Teori Oligarki KERANGKA TEORI

49 dan pembuat hukum zaman dulu tahu benar, berdasarkan pengalaman, bahwa kemerdekaan dan kesetaraan politik hanya bisa ada ketika didukung kesetaraan kondisi”. 53 Orang-orang kaya dengan harta yang melimpah bisa melakukan apapun demi terwujudnya cita-cita dan tujuan politik mereka. Dengan bekal material yang lebih besar dibandingkan yang lain, selain mendapatkan kedudukan eksklusif di mata masyarakat, mereka pun memiliki wewenang yang besar karena posisinya. Sulit untuk membayangkan bahwa orang-orang tidak menaruh hormat pada macam orang jenis ini. 54 Hal yang membedakan elit dan oligark berasal dari stimulus sumber daya kekuasaan yang mereka miliki. Sumber daya kekuasaan sebagaimana yang diklasifikasikan oleh Winters, memiliki relevansi kuat pada corak aktor yang menggunakannya. Sumber daya kekuasaan ini terbagi ke dalam lima jenis. Pertama adalah hak politik formal, kedua, jabatan resmi, ketiga adalah kekuasaan koersi pemaksaan, keempat adalah kekuasaan mobilisasi, dan terakhir adalah basis kekuatan material. Empat sumber daya kekuasaan yang disebutkan di awal merupakan kombinasi akumulasi yang membentuk kekuatan elit. Sedangkan sumber yang terakhir merupakan basis terpenting eksistensi oligark. 55 Hak politik formal dalam sejarahnya merupakan sumber daya kekuasaan yang eksklusif. Tidak sembarang orang mendapatkan hak istimewa agar dapat berpartisipasi; dipilih atau memilih. Sejarah bangsa Athena misalnya, melukiskan bagaimana para budak dan perempuan menjadi kaum marjinal dalam urusan- urusan politik. Atau orang kulit hitam dalam sejarah bangsa Amerika mengalami 53 Ibid, h. 7. 54 Ibid, h. 7. 55 Ibid, h. 17-19. 50 hal serupa. Usaha untuk mendapatkan hak politik formal tidak mudah oleh sebagian kalangan. Dengan demikian, hak politik merupakan satu dari beberapa sumber kekuasaan yang penting. 56 Sama halnya dengan jabatan resmi, dengan predikat sebagai seorang pejabat di dinas-dinaslembaga tertentu, seseorang mampu mengerahkan segala kekuasaannya berdasarkan kehendak yang diingingkan. Rasa patuh dari bawahan, atau loyalitas orang-orang yang berada di sekelilingnya, jika bukan karena simbol jabatan yang dipegang, maka sangat sulit untuk mendapatkannya. 57 Adapun kekuasaan pemaksaan, hal ini didasarkan pada keabsahan negara dalam mensubordinasikan instrumen pemaksaannya terhadap warga negara. Sebagai elemen resmi, negara sebagaimana perspektif Weber, memiliki hak dan wewenang untuk memaksakan segala ketentuan hukum dan aturan kendatipun menggunakan cara-cara fisik. 58 Sedang kekuasaan mobilisasi muncul dari dalam kharisma seseorang yang disandarkan pada “keberanian, status, gagasan, atau kelihaian retorika, penulis, agitator, cendekia, dan lain- lain,” 59 jika bukan karena jabatan resmi yang dipegang. 60 Sedangkan kekuasaan materialkekayaan sangat berbeda dari sumber daya kekuasaan lainnya. Sumber daya kekuasaan terakhir hanya dimiliki oleh orang- orang tertentu dengan kapasitas yang dinamis. Maklumlah bila kemudian oligark berdiri lebih tinggi di atas semua golongan. Karena kapanpun, dengan modal yang besar, sewaktu-waktu para oligark bisa merenkarnasikan diri atau mengenyam dua 56 Ibid, h. 19-20. 57 Ibid, h. 20-22. 58 Ibid, h. 22-23. 59 Ibid, h. 23. 60 Ibid, h. 23. 51 status sosial sekaligus, baik sebagai elit maupun oligark. Kendatipun kondisi sebaliknya bisa saja terjadi. 