuah jaringan yang mereka gunakan untuk memudahkan mereka menggunakan jalur politik ketika mereka ingin melakukan sesuatu. Di sisi lain, kelas pekerja, di satu sisi, tidak memiliki organisasi yang tumbuh secara alami untuk ambil bagian dari kegiatan politik, mereka tidak memiliki kekuatan-kekuatan khusus untuk menciptakan organisasi politik dan bersusah payah mencoba untuk saling berhubungan dengan kelompok kelas pekerja lainnya di tempat yang berbeda untuk memperoleh suatu kekuatan perlawanan bersama. Selanjutnya, meskipun jumlah pekerja jauh lebih banyak dibandingkan elit-elit pebisnis, namun kekuatan besar dari mobilisasi politik yang dipegang oleh kaum pebisnis memberikan keseimbangan dalam hal kekuatan politik. Hal ini sekaligus dengan kuatnya kontrol dari kaum kelas atas dalam memperoduksi kekuatan mental –di dalam masyarakat modern kepemilikan dari koran, stasiun televisi, dan lain sebagainya- diartikan bahwa kelompok minoritas pebisnis akan dapat selalu dengan mudah mendefinisikan isu-isu politik dari sisi pandang mereka dan mencapai kekuatan politik keluar dari proporsi mereka di dalam sistem sosial. Sistem politik Negara yang demokrasi sangat cocok kepada berkembangnya dan menguatnya kelas social pebisnis, karena mereka adalah pihak yang paling kuat untuk memenangkan perjuangan untuk memperoleh 93 kekuasaan. Satu hal yang bisa dijadikan alasan karena kondisi material mendasari sistem bisnis itu sendiri telah sebelumnya menjadi dominan pada pasar. Alasan lain berikutnya yang penting juga untuk menjelaskan mengapa para kapitalis dapat dengan mudah mendominasi politik demokrasi. Ini karena pentingnya masalah financial pada setiap pemerintahan, khususnya dalam hutang luar negeri. Marx menekankan pemerintah revolusioner tahun 1848 di Perancis tidak tega menekankan pada efek dari kebijakan ekonomi yang radikal karena kesanggupan Negara saat itu membayar hutang bergantung pada kekuatan peredaran uang di Perancis, dan itu tidak pernah lepas dari peran para kapitalis Collins, 1985. Sosiologi Weber sering dikatakan sebagai pemikiran antaginistik terhadap pendekatan Marxian. Sesungguhnya, Weber lebih sebagai penerus dari pemikiran Marx, dan dikemudian hari Ia merupakan generasi penerus dari tradisi pemikiran konflik sejarah di dalam dunia intelektual di Jerman. Weber sendiri sangat menaruh perhatiannya terhadap latarbelakang dari kemunculan kapitalisme, mengenai potongan-potongan dari bagaimana kapitalisme bisa muncul ditempatkan pada tujuan utama analisanya. Pendekatan Weber tidak pada melihat rangkaian dari tahap-tahap perubahan, namun dengan membuat analisa perbandingan: Mengapa kapitalisme modern muncul di dunia eropa dibandingkan beberapa pusat peradaban dunia seperti Cina, India, Roma, dan Islam? Sosiologi Weber menjawab pertanyaan tersebut. Teori sosiologinya berusaha untuk menciptakan alat analisa mengenai institusionalisasi dasar dari kegiatan ekonomi, untuk menunjukkan apa kekuatan-kekuatan yang melatarbelakangi sistem sosial yang berbeda-beda. Sebagai penyempurna dari pemikiran Marx, maka Weber lebih menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi namun dipengaruhi ide-ide relijius, yakni didorong oleh semangat puritan untuk bekerja keluar dari keinginannya untuk mencari keselamatan, dengan meninggalkan doktrin-doktrin teologikal dari takdirCollins, 1985. Dalam berbagai cara teori Marxian berperan negative terhadap teori Weberian, akan tetapi dengan cara lain, Weber yang bekerja menurut tradisi Marxian, mencoba menyelesaikan” teori Marx. Teori Weberian mendapat banyak bahan dari teori Marxian Burger, 1976 dalam Ritzer, 2001. Weber memandang Marx dan para pengikutnya sebagai determinisme ekonomi yang mengemukakan 94 teori-teori berpenyebab tunggal tentang kehidupan sosialnya. Salah satu contoh determinisme ekonomi yang rupanya sangat mengganggu pikiran Weber adalah pandangan yang mangatakan bahwa ide-ide hanyalah