Kekuatan Lembaran Pulp Kardus Bekas

Pulp kertas bekas merupakan sumber serat yang potensial karena memiliki keunggulan ekonomis dan pemanfaatannya dapat melestarikan lingkungan. Di negara-negara maju penggunaan pulp kertas bekas sebagai produk pengepakan. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan kertas bekas terutama di industri pulp dan kertas yang berbahan dasar kertas bekas adalah penurunan kualitas kertas yang dihasilkan. Menurut Leufenberg dan Hunt 1992, bahwa kelemahan yang mendasar dalam pemanfaatan pulp daur ulang berupa sifat kekuatannya jauh lebih rendah dari pulp asli. Pemanfaatan pulp daur ulang harus dapat dibatasi untuk menjaga kualitas kertas yang dihasilkan tidak turun. Dalam industri pulp dan kertas proses penghilangan lignin harus dihindari hal ini akan berkaitan dengan sifat kekuatan pulp. Hal ini bukan berarti lignin dalam pulp dipertahankan sepenuhnya tetapi untuk mendapatkan warna pulp yang cerah dan memiliki sifat fisik yang kuat digunakan bahan tambahan. Leufenberg dan Hunt 1992 menyatakan peningkatan mutu pulp daur ulang dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah tertentu pulp daur ulang dengan pulp asli dan proses pulp soda dapat meningkatkan ikatan serat secara kimia. Perlakuan secara kimia dapat memperbaiki dan meningkatkan potensi ikatan antar serat dalam pulp daur ulang. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan. Sampai saat ini belum banyak penelitian bioteknologi dalam pemanfaatan pulp daur ulang. Diharapkan pemanfaatan pulp daur ulang di negara-negara maju lebih mementingkan kelestarian lingkungan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 yang diinokulasikan pada pulp kardus bekas menunjukkan bahwa kedua jamur tersebut dapat tumbuh secara optimal. Pertumbuhan optimal jamur P. chrysosporium L1 pada masa inkubasi selama 5 hari dengan pH 4,95 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 10 hari dengan pH 5,00. P.chrysosporium L1 memiliki tingkat degradasi tertinggi sebesar 0.37 dan laju dekomposisi tertinggi sebesar 0,066 gramhari pada masa inkubasi selama 15 hari. Pleurotus EB9 memiliki tingkat degradasi tertinggi sebesar 0,65 dan laju dekomposisi tertinggi sebesar 0,0119 gramhari pada masa inkubasi selama 15 hari. Kemampuan degradasi lignin dapat dilihat pada aktivitas tertinggi LiP jamur P.chrysosporium L1 pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 0,734 Uml dan MnP pada masa inkubasi selama 15 hari sebesar 0,311 Uml. Jamur Pleurotus EB9 tidak terjadi aktivitas LiP dan MnP tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 0,409 Uml. Perlakuan jamur P. chrysosporium L1 menurunkan bilangan kappa pada masa inkubasi selama 5 hari 41,24. Pleurotus EB9 menurunkan bilangan kappa pada masa inkubasi selama 10 hari 39,19. Kekuatan lembaran pulp yang terbaik dihasilkan dari perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 5 hari. P. chrysosporium L1 menghasilkan kekuatan lembaran pulp diantaranya Breaking Length 4,74 Km; Tearing Factor 102,01 Nm 2 kg; Brusting Factor 3,61 kPa m 2 g dan Ring Crush 12,61 Kgf. Pleurotus EB9 menghasilkan kekuatan lembaran pulp diantaranya Breaking Length 4,56 Km; Tearing Factor 102,25 Nm 2 kg; Brusting Factor 3,52 kPa m 2 g dan Ring Crush 11,77 Kgf. Jamur pelapuk putih P. chrysosporium L1 memiliki potensi sebagai agen biobleaching pulp kardus bekas pada masa inkubasi selama 5 hari dan Pleurotus EB9 memiliki sebagai agen biobleaching pulp kardus bekas pada masa inkubasi selama 5 hari.

5.2 Saran

Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam kaitannya dengan penelitian tentang potensi pendegradasian lignin oleh jamur Pleurotus EB9 terhadap pulp kardus bekas, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai : 1. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui jumlah selulosa dan hemiselulosa yang terdegradasi pada pulp kardus bekas. 2. Perlu dilakukan perlakuan awal untuk menghilangkan zat perekat kanji pada pulp sehingga tidak menghambat pendegradasian lignin oleh jamur. DAFTAR PUSTAKA Achmadi S.S. 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. Bogor. Alexopoulos C.J., Mims C.W., Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. Ed. Ke-4. New York: John Willey and Sons Inc. Ander P, Eriksson K.E. 1997. Studies on The Mutagenic Properties of Bleaching Effluent. Sven Papperstidn 80: 95-104. Anonim. 2008. Laccase. http:www.chem.ox.ac.ukiclfaagrouplaccase.html. [25 juli 2008] Brown J.A., Glenn J.K., Gold M.H. 1990. Manganase Regulate Expression of Manganase Peroksidase by Phanerochaete chrysosporium. J Bacteriol 6: 3125-3130. Cavallazzi J.R.P., Oliviera M.G.A., Kasuya M.C.M. 2004. Laccase Production by Lepista sordida. Brazilian J Microbiol 35: 261- 263. Chang S.T., Miles P.G. 1989. Genetics and Breeding of Edible Mushroom. Hongkong: Gordon and Breach science Publisher. Unesco. Erickson K.E.L., Blanchette R.A., Ander P. 1990. Microbiol and Enzymatic Degradation of Wood and Wood Component. Berlin: Spinger-Verlag. Fengel D., Wegener G. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Terjemahan oleh Sastrohamidjojo H. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fitria R. 2005. Optimasi Produksi Enzim Lignolitik oleh Isolat A-1 dan G. Lucidum serta Pemurnian Parsial dan Karakteristik Lakase [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia. Gold M.H., Alic M. 1993. Molecular biology of the lignin-degrading basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Microbiol. Rev. 57: 605- 622. Gunawan A.W. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Jakarta: Penebar Swadaya. Hadi S. 2001. Patologi Hutan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.