Teori Oligarki KERANGKA TEORI
49
dan pembuat hukum zaman dulu tahu benar, berdasarkan pengalaman, bahwa kemerdekaan dan kesetaraan politik hanya bisa ada ketika didukung kesetaraan
kondisi”.
53
Orang-orang kaya dengan harta yang melimpah bisa melakukan apapun demi terwujudnya cita-cita dan tujuan politik mereka. Dengan bekal
material yang lebih besar dibandingkan yang lain, selain mendapatkan kedudukan eksklusif di mata masyarakat, mereka pun memiliki wewenang yang besar karena
posisinya. Sulit untuk membayangkan bahwa orang-orang tidak menaruh hormat pada macam orang jenis ini.
54
Hal yang membedakan elit dan oligark berasal dari stimulus sumber daya kekuasaan yang mereka miliki. Sumber daya kekuasaan sebagaimana yang
diklasifikasikan oleh Winters, memiliki relevansi kuat pada corak aktor yang menggunakannya. Sumber daya kekuasaan ini terbagi ke dalam lima jenis.
Pertama adalah hak politik formal, kedua, jabatan resmi, ketiga adalah kekuasaan koersi pemaksaan, keempat adalah kekuasaan mobilisasi, dan terakhir adalah
basis kekuatan material. Empat sumber daya kekuasaan yang disebutkan di awal merupakan kombinasi akumulasi yang membentuk kekuatan elit. Sedangkan
sumber yang terakhir merupakan basis terpenting eksistensi oligark.
55
Hak politik formal dalam sejarahnya merupakan sumber daya kekuasaan yang eksklusif. Tidak sembarang orang mendapatkan hak istimewa agar dapat
berpartisipasi; dipilih atau memilih. Sejarah bangsa Athena misalnya, melukiskan bagaimana para budak dan perempuan menjadi kaum marjinal dalam urusan-
urusan politik. Atau orang kulit hitam dalam sejarah bangsa Amerika mengalami
53
Ibid, h. 7.
54
Ibid, h. 7.
55
Ibid, h. 17-19.
50
hal serupa. Usaha untuk mendapatkan hak politik formal tidak mudah oleh sebagian kalangan. Dengan demikian, hak politik merupakan satu dari beberapa
sumber kekuasaan yang penting.
56
Sama halnya dengan jabatan resmi, dengan predikat sebagai seorang pejabat di dinas-dinaslembaga tertentu, seseorang
mampu mengerahkan segala kekuasaannya berdasarkan kehendak yang diingingkan. Rasa patuh dari bawahan, atau loyalitas orang-orang yang berada di
sekelilingnya, jika bukan karena simbol jabatan yang dipegang, maka sangat sulit untuk mendapatkannya.
57
Adapun kekuasaan pemaksaan, hal ini didasarkan pada keabsahan negara dalam mensubordinasikan instrumen pemaksaannya terhadap warga negara.
Sebagai elemen resmi, negara sebagaimana perspektif Weber, memiliki hak dan wewenang untuk memaksakan segala ketentuan hukum dan aturan kendatipun
menggunakan cara-cara fisik.
58
Sedang kekuasaan mobilisasi muncul dari dalam kharisma seseorang yang disandarkan pada “keberanian, status, gagasan, atau
kelihaian retorika, penulis, agitator, cendekia, dan lain- lain,”
59
jika bukan karena jabatan resmi yang dipegang.
60
Sedangkan kekuasaan materialkekayaan sangat berbeda dari sumber daya kekuasaan lainnya. Sumber daya kekuasaan terakhir hanya dimiliki oleh orang-
orang tertentu dengan kapasitas yang dinamis. Maklumlah bila kemudian oligark berdiri lebih tinggi di atas semua golongan. Karena kapanpun, dengan modal yang
besar, sewaktu-waktu para oligark bisa merenkarnasikan diri atau mengenyam dua
56
Ibid, h. 19-20.
57
Ibid, h. 20-22.