refleksi kepentingan material utamanya kepentingan ekonomi dan bahwa kepentingan materi menetukan ideologi. Sebaliknya Weber lebih banyak menekankan pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Menurut Weber, protestanisme sebagai sebuah gagasan mempengaruhi munculnya gagasan lain yakni semangat kapitalisme dan akhirnya menjadi sistem ekonomi kapitalis. Weber juga mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan merintangi perkembangan kapitalisme di dalam masyarakatnya. Misalnya weber menemukan sistem agama yang irasional misalnya konfusianisme, Taoisme, Hinduisme merintangi perkembangan sistem ekonomi rasional. Pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan sementara, karena sistem ekonomi, dan bahkan struktur sosialnya akan menjadi rasional. Weber sangat terkenal dalam penjelasannya mengenai tiga model dimensi dari stratifikasi social yang sangat dekat dengan dengan kunci pemahaman teorinya yang sangat rumit. Tiga dimensi tersebut antara lain : 1 kelas, 2 status, 3 partai . Ketiga pihak ini saling “bertarung”. Tiga dimensi ini selalu saling berhubungan satu sama lainnya, dan setiap dimensi menggambarkan realitas khusus mengenai teori Weberian. Analisa kelas di dalam teori Weber, memiliki realitas yang sama dengan Marx dan Engels. Namun, Weber mengubah model teorinya mengenai kelas. Konflik kelas bagi Weber jauh lebih rumit dibandingkan yang diteorikan oleh Marx dan Engels. Weber setuju dengan temuan Marx bahwa terjadi konflik antara kapitalis dengan pekerja, dan pemilik dari kekuatan produksi versus tenaga produksi. Weber mengelaborasi teori ini dengan menambahkan konflik antara kapitalis pemberi kredit dimana Marx menggunakan analisa ini untuk menggambarkan revolusi Perancis melawan para debitor yang meminjam modal, juga antara penjual versus pembeli. Konflik kelas ala Weberian berbeda dari Marxian lebih dalam dan lebih krusial. Konsep kelas Marx didefinisikan sebagai kepemilikan atau ketidakpemilikan atas kekuatan produksi. Sementara konsep kelas Weber didefinisikan oleh posisi di dalam pasar. Beberapa penerus Marx, kemudian 95 melawan apa yang telah dikonsepsikan oleh Weber mengani kelas. Pendukung Marx mengkritisi skema ini karena menaruh stratifikasi sosial pada level pengukuran luar dari sirkulasi ekonomi, dibandingkan sebagai tingkatan dasar dari ekonomi produksi. Menurut Collins 1985, ini lah kekuatan teori dari Weber, jika Marx selalu berkutat pada perlawanan dua kelas saja, maka Weber jauh lebih melihat kenyataan yang ada bahwa kelas tidak melulu hanya terjadi pada kelas pemilik dan kelas pekerja melainkan juga fokus pada kelas menengah dengan jenis rumitisasi di dalam pergantian kelas atas : para pemberi pinjaman dengan pemilik lahan Weber mengkonsepsikan kelas ini sebagai kelas debitor yang ukurannya sama dengan para industrialis kecil. Weber membangun teori kelasnya kepada konflik ekonomi yang paling nyata : Suatu perjuangan untuk mengkontrol suatu tempat untuk pasar tertentu. Untuk Weber, monopoli tidak sesederhana bahwa timbul di akhir tahap dari kapitalisme. Bagi Weber monopoli merupakan proses yang mendasar di dalam sejarah pembentukan kelas. Kelas social dari konsepsi Weber didasarkan pada cara-cara yang berbeda dari upaya-upaya untuk lebih mengkontrol pasar tertentu: misalnya uang dan kredit, tanah, ragam industry manufaktur, dan ragam keterampilan tertentu. Semua ini memberikan gambaran yang realistic dari konflik kelas yang telah terjadi, dan juga menyediakan sebuah konsepsi teoritik yang umum dari proses stratifikasi. Kelas yang dominan kemudian mengelola cara-cara untuk mencapai suatu monopoli yang ketat untuk beberapa pasar yang menguntungkan. Sementara kelas yang tidak mendapatkan monopoli sepenuhnya kemudian akan berjuang pada pasar yang terbuka untuk memperoleh monopoli. Kemudian, kategori kedua dari konsep stratifikasi sosial, yakni kelompok status. Ini selalu dipahami sebagai