61 Dengan kekayaan material melimpah, ketimpangan politik sangat terasa. Apalagi bila praktek ini dilihat di negara-negara yang belum mapan secara demokrasi, di mana demokrasi masih berjalan dalam batasan-batasan prosedural seperti yang dikatakan oleh Schumpeter. Ditambah penegakan hukum yang hanya berupa semboyan semata. Maka sangat kentara sekali jurang pemisahnya. Oligark – melaui arus finansial mereka – mampu membayar aparat hukum, menyewa milisi, menyewa massa, memanipulasi hasil pemilu, dan menyuap masyarakat untuk memilih mereka. 62 Maka satu-satunya jalan menghilangkan ketimpangan politik yang disebabkan oleh ketidaksetaraan material bagi Winters adalah dengan melakukan pola redistribusi kekayaan atau dengan menghilangkan sekat ketidakmerataan material. 63 Keberadaan oligark begitu fleksibel dari zaman ke zaman. Dari beragam sejarah sistem pemerintahan, mereka mampu beradaptasi dan memposisikan diri. Mereka bukan hanya tumbuh dalam satu sistem tertentu, melainkan bisa menerobos masuk ke semua sistem; termasuk demokrasi. Hal ini sedikit mengejutkan memang, orang-orang yang menaruh harapan pada demokrasi pluralis sekalipun, 64 mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa faktanya ketidakadilan material adalah momok menakutkan yang juga dapat tumbuh subur 61 Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33 2014: h. 15. 62 Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 28. 63 Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http:indoprogress.com201411oligarki-tatanan-ekonomi- politik-indonesia-kontemporer 64 Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 2. 52 dalam sistem demokrasi. Di mana para oligark, dengan posisi politik yang dia duduki, mencoba me-reka ulang aturan yang menguntungkannya secara ekonomi. Atau berusaha untuk menghindari pajak yang banyak membebani klaim harta mereka. Masalah ini relevan dengan konteks pengertian oligarki per definisi. Diambil dari pengertian oligarki menurut Winters, ia adalah “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.” 65 Singkatnya, oligarki “merujuk kepada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material.” 66 “Jika kekayaan pribadi ekstrem mustahil dimiliki atau tidak ada, maka oligark juga tidak ada. Tiga perkara langsung bersangkut paut. Pertama, kekayaan adalah bentuk kekuasaan material yang beda dari segala sumber daya kekuasaan lain yang bisa terkonsentrasi di tangan minoritas. Kedua, yang penting adalah bahwa penguasaan dan pengendalian sumber daya itu dilakukan untuk kepentingan pribadi, bukan lembaga. Oligark selalu individu, tak pernah berupa perusahaan atau kelompok lainnya. Ketiga, definisi oligark tetap konstan di berbagai zaman dan kasus. Faktor-faktor itulah yang membedakan mereka dengan elit, dan memisahkan oligark dari bentuk dominasi minoritas lain.” 67 Dengan adanya gambaran yang komperehensif tentang oligarki dan bagaimana sepak terjang mereka dalam diskursus ekonomi-sosial ini, berarti kita bisa mengetahui motif apa yang melatarbelakangi oligark saat terjun ke dunia politik. Ancaman terhadap kekayaan material yang mereka timbun, akan semakin besar tatkala jumlah kekayaan yang tersimpan juga sama besarnya. Atau semakin besar harta seseorang, semakin besar pula ancaman yang akan dihadapi. Bila ketentuan hak milik sudah diatur oleh undang-undang dalam konstitusi negara modern, 65 Ibid, h. 8. 66 Ibid, h. 10. 67 Ibid, h. 9. 53 sehingga seseorang tidak bisa secara sembarang melakukan tindakan kriminal dengan mengambil hak milik orang lain, justeru kini yang dihindari oleh para oligark adalah ketentuan-ketentuan pajak yang berasal dari negara itu sendiri. Mereka berusaha untuk mengelak dari pajak negara semampu yang mereka bisa. Dengan masuknya oligark ke dunia politik, maka dengan mudah mereka membuat diskresi terhadap aturan yang mereka kehendaki. Ada empat jenis oligarki berdasarkan tipologi yang dikeluarkan Winters, mereka adalah: oligarki panglima, oligarki sultanistik, oligarki penguasa koletif, oligarki sipil. 