58
Ibid, h. 22-23.
59
Ibid, h. 23.
60
Ibid, h. 23.
51
status sosial sekaligus, baik sebagai elit maupun oligark. Kendatipun kondisi sebaliknya bisa saja terjadi.
61
Dengan kekayaan material melimpah, ketimpangan politik sangat terasa. Apalagi bila praktek ini dilihat di negara-negara yang belum mapan secara
demokrasi, di mana demokrasi masih berjalan dalam batasan-batasan prosedural seperti yang dikatakan oleh Schumpeter. Ditambah penegakan hukum yang hanya
berupa semboyan semata. Maka sangat kentara sekali jurang pemisahnya. Oligark – melaui arus finansial mereka – mampu membayar aparat hukum, menyewa
milisi, menyewa massa, memanipulasi hasil pemilu, dan menyuap masyarakat untuk memilih mereka.
62
Maka satu-satunya jalan menghilangkan ketimpangan politik yang disebabkan oleh ketidaksetaraan material bagi Winters adalah dengan
melakukan pola redistribusi kekayaan atau dengan menghilangkan sekat ketidakmerataan material.
63
Keberadaan oligark begitu fleksibel dari zaman ke zaman. Dari beragam sejarah sistem pemerintahan, mereka mampu beradaptasi dan memposisikan diri.
Mereka bukan hanya tumbuh dalam satu sistem tertentu, melainkan bisa menerobos masuk ke semua sistem; termasuk demokrasi. Hal ini sedikit
mengejutkan memang, orang-orang yang menaruh harapan pada demokrasi pluralis sekalipun,
64
mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa faktanya ketidakadilan material adalah momok menakutkan yang juga dapat tumbuh subur
61
Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33 2014: h. 15.
62
Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 28.
63
Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http:indoprogress.com201411oligarki-tatanan-ekonomi-
politik-indonesia-kontemporer
64
Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 2.
52
dalam sistem demokrasi. Di mana para oligark, dengan posisi politik yang dia duduki, mencoba me-reka ulang aturan yang menguntungkannya secara ekonomi.
Atau berusaha untuk menghindari pajak yang banyak membebani klaim harta mereka. Masalah ini relevan dengan konteks pengertian oligarki per definisi.
Diambil dari pengertian oligarki menurut Winters, ia adalah “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa
digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.”
65
Singkatnya, oligarki “merujuk kepada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material.”
66
“Jika kekayaan pribadi ekstrem mustahil dimiliki atau tidak ada, maka oligark juga tidak ada. Tiga perkara langsung bersangkut paut. Pertama,
kekayaan adalah bentuk kekuasaan material yang beda dari segala sumber daya kekuasaan lain yang bisa terkonsentrasi di tangan minoritas. Kedua,
yang penting adalah bahwa penguasaan dan pengendalian sumber daya itu dilakukan untuk kepentingan pribadi, bukan lembaga. Oligark selalu
individu, tak pernah berupa perusahaan atau kelompok lainnya. Ketiga, definisi oligark tetap konstan di berbagai zaman dan kasus. Faktor-faktor
itulah yang membedakan mereka dengan elit, dan memisahkan oligark dari
bentuk dominasi minoritas lain.”
67
Dengan adanya gambaran yang komperehensif tentang oligarki dan bagaimana sepak terjang mereka dalam diskursus ekonomi-sosial ini, berarti kita bisa
mengetahui motif apa yang melatarbelakangi oligark saat terjun ke dunia politik. Ancaman terhadap kekayaan material yang mereka timbun, akan semakin besar
tatkala jumlah kekayaan yang tersimpan juga sama besarnya. Atau semakin besar harta seseorang, semakin besar pula ancaman yang akan dihadapi. Bila ketentuan
hak milik sudah diatur oleh undang-undang dalam konstitusi negara modern,
65
Ibid, h. 8.
66
Ibid, h. 10.
67
Ibid, h. 9.
