Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2003
179
yang paling lantang menyuarakan penentangan-penentangan terhadap sistem orba yang otoriter. Dan KH. Kholil AG, keluarga besar Fuad dari bani kholil lainnya,
juga memiliki sejarah perlawanan kepada Soeharto, – dia menolak wilayah
Suramadu yang hendak dijadikan proyek pembangunan. Fuad sendiri ketika orde Soeharto masih berkuasa, dia masih belum terjun ke dunia politik. Saat itu Fuad
masih menjalankan bisnisnya sebagai penyalur TKI dan pengusaha travel umroh. Keterlibatannya ke dunia politik baru dimulai setelah almarhum ayahnya
meninggal, menggantikannya untuk menjadi dewan di DPR RI. Saat itu barulah Fuad mulai perlahan-lahan meniti karirnya sebagai politisi.
Dengan tidak adanya keterkaitan antara Fuad dan orde baru, tentu menambah nilai plus tersendiri bagi dirinya untuk dapat diterima oleh masyarakat.
Sebab, kebencian yang masih dirasakan oleh masyarakat atas depotisme Soeharto dengan berbagai praktek pengerdilan terhadap hak-hak politik warga, masih
kental sehingga memberikan stereotip buruk ke setiap hal-hal yang berbau orba. Maka tak aneh bila tokoh-tokoh lokal yang masih memiliki kohesi sosial politik
dengan orde baru cenderung dicap sebagai „orang-orangan‟ Soeharto oleh masyarakat. Konotasi ini sedemikian buruk di masa itu. Hal ini pula yang berlaku
pada Mohammad Fatah, mantan bupati incumbent Bangkalan di masa orba. Dukungan yang ditujukan kepadanya tidak seluas dan sebesar dukungan
masyarakat kepada Fuad. Bahkan LPJ selama kepemimpinannya saja ditolak oleh dewan.
Karena itu ketidakterkaitan Fuad dengan masa lalu orde baru memiliki andil dalam kemenangannya di pilkada 2003. Nama Fuad yang bersih dari dosa-dosa
180
Soeharto dijadikan dasar bahwa Fuad merupakan sosok ideal yang akan membawa angin perubahan bagi Bangkalan ke arah yang lebih baik. Apalagi di
masa-masa transisi dari pemerintahan Soeharto ke Habibie, Fuad seringkali terlibat dalam berbagai penyelesaian sengketa konflik yang melibatkan etnik
Madura. Sehingga banyak masyarakat yang menaruh simpatik terhadapnya.
“.......... jadi Fuad ini dulukan selalu tampil menjadi pahlawan, dalam artian ketika muncul meletus kerusuhan Sambas, dia tampil ibarat penolong, kaya
Robin Hood itu kan. Kemudian di kerusuhan Sampit dia juga tampil, karena masih di era Gusdur, Habibi-
Gusdur kan”
203
F.2. Dominasi Partai PKB di Bangkalan
Faktor lainnya yang memperkuat kemenangan Fuad Amin di masa awal pencalonannya ini adalah dominasi suara PKB di kursi parlemen DPRD
Bangkalan. Dari 45 kursi yang ada, 24 kursi di antaranya dikuasai oleh PKB. Jumlah ini merupakan jumlah yang fantastis. Lantaran jika dipersentasikan, PKB
menguasasi sekitar hampir 50 persen lebih dari jumlah kursi yang tersedia. Tentu secara itung-itungan politis, PKB memiliki peluang amat besar untuk mengusung
calon sendiri dan bahkan memenangkan kontestasi pilkada tahun 2003. Dengan memegang suara mayoritas di dewan, dan dengan semangat perubahan serta
antipati terhadap orba yang masih kental, akhirnya PKB sepakat untuk mengusung calon sendiri.
PKB Bangkalan sendiri merupakan partai yang banyak diisi oleh kalangan kiai, khususnya kiai-kiai yang berasal dari keluarga bani kholil. Bahkan elit partai
PKB di Bangkalan banyak yang berasal dari trah keluarga tersebut. Fenomena ini bisa dilihat dari penjaringan calon kandidat Bupati Bangkalan yang diadakan oleh
203
Wawancara Pribadi dengan MH.
