Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2003

179 yang paling lantang menyuarakan penentangan-penentangan terhadap sistem orba yang otoriter. Dan KH. Kholil AG, keluarga besar Fuad dari bani kholil lainnya, juga memiliki sejarah perlawanan kepada Soeharto, – dia menolak wilayah Suramadu yang hendak dijadikan proyek pembangunan. Fuad sendiri ketika orde Soeharto masih berkuasa, dia masih belum terjun ke dunia politik. Saat itu Fuad masih menjalankan bisnisnya sebagai penyalur TKI dan pengusaha travel umroh. Keterlibatannya ke dunia politik baru dimulai setelah almarhum ayahnya meninggal, menggantikannya untuk menjadi dewan di DPR RI. Saat itu barulah Fuad mulai perlahan-lahan meniti karirnya sebagai politisi. Dengan tidak adanya keterkaitan antara Fuad dan orde baru, tentu menambah nilai plus tersendiri bagi dirinya untuk dapat diterima oleh masyarakat. Sebab, kebencian yang masih dirasakan oleh masyarakat atas depotisme Soeharto dengan berbagai praktek pengerdilan terhadap hak-hak politik warga, masih kental sehingga memberikan stereotip buruk ke setiap hal-hal yang berbau orba. Maka tak aneh bila tokoh-tokoh lokal yang masih memiliki kohesi sosial politik dengan orde baru cenderung dicap sebagai „orang-orangan‟ Soeharto oleh masyarakat. Konotasi ini sedemikian buruk di masa itu. Hal ini pula yang berlaku pada Mohammad Fatah, mantan bupati incumbent Bangkalan di masa orba. Dukungan yang ditujukan kepadanya tidak seluas dan sebesar dukungan masyarakat kepada Fuad. Bahkan LPJ selama kepemimpinannya saja ditolak oleh dewan. Karena itu ketidakterkaitan Fuad dengan masa lalu orde baru memiliki andil dalam kemenangannya di pilkada 2003. Nama Fuad yang bersih dari dosa-dosa 180 Soeharto dijadikan dasar bahwa Fuad merupakan sosok ideal yang akan membawa angin perubahan bagi Bangkalan ke arah yang lebih baik. Apalagi di masa-masa transisi dari pemerintahan Soeharto ke Habibie, Fuad seringkali terlibat dalam berbagai penyelesaian sengketa konflik yang melibatkan etnik Madura. Sehingga banyak masyarakat yang menaruh simpatik terhadapnya. “.......... jadi Fuad ini dulukan selalu tampil menjadi pahlawan, dalam artian ketika muncul meletus kerusuhan Sambas, dia tampil ibarat penolong, kaya Robin Hood itu kan. Kemudian di kerusuhan Sampit dia juga tampil, karena masih di era Gusdur, Habibi- Gusdur kan” 203 F.2. Dominasi Partai PKB di Bangkalan Faktor lainnya yang memperkuat kemenangan Fuad Amin di masa awal pencalonannya ini adalah dominasi suara PKB di kursi parlemen DPRD Bangkalan. Dari 45 kursi yang ada, 24 kursi di antaranya dikuasai oleh PKB. Jumlah ini merupakan jumlah yang fantastis. Lantaran jika dipersentasikan, PKB menguasasi sekitar hampir 50 persen lebih dari jumlah kursi yang tersedia. Tentu secara itung-itungan politis, PKB memiliki peluang amat besar untuk mengusung calon sendiri dan bahkan memenangkan kontestasi pilkada tahun 2003. Dengan memegang suara mayoritas di dewan, dan dengan semangat perubahan serta antipati terhadap orba yang masih kental, akhirnya PKB sepakat untuk mengusung calon sendiri. PKB Bangkalan sendiri merupakan partai yang banyak diisi oleh kalangan kiai, khususnya kiai-kiai yang berasal dari keluarga bani kholil. Bahkan elit partai PKB di Bangkalan banyak yang berasal dari trah keluarga tersebut. Fenomena ini bisa dilihat dari penjaringan calon kandidat Bupati Bangkalan yang diadakan oleh 203 Wawancara Pribadi dengan MH. 181 partai PKB, dimana keseluruhan nama calon yang muncul semuanya berasal dari keluarga yang sama, bani kholil. Nama-nama