Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase LiP dan Mangan Peroksidase MnP

mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH dan jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion dan suhu. Menurut Herliyana 2007, berdasarkan pelaksanaan pengujian ekspresi enzim Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 diketahui lama penyimpanan mempengaruhi ekspresi enzim. Lamanya penyimpanan sampel yang disimpan dengan suhu 10°C pada penelitian ini berbeda-beda sampai melakukan pengujian enzim. Sampel perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dengan inkubasi 5 hari disimpan selama 8 hari sampai pengujian enzim. Sampel perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dengan inkubasi 10 hari disimpan selama 23 hari dan Pleurotus EB9 selama 24 hari. Sedangkan sampel perlakuan jamur P. chrysosporium L1 disimpan selama 19 hari dan Pleurotus EB9 selama 20 hari pada inkubasi 15 hari. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH tingkat keasaman optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Terjadinya peningkatan dan penurunan nilai aktivitas enzim akibat perubahan pH disebabkan karena perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau substrat. Penurunan aktivitas enzim disebabkan karena turunnya afinitas dan stabilitas enzim. Faktor pH sangat mempengaruhi terhadap aktivitas enzim, pH yang terlalu tinggi atau rendah dapat menghambat aktivitas enzim dan memungkinkan strukturnya menjadi rusak. Menurut Rayner dan Boddy 1988, bahwa aktivitas kerja enzim yang optimal berkisar antara pH 3-5. Pada penelitian ini jamur P. chrysosporium L1 aktivitas enzim MnP dan LiP yang optimal pada masa inkubasi selama 5 hari dengan pH 4,95. Jamur Pleurotus EB9 memiliki aktifitas enzim MnP yang optimal pada masa inkubasi selama 10 hari dengan pH 5,00. Aktivitas enzim LiP dan MnP pada masing-masing isolat yaitu P.chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dengan media yang sama menggunakan pulp kardus bekas menunjukkan aktivitas enzim LiP dan MnP yang cukup signifikan. Jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 memperlihatkan aktivitas enzim MnP yang berfluktuasi. Jamur Pleurotus EB9 menunjukkan tidak terdeteksi aktivitas enzim LiP. Sehingga dapat dikatakan bahwa jamur Pleurotus EB9 termasuk jenis jamur pelapuk putih tanpa LiP. Menurut Katagiri 1995, aktivitas enzim MnP jamur P. chrysosporium yang diinokulasikan pada pulp kraft yang tidak diputihkan tampak terlihat adanya fluktuasi. Aktivitas enzim MnP mengalami peningkatan pada masa inkubasi hari ke-2 dan menurun pada hari ke- 3. Menurut Herliyana 2007, aktivitas MnP, LiP dan lakase pada produksi skala kecil oleh jamur kelompok Pleurotus dalam penelitian tampak berfluktuasi, hasil ini diduga ketidakstabilan enzim ekstraseluler. Kerem et al. 1992 diacu dalam Herliyana 2007, menyatakan kurangnya ulangan hanya 2 ulangan dan dilakukan dalam botol, yang harus dibuka ketika tiap kali dilakukan pengambilan ekstrak kasar dengan cara mengambil langsung menggunakan mikropipet dapat mengganggu pertumbuhan jamur. Ada beberapa alasan untuk kesulitan dalam membuktikan aktivitas LiP pada suatu jamur, seperti penggunaan media yang tidak sesuai atau kondisi pada saat kultivasi, rasio produksi LiP dan MnP serta jamur P. chrysosporium L1 dan jamur lainnya tergantung pada konsentrasi MnII dalam medium. Konsentrasi Mn dalam medium untuk pengoptimalan pertumbuhan jamur P. chrysosporium L1 dimana miselium tumbuh cepat dan banyak. Selain itu ada beberapa jamur yang pertumbuhannya lambat. Sehingga memungkinkan medium yang cukup Mn untuk menekan ekspresi LiP. Aktivitas enzim pada jamur juga tergantung dari ketersediaan substrat kayu dalam memproduksi enzim lignolitik Menurut Hatakka 1994, bahwa veratril alkohol oksidase VAO dan aromatic alkohol oksidase AAO telah dihasilkan dari P. ostreatus, P. eryngii dan B. adusta, tetapi peranannya dalam mendegradasi lignin belum dapat diketahui. Kemungkinan