Terbentuknya Kekuasaan Politik Fuad Amin

93 eksistensi blater dan kiai di masa lalu. Fuad Amin merupakan manifestasi kalangan kiai-blater yang tetap bertahan meskipun di era demokrasi yang lebih modern. Sebagai elit yang mewakili tahta waris trah kiai di satu sisi, dan keterlibatannya secara langsung dengan alam pergaulan blater di pihak lain, telah tampak menegaskan eksistensi Fuad Amin sebagai satu-satunya orang kuat lokal berpengaruh yang paling disegani, dihormati, sekaligus ditakuti oleh masyarakat. Dengan bersandar pada argumen Joe S. Migdal bahwa orang kuat lokal merupakan ‘melange’ yang berada di luar organisasi negara yang keberadaannya terbentuk karena relasi sosial masyarakat yang masih bersifat patron-klien, 11 benar-benar merupakan realita empirik bila merujuk pada kasus lokalitas Fuad Amin di Bangkalan. Kemunculan orang kuat lokal yang tergambarkan lewat pribadi Fuad Amin di aras Bangkalan tidak dapat dihindari dan juga merupakan akibat langsung dari kondisi umum pola jejaring yang terwarisi turun temurun yang menginternalisasi corak masyarakat Bangkalan yang hingga sekarang tetap lestari memegang teguh budaya patrimornialistik. Dimana kiai dan blater kokoh berada di strata paling atas sebagai patron dalam relasi kelas sosial setempat. Apalagi keberadaannya telah menstimulus pandangan masyarakat bahwa mereka adalah satu- dua aktor yang sanggup menawarkan „strategi bertahan hidup‟. Masyarakat menjadi ketergantungan pada dua kelompok ini. Menjauhi keduanya sama saja menolak aspek penghidupan yang ditawarkan oleh dua kelompok informal ini, lebih-lebih menentang atau melawan keberadaannya. 11 John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru Jakarta: Demos, 2005, h. 73. 94 Terbentang sejak pra kolonialisme sampai era demokrasi liberal, kiai dan blater terbilang masih menjadi aktor yang mendominasi unsur kekuatan sosial politik masyarakat Bangkalan. Terkecuali di era orde baru, dimana kekuatan dan dominasinya sedikit mengecil lantaran represifitas Soeharto. Memang harus diakui, bahwa ketidakhadiran kekuatan dominan baik dalam bentuk orang kuat lokal, elit lokal, maupun oligark skala lokal saat Soeharto masih berkuasa dengan kondisi sekarang tentu berbeda. Jika di masa-masa sebelumnya, semasa rezim Soeharto berkuasa, kekuatan-kekuatan informal relatif bisa diredam dengan segala bentuk pengekangan lewat klaim legalitas konstitusional mengatasnamakan pancasila, beda halnya Indonesia pasca Soeharto, dimana negara lebih membuka ruang bagi munculnya kekuatan civil yang lebih masif. Termasuk mulai terlibatnya orang kuat lokal dan aktor-aktor lainnya dalam politik praktis. Menjamurnya oligark dan orang kuat lokal dalam politik praktis era reformasi, tidak terhindar dari adanya implementasi desentralisasi serta keterbukaan civil yang minus proses transisi ideal yang mengabaikan logika penataan serta penguatan lembaga hukum untuk menciptakan asas-asas keadilan dan kesejahteraan pada masyarakat. Asumsi yang terburu-buru lewat proses strukturasi dengan seolah-olah menganggap bahwa bila desentralisasi dan demokrasi di tingkat lokal diterapkan maka kemakmuran masyarakat dengan sendirinya akan terwujudkan, 12 tidak sepenuhnya benar. Padahal pasca reformasi meletus, praktik penegakan hukum di Indonesia masih kacau balau. 13 Distorsi lembaga hukum di Indonesia pasca reformasi tentu telah menjadikan kesempatan 12 Tim Lipi, Membangun Format Baru Otonomi Daerah Jakarta: LIPI Press, 2006, h. 11-12. 13 Jeffrey A. Winters, Oligarki Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011, h. 267. 95 ini hanya menjadi arena adu kepentingan semata oleh para oligark, orang kuat lokal, dan para elit politisi, baik lokal maupun nasional sebagai ajang pengerukan dan penghisapan sumber-sumber ekonomi penting yang jarang bahkan tidak mungkin mereka lakukan saat Soeharto masih bertahan. Dan perlu diketahui, bahwa reorganisasi administratif pada masa transisi ini hanya memerlukan waktu selama 18 bulan. 