Penurunan Bobot Kering Pulp

hari dan rata-rata tingkat degradasi terendah sebesar 0,07 pada masa inkubasi selama 5 hari. Terlihat bahwa tingkat degradasi kedua jamur tersebut berbanding lurus dengan masa inkubasi, semakin lama masa inkubasi maka tingkat degradasi akan semakin meningkat. Secara statistik rata-rata tingkat degradasi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Laju dekomposisi rata-rata jamur P. chrysosporium L1 tertinggi sebesar 0,0066 gramhari pada masa inkubasi selama 10 dan 15 hari dan rata-rata laju dekomposisi terendah sebesar 0,0061 gramhari pada masa inkubasi selama 5 hari. Jamur Pleurotus EB9 memiliki rata-rata laju dekomposisi tertinggi sebesar 0,0119 gramhari pada masa inkubasi selama 15 hari dan terendah rata-rata sebesar 0,0037 gramhari pada masa inkubasi selama 5 hari. Secara statistik rata-rata laju dekomposisi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tidak berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Jamur yang memiliki tingkat degradasi rendah belum tentu mempunyai laju dekomposisi yang rendah ataupun sebaliknya, tingkat degradasi tinggi juga belum tentu mempunyai laju dekomposisi tinggi. Pada jamur P. chryosporium L1 dengan masa inkubasi selama 10 hari mempunyai tingkat degradasi 0,26 dengan laju dekomposisi 0,0066 gramhari, dan tingkat degradasi dengan masa inkubasi selama 15 hari mempunyai tingkat degradasi 0,37 dengan laju dekomposisi 0,0066 gramhari. Penurunan bobot kering pulp yang meningkat berbanding lurus dengan tingkat degradasi, namun tidak selalu diikuti oleh laju dekomposisi. Besar atau kecilnya tingkat degradasi dan laju dekomposisi oleh jamur pelapuk putih P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tidak selalu dapat dipastikan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan jamur, lama masa inkubasi dan jenis media tumbuh jamur. Menurut Herliyana 2007, jamur Pleurotus EB9 dengan media kayu pinus memiliki tingkat degradasi rata-rata 18,1 dan laju dekomposisi rata- rata 42,4 mgminggu; media kayu akasia memiliki tingkat degradasi rata-rata 16,9 dan laju dekomposisi rata-rata 38,4 mgminggu; media kayu sengon memiliki tingkat degradasi rata-rata 20,3 dan laju dekomposisi rata-rata 64,2 mgminggu. Dapat disimpulkan bahwa jamur Pleurotus EB9 tidak hanya mendegradasi lignin saja tetapi juga komponen glukosa lainnya. Hal ini juga pada P. chrysosporium L1 yang memiliki kemampuan degradasi lignin secara selektif. Dalam penelitian ini yang didasarkan pada penurunan bobot kering pulp tidak dapat dijelaskan seberapa banyak komponen glukosa selain lignin yang didegradasi oleh jamur pelapuk putih Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1. Menurut Herliyana 2007, bahwa jamur pelapuk putih diketahui dapat mendegradasi lignin dan polisakarida. Fase vegetatif Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat ekstraktif cukup tinggi 26,2 dan menurunkan kadar lignin cukup besar 20,8, dan menurunkan kadar selulosa 20,1 serta peningkatan kadar hemiselulosa 70,6. Isolat Pleurotus EB9 pada fase vegetatif juga mempunyai peningkatan kelarutan dalam NaOH 1 yang mengindikasikan adanya polisakarida yang terdegradasi.