68 Pembagian tipologi oligarki ini seperti yang Winters ungkapkan ada pada: “Kadar keterlibatan langsung oligark dalam melakukan pemaksaan yang menyokong klaim atau hak milik atas harta kekayaan; keterlibatan oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan; sifat keterlibatan dalam pemaksan dan kekuasaan itu; terpecah atau kolektif; dan terakhir apakah oligark bersifat liar atau jinak di mana penjinakan oleh pihak luar lebih umum serta lebih stabil daripada penjinakan diri sendiri.” 69 Oligarki panglima merupakan jenis paling ekstrem dibandingkan dengan yang lain. Oligarki jenis ini menuntut keikutsertaan langsung oligark untuk terjun dan berseteru melalui ragam persengketaan dengan para oligark lainnya dalam rangka perjuangan mempertahankan sumber daya kekayaanpenghasilan. 70 Oligarki penguasa kolektif lebih bersifat kelembagaan, 71 di mana para oligark berkumpul sebagai “komisi mafia.” 72 Adapun oligarki sultanistik lebih dekat kepada pengertian dipegangnya kekuasaan oleh satu orang oligark saja. Untuk jenis ini 68 Ibid, h. 48-54. 69 Ibid, h. 48. 70 Ibid, h. 52. 71 Ibid, h. 52. 72 Istilah lain yang dinisbatkan oleh Winters untuk menyebut aktivitas oligarki model penguasa kolektif. 54 bisa dilihat pengalaman Indonesia di bawah Soeharto. 73 Dan oligarki sipil cenderung diartikan sebagai usaha oligark untuk menjauhi bahkan jika bisa menghindar ketentuan-ketentuan pajak negara. Atau seperti yang Winters kemukakan: “upaya mengelak dari jangkauan tangan negara yang hendak melakukan redistribusi kekayaan.” 74 Di samping Winters, ilmuwan politik yang juga menaruh minat pada persoalan oligarki lainnya adalah Vedi dan Robinson. Lokalitas penelitian Vedi dan Robinson pada praktek dan historisitas kelahiran oligark di Indonesia, setidaknya telah memberikan wawasan tambahan tentang bagaimana mereka tumbuh dan tetap bertahan kendati demokrasi semu ala Soeharto telah berakhir. Ikhwal penting dari sejarah oligarki di Indonesia terbentang semenjak kapitalisme pasar dibuka sampai ketika Indonesia mengalami boom oil di era 1970-1980. Ini merupakan masa-masa pembenihan sekaligus cikal bakal kemunculan oligarki dan membenamkan pengaruhnya pada sistem ekonomi-politik nasional di belakang bayang-bayang Soeharto. Dengan berada di belakang Soeharto, negara bukan hanya telah menjadi salah satu aspek pelindung, bahkan penyuplai penting segala bantuan, kredit pinjaman, kolusi tender, dan sebagainya, hingga mereka tetap bisa survive sampai saat ini. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dulu dilakukan Soekarno dengan jargon kemandirian dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan aset kolonial, mau tidak mau dirubah haluannya oleh Soeharto dengan mengikuti model pasar global, di mana saat itu laju inflasi telah mencapai “600 persen dengan kemampuan 73 Ibid, h. 53. 74 Ibid, h. 54. 55 produksi yang kecil Chalmers,1997”. 75 Dengan dibukanya pasar dan arus investasi modal, pada titik inilah korupsi kolusi nepotisme mengalir deras berkesinambungan dengan penguasaan proyek-proyek negara dan pemberian lisensi yang ditetapkan pada orang-orang pilihan. Apalagi geopolitik global di tahun 1974 telah memaksa harga minyak naik drastis sebab perseteruan Arab- Israel, yang memberi keuntungan tersendiri terhadap rezim borjuis kapitalis. Mereka meraup banyak pemasukan dari penjualan minyak yang tengah meroket. