Nilai pH Pertumbuhan Jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 Pada Media Pulp Kardus Bekas

sel. Pada pH yang rendah, membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion H + sehingga lalu lintas kation esensial terbatas. Sebaliknya, pada pH tinggi membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion OH - yang menyebabkan anion terbatas. Meningkatnya nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 15 hari diduga membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion OH - sehingga pH menjadi naik. Ketersediaan ion-ion terbatas dalam pulp dapat mempengaruhi kebutuhan kedua jamur. Rendahnya nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 10 hari menunjukkan ion-ion anion dalam pulp masih berada dalam keadaan bebas. Nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 yang tinggi pada masa inkubasi selama 15 hari memperlihatkan bahwa ketersediaan ion anion menjadi berkurang. Menurut Rayner dan Boddy 1988, bahwa degradasi lignin sangat kecil pada pH di bawah 3 atau di atas 5. Sehingga tingkat keasaman media dapat berpengaruh pada laju pendegradasian lignin. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh. Jamur Pleurotus EB9 memiliki rata-rata pH 5,91 pada masa inkubasi selama 5 hari mempunyai rata-rata tingkat degradasi terendah 0,07 . Jamur P. chryosporium L1 dengan rata-rata pH 4,95 pada masa inkubasi selama 5 hari mempunyai rata-rata tingkat degradasi terendah 0,12 . P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata tingkat degradasi tertinggi 0,37 pada masa inkubasi selama 15 hari. Pleurotus EB9 memiliki rata-rata tingkat degradasi tertinggi 0,65 pada masa inkubasi selama 15 hari. Hal ini diduga dipengaruhi oleh sistem kerja enzim pada kedua jamur. Kondisi pH yang kurang optimal menyebabkan aktivitas enzim menjadi terhambat. P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 memiliki tingkat degradasi yang kecil pada masa inkubasi selama 5 hari tidak dapat menunjukkan dengan pH di bawah 5 degradasi lignin kecil atau di atas 5 degradasi lignin besar. Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata tingkat degradasi yang besar 0,65 dan 0,37 dengan rata-rata pH masing-masing 6,53 dan 5,85 pada masa inkubasi selama 15 hari. Nilai rata-rata pH kedua jamur yang di atas 5 merupakan nilai pH optimum untuk pertumbuhan jamur. Menurut Gunawan 2001, menyatakan bahwa di laboratorium umumnya jamur akan tumbuh dengan pH optimum antara 5,5-7,5.