14 Padahal, ada seribu peraturan yang kurang lebih mesti direstrukturisasi Amzulian Rifai, 2002:23. 15 Bahkan karena alasan tanggung jawab yang terlampau besar ini, Ryaas Rashid, selaku pengemban tanggung jawab tersebut, akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri negara. 16 Pasca Soeharto tumbang, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh banyak kelompok kepentingan itu untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh rezim. Seluruh elemen sosial turut larut dalam perlombaan. Mereka berupaya sekuat tenaga untuk menjadi raja-raja baru penerus estafet kekuasaan orba. Praktik suap, jual beli suara, dan unsur kekerasan, menjadi isu penting yang mewarnai momen-momen politik era reformasi. Secara garis besar, kelompok kepentingan yang memperebutkan kekuasaan di segala tingkatan dan ranah, terbelah menjadi dua. Kelompok pertama diwakili oleh mantan gerbong pengikut orba, dan kelompok lainnya diwakili oleh kelompok pembaharu yang tidak terkait dengan orba. Namun motif logika kekuasaannya tetap sama: mereka 14 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, “Pendahuluan,” dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014, h.17. 15 Menurut Amzulian Rifai seperti dikutip Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014, h. 17. 16 Ibid, h. 17. 96 hanya berlomba-lomba untuk menguasai aset-aset ekonomi yang ditinggalkan Soeharto. Berakhirnya kapitalisme semu ala Soeharto meminjam istilah Yoshihara Kunio 17 , telah merubah peta persaingan ekonomi-politik para elit menjadi semakin sengit. Era reformasi telah menjamin setiap warga negara untuk turut berkompetisi secara aktif baik dalam ekonomi maupun politik. Dinamika politik lokal di Bangkalan era reformasi juga tidak jauh berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Bangkalan menjadi salah satu contoh tempat kebermunculan kelompok-kelompok kepentingan yang dulu dikekang oleh orba. Reformasi, jika divisualisasikan, adalah pondasi awal konsolidasi kekuatan-kekuatan lama. Fuad Amin yang direpresentasikan sebagai bagian yang tak terpisah dari golongan kiai, dianggap sebagai mesin awal bagi perubahan menuju Bangkalan ke arah yang lebih baik. Fuad adalah tumpuan masyarakat kebanyakan yang mendamba adanya perbaikan di segala sektor. Apalagi posisinya yang dianggap kiai, telah menambah rasa percaya diri masyarakat, bahwa mereka sudah berada di trek yang benar dengan pemimpin yang ideal. Tapi apa nyana, impian serta harapan tersebut pupus tidak lama setelah Fuad Amin sah menjadi pemimpin. Berbagai tindakan inkonstitusional, korupsi, serta tindakan kriminal menghiasi seluk beluk kepemimpinan Fuad. Anggapan bahwa Fuadlah sang pemimpin ideal ternyata bertolakbelakang 100 persen dengan realita yang belakangan baru saja terjadi. Fuad Amin justru menjadi pesakitan di tangan KPK. 17 wacanakiri- blogspot, “Memahami Erzat Kapitalisme bersama Yoshihara Kunio,” artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2016 dari http:wacanakiri.blogspot.co.id201107memahami- erzat-kapitalisme-bersama.html 97 Hal lainnya, yang harus digarisbawahi, bahwa kemunculan orang kuat lokal yang terkejewantahkan pada diri Fuad Amin yang dimulai semenjak liberalisasi ekonomi-politik diterapkan, termasuk di Bangkalan, sekaligus juga mengandaskan logika Migdal yang berpandangan bahwa keberadaannya hanya menjadi faktor penghalang bagi kapitalisme serta pembangunan di daerah - lewat gangguan yang kerapkali ditujukan terhadap para implementors wakil pusat di daerah untuk menguasai dan menghalang-halangi berbagai kebijakan yang akan dialokasikan untuk beragam kepentingan masyarakat di tingkat lokal. 