lawan dari konsep kelas ekonomi. Ketika kelas didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi-pengelompokan dari minat-minat yang sama oleh gambaran dari posisi yang sama di pasar- kelompok-kelompok, maka status diandaikan menjadi bidang dari budaya. Yang menetukan kelompok-kelompok status merupakan komunitas itu sendiri. Yang harus diingat dan dicamkan baik-baik : bahwa kelompok kelas membagi suatu derajat tertentu dari monopoli terhadap pasar tertentu. Mereka para kelas atas melakukan ini melalui pengorganisasian, melalui pembentukan suatu komunitas 96 tertentu, memperoleh suatu kesadaran melalui beberapa penghambat budaya diantara mereka sendiri-pendek kata melalui kelompok status. Beberapa kelompok yang berhasil dan menjadi kelas yang memiliki kekuasaan yang dominan harus terorganisasikan sebagai suatu kelas status. Marx dan Engels mengungkapkan bahwa kelas penguasa terorganisasikan secara legal dan secara budaya untuk menjaga control dari kepemilikan property usaha melalui posisi mereka. Misalnya di India, kelompok-kelompok pekerja tergolong dalam kasta-kasta tertentu, menghindari satu sama lain melalui ritual- ritual yang menjustifikasi mereka dari penghindaran oleh doktrin-doktrin agama Hindu melalui karma masa lalu, dan reinkarnasi. Bagi Marx, kelas menjadi jubah bagi mereka para kelas atas pemilik moda produksi di dalam ideology mereka. Bagi teori Weber, hal tersebut juga disetujuinya, namun dengan syarat : bahwa ideology atau sisi budaya tentu sangat dibutuhkan bagi kelompok kelas tertentu untuk menjadi lebih berkuasa. Selanjutnya kelompok status menyerang kembali terhadap situasi ekonomi tertentu : yang merupakan jalan bagi kelompok untuk menjadi lebih kuat untuk memonopoli. Sehingga pengorganisasian kelompok status menjadi suatu senjata ekonomi. Weber menekankan bahwa dalam analisa komparasinya, mengungkapkan bahwa kelompok social tertinggi selalu memilih melakukan puji-pujian terhadap agama, menjalankan seremoninya, tapi tidak banyak yang melakukan dengan sungguh-sungguh ajaran agama dengan penuh komitmen; kelas menengah memilih menjadi asketik, agama moralistik yang mendorong kemampuan untuk bekerja keras sekaligus memotivasinya ; dan kelas bawah memperlakukan agama sebagai bentuk dari magis, intervensi supranatural yang dipahami mampu memberikan keberuntungan baik, dan mampu mematikan lawan.Memiliki jenis status ideologi membuat kelas tertentu dengan mudah memonopoli posisi ekonomi. Orang luar dari kelompok status ini kemudian bisa menjadi pengecualian dan persaingan menjadi terbatas secara otomatis, karena hanya orang-orang tertentu yang cenderung “tipe ideal” dapat memperoleh posisi tersebut. Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa Weber yang menyusun teorinya berdasarkan konsepsi Marx mengenai kelas social memberikan suatu kesimpulan baru, yang memperbaiki teori Marx, bahwa pejuangan untuk memperoleh kemapanan ekonomi lebih multidimensional dibandingkan yang Marx lihat. Kelas menjadi terbagi dalam tiga kelas, dan juga tergolong menjadi 97 ragam kelompok status dan mampu mengkontrol sector tertentu dari pasar ekonomi. Pada akhirnya partai-partai atau kelompok-kelompok yang berkuasa: disini Weber menekankan pada fakta perjuangan berikutnya, diantara faksi-faksi politik. Faksi-faksi politik juga sesungguhnya mendukung terbentuknya kelas social atas yang mendukung mereka. Negara dalam hal ini merupakan pencerminan dari faksi politik tertentu, memberikan suatu senjata khusus kepada kelas social tertentu melalui “legitimasi”. Menurut Weber, terdapat beberapa cara agar legitimasi dapat dihasilkan: Weber menyebutkan satu demi satu seperti kharisma dari pemimpin yang berkuasa, tradisi yang ada secara turun-temurun, dan kekuasaan yang legal rasional oleh kebijakan hokum Negara. Legitimasi tidak muncul begitu saja, melainkan diproduksi oleh produksi mental means of emotional production. Bagi Weber dalam