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena harga minyak kembali normal di pertengahan tahun 1980-an dan pada 1986 harga minyak kembali ke harga sebelum tahun 1973. Kepanikan ini berdampak pada kebijakan deregulasi sektor- sektor ekonomi. Namun faktanya liberalisasi pasar yang diambil tidak serta merta merubah sifat korporatis predatoris yang lebih egaliter dan sehat. Kondisi ini bahkan tetap mengekalkan praktek-praktek KKN yang sudah berakar-urat. 76 Begitupun dengan kondisi saat terjadinya letusan demonstrasi besar-besaran di tahun 1998, reformasi umumnya hanya menjadi jargon semata, nyatanya kekuatan-kekuatan predator yang dulu dipelihara orba tetap eksis dan mampu beradaptasi dengan sistem yang baru. Desentralisme merupakan bahasa lain dari devolusi aktivitas KKN yang semakin terpolarisasi. Dengan titik tolak persepektif neo-marxis, 77 Vedi mengasumsikan kemunculan oligarki sebagai dampak bangunan korporatisme negara, di mana 75 Menurut Chalmers seperti dikutip Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2005, h. 180. 76 Ibid, h. 177-190. 77 Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http:indoprogress.com201411oligarki-tatanan-ekonomi- politik-indonesia-kontemporer 56 negara merupakan akumulasi para pemburu rente demi tercapainya kepentingan personal. “Saat oligarki ini terkonsolidasikan di pertengahan dan akir 1980-an – dengan dasar patronase negara dan akses ke sumber daya negara – ia dengan perlahan merampas kekuasaan negara itu sendiri dan mengubah aparatur negara menjadi suatu „komite‟ yang mengelola perlindungan terhadap berbagai kepentingannya. Berbeda dari negara-negara industri maju sekarang ini, kecenderungan di Indonesia dewasa ini telah menggemakan kembali rumusan Marx dan Engels yang terkenal tentang „eksekutif negara modern‟ yang bertindak sebagai suatu „komite yang mengelola urusan bersama‟ kaum borjuis Marx dan Engels dalam Panitch dan Leys, 1998. Dengan memanfaatkan kekuasaan dan lembaga-lembaga negara untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, keluarga birokratis dan korporatis yang memiliki posisi kuat mampu mengendalikan kebijakan ekonomi, bahkan saat Indonesia secara international dipuji karena suatu reorientasi ke arah serangkaian kebijakan propasar.” 78 Singkatnya negara menjadi arena yang melegalkan aktivitas borjuasi yang berusaha memperkaya diri mereka sendiri melalui pelemahan-pelemahan kelompok penentang, disorganisasi civil society dan kalangan buruh revolusioner. 79 Relasi yang terjalin antara negara dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya mutlak mendudukan negara pada koersifitas kontrol yang tinggi. Di samping lahirnya organisasi-organisasi bayangan pro pemerintah yang menambah beban perjuangan kalangan-kalangan kontra untuk protes dan melawan pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Vedi “kekuasaan atas negara dapat secara instrumental – bukan hanya secara struktural – dapat dikendalikan oleh kekuatan- kekuatan sosial yang dominan.” 80 78 Vedi, Dinamika Kekuasaan, h. 170. 79 Ibid, h. 193-202. 80 Ibid, h. 172-173. 57

BAB III PROFIL BANGKALAN

A. Geografi dan Demografi Pulau Madura