18 Alih-alih menghalangi jalannya kapitalisme pasar serta mengganggu berbagai proyek pembangunan di Bangkalan, Fuad Amin justru meraup banyak keuntungan dari sistem globalisme pasar seperti ini. Sistem kapitalisme terbuka malah merupakan sumber basis bagi ladang kekayaan yang Fuad pupuk dan didistribusikan untuk kepentingan pribadinya semata. Iklim investasi dimonopoli, yang seakan-akan menjadi mainan pribadinya yang Fuad kelola berdasarkan aturan serta kehendak yang Fuad inginkan. Praktik ini hampir mirip dengan kondisi orba di masa lalu. Sebetulnya impak kemunculan orang kuat lokal yang mengarah pada penghambatan ataukah merupakan bagian elemen pendukung sistem kapitalisme pasar mendapat respon balik dan kembali diperdebatkan oleh John T. Sidel. Sidel lebih percaya, bahwa keberadaan orang kuat lokal malah membantu sekaligus memanfaatkan jalannya kapitalisme tersebut. Terakhir, Sidel menyebut orang kuat lokal sebagai bos lokal. Kondisi ini salah satunya Sidel gambarkan dalam fenomena transformasi bos lokal di Provinsi Cavite dan Cebu di Filipina, yang 18 John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru Jakarta: Demos, 2005, h.73-74 98 tumbuh menjadi kawasan metropolis berkat keterlibatan bos lokal. Di mana para bos lokal menjadi fasilitator yang mengundang sekaligus meyakinkan para pemodal untuk berinvestasi di kawasan tersebut, dengan menikmati manfaat dari keterlibatannya itu. 19 Persoalan menghambat atau tidak menghambat jalannya pembangunan lewat perlakuan orang kuat lokal terbilang masih relatif apabila merujuk ke beberapa kasus. Bolehlah dikatakan bahwa keberadaan orang kuat lokal di daerah bermanfaat dalam menjaga stabilitas politik di aras bawah. Gejolak dari berbagai kelompok kepentingan yang terfragmentasi relatif bisa dilembagakan melalui eksistensi orang kuat lokal selaku penguasa utama pada teritorial di dalamnya, sehingga logika pembangunan yang mengutamakan stabilitas politik, dapat direalisasikan. Atau para orang kuat lokal kerap menjadi bagian marketing dari beragam modal investasi yang ditujukan pada para investor. Tapi persoalannya, keberadaan mereka tetap saja mereduksi benefit ekonomi negara dari berbagai praktik suap, ilegalitas hukum, koersifitas yang mereka lakukan, dan rongrongan pengkorupsian aset belanja negara di sektor kapital pembangunan. Pada kasus Fuad Amin, penjelasan soal ini rincinya lebih disebabkan karena posisi Fuad Amin sendiri merupakan bagian yang tak terpisah dari keadaan dan status dirinya sebagai implementors atau wakil pusat yang bercokol di daerah. Pada konteks ini adalah dalam kapasitasnya selaku bupati, sehingga rasionalisasinya adalah bahwa tidak mungkin Fuad Amin secara pribadi mengganggu jalannya pemerintahan yang sedang Fuad lakukan, atau bahkan, 19 Ibid, h. 79-80. 99 tidak mungkin bagi dirinya membiarkan adanya kelompok penentang lain dari para seterunya orang kuat lokal di luar dirinya yang mencoba mengusik pemerintahan yang sedang berjalan. Harus diketahui, bahwa Fuad Amin merupakan satu-satunya raja lokal dengan kekuatan besar yang nyaris tidak satupun aktor lokal yang berani untuk melakukan konfrontasi terhadap kekuasaannya. Modal sosial selaku orang kuat lokal yang terlebih dulu Fuad pegang, yang kemudian Fuad manfaatkan sebesar- besarnya untuk masuk ke arena politik formal, telah membangun aspek kekuatan politiknya semakin berlipat-lipat. Dengan demikian, dengan kepemilikan lewat dua kekuatan ganda, baik formal maupun informal, kontan telah memberikan peluang dan kesempatan bagi dirinya untuk memperluas dominasinya di masyarakat, di samping upaya yang sama yang juga Fuad lakukan untuk memperkecil kesempatan politik kepada pihak lain di luar dirinya. Setelah akumulasi dari modal kekuatan politik Fuad Amin semakin mantap, meluap di segala sektor, baik yang berasal dari elemen- elemen kultural di satu sisi, maupun elemen struktural formal di sisi lain, tentu bukanlah hal yang sulit bagi Fuad untuk membangun otoritas serta dominasinya ke dalam segala bentuk formula yang menyangkut bagi-bagi posisi struktural politik lokal di Bangkalan. Politik seakan-akan menjadi arena monopolistik kekuasaan yang bisa dibentuk sesuka hatinya. Fuad Amin dikelilingi oleh orang-orang loyal, sekaligus ditakuti oleh para kelompok penentang. Tak jarang unsur-unsur kekerasan, intimidasi, praktik suap, dan sabotase politik mewarnai jalannya pemerintahan selama kepemimpinannya. 