61
Pamekasan. Unit sosial berdasarkan kelompok tegal ini biasanya hanya berlaku atas dasar ikatan keluarga saja. Gambaran mengenai bentuk pemukiman ini adalah
deretan pemukiman yang memanjang dari barat ke timur dimulai berurutan dari keluarga tertua sampai keluarga termuda dengan posisi rumah sama-sama
menghadap ke selatan dengan masing-masing rumah memiliki dapur sendiri. Yang khas dari pola pemukiman seperti ini adalah bahwa musala, sumur, dan
lumbung padi dikelola secara bersama-sama. Menurut Kuntowijoyo, secara filosofi hal tersebut menandakan bahwa masyarakat Madura mandiri secara
ekonomi namun tidak menafikan satu kesatuan dengan keluarga luas.
17
Secara sosial, masyarakat Madura lebih individualistik ketimbang masyarakat Jawa. Menurut Kuntowijoyo dan Abdurahman, hal ini merupakan
dampak ekologi Madura terhadap demografi masyarakatnya.
18
Solidaritas antar masyarakat di Madura hanya terjadi antar unit kelompok tegalan secara internal.
Berbeda dengan solidaritas desa di Jawa yang tumbuh karena maraknya gotong royong semisal saat pembagian air untuk sawah, kerja bakti, ronda dan lain
sebagainya. Solidaritas desa di Madura tidak terbentuk dalam kerangka ekonomi, melainkan agama. Agama menjadi satu-satunya simbol yang berperan menjaga
dan melestarikan solidaritas antar masyarakat. Ritual agama, upacara, dan ormas- ormas agama memiliki kekuatan dalam mobilitas sosial. Sedang administrasi desa
hanya dianggap sebagai beban yang memberatkan, karena berkaitan dengan pajak dan pemilu.
19
17
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 215.
18
Ibid, h. 215.
19
Ibid, h. 216.
62
Pemerintahan desa
di masyarakat
Madura kurang
diperhatikan, kehadirannya tidak sekuat dan seoptimal dewan-dewan desa di Jawa. Bahkan
sebagai basis kekuatan formal, pamor desa dikesampingkan. Perkumpulan desa secara administratif yang umumnya membicarakan kepentingan bersama hampir
tiada. Misalnya saja rapat-rapat mengenai lahan pertanian atau perkebunan yang dikelola secara komunal seperti yang terjadi di desa-desa di pulau Jawa. Sebab
sebagian besar tanah produktif di Madura dikelola perorangan.
20
Selain ekologi tegal yang sudah dijelaskan, ekologi masyarakat Madura juga sedikit-banyak dipengaruhi oleh kelangkaan pangan, sekalipun sebagian besar
petani di Madura menanam Jagung dan Padi, tetapi hasilnya tetap tidak mencukupi bagi kebutuhan masyarakat Madura secara keseluruhan.
21
Menurut Kuntowijoyo,
22
ada dua musabab mengapa kelangkaan pangan mempengaruhi faktor ekologi masyarakat. Pertama kelangkaan pangan berpengaruh pada
ketergantungan ekonomi masyarakat Madura, kedua, kelangkaan pangan pada akhirnya menggerakan mobilitas sosial masyarakat itu sendiri.
Untuk mengatasi kelangkaan pangan, Madura mendatangkan bahan-bahan pokok makanannya dari Bali dan beberapa kota di Jawa Timur. Ekspansi
mobilitas sosial pada masyarakat Madura biasanya terjadi ketika musim kemarau melanda. Minimnya air dan lahan garapan, membuat masyarakat mau tidak mau
memilih untuk meninggalkan kampungnya dan mendatangi kota-kota lainnya di Indonesia. Urbanisasi masyarakat Madura mayoritas didominasi oleh kaum pria.
20
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 17-18.
21
Ibid, h. 38.
22
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 216.
63
Mereka bermigrasi ke daerah-daerah sepanjang pantai utara timur jawa yang searah dengan letak kabupaten mereka. Penduduk Bangkalan bermigrasi ke
daerah-daerah Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Bojonegoro. Penduduk Sampang bermigrasi ke Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Penduduk
Sumenep dan Pamekasan ke arah Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi.
23
Kultur agama masyarakat Madura pada umumnya mirip dengan kultur yang berlaku di kalangan masyarakat Jawa, penghayatan serta penghormatan pada Kyai
ditempatkan pada urutan paling tinggi. Di samping kepercayaan pada klenik, mitos, serta adatisme agama masih menghiasi wajah dan corak religiusitas
masyarakat setempat. Hal ini terbilang wajar, mengingat dulu Madura merupakan bekas teritorial kerajaan-kerajaan Hindu dan Islam Jawa.
24
Sinkretisme Jawa merupakan akulturasi Hindu dan Islam. Soal ini mendapat perhatian khusus dari banyak peneliti luar yang salah satunya adalah Snouck
Hurgonje, seorang sarjana Islam Belanda yang mengungkapkan bahwa islam hanyalah formalitas agama dalam subkultur masyarakat Jawa.