Giddens 1986, kapitalisme merupakan perwujudan dari adanya bentuk-bentuk rasionalisasi sekuler. Bagi Weber, Kapitalisme adalah utilitarianisme yang tiada hentinya dan secara keagamaan disistematiskan melalui agama protestan. Agama kemudian mendorong munculnya rasionalitas formal dari kebudayaan Barat. Kapitalisme rasional modern, diukur dengan batasan dari nilai-nilai inti dan efisiensi atau dari produktifitas. Weber dalam essaynya yang berjudul The Protestant Ethic and Spirit of capitalism memberikan gambaran beberapa cirri utama dari etos buruh pertanian, yang terbagi atas buruh terikat dengan buruh harian. Hasil temuan Weber mengungkapkan bahwa terdapat etos yang berbeda dari dua golongan buruh yang ditelitinya, buruh terikat etika moralitasnya terletak pada sikap menerima pola-pola tradisional tentang sikap hormat serta sikap perlindungan patronage di satu pihak dan suatu sikap individualisme ekonomi di lain pihak. Etika ini lah yang ditengarai membantu meruntuhkan struktur tradisional lama dari perusahaan-perusahaan pertanian besar. Bagi Weber, keretakan tradisionalisme ekonomi, menghasilkan suatu penanggalan tradisi pada umumnya, dan mengelupaskan lembaga-lembaga keagamaan dalam bentuk “kekolotannya”. Selanjutnya, Weber mengungkapkan bahwa protestanisme menganut suatu sikap yang sangat ketat terhadap hidup santai dan bersenang-senang. Ini merupakan suatu fenomena yang sangat ditekankan oleh calvinisme. Dan diakhir kesimpulan Weber, agama merupakan 98 factor kunci perangsang ekonomi kapitalisme. Weber mengidentifikasikan segi- segi utama dari “semangat” kapitalisme modern sebagai berikut : “perolehan uang sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat menikmatinya sama sekali secara spontan…dipandang secara murni mungkin sebagai tujuan itu sendiri, sehingga hal itu bila dihadapkan kepada kebahagiaan atau kepada kemanfaatan bagi seseorang tampak sebagai sesuatu yang berada di atas segala-galanya dan sama sekali tidak rasional. Manusia didominasi usaha untuk memperoleh sesuatu, sebagai suatu maksud dari suatu kehidupan; perolehantidak lagi merupakan sarana untuk mencapai sasaran memuaskan kebutuhan-kebutuhan materiilnya. Kebalikan dari apa yang kita sebut situasi “alamiah” yang sama sekali tiada artinyabila dipandang dari suatu pendirian yang tidak berpurnasangka, jelas dan pasti merupakan suatu prinsip kapitalisme, yang sebaiknya merupakan suatu yang asing bagi semua orang yang tidak terkena pengaruh kapitalisme….ekonomi kapitalis modern dirasionalisasi atas dasar perhitungan yang sangat teliti, diarahkan dengan dengan tinjauan ke masa depan dan hati- hati untuk kesuksesan ekonomi” Weber dalam Giddens, 1986. Maka analisis Marx mengenai kapitalisme kesemuanya didasarkan atas pertalian yang didalilkan antara perluasan pembagian kerja. Bagi Marx suatu factor utama yang melandasi asal mulanya dari kapitalisme di Eropa Barat, adalah proses historis tentang pengambilan-alihan hak para pemproduksi atas penguasaan hak-hak sarana-sarana produksi. Dengan demikian, maka kapitalisme itu merupakan suatu kelas. Serta bagi Marx, “pertentangan- pertentangan” mendasar, yang berada dalam dan tidak bisa dipisahkan dari ekonomi kapitalis, berasal langsung dari sifat sebagai suatu sistem yang didasarkan atas produksi nilai tukar. Sebaliknya, Weber dalam konsepsinya mengenai kapitalisme menekankan suatu konsepsi perhitungan rasional yang merupakan unsure utama dalam perusahaan kapitalistis modern, dan rasionalisasi kehidupan social pada umumnya merupakan atribut yang paling kentara dari kultur budaya Barat modern. Bagi Weber dalam Giddens 1986 hubungan kelas yang dipakai Marx sebagai paksi, poros kapitalisme, pada kenyataannya hanyalah merupakan satu unsure di dalam suatu rasionalisasi yang lebih meresap, yang memperpanjang 99 proses pengambilalihan hak pekerja atas sarana produksinya ke dalam kebanyakan dari lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat kontemporer. Weber menekankan analisisnya pada proses rasionalisasi dari beragam kelembagaan : membangun suatu pemaknaan, dan kalkulasi secara rasional. Weber mendeskripsikan bahwa kapitalisme modern sebagai ekonomi rasional, birokrasi sebagai organisasi rasional, Negara modern sebagai dasar dari prosedur formal dan aturan-aturan dari kewenangan legal rasional. Rasionalisasi bagi Weber seperti “dua mata pisau” secara bersama-sama meningkatkan prosedur formal, dan sekaligus menggangsir dari kemampuan manusia untuk dengan sadar mencapai suatu tujuan. Konflik tidak diartikan oleh Weber tidak ditimbulkan oleh satu faktor saja, namun konflik timbul sebagai bentuk ekspresi dari banyak ragam penyebab yang multidimensional, pluralitas dari kelompok- kelompok yang berbeda, interest, dan sudut pandang yang berbeda dalam memandang kehidupan. Weber tidak hanya melihat konflik sebagai suatu ragam bidang, namun juga bahwa terdapat perjuangan untuk mendominasi satu sama lainnya. Ekonomi bagi Weber adalah perjuangan kelas, melalui banyak hal yang rumit, tidak sesederhana yang dilihat oleh Marx dan Engels. Politik sendiri merupakan realitas yang Weber kemukakan sebagai realitas dari perjuangan, diantara interes politik dan antara para politisi dan kelas ekonomi. Meskipun dunia terdiri atas ide-ide yang terbagi-bagi kepada beberapa kelompok masyarakat. Agama sebagai contoh, memiliki perjuangan tersendiri-berdasarkan organisasi social dari gereja itu sendiri-yang membagi para teolog professional dari perpolitikan gereja. Pada akhirnya Weber cenderung lebih melihat sebuah kejadian sejarah sebagai suatu rumitisasi, proses ragam sudut pandang. Weber juga memposisikan dirinya sebagai “musuh” bagi siapa pun yang memandang bahwa tahap-tahap evolusi disimpilisasikan atau memaksakan simplifisasi dari kompleksitas realitas sejarah. Di dalam sosiologi ekonominya Weber menekankan tiga hal penting : 1 mengartikan tindakan ekonomi sebagai sosial; 2 selalu mengikutsertakan makna, 3 dan ada dimensi kekuasaan. Tiga dimensi tersebut diuraikan secara lebih mendetail. Sebagai contoh Weber memasukkan dimensi hukum sebagai 100 “suatu pertukaran yang didefinisikan secara formal sebagai sesuatu yang bebas, namun selanjutnya, kekuasaan mengikutsertakan suatu persetujuan-persetujuan dari beragam kepentingan-kepentingan Weber, 1922. Marx pada dasarnya mengemukakan teori kapitalisme, sementara Weber pada dasarnya adalah teori tentang proses rasionalisasi Brubaker, 1984 dalam Ritzer, 2001. Weber tertarik pada masalah umum seperti mengapa institusi sosial di dunia Barat berkembang semakin rasional sedangkan rintangan kuat mencegah perubahan serupa di belahan bumi yang lain. Weber mengungkapkan kerangka rasional sebuah tindakan sosial secara berjenjang dari bawah ke atas dari suatu tindakan sosial rasional atau tidak. Weber dalam Kalberg 1980 menyebutkan empat tipe rasionalitas di dalam hubungannya dengan empat tipe tindakan sosial antara lain tindakan afeksi, tindakan tradisional, tindakan berorientasi nilai, dan tindakan instrumental. Sementara tipologi dari rasionalitas antara lain rasionalitas praktikal, rasionalitas teoritikal, rasionalitas formal, dan rasionalitas substantif. Empat tipe rasionalitas kemudian dikategorikan ke dalam dua bentuk besar rasionalitas. Antara lain rasionalitas instrumental mean-ends rationality dan dan rasionalitas berorientasi nilai value- rational action. Rasionalitas praktikal dan rasionalitas formal adalah tipe rasionalitas instrumental, sementara rasionalitas teoritikal maupun rasionalitas substantif tergolong sebagai rasionalitas berorientasi nilai. Bilamana sebuah tindakan semata-mata ditujukan untuk memenuhi fungsinya, maka tindakan tersebut disebut sebagai tindakan dalam kerangka rasionalitas instrumental mean-ends rationality. Kemudian, Weber mengungkapkan bahwa dalam proses rasionalisasi dipengaruhi oleh konteks