memiliki peranan dalam produksi H 2 O 2 untuk enzim peroksidase. Bagaimanapun, aktivitas AAO yang ditemukan dalam jamur tidak terlihat jelas seperti aktivitas peroksida. Jamur pelapuk putih menghasilkan H 2 O 2 dari aktivitas enzim seperti glyoxol oksidase, glukosa oksidase, aryl alkohol oksidase dan veratryl alkohol oksidase. Dalam aktivitas enzim lignolitik seperti LiP dan MnP peranan H 2 O 2 sangat penting. Hubungan antara aktivitas lignolitik dan produktivitas H 2 O 2 dalam P.chrysosporium memiliki peranan penting untuk mendegradasi lignin dan kosentrasi nitrogen dan karbon dalam medium untuk mendegradasi lignin yang sama baiknya dengan H 2 O 2 . Produksi telah meningkatkan degradasi lignin yang terbukti dalam katalis dimana mengurai H 2 O 2 . Menurut Reddy et al. 1994, dalam medium cair dengan kondisi rendah nitrogen aktivitas MnP naik pada hari ke-4 dan aktivitas LiP naik pada hari ke-6. Ander dan Eriksson 1997 melaporkan bahwa aktivitas lakase Pycnoporus cinnabarinus dalam medium cair dengan penambahan glukosa sebagai sumber karbonnya terdeteksi pada hari ke-7 sebesar 1,2 Uml. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas enzim tergantung dari kecocokan antara jenis isolat dan substrat yang digunakan. Strain Bjerkandra adusta diketahui menghasilkan LiP pada kondisi pertumbuhan terkendali Kaal et al. 1993; Mester et al. 1996. Pada media kultur PDA Potato Dextrose Agar dan GMY Glucose Malt Yeast, Bjerkandra adusta juga tidak menghasilkan LiP Pickard et al. 1999. Sama halnya dengan P. eryngii yang hanya menghasilkan lakase ketika berada pada kondisi media yang mengandung komponen aromatik dan jerami alkali lignin Munoz et al. 1997. Hal ini menunjukkan bahwa jenis isolat dan juga media berpengaruh dalam produksi enzim ligninase. Jamur dalam melangsungkan hidupnya memerlukan enzim untuk sintesis dan degradasi. Enzim yang berperan dalam proses sintesis yaitu enzim intraseluler dan untuk proses degradasi yaitu enzim ekstraseluler. Fungsi dari enzim intraseluler adalah mensintesis bahan seluler dan menguraikannya untuk menyediakan energi yang dibutuhkan oleh sel. Enzim ekstraseluler berfungsi untuk melangsungkan perubahan seperlunya pada nutrien disekitarnya sehingga memungkinkan nutrien tersebut masuk ke sel. Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler pendegradasi lignin yaitu lakase dan perokidase yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Prinsip kerja deradasi lignin merupakan proses dan tidak-spesifik oleh jamur pelapuk putih. Proses tersebut berhubungan dengan lignin peroksida dan sistem kompleks dengan beberapa enzim ligninolytic, H 2 O 2 -producing and reductases dan reduced oxygen species. Enzim-enzim ligninolitik, LiP, MnP dan lakase, mengkatalisis oksidasi satu elektron unit lignin aromatic radicals yang memulai depolimerisasi non-enzymatic Kirk dan Farrell 1987; Hatakka 1994; Guillen et al. 1996. Gambar 7 Jamur P. chrysosporium L1 dengan aktivitas MnP dan LiP dan persentase penurunan bobot kering. Gambar 8 Jamur Pleurotus EB9 dengan aktivitas MnP dan LiP dan persentase penurunan bobot kering. Aktivitas enzim MnP dan LiP berbanding terbalik dengan persentase penurunan bobot kering. P. chrysosporium L1 menghasilkan aktivitas enzim MnP tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari 0,734 Uml dan aktivitas enzim LiP tertinggi pada masa inkubasi selama 15 hari 0,311 Uml. Pleurotus EB9 menunjukkan aktivitas enzim MnP yang terus menurun, dan puncaknya masa inkubasi selama 5 hari 0,409 Uml dan tidak terdeteksi aktivitas enzim LiP. Hasil pengukuran persentase penurunan bobot kering, menunjukkan beberapa aktivitas enzim MnP dan LiP baik P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 ternyata tidak diikuti pada persentase penurunan bobot kering pulp yang tinggi. P.chrysosporium L1 memiliki aktivitas enzim LiP tertinggi terjadi pada persentase penurunan bobot kering yang tinggi yaitu masa inkubasi selama 15 hari Gambar 8. Hal ini di duga P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 menghasilkan enzim ekstraseluler selain MnP dan LiP yaitu lakase. P. chrysosporium L1 menghasilkan enzim MnP, LiP dan produksi lakase dengan media selulosa sebagai sumber karbon Srinivansan et. al. 1995 diacu dalam Herliyana 2007. Menurut Herliyana 2007, menyatakan bahwa P. djamor EB9 menghasilkan enzim lakase dan MnP, sementara LiP tidak terlalu signifikan produksinya. Aktivitas enzim lakase paling tinggi dihasilkan pada panen hari ke-6 0,970 Uml dan hari ke-9 0,965 Uml, selanjutnya semakin menurun sampai hari ke-15. 