25
Selain Hurgonje, antropolog besar yang berkontribusi dalam mendalami teologi Jawa adalah
Cliford Geertz dengan risetnya tentang islamisasi Jawa. Ia menemukan bahwa islam dalam masyarakat Jawa terbagi kedalam beberapa subkelompok yang
dibedakan berdasarkan tingkat pemahaman dan penghayatan mereka terhadap
23
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 24.
24
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 216-217.
25
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda Jakarta: LP3ES, 1985, h. 18.
64
islam sebagai agama. Subkelompok tersebut adalah Santri, Abangan,
26
dan Priyayi.
27
Dari uraian di atas, bila dilakukan komparasi kultur antara Jawa dan Madura, signifikansi pokok pembeda hanya terletak di persoalan demografi.
Persamaan dimensi keagamaan lebih mencolok, karena berdasarkan historisitas, Madura adalah bagian dari kerajaan-kerajaan Jawa. Walau sebelum tahun 1800
dan sebelum menjadi bagian dari teritori Hindia-Belanda, di Madura banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil, akan tetapi mereka terlalu sibuk dengan pertikaian
sehingga sulit untuk melakukan konsolidasi di antara mereka. Bahkan ketika VOC muncul dan mulai melakukan eksplorasi perdagangan di seluruh wilayah
nusantara, Madura banyak bergantung pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Kerajaan- kerajaan di Madura antara lain pernah berada di bawah Kerajaan Hindu, Kerajaan
Islam Demak dan Surabaya, dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
28
B. Tinjauan Singkat Kabupaten Bangkalan
Bangkalan adalah kabupaten paling barat pulau Madura dan merupakan salah satu wilayah ekonomi khusus di provinsi Jawa Timur. Bangkalan masuk ke
dalam 7 wilayah prioritas pengembangan pembangunan beserta beberapa kota lainnya yang biasa disebut dengan istilah „Gerbangkertosusilo‟ yang mencakup
Gresik, Bangkalan, Kediri, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan dengan
26
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, h. 172-173.
27
Ibid, h. 341-315.
28
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 44.
65
Surabaya sebagai pusat pembangunan.
29
Letak Bangkalan sangat strategis karena menjadi gerbang masuk pulau Madura. Menurut Kuntowijoyo, dilihat dari segi
arsitektur bangunan di dalamnya, semenjak dulu Bangkalan memiliki hubungan erat dengan morfologi kota-kota di Jawa. Hal ini dapat ditelusuri melalui beragam
bangunan seperti istana, alun-alun, masjid, dan kampung Cina yang menghiasi wajah Kabupaten Bangkalan.
30
Gambar III.2. Peta Bangkalan
Sumber Gambar: Google Map 2016
Di Kabupaten Bangkalan terdapat jembatan Suramadu yang merupakan akronim Surabaya-Madura yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura dengan
panjang jembatan mencapai 5,4 KM.
31
Sebelum suramadu terbentuk, inter-relasi antara Jawa dan Madura terhubung dengan menggunakan transportasi laut melalui
pelabuhan Ujung-Kamal. Tetapi setelah suramadu diresmikan, perlahan-lahan
29
Hari Poerwanto, Profile Bangkalan Dan Dinamika Komunitas Perkotaan Dalam Kaitannya Dengan Pengembangan Kawasan Gerbangkertosusilo Laporan Penelitian Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 19921993, h 4-5.
30
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 224.
31
Tempo.co, “Pukul 00.00 Jembatan Suramadu Tersambung,” artikel diakses pada 25 Agustus
2015 dari http:nasional.tempo.coreadnews20090401058167605
66
orang-orang berpindah haluan dari yang sebelumnya menggunakan kapal Ferry, kini menyeberang menggunakan transportasi darat melewati jembatan Suramadu.
Secara ekonomi, Jembatan Suramadu merupakan marwah perekonomian Madura, karena barang dari dalam dan luar Madura dapat keluar-masuk lebih mudah pasca
suramadu dibangun ketimbang menggunakan transportasi air di Selat Madura. Mobilitas sosial antar pulau pun meningkat pesat, terutama penduduk Bangkalan
yang mengambil banyak keuntungan dengan adanya jembatan ini. Secara geografis, luas wilayah Bangkalan adalah sekitar 1.264, 05 km
persegi. Curah hujan yang terjadi di wilayah ini berkisar antara 1.347 mm – 2.175
mm. Bila dilihat dari ketinggiannya di atas permukaan laut, Bangkalan berada pada ketinggian 0-250 meter. Struktur tanah di Bangkalan terdiri dari komposisi
batuan alluvium, plistosen, fasies sedimen, pliosen fasies batu gamping dan miosen fasies sedimen.