seperti Kiai Syafii Rofii, Kiai Imam Bukhori, dan Kiai Fuad Amin adalah para kiai yang merepresentasikan kekuatan bani kholil yang mengakar di PKB. Ketiganya masih memiliki hubungan darah yang saling terkait. Kemenangan Fuad sendiri dalam penjaringan di internal partai PKB tidak terlepas dari kompromi politik yang ia lakukan. Padahal secara basis masa dan nama, Fuad Amin masih kalah pamor dengan Kiai Imam Bukhori Kholil. Karena posisi Imam Bukhori waktu itu diuntungkan dengan kedudukannnya sebagai ketua PCNU Bangkalan sekaligus yang menginisiasi kelahiran PKB di Bangkalan. Tapi setelah melakukan pendekatan kekeluargaan dan kesepakatan adanya rolling, bahwa untuk tahun pertama Fuad Amin meminta untuk dipersilahkan lebih dulu maju baru kemudian di periode berikutnya Imam Bukhori yang maju, akhirnya kesepakatan tersebut pun terealisasi. Alasannya: Fuad Amin ingin memulai pengabdiannya pada masyarakat setelah bertahun-tahun hidup dalam perantauan di Kalimantan, dan apalagi kini posisinya sebagai anggota DPR yang seakan-akan sengaja dibuat untuk menjauhkan dirinya agar tidak memiliki kekuatan di basis masyarakat Bangkalan. Dengan adanya dukungan dari PKB, maka bukan hal yang sulit bagi Fuad untuk terus menggapai kursi bupati bangkalan. Friksi sempat terjadi karena saat itu beredar isu bahwa Mohammad Fatah pun akan maju di pencalonan bupati Bangkalan. Tapi hal ini segera dapat diatasi oleh Fuad Amin dengan memprovokasi para anggota dewan, khususnya dewan dari PKB untuk menolak 182 LPJ Mohammad Fatah sehingga secara moril Fatah tidak bisa mencalonkan dirinya sebagai bupati Bangkalan. Dan seperti telah disinggung di awal, Mohammad Fatah sendiri adalah mantan bupati masa orba, sehingga provokasi untuk menolak LPJ Fatah berhasil direalisasikan. Pada Pilkada 2003, PKB berkoalisi dengan PPP dan beberapa partai gabungan. Dari koalisi ini akhirnya Fuad Amin memenangkan kontestasi di dewan dengan selisih suara yang signifikan yakni 42-3. F.3. Politik Uang Kendatipun masih berada dalam semangat reformasi, pada realitanya, politik uang masih menjadi hal yang dianggap lumrah dalam fenomena politik di Indonesia pasca 1998. Kalaupun semangat perubahan itu ada, tapi kebiasaan lama akan perilaku koruptif masa lalu masih menjadi bayang-bayang yang tak dapat terhindarkan. Politik uang masih mewarnai segala bentuk suksesi politik di Indonesia. Jumlah praktik politik uang dalam patronase politik, menurut beberapa pihak, bahkan kondisinya semakin mewabah dalam pileg yang diadakan pada tahun 2014. 204 Patronase politik melalui politik uang seperti ini semakin populer di kalangan para politisi yang kadangkala mereka peragakan dalam berbagai bentuk: pembelian suara, pemberian-pemberian pribadi, pelayanan dan aktivitas, club goods, dan pork barrel projects. 205 Pada awal pilkada pasca desentralisasi, fenomena politik lokal di Bangkalan pun tidak luput dari jual-beli suara di dewan. Dengan mekanisme pemilihan yang 204 Edward Aspinall dan Mada Sukmajati “Patronase dan Klientisme dalam politik Elektoral di Indonesia,” dalam Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, ed., Politik Uang Di Indonesia: Patronase dan Klientisme pada Pemilu Legislatif 2014 Yogyakarta: PolGov, 2015, h. 2. 