181
partai PKB, dimana keseluruhan nama calon yang muncul semuanya berasal dari keluarga yang sama, bani kholil. Nama-nama seperti Kiai Syafii Rofii, Kiai Imam
Bukhori, dan Kiai Fuad Amin adalah para kiai yang merepresentasikan kekuatan bani kholil yang mengakar di PKB. Ketiganya masih memiliki hubungan darah
yang saling terkait. Kemenangan Fuad sendiri dalam penjaringan di internal partai PKB tidak
terlepas dari kompromi politik yang ia lakukan. Padahal secara basis masa dan nama, Fuad Amin masih kalah pamor dengan Kiai Imam Bukhori Kholil. Karena
posisi Imam Bukhori waktu itu diuntungkan dengan kedudukannnya sebagai ketua PCNU Bangkalan sekaligus yang menginisiasi kelahiran PKB di Bangkalan.
Tapi setelah melakukan pendekatan kekeluargaan dan kesepakatan adanya rolling, bahwa untuk tahun pertama Fuad Amin meminta untuk dipersilahkan lebih dulu
maju baru kemudian di periode berikutnya Imam Bukhori yang maju, akhirnya kesepakatan tersebut pun terealisasi.
Alasannya: Fuad Amin ingin memulai pengabdiannya pada masyarakat setelah bertahun-tahun hidup dalam perantauan di Kalimantan, dan apalagi kini
posisinya sebagai anggota DPR yang seakan-akan sengaja dibuat untuk menjauhkan dirinya agar tidak memiliki kekuatan di basis masyarakat Bangkalan.
Dengan adanya dukungan dari PKB, maka bukan hal yang sulit bagi Fuad untuk terus menggapai kursi bupati bangkalan. Friksi sempat terjadi karena saat itu
beredar isu bahwa Mohammad Fatah pun akan maju di pencalonan bupati Bangkalan. Tapi hal ini segera dapat diatasi oleh Fuad Amin dengan
memprovokasi para anggota dewan, khususnya dewan dari PKB untuk menolak
182
LPJ Mohammad Fatah sehingga secara moril Fatah tidak bisa mencalonkan dirinya sebagai bupati Bangkalan. Dan seperti telah disinggung di awal,
Mohammad Fatah sendiri adalah mantan bupati masa orba, sehingga provokasi untuk menolak LPJ Fatah berhasil direalisasikan. Pada Pilkada 2003, PKB
berkoalisi dengan PPP dan beberapa partai gabungan. Dari koalisi ini akhirnya Fuad Amin memenangkan kontestasi di dewan dengan selisih suara yang
signifikan yakni 42-3.
F.3. Politik Uang
Kendatipun masih berada dalam semangat reformasi, pada realitanya, politik uang masih menjadi hal yang dianggap lumrah dalam fenomena politik di
Indonesia pasca 1998. Kalaupun semangat perubahan itu ada, tapi kebiasaan lama akan perilaku koruptif masa lalu masih menjadi bayang-bayang yang tak dapat
terhindarkan. Politik uang masih mewarnai segala bentuk suksesi politik di Indonesia. Jumlah praktik politik uang dalam patronase politik, menurut beberapa
pihak, bahkan kondisinya semakin mewabah dalam pileg yang diadakan pada tahun 2014.
204
Patronase politik melalui politik uang seperti ini semakin populer di kalangan para politisi yang kadangkala mereka peragakan dalam berbagai
bentuk: pembelian suara, pemberian-pemberian pribadi, pelayanan dan aktivitas, club goods, dan pork barrel projects.
205
Pada awal pilkada pasca desentralisasi, fenomena politik lokal di Bangkalan pun tidak luput dari jual-beli suara di dewan. Dengan mekanisme pemilihan yang
204
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati “Patronase dan Klientisme dalam politik Elektoral di Indonesia,” dalam Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, ed., Politik Uang Di Indonesia:
Patronase dan Klientisme pada Pemilu Legislatif 2014 Yogyakarta: PolGov, 2015, h. 2.