kehidupan khusus sphere of life, yang akan merubah tataran nilai daripada minat individu. Konteks kehidupan yang dimaksud antara lain konteks politik, ekonomi, dominasi herrschaft, dan pengetahuan, dan “internal” individu seperti konteks agama dan etika moralitasnya. Kemudian, Weber mengungkapkan perbedaan pokok yang diberikan juga pada tindakan rasional dan non rasional. Singkatnya, tindakan rasional menurut Weber berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Di dalam kedua kategori utama mengenai tindakan rasional dan nonrasional itu, ada dua bagian yang berbeda satu sama lain. Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang 101 sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Weber menjelaskan : Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan- tujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri zweckrational apabila tujuan itu dijadikan alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif Jhonson, 1988. Tindakan ekonomi dalam sistem pasar yang bersifat interpersonal mungkin merupakan bentuk dasar rasinalitas instrumental ini. Tipe tindakan ini juga tercermin dalam organisasi birokratis. Weber melihat sistem pasar yang impersonal dan organisasi birokratis sedang berkembang dalam dunia Barat modern.Selanjutnya bilamana sebuah tindakan sosial ditujukan untuk mewujudkan sebuah nilai tertentu di dalam kehidupan sosialnya, maka tindakan sosial itu dikategorikan sebagai tindakan dalam kerangka rasionalitas nilai. Rasionalitas yang berorientasi nilai wertrationalitat diartikan bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar ; tujuan- tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Tindakan religius mungkin merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini. Rasionalitas praktis atau rasionalitas ekonomi yang merupakan golongan dari kerangka rasional instrumental erat hubungannya dengan kerangka pemaknaan yang pragmatis dan kecenderungan egoistis. Rasional praktis ini diimplementasikan dengan individu yang secara aktif memanipulasi, mengganggap bahwa dunia sebagai sesuatu yang konkret sehingga sangat dibutuhkan perhitungan-perhitungan yang tepat. Seiring dengan menguatnya rasionalitas ini, maka individu akan cenderung mulai memisahkan dirinya atas segala bentuk mistisme, dan etika moralitas yang hadir berupaya untuk menjadikan agama dalam bentuk ”sekuler”. Menurut Weber, individu-individu 102 yang cenderung dominan dalam hal rasionalitas praktis antara lain adalah para pedagang, dan orang-orang yang berprofesi sebagai artisan yang memiliki keterampilan tertentu. Rasionalitas ini cenderung menentang semua orientasi hidup yang rutin dan sifatnya ”transedental”. Artinya bahwa segala hal yang di luar nalarnya akan tidak mudah untuk diyakini. Selanjutnya, rasionalitas theoretical, atau intelektual rasionalitas terlibat pada suatu kesadaran pada keunggulan dari kenyataan melalui bangunan pemikiran konsep-konsep yang abstrak. Rasionalitas ini erat kaitannya dengan kepercayaan individu terhadap kekuatan supranatural dan metafisik. Rasionalitas ini sangat memperhatikan pemahaman individu terhadap worldviewnya atau pemahaman dirinya terhadap alam, sebagai bagian kecil dari lingkungan cosmos yang sangat luas dan maha hebat. Pemaknaan ini identik dengan persetujuan mereka atas segala tindakan yang rutin dilakukan. Sebagai tambahan rasionalitas ini juga sangat menjunjung tinggi segala bentuk persembahyangan, metode-metode tradisional untuk permohonan akan sesuatu pada roh leluhur, bentuk-bentuk penebusan dosa melalui pengorbanan hewan-hewan tertentu, dan pantangan-pantangan dalam bentuk pamali yang harus dihindari. Misalnya ritual- ritual yang dilakukan dan dipertahankan oleh orang-orang Bajo Mantigola misalnya seperti ritual tamoni, atau memberi sesajen di Bungkanu wa’du karena dianggap batu tersebut memberikan keberkahan, baik rezeki maupun kesembuhan penyakit, menurut Weber tindakan