Teori Bos LokalLocal Boss
39
Dengan demikian, gambaran Migdal mengenai kemunculan orang kuat yang disebabkan karena kapabilitas negara yang tidak mampu menjadi satu-satunya
kekuatan tunggal pengontrol kehidupan sosial di masyarakat menjadi sedikit terganggu. Dalam hal ini nyatanya negara telah dijadikan kendaraan yang
ditumpangi dan dibajak untuk meraup sebesar-besarnya keuntungan dan kekayaan bagi para elit
– termasuk pimpinannya sendiri. Alih-alih berupaya untuk mensejahterakan rakyat, mereka terang-terangan menggunakan jargon rakyat
hanya sebagai kepentingan mereka sesaat. Kampanye dengan menggunakan simbol rakyat merupakan bias paradoks demokrasi prosedural.
Mereka membentuk jejaring yang mengakar sampai tingkat regional paling rendah. Mereka juga melakukan berbagai macam penyelewengan terhadap
kekuasaan yang mereka pegang: intimidasi, KKN, dan kekerasan fisik. Bila pemimpin negara adalah simbol negara itu sendiri, maka hipotesis negara lemah
sebagai latar belakang munculnya orang kuat yang diutarakan Migdal tidak relevan dalam kasus-kasus di negara tertentu. Sebab pemimpin negara telah
menjadi bagian yang terintegrasi dari jaringan patronase dan penyelewengan yang mereka kerap pelihara.
30
Pasca gelombang demokratisasi melanda negara-negara di dunia ketiga, alih-alih menghasilkan demokrasi substansial ke arah kemakmuran masyarakat
sebagaimana pengalaman di barat, demokrasi di dunia ketiga nyatanya hanya berhasil
melaksanakan prasyarat
negeri demokrasi
prosedural versi
Schumpetarian. Demokrasi di lapangan realitanya banyak dimanfaatkan oleh
30
Ibid, h. 21.
40
sebagian kalangan untuk kepentingan personal. Monopoli kekuasaan menjadi ciri transisi demokratisasi di negara-negara dunia ketiga. Hal ini tercermin dalam
beberapa lembaga pemerintahan yang banyak diisi dan dijadikan ajang rebut kekuasaan antara pengusaha dan para preman, baik lokal maupun nasional.
Maka karena beragam alasan dan kondisi yang ada, khususnya fenomea orang kuat lokal di Asia Tenggara, Sidel merevisi kembali definisi orang kuat
lokal yang diutarakan Migdal dalam perkembangan negara modern di dunia ketiga. Menurutnya, orang kuat adalah para bos lokal yang berhasil memelihara
jejaring politik mereka dan mendapatkan akses terhadap monopoli kontrol sosial di masyarakat melalui penguasaan pada sumber-sumber ekonomi dan penguasaan
pada tindak kekerasan dalam yurisdiksi teritori mereka.
31
Atau jelasnya Sidel mengatakan:
“The term “bosses” refers to predatory power brokers who achieve monopolistic control over both coersive and economic resources within
given territorial jurisdictions or bailiwicks”
32
“Istilah bos mengacu pada pialang kekuasaan predator yang mencapai kontrol monopoli melalui pemaksaan dan sumber ekonomi dalam yurisdiksi
teritorial tertentu atau daerah kekuasaan” Terjemahan dari penulis
Para bos lokal ini, dalam fungsi dan praksisnya saling berkelindan satu sama lain. saling bekerja sama, membentuk kelompok patronase yang saling memberi
keuntungan satu sama lain. Keberadaan mereka sangat dinamis di segala tingkatan. Mereka adalah jejaring yang saling menempati posisi-posisi tertentu
mulai dari tingkatan kabupatenkota, provinsi, dan sampai ke pusat.
33
31
Ibid, h. 20.
32
John T. Sidel, Capital, Coercion, and Crime: Bossisme in the Phillipines California: Stanford University Pers, 1999, h. 19.
33
Ibid, h. 21.
41
Dengan memilih negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia, Filipina, dan Thailand, Sidel hendak berusaha memperkuat argumennya bahwa orang kuat
lokal di negara-negara yang dimaksud bukan hanya berasal dari proses panjang tradisional yang kuat mengakar melalui feodalisme dan kolonialisme, melainkan
ditopang pula oleh sifat negara di tengah keterbukaan kapitalisme pasar global - di samping differensiasi varian orang kuat lokal di setiap negara adalah sangat
mencolok.