4.2 Penurunan Bobot Kering Pulp

Hasil penelitian menunjukkan P. chrysosporium L1 dan Pleutorus EB9 mempunyai rata-rata penurunan bobot kering yang meningkat selama masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari. P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata penurunan bobot kering terendah 3,01 pada masa inkubai selama 5 hari dan rata-rata penurunan bobot kering tertinggi 9,32 pada masa inkubasi selama 15 hari. Pleurotus EB9 memiliki rata-rata penurunan bobot kering terendah 1,82 pada masa inkubasi selama 5 hari dan rata-rata penurunan bobot kering tertinggi 16,63 pada masa inkubasi selama 15hari. Secara statistik rata-rata penurunan bobot kering berbeda nyata pada ketiga masa inkubasi. Gambar 4 Persentase rata-rata penurunan bobot kering pulp setelah inkubasi. Rata-rata penurunan bobot kering pada perlakuan jamur P. chrysosporium L1 lebih kecil dibandingkan dengan jamur Pleurotus EB9. Hal ini disebabkan oleh adanya respon pertumbuhan jamur terhadap oksigen selama proses inkubasi. Jamur P. chrysosporium L1 dalam proses pemenuhan oksigen untuk respirasi lebih sedikit dibandingkan dengan jamur Pleurotus EB9 dalam pertumbuhan miselium. Pleurotus EB9 memiliki bentuk miselium yang panjang dan tipis memungkinkan proses respirasi lebih mudah dari P. chrysosporium L1 dengan bentuk miselium yang butiran dan tebal. Menurut Chang dan Miles 1989, menyatakan bahwa secara fisiologi, struktur hifa P. chrysosporium berbentuk butir-butiran, berdinding tebal dan mengandung tetesan minyak. Sedangkan struktur hifa Pleurotus spp. berbentuk panjang, berdinding tipis dan tidak mengandung tetesan minyak. Komponen gas dari udara yang paling banyak digunakan oleh jamur untuk pertumbuhan adalah oksigen dan karbondioksida. Jamur merupakan species aerobik dan oksigen yang cukup diperlukan untuk pertumbuhan miselium. Pertumbuhan vegetatif akan terus naik ketika tingkat karbondioksida naik sedikit sampai normal berdasarkan aktivitas respirasi dari miselium Chang dan Miles 1997. Jamur pelapuk kayu merupakan organisme aerobik yang memerlukan oksigen untuk respirasi dan sebagai aseptor elektron untuk oksidasi fosforilasi fenil. Kekurangan oksigen akan menghambat metabolisme Rayner dan Bobby 1988. Penurunan bobot kering belum bisa dikatakan sebagai banyaknya lignin yang terdegradasi. Hal ini dikarenakan dalam turunnya bobot kering pulp dapat disebabkan juga oleh komponen lain yang terdegradasi selain lignin seperti selulosa, hemiselulosa, unsur mineral lainnya Mn, N, Fe, dll dan zat perekat yang terkandung dalam pulp. Jamur Pleurotus EB9 dapat menurunkan bobot kering pulp lebih besar dibandingkan P. chrysosporium L1 tapi belum bisa dikatakan bahwa jamur Pleurotus EB9 dapat mendegradasi lignin lebih banyak. Rata-rata penurunan bobot kering pulp dapat menunjukkan bahwa pertumbuhan jamur Pleurotus EB9 optimal pada media pulp kardus bekas bila dibandingkan dengan P. chrysosporium L1. Tingkat degradasi dan laju dekomposisi oleh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 terhadap media pulp kardus bekas mengalami peningkatan pada masa inkubasi selama 5, 10 dan 15 hari Lampiran 23 dan 24. Jamur P. chrysosporium L1 mempunyai rata-rata tingkat degradasi tertinggi sebesar 0,37 pada masa inkubasi selama 15 hari dan rata-rata tingkat degradasi terendah sebesar 0,12 pada masa inkubasi selama 5 hari. Rata-rata tingkat degradasi tertinggi oleh jamur Pleurotus EB9 sebesar 0,65 pada masa inkubasi selama 15 hari dan rata-rata tingkat degradasi terendah sebesar 0,07 pada masa inkubasi selama 5 hari. Terlihat bahwa tingkat degradasi kedua jamur tersebut berbanding lurus dengan masa inkubasi, semakin lama masa inkubasi maka tingkat degradasi akan semakin meningkat. Secara statistik rata-rata tingkat degradasi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Laju dekomposisi rata-rata jamur P. chrysosporium L1 tertinggi sebesar 0,0066 gramhari pada masa inkubasi selama 10 dan 15 hari dan rata-rata laju dekomposisi terendah sebesar 0,0061 gramhari pada masa inkubasi selama 5 hari. Jamur Pleurotus EB9 memiliki rata-rata laju dekomposisi tertinggi sebesar 0,0119 gramhari pada masa inkubasi selama 15 hari dan terendah rata-rata sebesar 0,0037 gramhari pada masa inkubasi selama 5 hari. Secara statistik rata-rata laju dekomposisi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tidak berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Jamur yang memiliki tingkat degradasi rendah belum tentu mempunyai laju dekomposisi yang rendah ataupun sebaliknya, tingkat degradasi tinggi juga belum tentu mempunyai laju dekomposisi tinggi. Pada jamur P. chryosporium L1 dengan masa inkubasi selama 10 hari mempunyai tingkat degradasi 0,26 dengan laju dekomposisi 0,0066 gramhari, dan tingkat degradasi dengan masa inkubasi selama 15 hari mempunyai tingkat degradasi 0,37 dengan laju dekomposisi 0,0066 gramhari. Penurunan bobot kering pulp yang meningkat berbanding lurus dengan tingkat degradasi, namun tidak selalu diikuti oleh laju dekomposisi. Besar atau kecilnya tingkat degradasi dan laju dekomposisi oleh jamur pelapuk putih P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tidak selalu dapat dipastikan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan jamur, lama masa inkubasi dan jenis media tumbuh jamur. Menurut Herliyana 2007, jamur Pleurotus EB9 dengan media kayu pinus memiliki tingkat degradasi rata-rata 18,1 dan laju dekomposisi rata- rata 42,4 mgminggu; media kayu akasia memiliki tingkat degradasi rata-rata 16,9 dan laju dekomposisi rata-rata 38,4 mgminggu; media kayu sengon memiliki tingkat degradasi rata-rata 20,3 dan laju dekomposisi rata-rata 64,2 mgminggu.