205
Ibid, h. 24-33
183
masih diadakan secara tertutup, maka elit lokal tidak segan-segan untuk membayar anggota dewan supaya sanggup menghantarkannya menuju tampuk
kekuasaan. Karena memang, pada tahun 2003, sistem pemilihan di Indonesia masih sepenuhnya dilakukan melalui sistem pemilihan tidak langsung. Sehingga
siklus uang masih menonjol dalam pesta demokrasi di parlemen. Kemenangan Fuad Amin yang hampir mencapai 90 persen suara lebih dari
jumlah dewan pun menyajikan ilustrasi dari realita sesungguhnya adanya praktik politik uang yang dia mainkan di masa transisi kepemimpinan di Bangkalan.
Karena nyatanya di balik supremasi suara yang diperoleh oleh Fuad Amin ini pun terbantu dengan adanya deal-deal finansial yang dia sebarkan ke beberapa anggota
dewan. Dari penuturan mantan asisten pribadi Fuad Amin, dia mengatakan bahwa saat itu Fuad Amin membagikan uang dengan batas maksimal 100 juta lewat deal-
deal politik dengan anggota dewan. Di antara mereka ada juga yang mendapat 35 juta atau 45 juta.
“PKB inikan sudah 24, sebenarnya dia ndak perlu nunggu banyak. Nah waktu itu karena dia dengan partai lain ini sistemnya beli, jadi anggota
dewan ini deal dengan dia, mereka akan dikasih uang pesangon”.
206
“Perorang. Ada yang dapat 35, ada yang 40, macam-macam. Hanya dealnya ya itu aja. Karena waktu itu ada fraksi TNI-POLRI masih ada. Ada Golkar,
ada PPP, ada apalagi ya, di situkan ma sih belum banyak”.
207
Sepertinya praktik suap merupakan hal lazim yang dapat diketemukan di negara-negara yang baru mengalami transisi demokrasi, dimana uang menjadi
bagian elementer dari kehidupan politik di dalamnya. Penegakan hukum yang masih lemah, dan pranata-pranata sosial politik yang amburadul, merupakan
206
Wawancara Pribadi dengan MH.
207
Wawancara Pribadi dengan MH.
184
cerminan dari ketidaksiapan seluruh elemen masyarakat, khususnya masyarakat negara dunia ketiga, dalam mengartikulasikan demokrasi secara substansial.
Demokrasi pada masa transisi di negara dunia ketiga masih terlalu prematur untuk dikatakan sebagai demokrasi yang sesungguhnya. Karena faktanya demokrasi
yang digadang-gadang oleh para penganut aliran klasik yang mendasarkan demokrasi sebagai smber kehendak rakyat dan tujuan terciptanya kebaikan
bersama terlalu utopis dan terkesan idealistis.
208
Adanya praktik politik uang di masa transisi demokrasi yang terjadi di Bangkalan, malah mengukuhkan
anggapan Schumpeter bahwa demokrasi hanyalah merupakan media prosedural pemilihan semata. Yang dalam hal ini
Schumpeter menyebutnya sebagai “metode demokratis”.
209
Singkatnya metode demokratis ala Schumpeter dimaknai sebagai berikut:
“prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui
perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.”
210
F.4. Berpatron ke Elit Nasional
Faktor kemenangan Fuad Amin lainnya yaitu adanya politik patronase ke tingkat elit nasional. Sebab dengan berpatron kepada elit nasional maka akses
untuk mendapatkan kemudahan serta urusan dalam beberapa hal dapat terwujudkan. Dalam kasus Fuad sendiri, konteks persoalan yang bisa saja
menghadang bahkan mengeliminasi Fuad dari gelanggang persaingan kepala
208
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1995, h. 4-5.
209
Ibid, h. 5.
210
Ibid, h. 5.
185
daerah adalah dalam kaitannya dengan ijazah palsu yang ia gunakan untuk melengkapi persyaratan administratif pencalonan.