34
Dalam kasus orang kuat lokal di Filipina misalnya, Sidel dengan tegas menerangkan bahwa kemunculan orang kuat lokal di negara itu tidak hanya
berasal dari monopoli pemilikan tuan tanah atas tanah besar dan kekuatan patron- klien yang menggurita. Kekekalan orang kuat lokal di Filipina lebih disebabkan
oleh subordinasi negara dan akumulasi primitif yang bermula semenjak era penjajahan. Subordinasi yang dilakukan semenjak Spanyol berkuasa melalui
pemilihan aparatur negara di tiap tingkatan dengan mekanisme pengawalan yang sangat ketat dengan melibatkan institusi gereja sebagai lembaga seleksi, berubah
drastis tatkala Amerika memegang alih kekuasaannya di Filipina. Subordinasi negara tetap berjalan tetapi melalui mekanisme yang lebih independen
– tidak mengikutsertakan gereja dalam pemilihan. Pemilihan secara independen ini terjadi
pada tahun 1901. Akibatnya, penguasaan kontrol sosial terbuka bagi pihak swasta di mana mereka tetap menggunakan diskresi politik mereka semasa penjajah
Spanyol, guna mendapatkan kekuatan penuh terhadap aturan-aturan yang dikehendaki. Sampai Filipina merdeka pada tahun 1946, dan konstitusi
34
Sidel, “Bosisme dan Demokrasi,” h. 75.
42
direjuvinasi, para orang kuat lokal ini sudah terlanjur kuat mencengkeram alam sadar masyarakat.
35
Adapun pola variasi bos lokal dalam masyarakat Filipina, digambarkan oleh Sidel sebagai berikut.
“Pertama, bos lokal berhasil berurat-akar bila dan di mana “puncak komando” commanding height dari politik ekonomi lokal memberi kontrol
monopolistis, utamanya terhadap berbagai kegiatan ilegal, simpul perniagaankemacetan transportasi, tanah-tanah pemerintah, pengaturan ketat
tanaman dagang dan industri. Kedua, dimana kontrol monopolistis terhadap perekonomian lokal bergantung pada kekuasaan derivatif dan diskresi yang
didasarkan pada negara, maka satu generasi bos-bos dengan gaya preman terpaksa harus bersandar pada pialang kekuasaan superordinat yang
dukungannya menjadi landasan kemunculan, berurat-akar, dan bertahan hidupnya mereka. Mengambil sikap bermusuhan berarti kehancuran atau
kematian mereka. Ketiga, sebaliknya, dimana kontrol monopolistis terhadap perekonomian lokal bersandar pada pembangunan basis kokoh pemilik
kekayaan di luar bidang campur tangan negara, para bos terpaksa melawan kasak-kusuk permusuhan pialang-pialang kekuasaan superordinat dan
berhasil mewariskan daerah kekuasaan mereka kepada generasi penerus de
ngan model dinasti klasik.”
36
Kasus bos lokal di Filipina, dengan para bos memiliki jejaring patron mereka di tingkat politik nasional dan memiliki klien jejaring mereka di struktur bawah,
menandaskan bahwa patron-klien sistem sangat terasa dalam praktek per-bos-an di Filipina. Kompetisi yang mewarnai pemilu di Filipina biasanya dipertentangkan
oleh dualisme kekuatan bosisme. Mulai dari pemilihan walikota pada tingkat daerah, sampai pemilihan presiden di tingkat nasional. Koalisi antar kekuatan para
bos ini sangatlah dinamis dari waktu ke waktu. Mereka dalam kurun waktu tertentu bisa berpindah haluan dari jejaring mereka di tiap tingkatan dan afiliasi
mereka di tiap partai politik.
37
Karena mereka tidak terikat oleh ideologi atau prinsip tertentu. Mereka hanya terikat dalam jalinan pragmatik temporal.
35
Ibid, h. 75-80.
36
Ibid, h. 78-79.
37
Melvin, Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era Desentralisasi, h. 21.
43
Guna melanggengkan eksistensinya, para bos lokal ini melakukan berbagai upaya, di antaranya:
“Melakukan intimidasi dan kekerasan politik, menempatkan kerabat dan kroni di pos-pos pemerintahan, mengatur penempatan pejabat daerah,
mengatur pinjaman bank daerah, membangun mesin politik, mengatur proyek pemerintah, mengatur peraturan daerah, mengatur keringanan pajak,
memberikan konsesi dan kontrak pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, menggunakan cara-cara radikal guna menghalau serikat buruh dan mengatasi
konflik tanah.”
38
Adapun kasus bosisme yang terjadi di Thailand, hampir sama beriringan dengan terjadinya reformasi birokrasi dan sistem modal yang marak mewarnai negara
tersebut pada era 1970-an. Reformasi yang dimaksud adalah tranfromasi birokrasi yang menggabungkan dua kekuatan inti birokrasi sekaligus, yakni militer dan
sipil.
39
Masalah yang muncul sewaktu digulirkannya reformasi birokratik adalah persoalan kelembagaan yang masih kurang siap menghadapi perubahan yang
disertai ekonomi pasar yang lebih terbuka. “Korupsi Pasar,” sebagaimana yang dikatakan oleh James C. Scott menggejala dengan para agen lokal yang perlahan-
lahan mulai mengakumulasi modal dari sistem kapitalisme. Gejolak bosisme semakin melaju ketika pada tahun 1980-1990 para bos lokal atau para chao po ikut
serta dan menguasai setengah mayoritas jumlah anggota parlemen. Kendatipun kekuasaan militer masih dominan.
40
Ketenaran para chao po juga meningkat karena dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka bukan hanya berlaga
sebagai broker ekonomi yang menguasai pasar, tetapi mereka juga bertindak sebagai broker politik yang seringkali mengirim para pemilih untuk patron mereka
38
Ibid, h. 22.
39
Ghifary, Zikry Auliya, “Local Bossism: Indonesia dan Thailand dalam Perspektif Komparatif,” artikel diakses pada 10 Maret 2015 https:www.academia.edu2612170
40
Sidel, “Bosisme dan Demokrasi,” h. 81-83.
44
di tingkat kota, provinsi, pusat atau untuk diri mereka sendiri. Hal ini mereka lakukan melaui tindakan-tindakan koersif, manipulasi, dan pembelian suara.
41
Perbedaan antara bosisme di Filipina dan Thailand menurut Sidel, terletak pada dua hal. Pertama transisi pelimpahan wewenang kontrol sosial untuk kasus
Thailand dari pusat ke daerah yang berbarengan dengan pertumbuhan kapitalisme cenderung lambat, kedua pola komunikasi antara pemerintahan pusat dan
parlemen dibalut melalui koalisi sistem multipartai yang didasarkan jaringan patronase antar mereka.
42
Lain halnya dengan Filipina dan Thailand, format bosisme lokal di Indonesia lebih longgar dan tidak seketat dengan fenomena bosisme di dua negara tersebut.
Pertama, karena Indonesia selama kurun waktu 1966-1998 dijalankan dengan skema pemerintahan otoritarianisme, dimana kekuatan di luar negara diberangus.
Diksresi dan segala keputusan apapun hanya berdasarkan instruksi pusat termasuk di dalamnya penempatan dan rotasi pimpinan wilayah walikotabupatigubernur,
wakil-wakil rakyat di parlemen, menteri, panglima TNI, dan ketua-ketua organisasi maupun partai politik. Celah masuknya kekuatan informal untuk
mendikte kontrol sosial hampir tidak terlihat sama sekali. Soeharto menjadi satu- satunya momok dengan kekuatan dan kekuasaan terbesar yang tersebar di berbagai
pelosok wilayah negara. Kedua, pasca Soeharto rampung dari jabatannya dan desentralisasi diterapkan dalam arti yang sebenarnya-benarnya, sekalipun
kesempatan para elit lokal terdahulu memiliki peluang yang lebih besar untuk tetap atau memperluas kuasanya ketimbang di waktu Soeharto berkuasa, tetap saja
41
Ibid, h. 83.
42
Ibid, h. 84.
45
mereka harus berlomba dan bersaing dengan kekuatan lainnya di parlemen – yang
juga memiliki kuasa untuk merancang konstitusi. Sebagaimana dikatakan oleh Sidel, mereka kerap “dirintangi oleh kendala-kendala institusional.”
43
Akan tetapi hal ini tidakah semata-mata penghambat laju ambisi para bos, sebab sistem pemilihan secara langsung pada saat berlangsungnya pilkada menurut
Sidel bisa jadi merupakan jalan alternatif menuju pencapaian bosisme lokal dalam membangun, memperluas, menjaga, dan memelihara kuasa mereka di aras lokal.
44
Dengan pilkada langsung, mereka dapat memobilisasi rakyat dengan beragam cara: intimidasi, suap, dan pengucilan. Inilah yang masih menjadi kelemahan
sistem demokrasi di negara dunia ketiga. Demokrasi masih dipahami sebagai ajang prosedural semata
– dan tidak substansial. Sehingga kebebasan partisipatif rentan memuat praktek-praktek amoral yang berseberangan dengan nilai-nilai humanisme
dan emansipatoris warga. Kekerasan dan praktek uang masih menjadi gejala umum praktek demokrasi di Indonesia dan negara dunia ketiga umumnya.
45