100 Ketakutan kolektif telah menjadi gejala umum masyarakat Bangkalan. Kondisi tersebut telah mempermudah Fuad Amin dalam membangun serta membentuk dinastinya tanpa hambatan yang komplesk. Keajegan dinasti politik Fuad Amin yang hingga saat ini masih terlihat jelas di arena politik lokal Bangkalan, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari manajerial bangunan praktik-praktik kriminal yang Fuad lakukan. Permasalahan inti ini bukan hanya tiadanya kelompok oposisi yang setara yang mampu mengimbangi segala bentuk kapasitasnya menguasai kelompok-kelompok civil yang ada, melainkan juga disebabkan tiadanya lembaga hukum independen yang berani mengusik sikap-sikap inkonstitusional yang kerap dilakukan oleh Fuad. Semenjak pertama kali Fuad Amin menjabat sebagai bupati, para kroni dan keluarga yang berjasa kepada proses pemenangannya, perlahan- lahan Fuad masukan ke dalam struktur pemerintahan. Sebagian yang lainnya Fuad bantu dalam penguasaaan ormas-ormas di Bangkalan. Gambaran dinasti politik Fuad dapat dilihat seperti dalam bagan IV.1 dan bagan IV.2. Bagan IV.1. Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2003-2008 Sumber Gambar: Diolah dari hasil wawancara Fuad Amin Bupati Syafii Rofii Ketua DPRD, Sepupu Fuad Imam Bukhori Kholil DPR RI, Keponakan Fuad 101 Bagan IV.2. Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2008-2013 Sumber Gambar: Diolah dari hasil wawancara Wacana serta diskursus local strongmen Migdal memang dibungkus dalam kerangka kausalitas antara reduksifitas peran negara dengan dampak keberadaan kelompok-kelompok informal. Memang tak jarang dari para pemimpin negara atau implementors yang ditemukan di negara-negara dunia ketiga pada akhirnya lebih memilih bekerjasama dengan menempatkan orang kuat lokal sebagai klien mereka di tingkat daerah ketimbang melakukan perlawanan terhadapnya, 20 masalahnya tetap saja bahwa orang kuat lokal, memiliki daya tawar yang tinggi untuk menukar kepentingan pusat di daerahnya dengan berbagai macam pertukaran, misalnya saja lewat penempatan orang-orang mereka di institusi resmi pemerintahan, atau lewat monopoli proyek yang akan digulirkan oleh negara. Dengan demikian, logika dan premis yang diajukan oleh Migdal bahwa orang 20 Daniel Lamb ach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004. Fuad Amin Bupati Syafii Rofii Wakil Bupati, Sepupu Fuad Ali Wahdin Ketua DPRD, Kroni Fuad 102 kuat lokal merupakan pembatas kapasitas negara yang menyebabkannya menjadi lemah, tidak sepenuhnya salah atau menjadi benar adanya jika dirujuk pada beberapa kasus tertentu. Tetapi jika hal ini kembali dihadapkan pada kasus Fuad Amin di Bangkalan, dengan menjadikan negara sebagai subyek yang seolah-olah dikorbankan atas implikasi kemunculan orang kuat lokal, patut kembali dipertanyakan: Benarkah negara melemah akibat kemunculan orang kuat lokal? Apakah strukturisasi yang diinisiasi oleh negara tidak memiliki kontribusi sama sekali dalam mengangkat eksistensi Fuad Amin ke permukaan politik lokal di Bangkalan? Bukankah orang kuat lokal menangkap era keterbukaan sebagai peluang bagi penggapaian dominasi dan kekuasaan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, temuan penulis di lapangan justru mengarah linear dengan ide-ide John T. Sidel mengenai reproduksi orang kuat lokal di alam demokrasi. Artinya keberadaan Fuad Amin sebagai orang kuat lokal di Bangkalan faktanya tidak dapat dilepaskan dari hadirnya kelonggaran kekuasaan sehingga menyemai pembibitan dan reproduksi kekuatan-kekuatan informal lama ke alam yang lebih baru. Orang kuat lokal bukan hanya muncul dari dalam masyarakat, tetapi juga dari dalam negara secara bersamaan. Demokrasi memberi peluang bagi siapapun untuk dipilih dan memilih, sehinggga peran negara dalam mengkonstruk serta