Agar bisa lolos pemberkasan dan dinyatakan layak mengikuti kontestasi pilkada di Bangkalan, akhirnya Fuad menggandeng Muhammad Dong untuk
menjadi wakilnya. Alasan ini penuh kepentingan politik, lantaran Muhamad Dong sendiri merupakan politisi dari partai PDI, dimana PDI pada waktu itu merupakan
partai yang memegang kekuasaan di tingkat nasional. Dalam hal ini Presiden Megawati. Rasionalisasinya jelas, bahwa dengan menggandeng calon dari PDI,
maka urusan administratif terkait soal ijazah palsu dapat terselesaikan melalui bantuan dan campur tangan dari pusat. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya
kompensasi politik di dalamnya.
“Gini, waktu itu kan yang menjadi kendala utama bagi pak fuad itu kan ijazah ya, sementara presidennya waktu itu adalah ibu mega, nah mungkin
kenapa kemudian pilih pak madong, karena kalau kemudian pak madong ini menjadi wakil dari dia sementara kekuasaan waktu itu di pusat dipegang
PDI-P, urusan ijazah bisa kemudian diabaikan dengan kompensasi politik, bisa dijadikan jalan untuk kebesaran PDIP di bangkalan, mungkin seperti
itu”.
211
Tetapi setelah Fuad berhasil dan sukses di bangku bupati, beberapa tahun kemudian terjadilah konflik antara dirinya dengan Muhammad Dong. Gelagat
bahwa Dong hanya dijadikan alat kompromi politik Fuad semakin terang. Sebab peristiwa ketidakharmonisan Dong dengan Fuad dimulai ketika Megawati tidak
lagi menjabat sebagai Presiden RI. Ketidakharmoniasan yang ditengarai disebabkan karena masalah wewenang tersebut diakui sendiri oleh Dong. Bahwa
selama dua tahun mendampingi Fuad Amin sebagai wakil Bupati, dirinya seolah-
211
Wawancara Pribadi dengan AAR.
186
olah diabaikan. Sebab dirinya tidak pernah diberikan tugas dan wewenang.
212
Bahkan ketidakharmonisan ini mengarah akan adanya impeachment kepada Muhammad Dong.
“..........ketika madong wakilnya mungkin menjadi kompromistis politik karena di pusat itu adalah pak bu mega gitu kan, untuk stabilitas Bangkalan
dan lain sebagainya. Yang terjadi apa ketika itu, ketika bu mega itu tidak lagi lagi menjadi presiden pada tahun 2004, iya kan, kan 2004 sudah tidak lagi
presiden”.
213
“SBY kan. Tahun 2005 apa yang terjadi, Madong digoyang mati-matian untuk dijatuhkan”.
214
“.....Coba sampean bayangkan ya waktu pertama dengan Madong ya misalnya, padahal madong ini secara kepartaian sangat berjasa untuk
penyelamatan pak fuad sehingga akhirnya dilantik. Karena ada jaringan PDI di situ. Tapi apa yang diterima oleh pak madong, sampai gambarnya itu
seakan-
akan haram ditaruh di kantor.”
215
F.5. Genealogi Trah Kiai
Dalam kultur masyarakat Madura, penghormatan kepada kiai diposisikan pada tempat yang tinggi setelah penghormatan mereka kepada orang tua. Budaya
ini tampak pada istilah setempat “Buppa Bappu Guru Ratoh”. Artinya, pertama- tama hormat dan patuh kepada ibu, kemudian kepada kiai, baru terakhir kepada
para pemimpin pemerintahan. Di samping itu, kultur masyarakat Madura yang kental lainnya adalah, akan menganggap setiap keturunan dari - anak-anak kiai
– sebagai orang yang mewarisi segala laku kekiai-an dari ayahnya. Kultur ini pada
akhirnya membentuk pola aura kharisma yang tidak pernah putus. Sebab masyarakat yakin, setiap keturunan yang berasal dari kiai, guru mereka, juga
meneruskan bentuk rupa karomah serta berkah orang tuanya kepadanya.
212
tempointeraktif, “DPRD Pecat Wakil Bupati Bangkalan,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http:tempo.co.idhgnusajawamadura20050218brk,20050218-45,id.html
213
Wawancara Pribadi dengan FHR.
214
Wawancara Pribadi dengan FHR.
215
Wawancara Pribadi dengan AAR.