4.4 Bilangan Kappa Hasil pengujian bilangan kappa yang diperoleh menunjukkan bilangan kappa pulp kardus bekas untuk kontrol yaitu sebesar 41,38. Pulp yang telah diberi perlakuan jamur P. chrysosporium L1 yang di inkubasi selama 5, 10 dan 15 hari didapatkan bilangan kappa berturut-turut yaitu 41,24; 41,91 dan 42,09. Perlakuan jamur Pleurotus EB9 yang di inkubasi selama 5, 10 dan 15 hari didapatkan bilangan kappa berturut-turut yaitu 42,23; 39,19 dan 41,96 . Nilai bilangan kappa saat inkubasi 5 hari untuk perlakuan jamur P.chrysosporium L1 lebih rendah dari kontrol yaitu 41,24. Sedangkan untuk perlakuan jamur Pleurotus EB9 lebih tinggi dari kontrol yaitu 42,23. Setelah inkubasi selama 10 hari bilangan kappa dengan perlakuan jamur P. chrysosporium L1 meningkat menjadi 41,91 dan Pleurotus EB9 turun menjadi 39,19. Perlakuan jamur P. chrysosporium L1 bilangan kappa terus meningkat pada masa inkubasi selama 15 hari yaitu 42,09 dan Pleurotus EB9 meningkat 41,96. Penurunan bilangan kappa pulp terjadi pada masa inkubasi selama 5 hari dengan jamur P. chrysosporium L1 dan selama 10 hari dengan jamur Pleurotus EB9. Secara statistik bilangan kappa pulp kardus bekas tidak berbea secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Gambar 9 Hubungan bilangan kappa dengan masa inkubasi. Dengan menggunakan bilangan kappa dapat diketahui kadar lignin pulp kardus bekas. Kadar lignin pulp kardus pada perlakuan kontrol sebesar 6,09 . Perlakuan jamur P. chrysosporium L1 kadar lignin pada masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari berturut-turut 6,07 ; 6,16 dan 6,19 dan jamur Pleurotus EB9 berturut 6,21 ; 5,76 dan 6,17. Secara statistik perlakuan jamur terhadap penurunan kadar lignin pulp kardus bekas tidak berpengaruh secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Dalam penelitian ini pulp yang digunakan adalah pulp kardus bekas yang dimana jumlah lignin yang terkandung berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh bahan baku pembuatan pulp berasal dari berbagai macam jenis kardus dan menggunakan proses semi-kimia. Sehingga dapat menghambat proses delignifikasi yang dilakukan oleh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan mempengaruhi peningkatan atau penurunan bilangan kappa. Perlakuan jamur Pleurotus EB9. terhadap pulp dengan inkubasi 10 hari mendegradasi lignin relatif tinggi ditandai dengan penurunan bilangan kappa. Pada saat pengujian bilangan kappa tanpa menggunakan jamur kontrol dimasukkan larutan KI dan berubah warna menjadi biru tanpa harus diberikan larutan kanji. Seharusnya jika diberikan larutan KI warnanya menjadi kuning dan setelah itu diteteskan larutan kanji menjadi biru. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pulp mengandung kanji atau zat perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan kertas kardus. Sehingga peningkatan bilangan kappa diduga karena jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tidak secara langsung mendegradasi lignin pada pulp, tetapi kanji atau zat perekat dan selulosa. Peningkatan bilangan kappa pada penggunaan jamur menunjukkan pulp lebih sukar diputihkan. Bilangan kappa didasarkan pada oksidasi lignin dengan kalium permanganat dalam larutan asam. Penetapan bilangan kappa merupakan metode tidak langsung untuk penetapan sisa lignin dalam pulp; hasil yang diperoleh menunjukkan derajat delignifikasi, derajat kemasakan.