205 Ibid, h. 24-33 183 masih diadakan secara tertutup, maka elit lokal tidak segan-segan untuk membayar anggota dewan supaya sanggup menghantarkannya menuju tampuk kekuasaan. Karena memang, pada tahun 2003, sistem pemilihan di Indonesia masih sepenuhnya dilakukan melalui sistem pemilihan tidak langsung. Sehingga siklus uang masih menonjol dalam pesta demokrasi di parlemen. Kemenangan Fuad Amin yang hampir mencapai 90 persen suara lebih dari jumlah dewan pun menyajikan ilustrasi dari realita sesungguhnya adanya praktik politik uang yang dia mainkan di masa transisi kepemimpinan di Bangkalan. Karena nyatanya di balik supremasi suara yang diperoleh oleh Fuad Amin ini pun terbantu dengan adanya deal-deal finansial yang dia sebarkan ke beberapa anggota dewan. Dari penuturan mantan asisten pribadi Fuad Amin, dia mengatakan bahwa saat itu Fuad Amin membagikan uang dengan batas maksimal 100 juta lewat deal- deal politik dengan anggota dewan. Di antara mereka ada juga yang mendapat 35 juta atau 45 juta. “PKB inikan sudah 24, sebenarnya dia ndak perlu nunggu banyak. Nah waktu itu karena dia dengan partai lain ini sistemnya beli, jadi anggota dewan ini deal dengan dia, mereka akan dikasih uang pesangon”. 206 “Perorang. Ada yang dapat 35, ada yang 40, macam-macam. Hanya dealnya ya itu aja. Karena waktu itu ada fraksi TNI-POLRI masih ada. Ada Golkar, ada PPP, ada apalagi ya, di situkan ma sih belum banyak”. 207 Sepertinya praktik suap merupakan hal lazim yang dapat diketemukan di negara-negara yang baru mengalami transisi demokrasi, dimana uang menjadi bagian elementer dari kehidupan politik di dalamnya. Penegakan hukum yang masih lemah, dan pranata-pranata sosial politik yang amburadul, merupakan 206 Wawancara Pribadi dengan MH. 207 Wawancara Pribadi dengan MH. 184 cerminan dari ketidaksiapan seluruh elemen masyarakat, khususnya masyarakat negara dunia ketiga, dalam mengartikulasikan demokrasi secara substansial. Demokrasi pada masa transisi di negara dunia ketiga masih terlalu prematur untuk dikatakan sebagai demokrasi yang sesungguhnya. Karena faktanya demokrasi yang digadang-gadang oleh para penganut aliran klasik yang mendasarkan demokrasi sebagai smber kehendak rakyat dan tujuan terciptanya kebaikan bersama terlalu utopis dan terkesan idealistis. 208 Adanya praktik politik uang di masa transisi demokrasi yang terjadi di Bangkalan, malah mengukuhkan anggapan Schumpeter bahwa demokrasi hanyalah merupakan media prosedural pemilihan semata. Yang dalam hal ini Schumpeter menyebutnya sebagai “metode demokratis”. 209 Singkatnya metode demokratis ala Schumpeter dimaknai sebagai berikut: “prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.” 210 F.4. Berpatron ke Elit Nasional Faktor kemenangan Fuad Amin lainnya yaitu adanya politik patronase ke tingkat elit nasional. Sebab dengan berpatron kepada elit nasional maka akses untuk mendapatkan kemudahan serta urusan dalam beberapa hal dapat terwujudkan. Dalam kasus Fuad sendiri, konteks persoalan yang bisa saja menghadang bahkan mengeliminasi Fuad dari gelanggang persaingan kepala 208 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1995, h. 4-5. 209 Ibid, h. 5. 210 Ibid, h. 5. 185 daerah adalah dalam kaitannya dengan ijazah palsu yang ia gunakan untuk melengkapi persyaratan administratif pencalonan. Agar bisa lolos pemberkasan dan dinyatakan layak mengikuti kontestasi pilkada di Bangkalan, akhirnya Fuad menggandeng Muhammad Dong untuk menjadi wakilnya. Alasan ini penuh kepentingan politik, lantaran Muhamad Dong sendiri merupakan politisi dari partai PDI, dimana PDI pada waktu itu merupakan partai yang memegang kekuasaan di tingkat nasional. Dalam hal ini Presiden Megawati. Rasionalisasinya jelas, bahwa dengan menggandeng calon dari PDI, maka urusan administratif terkait soal ijazah palsu dapat terselesaikan melalui bantuan dan campur tangan dari pusat. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya kompensasi politik di dalamnya. “Gini, waktu itu kan yang menjadi kendala utama bagi pak fuad itu kan ijazah ya, sementara presidennya waktu itu adalah ibu mega, nah mungkin kenapa kemudian pilih pak madong, karena kalau kemudian pak madong ini menjadi wakil dari dia sementara kekuasaan waktu itu di pusat dipegang PDI-P, urusan ijazah bisa kemudian diabaikan dengan kompensasi politik, bisa dijadikan jalan untuk kebesaran PDIP di bangkalan, mungkin seperti itu”. 211 Tetapi setelah Fuad berhasil dan sukses di bangku bupati, beberapa tahun kemudian terjadilah konflik antara dirinya dengan Muhammad Dong. Gelagat bahwa Dong hanya dijadikan alat kompromi politik Fuad semakin terang. Sebab peristiwa ketidakharmonisan Dong dengan Fuad dimulai ketika Megawati tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI. Ketidakharmoniasan yang ditengarai disebabkan karena masalah wewenang tersebut diakui sendiri oleh Dong. Bahwa selama dua tahun mendampingi Fuad Amin sebagai wakil Bupati, dirinya seolah- 211 Wawancara Pribadi dengan AAR. 186 olah diabaikan. Sebab dirinya tidak pernah diberikan tugas dan wewenang. 212 Bahkan ketidakharmonisan ini mengarah akan adanya impeachment kepada Muhammad Dong. “..........ketika madong wakilnya mungkin menjadi kompromistis politik karena di pusat itu adalah pak bu mega gitu kan, untuk stabilitas Bangkalan dan lain sebagainya. Yang terjadi apa ketika itu, ketika bu mega itu tidak lagi lagi menjadi presiden pada tahun 2004, iya kan, kan 2004 sudah tidak lagi presiden”. 213 “SBY kan. Tahun 2005 apa yang terjadi, Madong digoyang mati-matian untuk dijatuhkan”. 214 “.....Coba sampean bayangkan ya waktu pertama dengan Madong ya misalnya, padahal madong ini secara kepartaian sangat berjasa untuk penyelamatan pak fuad sehingga akhirnya dilantik. Karena ada jaringan PDI di situ. Tapi apa yang diterima oleh pak madong, sampai gambarnya itu seakan- akan haram ditaruh di kantor.” 215 F.5. Genealogi Trah Kiai Dalam kultur masyarakat Madura, penghormatan kepada kiai diposisikan pada tempat yang tinggi setelah penghormatan mereka kepada orang tua. Budaya ini tampak pada istilah setempat “Buppa Bappu Guru Ratoh”. Artinya, pertama- tama hormat dan patuh kepada ibu, kemudian kepada kiai, baru terakhir kepada para pemimpin pemerintahan. Di samping itu, kultur masyarakat Madura yang kental lainnya adalah, akan menganggap setiap keturunan dari - anak-anak kiai – sebagai orang yang mewarisi segala laku kekiai-an dari ayahnya. Kultur ini pada akhirnya membentuk pola aura kharisma yang tidak pernah putus. Sebab masyarakat yakin, setiap keturunan yang berasal dari kiai, guru mereka, juga meneruskan bentuk rupa karomah serta berkah orang tuanya kepadanya. 212 tempointeraktif, “DPRD Pecat Wakil Bupati Bangkalan,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http:tempo.co.idhgnusajawamadura20050218brk,20050218-45,id.html 213 Wawancara Pribadi dengan FHR. 214 Wawancara Pribadi dengan FHR. 215 Wawancara Pribadi dengan AAR. 187 “.......Kalau berguru kepada ini jangankan anaknya, ayamnya saja dianggap guru, kan ada itu doktrin seperti itu, iya itu sangat tertanam sekali. Nah dengan beberapa watak tadi itu tadi gak bisa kemudian mereka mau punya nalar kritis apalagi mau bergerak, berpikir aja mereka dah gak berani kritis.” 