menumbuhkembangkan kelompok-kelompok lain di luar dirinya, termasuk Fuad Amin tidak bisa dielakkan. Histrorisitas munculnya Fuad Amin sebagai orang kuat lokal di Bangkalan faktanya lagi-lagi bersumber dari diskursus politik yang berasal dari beberapa 103 produk restrukturisasi yang terjadi di Indonesia pasca 1998. Khususnya peraturan perundang-undangan yang menitikberatkan polisentrisme ke jenjang pemerintahan lokal. Fakta ini bukan maksud mengarahkan bahwa demokrasi seakan-akan hanya menjadi biang dari kemunculan rezim predator baru pasca Soeharto. Hanya saja masalahnya, transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia tidak berjalan seiringan dengan penguatan lembaga hukum independen. Lembaga hukum dan peradilan di Indonesia era reformasi tetap memburuk akibat intervensi yang terlanjur mendalam yang kerap dimanfaatkan Soeharto di masa lalu, bahkan temuan Daniel S. Lev dan Pompe, kekacauan lembaga hukum ini lebih jauh lagi sudah terjadi di masa sebelum orba, yakni ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi terpimpin era Soekarno. 21 Fenomena Fuad Amin di Bangkalan, juga sekaligus memperlengkap argumen Sidel yang yakin bahwa kapitalisme pasar yang terjadi pada masa-masa orba telah sedikit membantu pembibitan orang kuat lokal untuk menjadi bos lokal yang dulu ditempatkan oleh Soeharto di berbagai daerah lewat berbagai keuntungan dari diskresi aturan dan proyek yang mereka dapatkan. 22 Mereka ada dalam berbagai bentuk, bisa purnawiran militer, bupati, sekda, dan anggota DPRD. Banyak di antaranya yang memiliki perkebunan, konsesi kehutanan, pabrik semen, bank swasta, perusahaan konstruksi, hotel, dan lain sebagainya Ichlasul Amal 1992:179. 23 Sehingga sewaktu Soeharto tumbang, mereka 21 Winters, Oligarki, h. 227-229. 22 John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru Jakarta: Demos, 2005, h. 89-90. 23 Menurut Ichlasul Amal seperti dikutip oleh Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi Widya Padjadjaran, 2011, h. 60. 104 memiliki modal sosial-politik awal sebagai orang berpengaruh untuk dapat menjadi penguasa lokal. Untuk kasus tersebut, bisa dilihat dari beberapa pengalaman dinasti politik seperti dinasti Atut di Banten. Namun, kemunculan Fuad Amin sebagai bos lokal tidak berasal dari modal eksistensinya sebagai kaki tangan orba melalui berbagai keuntungan dari kapitalisme pasar waktu itu, malah di masa orba, ayah Fuad Amin, Amin Imron, merupakan elit lokal yang memilih untuk berlawanan dengan pihak penguasa ketimbang melakukan kerja sama, sehingga kemunculan Fuad Amin sebagai kekuatan politik di era demokrasi sekarang ini tentu bukan dikarenakan posisinya yang lebih dulu diuntungkan lewat hubungan dekatnya dengan lingkaran Soeharto dari beragam privelse ekonomi dan politik, sampai memudahkannya untuk turut menguasai jalannya politik pasca Soeharto tumbang. Melainkan lebih disebabkan karena basis sosial kekiaian dan keblateran yang masih menjadi elemen penting nan berharga di sekitar masyarakat Bangkalan. Meskipun, walau tak terhitung besar, Fuad Amin juga sedikit mencicipi manfaat stabilitas ekonomi di masa orba dengan menjadi pengusaha lokal yang bergerak di bidang pelayanan haji dan sebagai penyalur tenaga TKI. Masalahnya, sekalipun Fuad Amin tidak berasal dari kekuatan lama yang dipelihara oleh Soeharto yang meraup banyak keuntungan dari kebijakan pasar yang sudah mulai terasa di zamannya, terutama setelah fenomena boom oil yang terjadi sekitar tahun 70-an, yang tak sedikit dari para kaki tangan orba, khususnya mereka-mereka yang berasal dari kalangan militer, pengusaha, politisi Golkar, dan 105 beragam afiliasi Soeharto di berbagai gerakan ormas 24 di daerah yang akhirnya berevolusi menjadi bos lokal dengan modal besar untuk menguasai politik lokal pasca lengsernya Soeharto, tapi tetap saja, kekuatan besar Fuad Amin muncul berkat restrukturisasi negara lewat implementasi pemilihan umum ke daerah- daerah. Setidaknya