Madura merupakan salah satu pulau yang terletak di salah satu titik laut Jawa. Keberadaannya dengan Jawa hanya dipisahkan oleh sebuah selat yang dikenal dengan Selat Madura. Selat Madura, selain sebagai pemisah antara Pulau Jawa dan Madura, juga merupakan penghubung pertemuan antara Laut Jawa dan Laut Bali. Luas pulau ini adalah 5.304 km2. 1 Menurut Mardiwarsito, nama Madura berasal dari bahasa sanskerta yang artinya permai, indah, molek, cantik, jelita, manis, ramah tamah, dan lembut. Nama pulau ini mirip dengan nama sebuah prefektur di India selatan. 2 Di ujung timur pulau ini, ada kepulauan Kangean dan Sapudi yang terdiri dari 50 pulau, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni. 3 Dalam struktur geografis, Madura berada pada posisi 7 derajat selatan khatulistiwa, dan 112 derajat serta 114 derajat bujur timur. 4 Letaknya tepat berdekatan dengan kota Surabaya di sebelah timur pulau Jawa. Kota Surabaya sendiri banyak dihuni oleh orang-orang Madura. Tak heran di kota ini kemudian lahir suporter ultras klub Persebaya yang dijuluki Bonek Mania bocah nekat yang identik dengan kultur kekerasan carok di Madura. 1 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam Jakarta: PT. Gramedia, 1989, h. 3-5. 2 Muh. Syamsudin, “Agama, Migrasi dan Orang Madura,” Aplikasia, Jurnal Aplikasi llmu- Ilmu Agama, Vol. VIII, No. 2 Desember 2007:150-182: h. 151. 3 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 5. 4 Ibid, h. 3. 58 Gambar III.1. Peta Madura Sumber Gambar: Google Map 2016 Bila diperhatikan dengan seksama, secara geologis, Madura adalah bagian dari embel-embel utara Jawa yang merupakan terusan dari pegunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan selatan lembah Solo. Bedanya bukit kapur di Madura lebih rendah dan kasar ketimbang di Jawa. Begitu pun dengan beberapa gunung di Madura, tinggi puncaknya relatif rendah bila dibandingkan dengan gunung-gunung di Pulau Jawa. Bahkan gunung di Madura terkesan lebih tepat jika disebut bukit. Gunung-gunung tertinggi di Madura antara lain: Gunung Gadu 341 m, Gunung Merangan 398 m, dan Gunung Tembuku 471 m. 5 Secara administratif pulau ini masuk ke dalam wilayah politik provinsi Jawa Timur yang terdiri atas 4 kabupaten di dalamnya, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. 6 Pulau Madura, sebagaimana telah dijelaskan, adalah 5 Ibid, h. 5- 6. 6 Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto, ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal Jakarta: LP3ES, 2004, h. 214. 59 lanjutan ekologis tekstur Jawa. Hanya saja sayangnya, Madura secara genealogis didominasi oleh tanah regusol, grumusol, aluvial, dan tanah mediteran merah kuning yang kurang baik dijadikan sebagai lahan pertanian. Iklim di pulau Madura terbagi atas dua macam musim, musim pertama adalah musim hujan dengan jumlah curah hujan yang sangat minim, musim kedua adalah musim kemarau dengan suhu rata-rata tinggi. 7 Sungai utama di pulau ini di antaranya adalah Sungai Bangkalan, Sungai Balega, Sungai Sampang, dan Sungai Saroka. 8 Dari beberapa sungai yang disebutkan, hanya Sungai Sampang yang terhitung dapat diandalkan sebagai jalur transportasi air yang dapat membawa perahu sampai ke pedalaman. 9 Sepanjang musim kemarau, masyarakat Madura mengandalkan kebutuhan airnya dari galian di pinggiran palung-palung sungai tersebut. Selain diwarnai dengan geografis sungai, Madura sebelum modernisasi merebak, sebetulnya juga banyak memiliki hutan. 10 Namun pasca modernisasi, hutan-hutan mulai tereduksi jumlahnya dan kini luas areal hutan di Madura tidak lebih berkisar antara 47.487.30 Ha. 11 Walau mata pencaharian masyarakat Madura mayoritas adalah masyarakat agraris, tapi tidak sedikit pula dari mereka yang memilih profesi sebagai nelayan, pedagang, dan peternak. Intensitas cuaca yang selalu tinggi antara 32-33 derajat celcius, dengan curah hujan yang terbatas 1000-2000 mm, mengakibatkan tanah di Madura kurang subur dan tidak cocok untuk bertanam padi. Alternatifnya, 7 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 8. 