216 Kharisma Fuad Amin sendiri tidak terlepas dari posisinya sebagai keturunan kiai Besar. Fuad Amin adalah cucu dari Syaikhona Kholil dan anak dari Kiai Amin Imron. Dengan modal Kharisma Syaikhona Kholil dan Kiai Amin yang merupakan elit penting di Bangkalan, juga dengan kultur masyarakat yang hormat pada kiai serta keturunannya, maka sudah dipastikan bahwa hal tersebut betul-betul dapat mempengaruhi kemenangan Fuad Amin dalam pilkada 2003. Serta posisi Fuad yang sebelumnya duduk sebagai anggota DPR RI semakin meningkatkan citra performanya di mata umum. “Kekuatan politiknya kan waktu itu di dewan masih. 2003 itu di dewan, DPRD. Jadi karena Fuad ini sudah kadung, apalagi dia sudah mantan DPR RI ya, dia sudah mapan itu. Dalam artian mapan pengakuan orang-orang terhadap dia sebagai Kiai-Blater itu sudah sangat kuatkan. Akhirnya anggota DPR yang waktu itu mayoritas PKB, 24 kursi, dengan mudahnya diambil”. 217 Bahkan realitanya, keprofilan Fuad Amin adalah alasan utama bagi para anggota dewan untuk memilihnya dibandingkan karena alasan partai yang ia duduki. Secara sederhana, citra Fuad Amin sebagai Kiai-Blater mampu mengesampingkan dominasi PKB yang sebetulnya sudah memiliki suara mayoritas di parlemen. Seperti halnya yang diutarakan oleh Mahmudi, anggota dewan yang menjadi saksi mata pada pemilihan di pilkada 2003. “Di sini ini bukan ikatan politik itu, partai itu bisa – lebih ke orangnya, kalau beliau itu mengatakan A, semuanya akan A, karena apa satu yang diamini 216 Wawancara Pribadi dengan MH. 217 Wawancara Pribadi dengan MH. 188 oleh masyarakat Bangkalan itu kalau beliau ini menjadi cucunya syaikhona kholil, gurunya orang- orang madura.” 218 Apalagi hal ini terbantu juga dengan kesolidan yang ditunjukan oleh pihak keluarga bani kholil dalam mengukuhkan Fuad Amin sebagai kandidat bupati Bangkalan, walau memang sempat ada kekhawatiran dari sebagian pihak keluarga karena kedekatannya dengan kalangan blater, tapi kekhawatiran ini hanya muncul sementara waktu. Hal ini sebagaimana diakui juga oleh AAR, saat dirinya hendak ikut terlibat dalam proses pencalonan Fuad Amin yang kemudian ditolak oleh kalangan keluarga. Alasannya sederhana, karena Fuad memiliki hubungan yang intim dengan dunia blater. Mereka khawatir, bahwa dengan hubungan dekat tersebut, dan Fuad menjadi bupati, Bangkalan akan menghadapi nasib yang tidak menentu. Bahkan di awal keterlibatnnya di pengusungan Fuad Amin, AAR sempat mengajukan pertanyaan terkait alasan kengototan Fuad untuk mencalonkan dirinya sebagai bupati. Pertanyaan itu adalah refleksi atas kegelisahan keluarga besar bani kholil pada umumnya. “...............Sehingga ketika pak Fuad mengajak saya untuk mendukung dia menuju jabatan bupati itu, saya sendiri sebenarnya waktu itu nanya ke beliau: Man, apakah, apa memang harus sampean? Apa tidak sebaiknya yang lain, saya sempat seperti itu, kemudian, dianya bilang: loh, kalau bukan aku lalu siapa gitu? saya bilang: man, untuk tokoh-tokoh, karena saya masih anak-anak, tentu lebih kenal jenengan, kalau saya sendiri kan tidak tahu, siapa yang harus didukung yang harus dimajukan, saya sendirikan kurang tahu, cuma kalau dalam pemikiran saya, paman ini salah satu keluarga yang dituakan, kalau kemudian paman ini nanti berhasil menjabat sebagai bupati, dan ternyata misalnya paman itu melakukan kesalahan-kesalahan dalam memimpin, lalu yang akan mengingatkan paman itu siapa, mengingat yang lain itu masih bisa dikatakan semuanya di bawah pengaruh paman seperti itu. Akhirnya beliau bilang gini ke saya: Mad, aku ini sekarang posisinya sudah menjadi DPR RI, secara kedudukan, saya sudah punya jabatan, secara finansial walaupun tidak kaya-kaya banget, tapi sudah bisa dikategorikan 218 Wawancara Pribadi