4.5 Kekuatan Lembaran Pulp Kardus Bekas

Breaking Length atau panjang putus adalah untuk mengetahui panjang jalur kertas dengan lebar yang sama akan putus jika pada salah satu ujungnya diberi beban. Berdasarkan hasil pengujian breaking length diperoleh kontrol memiliki ketahanan putus sebesar 4,89 Km. Breaking Length pada perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dengan masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari berturut-turut diperoleh 4,74 Km; 4,66 Km dan 4,36 Km. Breaking Length pada perlakuan jamur Pleurotus EB9 berturut-turut diperoleh 4,56 Km; 4,23 Km dan 4,07 Km. Tearing Factor atau Ketahanan Sobek adalah banyaknya jumlah kertas yang dapat disobek oleh beban. Hasil tearing factor yang didapat untuk kontrol sebesar 103,43 Nm 2 kg. Selanjutnya tearing length dengan perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dengan inkubasi 5 hari, 10 hari dan 15 hari diperoleh 102,01 Nm 2 kg; 101,98 Nm 2 kg dan 101,45 Nm 2 kg . Tearing Factor pada perlakuan jamur Pleurotus EB9 berturut-turut diperoleh 102,25 Nm 2 kg; 102,03 Nm 2 kg dan 101,86 Nm 2 kg. Brusting Strength atau Ketahanan Retak adalah gaya yang menekan lembaran pulp sampai retak tiap-tiap cm 2 . Brusting Strength yang diperoleh untuk kontrol sebesar 3,77 kPa m 2 g. Brusting Length pada perlakuan jamur P. chrysosporium L1 secara berturut-turut diperoleh 3,61 kPa m 2 g; 3,57 kPa m 2 g dan 3,40 kPa m 2 g. Perlakuan jamur Pleurotus EB9 berturut-turut diperoleh 3,52 kPa m 2 g; 3,40 kPa m 2 g dan 3,21 kPa m 2 g. Ring Crush adalah daya tahan lembaran kertas terhadap gaya yang menekan salah satu tepinya dibentuk melingkar pada kondisi standar. Ring crush yang diperoleh untuk kontrol sebesar 12,90 Kgf. Ring Crush pada perlakuan jamur P. chrysosporium L1 secara berturut-turut diperoleh 12,61 Kgf; 12,07 Kgf dan 11,93 Kgf. Ring Crush pada perlakuan jamur Pleurotus EB9. berturut-turut diperoleh 11,77 Kgf; 11,54 Kgf dan 11,43 Kgf. Tabel 3 Kekuatan lembaran pulp setelah perlakuan jamur dan masa inkubasi. Masa Inkubasi Breaking Length Km Tearing Factor Nm 2 kg Brusting Factor kPa m 2 g Ring Crush Kgf Kontrol 4.89 103.43 3.77 12.90 P. chrysosporium L1 5 Hari 4.74 a 102.01 a 3.61 a 12.61 a 10 Hari 4.66 a 101.98 a 3.57 ab 12.07 a 15 Hari 4.36 a 101.45 a 3.40 b 11.93 a Pleurotus EB9 5 Hari 4.56 a 102.25 a 3.52 a 11.77b 10 Hari 4.23 a 102.03 a 3.40 ab 11.54b 15 Hari 4.07 a 101.86 a 3.21b 11.43b Perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada pulp kardus bekas menghasilkan kekuatan lembaran pulp yang terbaik pada masa inkubasi selama 5 hari. P. chrysosporium L1 menghasilkan Breaking Length 4,74 Km; Brusting Factor 3,61 kPa m 2 g; Tearing Factor 102,01 Nm 2 kg dan Ring Crush 12,61 Kgf. Pleurotus EB9 menghasilkan