rutin orang-orang Mantigola tersebut dilandasi oleh rasionalitas theoritical. Karena rasionalitas ini tidak berkaitan dengan bagaimana individu menghasilkan surplus ekonomi, maka Weber mengkategorikannya sebagai rasionalitas berorientasi nilai. Bentuk rasionalitas teoritis ini juga digambarkan melalui bentuk-bentuk kearifan lokal mereka dalam mengelola sumberdaya. Misalnya walaupun masyarakat suku Bajo boleh menangkap ikan sepanjang tahun, tetapi ada waktu- waktu tertentu dimana mereka boleh dan tidak boleh menangkap ikan yang hidup di karang. Waktu penangkapan ikan di karang ditandai oleh dikibarkannya bendera Ulu-ulu Bukak yang dibawa oleh parika pemimpin armada tangkap. Waktu pengibaran bendera ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama dalam musyawarah suku Bajo yang dipimpin dan atau diketahui oleh punggawa pemimpin kampung. Dengan berkibarnya bendera maka semua nelayan suku Bajo diperbolehkan menangkap ikan di wilayah karang yang dimaksud. Waktu 103 penangkapan selama enam bulan di dalam setahun, biasanya pada bulan September atau Oktober sampai dengan bulan April, yaitu pada musim Timur. Setelah ”diolah” selama enam bulan, karang kemudian ditutup, artinya semua nelayan dilarang menangkap ikan di karang tersebut, khususnya ikan-ikan batu karang. Dengan demikian, karang Kapota dapat dianalogkan dengan kawasan ”sanctuary” bagi suku Bajo. Peraturan yang ditaati oleh nelayan suku Bajo ini secara langsung maupun tidak langsung ”mengatur” keseimbangan antara jumalah ikan yang ditangkap dengan pertambahan danatau perkembangan ikan- ikan karang. Tindakan ini didasari oleh nilai-nilai filosofi tentang kesakralan laut yang berbunyi ”papu manak ita lino bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana” artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya. Oleh karena itu, masyarakat Bajo tertentu misalnya Bajo Mantigola melestarikan sumber daya laut dengan bentuk-bentuk kearifan lokalnya dalam mengelola hutan bakau dan terumbu karang. Yang berikutnya adalah rasionalitas substantif. Rasionalitas substantif menurut Weber dikategorikan sebagai jenis rasionalitas yang berorientasi nilai. Rasionalitas ini erat sekali kaitannya dengan pemaknaan dan penerimaan terhadap nilai-nilai tertentu yang dijunjung tinggi oleh setiap individu tertentu. Rasionalitas ini cenderung bermakna ”ambigu”, karena sangat tergantung pada konteks masyarakat life-spheres dari individu tersebut. Karena rasionalitas dan potensi dari proses rasionalisasi akan kembali pada postulat dari nilai-nilai yang dianut masyarakat. Misalnya, orang-orang Wanci Mandati yang tidak menyukai segala bentuk status monopoli dan menganggapnya sebagai suatu irasionalitas, karena nilai-nilai ini menghalangi ekspansi usaha pada mekanisme pasar persaingan yang bebas. Namun, misalnya konteks sosial masyarakatnya feodalisme, maka sistem monopoli dianggap paling rasional. Maka, titik kajian dari rasional substantif akan selalu berbeda disetiap konteks masyarakatnya. Selanjutnya Weber menyebutkan bentuk rasionalitas yang lainnya, yakni rasionalitas formal, yang meliputi proses berfikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan. Dalam hal ini pilihan dibuat dengan merujuk pada kebiasaan, peraturan, dan hukum yang ditetapkan secara universal. Rasionalitas ini lah yang sangat berposisi antagonistik dengan terhadap segala bentuk rasionalitas substantif. Karena rasionalitas ini bertendensi pada kalkulasi dan 104 rutinitas tertentu dengan berdasarkan pada aturan legal formal, dan sangat dipengaruhi oleh beragam bentuk-bentuk perencanaan yang sangat mapan dan teratur. Menurut Weber, birokrasi formal di negara-negara Barat, dan tata kelola perusahaan industri bisa menjadi contoh konkret dari bentuk nyata rasionalitas formal. Pada matriks 3. Berikut akan dijelaskan secara ringkas bahwa Weber melalui teori rasionalitasnya bermaksud untuk menjelaskan bahwa proses mental