dengan MMD. 189 termasuk yang terkaya di antara keluarga. Jadi saya ingin meraih jabatan bupati ini bukan karena mengejar jabatan dan bukan karena mencari uang. Saya ingin memulai pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat Bangkalan. Karena saya mulai dari kecil sampai muda, sampai sekarang saya ini selalu berada di luar daerah. Nah, saya sekarang sudah tua, umur saya sudah menginjak 60, ayolah bantu saya, bantu aku, untuk bisa jadi bupati, biar aku ini bisa mengabdikan sisa hidupku untuk masyarakat. Makanya saya kemarin terus terang terkejut, ketika dia di persidangan mengungkap di tayangan metro tv itu dia sudah mengaku punya kekayaan yang ratusan miliar sebelum jadi bupati. Itu saya bisa pastikan itu bohong besar itu. Karena waktu itu yang diungkap apa ya, yang saya tahu untuk biaya mencalonkan aja, dia itu masih minta sana- sini”. 219 F.6. Mobilisasi Jaringan Klebun dan Santri Pemanfaatan jaringan klebun oleh Fuad Amin sudah dimulai sejak masa- masa awal kepemimpinannya. Walau pada masa ini pemanfaatan klebun hanya sebatas melakukan aksi dan demontrasi untuk mengamankan posisi Fuad yang sudah menang dan sempat tertunda pelantikannya karena perkara ijazah palsu. Tapi setidaknya kehadiran para blater melalui aksi kepada pemerintah ini, juga ikut mempengaruhi keputusan pemerintah untuk sesegera mungkin melantik Fuad Amin sebagai bupati definitif. Sebab selama satu bulan lamanya setelah kemenangan Fuad Amin di dewan, Fuad tidak juga dilantik. Bahkan Hari Sabarno, Menteri Dalam Negeri saat itu, malah mengangkat Achmad Ismail sebagai pejabat sementara bupati. 220 Dengan adanya aksi-aksi dari para klebun simpatisan Fuad Amin, maksudnya adalah tak lain agar kesan yang diterima pemerintah mengarah pada instabilitas dan chaos politik yang terlalu riskan jika didiamkan atau bahkan diabaikan. “Ya. Artinya kan gini, di tahun 2003 ini kan ada semacam penundaan yang enggak jelas terhadap pelantikan pak fuad ini. nah ini jaringan klebun ini 219 Wawancara Pribadi dengan AAR. 220 Liputan 6, “Warga Bangkalan Menuntut Kembali Fuad Amin Dilantik,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http:news.liputan6.comread49745warga-bangkalan- menuntut-kembali-fuad-amin-dilantik 190 digunakan sedemikian rupa seakan-akan klebun se-kabupaten Bangkalan ini mendukung dan kalau pak fuad ini tidak dilantik, akan tejadi apalah seperti itu. Jadi sudah digunakan sejak-sejak itu kalau yang namanya jaringan klebun itu .” 221 Selain memanfaatkan jaringan klebun, pada masa yang sama pula Fuad mengerahkan ribuan santri untuk mendukungnya. Massa santri ini disinyalir mencapai seribu orang yang berasal dari 15 pondok pesantren. Mereka tergabung dalam massa aksi Forum Santri Bangkalan. 222

G. Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2008

Pada pilkada 2008, Fuad Amin kembali mencalonkan dirinya sebagai kandidat calon bupati di Bangkalan. Tapi kali ini dengan kekuasaan yang semakin signifikan. Hal tersebut merupakan berkat kekuasaan yang dia pupuk di periode pertama. Sebab pada masa awal kepemimpinannya, dominasi Fuad Amin telah terpendam dan terpencar di segala sektor. Dominasi yang dimiliki oleh Fuad ini akhirnya dia akumulasikan untuk menjadi investasi politik bagi kemenangannya di pilkada 2008. Pilkada 2008 di Bangkalan merupakan pilkada pertama kali yang melibatkan seluruh partisipasi masyarakat setempat. Pilkada langsung ini adalah hasil revisi UU pemerintahan daerah yang tertuang dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004. 