Breaking Length 4,56 Km; Brusting Factor 3,52 kPa m 2 g; Tearing Factor 102,25 Nm 2 kg dan Ring Crush 11,77 Kgf. Kualitas lembaran yang dihasilkan oleh kedua jamur tersebut masih jauh dibawah dari yang diharapkan dan belum memenuhi standar kualitas lembaran pada PT Bekasi Teguh. Standar kualitas lembaran pada PT Bekasi Teguh diantaranya Breaking Length 5,14 Km; Brusting Factor 3,81 kPa m 2 g; Tearing Factor 105,43 Nm 2 kg dan Ring Crush 13,44 Kgf. Dalam penelitian ini pengujian yang dilakukan terhadap sifat fisik lembaran pulp hanya untuk mengetahui berpengaruh atau tidak perlakuan jamur dan masa inkubasi terhadap sifat fisik lembaran pulp. Secara statistik perlakuan jamur dan masa inkubasi tidak berbeda secara nyata terhadap sifat fisik lembaran pulp pada ketiga masa inkubasi. Pada Tabel 3 terlihat penurunan yang tidak jauh berbeda baik jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 Hal ini dikarenakan pulp kardus bekas memiliki ikatan serat yang pendek-pendek sehingga sifat kekuatannya akan menurun. Menurut Minor dan Attala 1992, bahwa ikatan serat yang pendek pada pulp kertas bekas di dalam proses pembuatan pulp daur ulang dapat menurunkan sifat kekuatan pulp. Pulp kertas bekas merupakan sumber serat yang potensial karena memiliki keunggulan ekonomis dan pemanfaatannya dapat melestarikan lingkungan. Di negara-negara maju penggunaan pulp kertas bekas sebagai produk pengepakan. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan kertas bekas terutama di industri pulp dan kertas yang berbahan dasar kertas bekas adalah penurunan kualitas kertas yang dihasilkan. Menurut Leufenberg dan Hunt 1992, bahwa kelemahan yang mendasar dalam pemanfaatan pulp daur ulang berupa sifat kekuatannya jauh lebih rendah dari pulp asli. Pemanfaatan pulp daur ulang harus dapat dibatasi untuk menjaga kualitas kertas yang dihasilkan tidak turun. Dalam industri pulp dan kertas proses penghilangan lignin harus dihindari hal ini akan berkaitan dengan sifat kekuatan pulp. Hal ini bukan berarti lignin dalam pulp dipertahankan sepenuhnya tetapi untuk mendapatkan warna pulp yang cerah dan memiliki sifat fisik yang kuat digunakan bahan tambahan. Leufenberg dan Hunt 1992 menyatakan peningkatan mutu pulp daur ulang dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah tertentu pulp daur ulang dengan pulp asli dan proses pulp soda dapat meningkatkan ikatan serat secara kimia. Perlakuan secara kimia dapat memperbaiki dan meningkatkan potensi ikatan antar serat dalam pulp daur ulang. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan. Sampai saat ini belum banyak penelitian bioteknologi dalam pemanfaatan pulp daur ulang. Diharapkan pemanfaatan pulp daur ulang di negara-negara maju lebih mementingkan kelestarian lingkungan.