187 “.......Kalau berguru kepada ini jangankan anaknya, ayamnya saja dianggap
guru, kan ada itu doktrin seperti itu, iya itu sangat tertanam sekali. Nah dengan beberapa watak tadi itu tadi gak bisa kemudian mereka mau punya
nalar kritis apalagi mau bergerak, berpikir aja mereka dah gak berani
kritis.”
216
Kharisma Fuad Amin sendiri tidak terlepas dari posisinya sebagai keturunan kiai Besar. Fuad Amin adalah cucu dari Syaikhona Kholil dan anak dari Kiai
Amin Imron. Dengan modal Kharisma Syaikhona Kholil dan Kiai Amin yang merupakan elit penting di Bangkalan, juga dengan kultur masyarakat yang
hormat pada kiai serta keturunannya, maka sudah dipastikan bahwa hal tersebut betul-betul dapat mempengaruhi kemenangan Fuad Amin dalam pilkada 2003.
Serta posisi Fuad yang sebelumnya duduk sebagai anggota DPR RI semakin meningkatkan citra performanya di mata umum.
“Kekuatan politiknya kan waktu itu di dewan masih. 2003 itu di dewan, DPRD. Jadi karena Fuad ini sudah kadung, apalagi dia sudah mantan DPR
RI ya, dia sudah mapan itu. Dalam artian mapan pengakuan orang-orang terhadap dia sebagai Kiai-Blater itu sudah sangat kuatkan. Akhirnya anggota
DPR yang waktu itu mayoritas PKB, 24 kursi, dengan mudahnya
diambil”.
217
Bahkan realitanya, keprofilan Fuad Amin adalah alasan utama bagi para
anggota dewan untuk memilihnya dibandingkan karena alasan partai yang ia duduki. Secara sederhana, citra Fuad Amin sebagai Kiai-Blater mampu
mengesampingkan dominasi PKB yang sebetulnya sudah memiliki suara mayoritas di parlemen. Seperti halnya yang diutarakan oleh Mahmudi, anggota
dewan yang menjadi saksi mata pada pemilihan di pilkada 2003.
“Di sini ini bukan ikatan politik itu, partai itu bisa – lebih ke orangnya, kalau beliau itu mengatakan A, semuanya akan A, karena apa satu yang diamini
216
Wawancara Pribadi dengan MH.
217
Wawancara Pribadi dengan MH.
188 oleh masyarakat Bangkalan itu kalau beliau ini menjadi cucunya syaikhona
kholil, gurunya orang- orang madura.”
218
Apalagi hal ini terbantu juga dengan kesolidan yang ditunjukan oleh pihak keluarga bani kholil dalam mengukuhkan Fuad Amin sebagai kandidat bupati
Bangkalan, walau memang sempat ada kekhawatiran dari sebagian pihak keluarga karena kedekatannya dengan kalangan blater, tapi kekhawatiran ini hanya muncul
sementara waktu. Hal ini sebagaimana diakui juga oleh AAR, saat dirinya hendak ikut terlibat
dalam proses pencalonan Fuad Amin yang kemudian ditolak oleh kalangan keluarga. Alasannya sederhana, karena Fuad memiliki hubungan yang intim
dengan dunia blater. Mereka khawatir, bahwa dengan hubungan dekat tersebut, dan Fuad menjadi bupati, Bangkalan akan menghadapi nasib yang tidak menentu.
Bahkan di awal keterlibatnnya di pengusungan Fuad Amin, AAR sempat mengajukan pertanyaan terkait alasan kengototan Fuad untuk mencalonkan
dirinya sebagai bupati. Pertanyaan itu adalah refleksi atas kegelisahan keluarga besar bani kholil pada umumnya.