53
sehingga seseorang tidak bisa secara sembarang melakukan tindakan kriminal dengan mengambil hak milik orang lain, justeru kini yang dihindari oleh para
oligark adalah ketentuan-ketentuan pajak yang berasal dari negara itu sendiri. Mereka berusaha untuk mengelak dari pajak negara semampu yang mereka bisa.
Dengan masuknya oligark ke dunia politik, maka dengan mudah mereka membuat diskresi terhadap aturan yang mereka kehendaki.
Ada empat jenis oligarki berdasarkan tipologi yang dikeluarkan Winters, mereka adalah: oligarki panglima, oligarki sultanistik, oligarki penguasa koletif,
oligarki sipil.
68
Pembagian tipologi oligarki ini seperti yang Winters ungkapkan ada pada:
“Kadar keterlibatan langsung oligark dalam melakukan pemaksaan yang menyokong klaim atau hak milik atas harta kekayaan; keterlibatan oligark
dalam kekuasaan atau pemerintahan; sifat keterlibatan dalam pemaksan dan kekuasaan itu; terpecah atau kolektif; dan terakhir apakah oligark bersifat
liar atau jinak di mana penjinakan oleh pihak luar lebih umum serta lebih
stabil daripada penjinakan diri sendiri.”
69
Oligarki panglima merupakan jenis paling ekstrem dibandingkan dengan yang lain. Oligarki jenis ini menuntut keikutsertaan langsung oligark untuk terjun dan
berseteru melalui ragam persengketaan dengan para oligark lainnya dalam rangka perjuangan mempertahankan sumber daya kekayaanpenghasilan.
70
Oligarki penguasa kolektif lebih bersifat kelembagaan,
71
di mana para oligark berkumpul sebagai “komisi mafia.”
72
Adapun oligarki sultanistik lebih dekat kepada pengertian dipegangnya kekuasaan oleh satu orang oligark saja. Untuk jenis ini
68
Ibid, h. 48-54.
69
Ibid, h. 48.
70
Ibid, h. 52.
71
Ibid, h. 52.
72
Istilah lain yang dinisbatkan oleh Winters untuk menyebut aktivitas oligarki model penguasa kolektif.
54
bisa dilihat pengalaman Indonesia di bawah Soeharto.
73
Dan oligarki sipil cenderung diartikan sebagai usaha oligark untuk menjauhi bahkan jika bisa
menghindar ketentuan-ketentuan pajak negara. Atau seperti yang Winters kemukakan: “upaya mengelak dari jangkauan tangan negara yang hendak
melakukan redistribusi kekayaan.”
74
Di samping Winters, ilmuwan politik yang juga menaruh minat pada persoalan oligarki lainnya adalah Vedi dan Robinson. Lokalitas penelitian Vedi
dan Robinson pada praktek dan historisitas kelahiran oligark di Indonesia, setidaknya telah memberikan wawasan tambahan tentang bagaimana mereka
tumbuh dan tetap bertahan kendati demokrasi semu ala Soeharto telah berakhir. Ikhwal penting dari sejarah oligarki di Indonesia terbentang semenjak kapitalisme
pasar dibuka sampai ketika Indonesia mengalami boom oil di era 1970-1980. Ini merupakan masa-masa pembenihan sekaligus cikal bakal kemunculan oligarki dan
membenamkan pengaruhnya pada sistem ekonomi-politik nasional di belakang bayang-bayang Soeharto. Dengan berada di belakang Soeharto, negara bukan
hanya telah menjadi salah satu aspek pelindung, bahkan penyuplai penting segala bantuan, kredit pinjaman, kolusi tender, dan sebagainya, hingga mereka tetap bisa
survive sampai saat ini. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dulu dilakukan Soekarno dengan jargon
kemandirian dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan aset kolonial, mau tidak mau dirubah haluannya oleh Soeharto dengan mengikuti model pasar global, di
mana saat itu laju inflasi telah mencapai “600 persen dengan kemampuan
73
Ibid, h. 53.
74
Ibid, h. 54.