8 Ibid, h. 9. 9 Ibid, h. 9. 10 Ibid, h. 9. 11 BPS Provinsi Jawa Timur, “Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi,” data ini diakses pada tanggal 16 Februari 2016 dari http:jatim.bps.go.idlinkTabelStatisviewid80 60 masyarakat menggunakannya sebagai lahan tegal yang banyak ditanami umbi- umbian seperti singkong dan jagung. 12 Simbol tegal inilah yang membedakannya dengan kultur Jawa yang khas dengan persawahan dan sistem irigasi yang terintegrasi. 13 Tapi dengan segala tingkat rendah kesuburan tanahnya, Madura tetap merupakan pemasok garam penting bagi kebutuhan garam nasional. 14 Tingkat kepadatan penduduk di Madura sangat tinggi. Paling kentara, kepadatan penduduk di Madura terpaku di sekitar daerah aliran sungai dengan daerah Bangkalan dan Pamekasan sebagai wilayah terpadat dibandingkan dua daerah lainnya yakni Sampang dan Sumenep. 15 Kebanyakan masyarakat Madura tinggal di daerah-daerah terpencar dengan pola pemukiman yang unik. Hal ini dikarenakan lahan tegalan yang ditanami Jagung, Singkong, dan beberapa umbi- umbian lainnya tidak memungkinkan terjadinya konsentrasi penduduk di suatu wilayah tertentu dalam skala besar. Beda halnya dengan pola pemukiman masyarakat Jawa yang serentak yang banyak dipengaruhi oleh keberadaan sawah, dengan penduduk terkonsentrasi dalam satu kesatuan wilayah dengan jumlah yang tinggi. 16 Pemukiman masyarakat Madura yang terpencar yang dipengaruhi oleh ekologi tegal ini telah memberikan lanskap kultur tersendiri pada pola dan bentuk kampung di wilayah Madura. Pola pemukiman tegal di Madura, biasa dinamakan „tanean lanjang‟ untuk daerah Sumenep, dan „kampong meji‟ di daerah 12 Ibid, h. 8. 13 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 215. 14 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 8. 15 Ibid, h. 23. 16 Ibid, h. 11-23. 61 Pamekasan. Unit sosial berdasarkan kelompok tegal ini biasanya hanya berlaku atas dasar ikatan keluarga saja. Gambaran mengenai bentuk pemukiman ini adalah deretan pemukiman yang memanjang dari barat ke timur dimulai berurutan dari keluarga tertua sampai keluarga termuda dengan posisi rumah sama-sama menghadap ke selatan dengan masing-masing rumah memiliki dapur sendiri. Yang khas dari pola pemukiman seperti ini adalah bahwa musala, sumur, dan lumbung padi dikelola secara bersama-sama. Menurut Kuntowijoyo, secara filosofi hal tersebut menandakan bahwa masyarakat Madura mandiri secara ekonomi namun tidak menafikan satu kesatuan dengan keluarga luas. 17 Secara sosial, masyarakat Madura lebih individualistik ketimbang masyarakat Jawa. Menurut Kuntowijoyo dan Abdurahman, hal ini merupakan dampak ekologi Madura terhadap demografi masyarakatnya. 18 Solidaritas antar masyarakat di Madura hanya terjadi antar unit kelompok tegalan secara internal. Berbeda dengan solidaritas desa di Jawa yang tumbuh karena maraknya gotong royong semisal saat pembagian air untuk sawah, kerja bakti, ronda dan lain sebagainya. Solidaritas desa di Madura tidak terbentuk dalam kerangka ekonomi, melainkan agama. Agama menjadi satu-satunya simbol yang berperan menjaga dan melestarikan solidaritas antar masyarakat. Ritual agama, upacara, dan ormas- ormas agama memiliki kekuatan dalam mobilitas sosial. Sedang administrasi desa hanya dianggap sebagai beban yang memberatkan, karena berkaitan dengan pajak dan pemilu. 19 17 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 215. 18 Ibid, h. 215. 19 Ibid, h. 216.