menarik baginya karena bertujuan untuk menjelaskan bahwa dengan kondisi tertentu tindakan sosial bisa diterjemahkan. Pada beberapa kasus, misalnya rasionalitas praktis, aturan-aturan yang mengatur tindakan seseorang sangat dekat dengan perhitungan yang cermat dalam hubungannya dengan minat tertentu, meskipun proses mental tersebut jarang terlihat. Rasionalitas teoritikal, disatu sisi mengilustrasikan hal yang berlawanan dari rasionalitas praktis. Pada rasionalitas ini seringnya tidak menunjukkan pola-pola tindakan, sehingga sifatnya tidak langsung. Sementara secara umum rasionalitas formal, dan rasionalitas substantif langsung berhubungan dengan tindakan yang dilakukan. Matriks 3. Penguasaan Kesadaran dari Fragmentasi antara Realitas melalui Aturan-aturan dalam Bertindak Weber dalam Kalberg, 1980 Tipe Rasionalitas Proses Mental Hubungannya dengan Tindakan Acuan kepada Proses Mental Rasionalitas Teoritis Ragam pada proses yang abstrak Secara tidak langsung Lebih kepada masalah nilai-nilai dan teori tertentu. Rasionalitas praktis Kalkulasi instrumental langsung Lebih kepada minat Rasionalitas formal Kalkulasi instrumental langsung Lebih kepada aturan- aturan , hukum, dan kebijakan Tipe Rasionalitas Proses Mental Hubungannya dengan Tindakan Acuan kepada Proses Mental Rasionalitas substantif Subordinasi dari segala bentuk realits kepada nilai-nilai Langsung Nilai-nilai 105 Tindakan tradisional atau yang berorientasi nilai merupakan tipe tindakan yang sifatnya nonrasional. Jika seseorang memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisional. Individu itu akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya.Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningkatnya rasionalitas instrumental. Tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Menurut Weber tindakan seperti ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologis atau kriteria rasionalitas lainnya. Keempat tipe tindakan sosial di atas harus dilihat sebagai tipe-tipe ideal. Weber mengakui bahwa tidak banyak tindakan, kalau ada, yang seluruhnya sesuai dengan salah satu tipe ideal ini. Misalnya, tindakan tradisional bisa mencerminkan suatu kepercayaan yang sadar akan nilai sakral tradisi-tradisi dalam suatu masyarakat, dan itu berarti bahwa tindakan itu mengandung rasionalitas yang berorientasi pada nilai. Membuat pembedaan antara tipe-tipe tindakan yang berbeda atas dasar ini penting untuk memahami pendekatan Weber terhadap organisasi sosial dan perubahan sosial. Selanjutnya menurut Weber tindakan sosial dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan pola- pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Untuk tindakan rasional, arti subyektif itu dapat ditangkap dengan skema alat tujuan mean-ends schema. Pada masyarakat Bajo Mola yang kapitalistik, rasionalitas praktis cenderung mendasari segala bentuk tindakan yang dilakukan. Sebagai pedagang yang berhubungan langsung dengan eksportir besar, maka hitung- hitungan ekonomi mendasari segala bentuk tindakannya. Sementara masyarakat Bajo Mantigola yang cenderung pra kapitalistik, membangun tindakannya atas dasar rasionalitas substantive, dan juga teoritis atas pemahaman mendalamnya terhadap lingkungan laut dimana mereka 106 berada. Maka segala bentuk magifikasi tetap dipertahankan, dan cenderung menolak segala bentuk perusakan terhadap nilai-nilai kolektivitas. Pada kasus kapitalisme local di suku Bajo yang dibahas pada tulisan ini, Beberapa orang-orang Mola dianggap sebagai gambaran terbentuknya kapitalis Bajo. Ciri khas kapitalisme, antara lain menggunakan tenaga kerja upahan, melakukan akumulasi keuntungan, ekspansi usaha dan cenderung berani melakukan akusisi capital. Sesuatu hal yang jarang bisa dilakukan oleh orang- orang bajo kebanyakan terutama Bajo Mantigola yang tetap mempertahankan sistem perekonomian yang prakapitalis.

2.2. Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi