Tinjauan Singkat Kabupaten Bangkalan
68
timur tengah. Islamisasi di nusantara lebih permisif, sedangkan islamisasi di timur tengah terkesan represif dan radikal karena melaui berbagai ekspansi dan agresi.
Tak terkecuali proses pengislaman Pulau Madura yang merupakan bagian dari islamisasi lanjutan dari pengislaman Jawa oleh para pedagang luar. Beragam
teori tentang kedatangan islam di Jawa termasuk di Madura sangat bermacam- macam. Adapun para ilmuwan yang meneliti teori soal kedatangan Islam di
nusantara antara lain: Pijnappel, Snouck Hurgonje, Moquette, Fatimi, Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall.
36
Menurut Azzumardi Azra, ada tiga aspek utama penyebaran islam yang hingga kini masih mengalami
perdebatan: tempat asal kedatangan islam, para pembawa, dan waktu kedatangannya.
37
Walau perdebatan teori soal kedatangan islam di nusantara masih menjadi hidangan akademik, rasanya banyak ilmuwan setuju bahwa islamisasi jawa awal,
bermula dari proses perdagangan. Interaksi para pedagang luar dengan penduduk setempat kemudian berubah menjadi hubungan sosio kultural yang lebih melekat
melalui proses silang perkawinan. Pada tahap inilah kemudian islam menjadi bagian penting dari sejarah pembentukan budaya di nusantara. Adanya akulturasi
dan asimilasi budaya antara budaya lokal dan pendatang telah menempatkan islam sebagai corak identitas baru dalam dimensi kehidupan masyarakat nusantara.
Islamisasi Madura bila mengacu pada sumber-sumber sejarah terjadi di penghujung abad ke-16, beberapa tahun setelah Kerajaan Majapahit runtuh.
Setelah Majapahit runtuh, tepatnya pada tahun 1527, Madura menjadi rebutan
36
Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Bandung: Mizan, 1994, h. 24-25.
37
Ibid, h. 24.
69
kerajaan-kerajaan kecil Islam di Jawa. Demak, Banten, Cirebon, Tuban, Gresik dan Jepara berusaha untuk menancapkan kuasanya di pulau tersebut.
38
Menurut Tjiptoatmodjo,
39
Jawa bagian timur merupakan sentral penyebaran agama islam di Jawa. Para pedagang dari Gujarat, India, dan Arab banyak berlabuh di daerah-
daerah Gresik dan Surabaya. Kota Gresik dan Surabaya adalah kota tertua bagi pusat penyebaran islam di nusantara. Hal ini dikarenakan letaknya yang strategis
dalam jalur perdagangan internasional dan menjadi epicentrum hilir-mudik kapal- kapal dagang dunia. Dari dua kota tersebut, ditambah dengan kota Jepara dan
Demak di Jawa Tengah, islam mula-mula mengalir ke jantung kota di sepanjang pantai utara Jawa; Tuban, Probolinggo, Sedayu, Besuki, Pasuruan, lalu masuk ke
daerah-daerah pesisir di Madura. Proses penyebaran islam di Madura digambarkan dengan teliti oleh De Jonge yang mengutip beberapa sumber sebagai
berikut:
“Penduduk pantai Sumenep mungkin sekali pada paroh kedua abad ke-15 mulai berkenalan dengan agama Islam. Keyakinan akan kepercayaan baru
mula-mula disebarluaskan di tempat-tempat seperti Parindu, tempat perdagangan yang mempunyai hubungan dengan daerah-daerah seberang.
Penyebaran
agama Islam
berlangsung sejalan
dengan perluasan
perdagangan. Penyebar yang petama ialah pedagang Islam dari India Gujarat, Malaka, dan Sumatra Palembang Schrieke 1955-1957, II: 230-
232. Mereka disusul dengan pengikut Sunan Ampel dan Sunan Giri, para wali suci Islam yang berkedudukan di dekat kerajaan-kerajaan dagang kecil
Surabaya dan Gresik De Graaf dan Pigeaud 1974: 137-155 dan 159-160. Menurut cerita turun temurun, seorang anak lelaki dari saudaranya Ampel
menetap di desa Pasudan dekat ibukota Sumenep Abdurrachman 1971: 16- 17. Pengislaman penduduk Madura meluas lebih lanjut setelah raja-raja,
mungkin pada pertengahan abad ke-16, memeluk agama itu dan mendorong penyebaran agama Nabi Mohammad. Terutama Sumenep, kawasan dengan
perdagangan paling ramai, tumbuh menjadi daerah Islam yang penting. Pada
pertengahan abad yang lalu, di Sumenep terdapat 2.130 “Ulama Islam”,
38
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 217.
39
Ibid, h. 217.
70 lebih banyak daripada Madura Barat dan Pamekasan Hageman Czn 1858:
335 dan 351.”
40
Dari penjelasan di atas, dapat diuraikan bahwa Madura mengalami islamisasi lewat 3 jalur. Pertama, melalui para pedagang sebagaimana dijelaskan oeh
Schrieke, kedua, lewat para wali, sebagaimana penjelasan De Graaf dan Pigeaud, dan ketiga, dengan perantara para raja seperti yang diterangkan Hageman.
Sebagaimana De Jonge, banyak pula orang yang meyakini bahwa islam di Madura pertama kali disebarkan di daerah Madura Timur Sumenep. Ada dua
sebab mengapa Sumenep menjadi basis Islam di Madura, pertama karena Sumenep merupakan penghasil garam terbesar di pulau tersebut yang
memungkinkan terjadinya interaksi perdagangan yang sangat ramai, kedua, Sumenep dulu merupakan vasal dari Kerajaan Majapahit saat Joko Tole 1415M
berkuasa. Sedangkan Madura Barat baru diislamkan setelah anak perempuan Lembu Peteng, penguasa Madura Barat kala itu, dinikahkan dengan anak laki-laki
Maulana Ishak. Lembu Peteng sendiri merupakan anak Raja Majapahit terakhir, hasil pernikahan antara Brawijaya dan Putri Campa. Lembu Peteng masuk islam
setelah pergi berguru ke Sunan Ampel.
41
Pada abad ke-17, kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung memiliki misi besar yaitu keinginan untuk menyatukan seluruh kerajaan-
kerajaan yang ada di Jawa dan Madura dalam wilayah kekuasaan Raja Mataram. Hal ini diambil untuk dapat menahan dan menghentikan segala agresi dan
ekspansi yang kerap dilakukan oleh VOC. Dan berturut-turt pada tahun 1614
40
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 240-241.
41
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 217-218.
71
kemudian tagun 1624, Mataram akhirnya dapat menguasai dan menaklukan Surabaya serta Madura. Setelah Madura resmi ditaklukan, Raden Praseno putra
mahkota Bangkalan, cucu Raden Pratanu, Raja Bangkalan Islam Pertama, diambil mantu oleh Sultan Agung untuk dinikahkan dengan putrinya di Mataram.
Melalui pernikahan ini, secara aklamasi Raden Praseno diangkat menjadi Raja Madura Barat dengan gelar „Cakraningrat I‟. Dari sini secara yuridis, Madura
menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Turun temurun raja- raja di Madura Barat diperintah oleh para keturunan Cakraningrat. Sepeninggal
Cakraningrat I, tahta Madura Barat turun kepada anaknya Cakraningrat II yang merupakan anak dari hasil pernikahannya dengan Syarifah Ambami, putri Sunan
Giri.
42
Di sisi lain, Madura Timur pada tahun 1671 dikuasai oleh raja nan arif dan bijaksana, Yudanegara namanya. Konon ia merupakan keturunan Cakranegara,
Raja Madura Timur sebelum mereka ditaklukan oleh Sultan Agung. Menurut beberapa kabar yang didapat, Yudanegara adalah seorang sahabat Trunojoyo
sewaktu mereka menyantri kepada Sunan Giri. Sepeninggal Yudanegara, suksesi raja di Madura Timur jatuh ke tangan para menantunya lantaran tak satu pun dari
garis keturunannya dikaruniai anak laki-laki. Silsilah Dinasti Yudanegara berakhir ketika kekuasaan kerajaan dipimpin oleh Pangeran Adikara III. Pangeran Adikara
III akhirnya dikudeta oleh Ki Lesap karena ia bersekongkol dengan VOC. Seterusnya kerajaan dipegang oleh Raden Ayu Tirtanegara dengan Bindara Saod
sebagai suaminya. Bindara Saod sendiri merupakan putra dari Bindara Bungso
42
Ibid, h. 218-219.