55
produksi yang kecil Chalmers,1997”.
75
Dengan dibukanya pasar dan arus investasi modal, pada titik inilah korupsi kolusi nepotisme mengalir deras
berkesinambungan dengan penguasaan proyek-proyek negara dan pemberian lisensi yang ditetapkan pada orang-orang pilihan. Apalagi geopolitik global di
tahun 1974 telah memaksa harga minyak naik drastis sebab perseteruan Arab- Israel, yang memberi keuntungan tersendiri terhadap rezim borjuis kapitalis.
Mereka meraup banyak pemasukan dari penjualan minyak yang tengah meroket. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena harga minyak kembali normal
di pertengahan tahun 1980-an dan pada 1986 harga minyak kembali ke harga sebelum tahun 1973. Kepanikan ini berdampak pada kebijakan deregulasi sektor-
sektor ekonomi. Namun faktanya liberalisasi pasar yang diambil tidak serta merta merubah sifat korporatis predatoris yang lebih egaliter dan sehat. Kondisi ini
bahkan tetap mengekalkan praktek-praktek KKN yang sudah berakar-urat.
76
Begitupun dengan kondisi saat terjadinya letusan demonstrasi besar-besaran di tahun 1998, reformasi umumnya hanya menjadi jargon semata, nyatanya
kekuatan-kekuatan predator yang dulu dipelihara orba tetap eksis dan mampu beradaptasi dengan sistem yang baru. Desentralisme merupakan bahasa lain dari
devolusi aktivitas KKN yang semakin terpolarisasi. Dengan titik tolak persepektif neo-marxis,
77
Vedi mengasumsikan kemunculan oligarki sebagai dampak bangunan korporatisme negara, di mana
75
Menurut Chalmers seperti dikutip Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2005, h. 180.
76
Ibid, h. 177-190.
77
Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http:indoprogress.com201411oligarki-tatanan-ekonomi-
politik-indonesia-kontemporer
56
negara merupakan akumulasi para pemburu rente demi tercapainya kepentingan personal.
“Saat oligarki ini terkonsolidasikan di pertengahan dan akir 1980-an – dengan dasar patronase negara dan akses ke sumber daya negara
– ia dengan perlahan merampas kekuasaan negara itu sendiri dan mengubah aparatur
negara menjadi suatu „komite‟ yang mengelola perlindungan terhadap berbagai kepentingannya. Berbeda dari negara-negara industri maju
sekarang ini, kecenderungan di Indonesia dewasa ini telah menggemakan kembali rumusan Marx dan Engels yang terkenal tentang „eksekutif negara
modern‟ yang bertindak sebagai suatu „komite yang mengelola urusan bersama‟ kaum borjuis Marx dan Engels dalam Panitch dan Leys, 1998.
Dengan memanfaatkan kekuasaan dan lembaga-lembaga negara untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, keluarga birokratis dan korporatis yang
memiliki posisi kuat mampu mengendalikan kebijakan ekonomi, bahkan saat Indonesia secara international dipuji karena suatu reorientasi ke arah
serangkaian kebijakan propasar.”
78
Singkatnya negara menjadi arena yang melegalkan aktivitas borjuasi yang berusaha memperkaya diri mereka sendiri melalui pelemahan-pelemahan
kelompok penentang, disorganisasi civil society dan kalangan buruh revolusioner.
79
Relasi yang terjalin antara negara dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya mutlak mendudukan negara pada koersifitas kontrol yang tinggi. Di
samping lahirnya organisasi-organisasi bayangan pro pemerintah yang menambah beban perjuangan kalangan-kalangan kontra untuk protes dan melawan
pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Vedi “kekuasaan atas negara dapat secara instrumental
– bukan hanya secara struktural – dapat dikendalikan oleh kekuatan- kekuatan sosial yang dominan.”
80
78
Vedi, Dinamika Kekuasaan, h. 170.
79
Ibid, h. 193-202.
80
Ibid, h. 172-173.
57