4.3 Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase LiP dan Mangan Peroksidase MnP

Lignin peroksidase LiP memiliki kemampuan mengkatalis beberapa reaksi oksidasi antara lain pemecahan ikatan Cα-Cβ rantai samping propil non fenolik komponen aromatik lignin, oksidasi benzyl alkohol, oksidasi fenol, hidroksilasi benzylic methylene groups dan pemecahan cincin aromatik komponen non phenolik senyawa lignin Tien dan Kirk 1984. Enzim mangan peroksidase MnP diketahui memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik senyawa lignin. Prinsip fungsi mangan peroksidase adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn 2+ membentuk Mn 3+ dengan adanya H 2 O 2 sebagai oksidan. Aktivitasnya dirangsang oleh adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengkelat atau menstabilkan Mn 3+ . Hasil pengamatan menunjukkan bahwa isolat P. chrysosporium L1 memiliki aktivitas LiP tertinggi pada masa inkubasi selama 15 hari sebesar 0,311 Uml dan terendah pada masa inkubasi 10 hari sebesar 0,260 Uml. Aktivitas MnP tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 0,734 Uml dan terendah pada masa inkubasi selama 10 hari sebesar 0,133 Uml Gambar 6. Gambar 5 Aktivitas enzim P. chrysosporium L1 sampel 2 ml terhadap masa inkubasi. Gambar 6 Aktivitas enzim Pleurotus EB9 sampel 2 ml terhadap masa inkubasi. Jamur Pleurotus EB9 menunjukkan tidak terdeteksi aktivitas enzim LiP dan aktivitas enzim MnP yang tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 0,409 Uml dan terendah pada masa inkubasi selama 15 hari sebesar 0,200 Uml Gambar 7. Herliyana 2007 dalam penelitiannya melaporkan bahwa isolat Pleurotus EB9 aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat sampai hari ke-6 inkubasi. Tidak terdeteksinya aktivitas enzim LiP pada isolat Pleurotus EB9 disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : pH media, substrat, suhu dan inkubasi. Lamanya penyimpanan sampel isolat juga mempengaruhi aktivitas enzim dalam pengujian enzim. Suhartono 1989, bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH dan jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion dan suhu. Menurut Herliyana 2007, berdasarkan pelaksanaan pengujian ekspresi enzim Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 diketahui lama penyimpanan mempengaruhi ekspresi enzim. Lamanya penyimpanan sampel yang disimpan dengan suhu 10°C pada penelitian ini berbeda-beda sampai melakukan pengujian enzim. Sampel perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dengan inkubasi 5 hari disimpan selama 8 hari sampai pengujian enzim. Sampel perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dengan inkubasi 10 hari disimpan selama 23 hari dan Pleurotus EB9 selama 24 hari. Sedangkan sampel perlakuan jamur P. chrysosporium L1 disimpan selama 19 hari dan Pleurotus EB9 selama 20 hari pada inkubasi 15 hari. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH tingkat keasaman optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Terjadinya peningkatan dan penurunan nilai aktivitas enzim akibat perubahan pH disebabkan karena perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau substrat. Penurunan aktivitas enzim disebabkan karena turunnya afinitas dan stabilitas enzim. Faktor pH sangat mempengaruhi terhadap aktivitas enzim, pH yang terlalu tinggi atau rendah dapat menghambat aktivitas enzim dan memungkinkan strukturnya menjadi rusak. Menurut Rayner dan Boddy 1988, bahwa aktivitas kerja enzim yang optimal berkisar antara pH 3-5. Pada penelitian ini jamur P. chrysosporium L1 aktivitas enzim MnP dan LiP yang optimal pada masa inkubasi selama 5 hari dengan pH 4,95. Jamur Pleurotus EB9 memiliki aktifitas enzim MnP yang optimal pada masa inkubasi selama 10 hari dengan pH 5,00. Aktivitas enzim LiP dan MnP pada masing-masing isolat yaitu P.chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dengan media yang sama menggunakan pulp kardus bekas menunjukkan aktivitas enzim LiP dan MnP yang cukup signifikan. Jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 memperlihatkan aktivitas enzim MnP yang berfluktuasi. Jamur Pleurotus EB9 menunjukkan tidak terdeteksi aktivitas enzim LiP. Sehingga dapat dikatakan bahwa jamur Pleurotus EB9 termasuk jenis jamur pelapuk putih tanpa LiP. Menurut Katagiri 1995,