223 Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pemilihan, tentu pilkada 2008 sedikit lebih berat dibandingkan pilkada-pilkada sebelumnya. 221 Wawancara Pribadi dengan AAR. 222 Liputan 6, “Warga Bangkalan Menuntut Kembali Fuad Amin Dilantik,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http:news.liputan6.comread49745warga-bangkalan- menuntut-kembali-fuad-amin-dilantik 223 Ferry Kurnia Rizkiyansyah, “Menguatkan Penyelenggaraan Pilkada Langsung,” artikel diakses dari http:www.rumahpemilu.orginread7448function.array-key-exists pada tanggal 25 Februari 2016. 191 Sebagai pengalaman pertama, maka keseriusan Fuad Amin dalam menghadapi pilkada 2008 tampak dalam strategi yang lebih mapan dari pilkada sebelumnya di tahun 2003 yang diadakan melalui dewan. Pilkada 2008 adalah barometer bagi berhasil-tidaknya kinerja Fuad Amin menjalankan roda kepemimpinannya selama satu periode terakhir. Yang menjadi lawan Fuad Amin pada pilkada 2008 adalah mantan wakilnya sendiri di periode awal, masa jabatan 2003-2008, Mohammad Dong. Majunya Dong ke gelanggang kontestasi pilkada 2008 dan memilih bertarung dengan Fuad Amin dibandingkan meneruskan hubungan yang pernah dia rajut sebelumnya, tidak terlepas dari ketidakharmonisan yang menimpa jalannya kepemimpinan mereka bedua. Ketidakharmonisan ini muncul karena persoalan wewenang yang tidak seimbang. Bahkan oleh Fuad, Dong dianggap melakukan makar terhadap kepemimpinannya. 224 Padahal yang sebenarnya terjadi, Fuad masih merasa takut dengan isu yang mengaitkan dirinya dengan ijazah palsu. Sehingga dia khawatir karena bisa saja sewaktu-waktu, Dong yang juga memiliki basis masa yang lumayan besar, akan menyingkirkannya dari kursi Bupati. Makanya selama mendampingi Fuad Amin sebagai bupati, Dong tidak diberikan wewenang yang cukup proporsional lazimnya wakil bupati. 225 Dari beberapa strategi kemenangan yang Fuad lakukan di pilkada 2008, sebagian di antaranya adalah model strategi pemenangan lama - yang pernah dia lakukan di pilkada sebelumnya. Hanya saja, dengan model pemilihan yang baru, 224 Wawancara Pribadi dengan MH. 225 Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” Disertasi Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015, h. 170. 192 karena mengikutsertakan partisipasi masyarakat, strategi pemenangan Fuad Amin pada pilkada 2008 tidak hanya sekadar mengandalkan modal kultural saja, melainkan juga memanfaatkan modal struktural yang telah ia dominasi selama kepemimpinannya satu periode. Pada pilkada 2008, ada 3 pasangan calon yang akhirnya disahkan oleh KPUD Bangkalan untuk turut dalam pemilihan: “nomor urut satu disematkan pada pasangan calon dr. Abdul Hamid Nawawi dan H. Hosyan Muhammad, mereka diusung Partai PPP, nomor urut dua adalah pasangan calon Ir. Muhamad Dong dan KH. Razak Hadi, keduanya diusung oleh koalisi Partai Demokrat dan PDI Perjuangan, sedang nomor urut tiga jatuh pada pasangan calon bupati incumbent, KH. Fuad Amin dan KH Syafik Rofii, mereka diusung oleh partai PKB .” 226 G.1. Menggagalkan Pesaing Potensial Sikap yang seringkali menegaskan pribadi seorang pemimpin otoriter adalah ketidakterimaannya bila muncul orang lain yang memiliki potensi untuk dapat menyejajarkan diri atau bahkan menyaingi kapasitasnya sebagai satu-satunya pemimpin dominan. Mungkin sikap ini bisa jadi telah menakhlikkan ciri umum yang melekat pada diri setiap pemimpin diktator lainnya di dunia. Pengalaman seperti itu pernah terjadi saat Stalin masih berkuasa, dimana dia akhirnya melumpuhkan potensi lawan politiknya, termasuk Trotsky, yang dianggap berbahaya dan mampu menggoyang kursi kekuasaannya. 