32
Jumlah kecamatan di Kabupaten Bangkalan adalah 18 kecamatan dengan 8 kelurahan dan 273 desa. Adapun wilayah-wilayah yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Bangkalan adalah Kabupaten Sampang di sebelah timur, laut jawa sebelah utara, dan selat madura di sebelah selatan dan sebelah barat. Dari
beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Bangkalan, 10 di antaranya merupakan daerah pesisir pantai yaitu: Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Socah,
Kamal, Blega, Modung, Kwanyar, Arosbaya, Klampis, dan Tanjung Bumi. Sedangkan 8 kecamatan lainnya adalah daerah-daerah berbukit, yaitu: Kecamatan
32
Hari Poerwanto, Profile Bangkalan Dan Dinamika Komunitas Perkotaan, h. 51.
67
Bumeh, Geger, Kokop, Tragah, Tanah Merah, Blega, Labang, Konang, dan Galis.
33
Berdasarkan data yang penulis himpun dari badan pusat statistik nasional, kepadatan penduduk Bangkalan pada tahun 2013 mencapai 715,65 per kilo meter
persegi. Dengan dua kecamatan berpenduduk terbanyak yaitu Kecamatan Galis dan Kecamatan Bangkalan. Jumlah ini masih berada jauh di bawah Kabupaten
Pamekasan yang rata-rata kepadatan penduduknya pada tahun yang sama mencapai 1.031, 68 per kilo meter persegi.
34
Rata-rata mata pencaharian masyarakat Bangkalan ada pada sektor pertanian, yang lainnya di sektor
perdagangan dan jasa. Data ini dapat dilihat dari PDRB Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bangkalan yang hampir sepertiganya berasal dari
sektor pertanian dengan capaian 28,90 persen, perdagangan 27,62 persen, dan jasa 15,66 persen.
35
C. Islamisasi dan Simbol Kiai dalam Perspektif Masyarakat Madura
Pengislaman Jawa menjalar pada pengislaman daerah-daerah lainnya di nusantara. Fenomena islamisasi daerah-daerah di nusantara merupakan impak dari
adanya hubungan dagang yang saling terkait antara daerah satu dengan daerah lainnya. Perdagangan dapat dikatakan sebagai
pola „islamisasi nusantara‟ yang berbeda bila dibandingkan pengislaman yang terjadi di antara kabilah-kabilah
33
Bappeda Jawa Timur, “Kabupaten Bangkalan,” data ini diunduh pada tanggal 17 Juni 2015 dari
http:bappeda.jatimprov.go.idbappedawp-contentuploadspotensi-kab-kota-2013kab- bangkalan-2013.pdf
34
BPS Provinsi Jawa Tim ur, “Kepadatan Penduduk Pertengahan Tahun Menurut
KabupatenKota 2010-
2013,” data ini diakses pada tanggal 18 juni 2015 dari http:jatim.bps.go.idlinkTabelStatisviewid19
35
Biro Humas Dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, “Gubernur Minta Bupati Baru Prioritaskan Sektor Pertanian,” data ini diakses pada tanggal 18 Juni 2015 dari
http:birohumas.jatimprov.go.idindex.php?mod=watchid=1868
68
timur tengah. Islamisasi di nusantara lebih permisif, sedangkan islamisasi di timur tengah terkesan represif dan radikal karena melaui berbagai ekspansi dan agresi.
Tak terkecuali proses pengislaman Pulau Madura yang merupakan bagian dari islamisasi lanjutan dari pengislaman Jawa oleh para pedagang luar. Beragam
teori tentang kedatangan islam di Jawa termasuk di Madura sangat bermacam- macam. Adapun para ilmuwan yang meneliti teori soal kedatangan Islam di
nusantara antara lain: Pijnappel, Snouck Hurgonje, Moquette, Fatimi, Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall.
36
Menurut Azzumardi Azra, ada tiga aspek utama penyebaran islam yang hingga kini masih mengalami
perdebatan: tempat asal kedatangan islam, para pembawa, dan waktu kedatangannya.
37
Walau perdebatan teori soal kedatangan islam di nusantara masih menjadi hidangan akademik, rasanya banyak ilmuwan setuju bahwa islamisasi jawa awal,
bermula dari proses perdagangan. Interaksi para pedagang luar dengan penduduk setempat kemudian berubah menjadi hubungan sosio kultural yang lebih melekat
melalui proses silang perkawinan. Pada tahap inilah kemudian islam menjadi bagian penting dari sejarah pembentukan budaya di nusantara. Adanya akulturasi
dan asimilasi budaya antara budaya lokal dan pendatang telah menempatkan islam sebagai corak identitas baru dalam dimensi kehidupan masyarakat nusantara.
Islamisasi Madura bila mengacu pada sumber-sumber sejarah terjadi di penghujung abad ke-16, beberapa tahun setelah Kerajaan Majapahit runtuh.
Setelah Majapahit runtuh, tepatnya pada tahun 1527, Madura menjadi rebutan
36
Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Bandung: Mizan, 1994, h. 24-25.
37
Ibid, h. 24.