“...............Sehingga ketika pak Fuad mengajak saya untuk mendukung dia menuju jabatan bupati itu, saya sendiri sebenarnya waktu itu nanya ke
beliau: Man, apakah, apa memang harus sampean? Apa tidak sebaiknya yang lain, saya sempat seperti itu, kemudian, dianya bilang: loh, kalau bukan
aku lalu siapa gitu? saya bilang: man, untuk tokoh-tokoh, karena saya masih anak-anak, tentu lebih kenal jenengan, kalau saya sendiri kan tidak tahu,
siapa yang harus didukung yang harus dimajukan, saya sendirikan kurang tahu, cuma kalau dalam pemikiran saya, paman ini salah satu keluarga yang
dituakan, kalau kemudian paman ini nanti berhasil menjabat sebagai bupati, dan ternyata misalnya paman itu melakukan kesalahan-kesalahan dalam
memimpin, lalu yang akan mengingatkan paman itu siapa, mengingat yang lain itu masih bisa dikatakan semuanya di bawah pengaruh paman seperti
itu. Akhirnya beliau bilang gini ke saya: Mad, aku ini sekarang posisinya sudah menjadi DPR RI, secara kedudukan, saya sudah punya jabatan, secara
finansial walaupun tidak kaya-kaya banget, tapi sudah bisa dikategorikan
218
Wawancara Pribadi dengan MMD.
189 termasuk yang terkaya di antara keluarga. Jadi saya ingin meraih jabatan
bupati ini bukan karena mengejar jabatan dan bukan karena mencari uang. Saya ingin memulai pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat
Bangkalan. Karena saya mulai dari kecil sampai muda, sampai sekarang saya ini selalu berada di luar daerah. Nah, saya sekarang sudah tua, umur
saya sudah menginjak 60, ayolah bantu saya, bantu aku, untuk bisa jadi bupati, biar aku ini bisa mengabdikan sisa hidupku untuk masyarakat.
Makanya saya kemarin terus terang terkejut, ketika dia di persidangan mengungkap di tayangan metro tv itu dia sudah mengaku punya kekayaan
yang ratusan miliar sebelum jadi bupati. Itu saya bisa pastikan itu bohong besar itu. Karena waktu itu yang diungkap apa ya, yang saya tahu untuk
biaya mencalonkan aja, dia itu masih minta sana-
sini”.
219
F.6. Mobilisasi Jaringan Klebun dan Santri
Pemanfaatan jaringan klebun oleh Fuad Amin sudah dimulai sejak masa- masa awal kepemimpinannya. Walau pada masa ini pemanfaatan klebun hanya
sebatas melakukan aksi dan demontrasi untuk mengamankan posisi Fuad yang sudah menang dan sempat tertunda pelantikannya karena perkara ijazah palsu.
Tapi setidaknya kehadiran para blater melalui aksi kepada pemerintah ini, juga ikut mempengaruhi keputusan pemerintah untuk sesegera mungkin melantik Fuad
Amin sebagai bupati definitif. Sebab selama satu bulan lamanya setelah kemenangan Fuad Amin di dewan, Fuad tidak juga dilantik. Bahkan Hari
Sabarno, Menteri Dalam Negeri saat itu, malah mengangkat Achmad Ismail sebagai pejabat sementara bupati.
220
Dengan adanya aksi-aksi dari para klebun simpatisan Fuad Amin, maksudnya adalah tak lain agar kesan yang diterima
pemerintah mengarah pada instabilitas dan chaos politik yang terlalu riskan jika didiamkan atau bahkan diabaikan.
“Ya. Artinya kan gini, di tahun 2003 ini kan ada semacam penundaan yang enggak jelas terhadap pelantikan pak fuad ini. nah ini jaringan klebun ini
219
Wawancara Pribadi dengan AAR.
220
Liputan 6, “Warga Bangkalan Menuntut Kembali Fuad Amin Dilantik,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http:news.liputan6.comread49745warga-bangkalan-
menuntut-kembali-fuad-amin-dilantik
190 digunakan sedemikian rupa seakan-akan klebun se-kabupaten Bangkalan ini
mendukung dan kalau pak fuad ini tidak dilantik, akan tejadi apalah seperti itu. Jadi sudah digunakan sejak-sejak itu kalau yang namanya jaringan
klebun itu .”
221
Selain memanfaatkan jaringan klebun, pada masa yang sama pula Fuad mengerahkan ribuan santri untuk mendukungnya. Massa santri ini disinyalir
mencapai seribu orang yang berasal dari 15 pondok pesantren. Mereka tergabung dalam massa aksi Forum Santri Bangkalan.
222