226 ANTARANEWS.COM, “675.420 Pemilih Salurkan Hak Suara di Pilkada Bangkalan,” berita diakses pada tanggal 27 Maret 2016 dari http:www.antaranews.comberita91038675420- pemilih-salurkan-hak-suara-di-pilkada-bangkalan 193 Begitupun dengan Fuad, Fuad menyadari bahwa kandidat terberat bagi pesaing dirinya dalam pilkada 2008 adalah Imam Bukhori Kholil. Meskipun masih memiliki ikatan keluarga dengan dirinya, tapi Imam Bukhori lebih memilih untuk berseberangan ketimbang berada dalam lingkaran Fuad Amin. Impak dari sikap Imam Bukhori yang tidak mau kooperatif maupun bekerjasama dan berada di lingkaran Fuad ini tentu disadari oleh Fuad, bahwa Imam Bukhori tidak dapat dia kendalikan. Hal ini menjadi alasan penting mengapa akhirnya Fuad Amin lebih memilih untuk menghabisi kekuatan politik Imam Bukhori di masa-masa awal. Karena dengan kehadiran Imam Bukhori yang sama-sama menyandang predikat sebagai keturunan Syaikhona Kholil, tentu akan mengurangi tingkat keterpilihan serta pamor Fuad di masyarakat. Apalagi sepak terjang Imam Bukhori di panggung politik lokal terbilang setara dengan Fuad Amin. Hal ini dapat dilihat dari sepak terjang Imam Bukhori yang pernah menjabat sebagai ketua PCNU Bangkalan yang merupakan embrio bagi kelahiran Partai PKB. Sehingga secara personal, nama Imam Bukhori sudah banyak dikenal oleh masyarakat setempat. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka semenjak jauh-jauh hari, sebelum pilkada 2008 meruak, kekuatan politik Imam Bukhori Kholil di pentas politik lokal Bangkalan sedikit demi sedikit direduksi oleh Fuad Amin. Pertama-tama posisi Imam Bukhori Kholil selaku kader partai PKB disingkirkan oleh Fuad. Penyingkiran ini dilakukan oleh Fuad Amin dengan menduduki langsung posisi ketua DPC PKB. Dengan menjadi ketua DPC, Fuad Amin berhak dan memiliki otoritas yang besar dalam mengendalikan jalannya 194 roda organisasi partai, termasuk untuk memecat dan mengeluarkan keanggotaan Imam Bukhori Kholil dari PKB. 227 Tidak hanya berhenti di pemecatan Imam Bukhori dari PKB saja. Modal politik yang dimiliki oleh Imam Bukhori Kholil dalam kapasitasnya sebagai ketua PCNU, akhirnya dipindahtangankan oleh Fuad Amin kepada orang lain melalui siasat politiknya. Sewaktu PCNU mengadakan kongres pemilihan ketua baru, Fuad Amin ikut mengatur jalannya arah politik. Dia mengintervensi dan menaruh Ra Fahri sebagai kandidat pesaing Imam Bukhori Kholil dalam pemilihan. Dari kongres tersebut akhirnya Imam Bukhori Kholil kalah. Campur tangan Fuad ini dia lakukan dengan memanggil para pemilik hak suara kongres, dalam hal ini MWC-MWC NU, agar pada saat pemilihan, memberikan hak suaranya untuk memilih Ra Fahri. Tak aneh bila kemudian akhirnya Imam Bukhori Kholil kalah dalam persaingan ini. Apalagi saat acara, Fuad Amin datang dan menyaksikan sendiri secara langsung laju kontestasi di pemilihan. Hal ini dilakukan agar kontrolnya terlaksanan sesuai rencana. 228 Setelah kekuatan politik Imam Bukhori dari PKB dan PCNU dipereteli oleh Fuad Amin. Peristiwa penjegalan ini terus berlanjut sampai mendekati deklarasi dukungan politik kepada pencalonan Imam Bukhori sebagai bakal calon hampir setengah terealisasi lewat beberapa partai. Partai PAN yang awalnya mendukung pencalonan Imam Bukhori Kholil pada pilkada 2008, di tengah jalan ternyata mendukung pasangan calon Bay Arifin dan Nurdin. Sehingga karena dualisme dukungan PAN ini, pada akhirnya kedua pasangan kandidat yang diusung oleh 227 Wawancara Pribadi dengan AAR. 228 Wawancara Pribadi dengan AAR.