hal ini menggambarkan bahwa kemunculan orang kuat lokal bukanlah sesuatu yang terpisah dari campur tangan negara dan mensimplifikasikan ketidakterkaitan negara sebagai pemegang otoritas resmi yang sah. Adanya alokasi berbagai kebijakan, khususnya yang berpretensi pada persoalan ekonomi politik ke daerah-daerah bukan malah mengkooptasi peran bos lokal di masyarakat, melainkan berkontribusi dalam membangun kekuatan tiran menjadi semakin besar, sehingga kontrol sosial masyarakat atas negara menjadi semakin sempit. Kapitalisme pasar yang lebih terbuka dengan banyaknya program dan proyek pembangunan, dimanfatkan sebesar-besarnya untuk menambah pundi- pundi modal untuk berbagai kepentingan yang menyangkut eksploitasi sumber- sumber ekonomi strategis dan pemeliharaan berbagai basis massa sosial pendukung kekuasaan. Yang terpenting, selain dari dua sumber kekuatan modal politik Fuad Amin yang telah dipaparkan, adalah basis kekayaan Fuad Amin yang memang telah terlebih dulu terjamin sebelum keterlibatan dirinya di ranah politik praktis. Sebagaimana dikatakan Winters, bahwa ketidaksetaraan material berpengaruh penting kepada ketidaksetaraan politik. Premis ini sekiranya ingin menggambarkan bahwa upaya gerakan penyadaran akan pentingnya partisipasi 24 Lihat Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2005. 106 politik bagi setiap warga negara saja tidak cukup untuk menghilangkan realisme ketidakadilan politik di masyarakat. 25 Orang-orang kaya dengan harta melimpah cenderung memiliki kesempatan lebih besar menguasai politik kekuasan dibandingkan orang-orang miskin yang tidak memiliki harta sama sekali, meskipun kedua kelompok ini sama-sama berpartisipasi. Sehingga dengan memakai logika oligarki seperti ini, wajar bila Fuad Amin berhasil menduduki posisi strategis politik di aras lokal. Bahkan jika beranjak lebih jauh ke teori sumber daya kekuasaan, yang mendiversifikasi modal kekuatan politik ke dalam lima bentuk penting: hak politik formal, jabatan resmi, kekuatan pemaksaan, kekuataan mobilisasi, dan material kekayaan, 26 seluruh kelima sumber daya kekuasaan tersebut dimiliki oleh Fuad Amin sepenuhnya. Maka memasukan Fuad Amin ke dalam bagian oligark-oligark kecil yang ada di Indonesia pasca reformasi bukan merupakan sesuatu yang melenceng jika ditinjau dari beragam sudut teoritis. Oligark menurut Winters, secara definisi diartikan sebagai: “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang biasa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya.” 27 Pokok praktik oligarki adalah adanya upaya dari individu tertentu untuk mempertahankan atau menambah basis kekayaan materialnya. Mengacu pada pemahaman ini, indikasi yang mengkategorikan Fuad Amin sebagai oligark lokal 25 Winters, Oligarki, h. xv-xvii dalam sebuah kata pengantar. 26 Kelima sumber daya kekuasaan ini merupakan garis pembeda yang menegasikan konsep elit di satu sisi, dan oligark di sisi lain. Sumber daya kekuasaan elit terdiri dari: hak politik formal, jabatan resmi, kekuatan pemaksa, dan kekuatan mobilisasi. Sedang sumber daya kekuasaan para oligark yakni basis material kekayaan yang terkonsentrasi. Lihat Jeffrey A. Winters, Oligarki Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011, h. 18-19. 27 Winters, Oligarki, h. 8. 107 terbilang lebih dari cukup. Apalagi semasa kepemimpinannya, Fuad Amin selalu berusaha menumpuk harta kekayaannya lewat beragam praktik korupsi, pemerasan, dan kontrol terhadap badan usaha daerah. Fakta ini searah dengan pemikiran Winters yang secara eksplisit mengatakan: “Namun, jika pejabat itu korup dan mengumpulkan kekayaan pribadi dengan cara apa pun, maka kiranya dia menjadi elit pemerintahan sekaligus oligark yang mampu melibatkan diri dalam politik pertahanan kekayaan” 28

B. Fuad Amin dan Lanskap Orang Kuat Lokal di Bangkalan

Kekuasaan yang dipegang oleh mantan bupati Bangkalan, Fuad Amin, selama dua periode berturut-turut amat begitu besar dan tak terbendung. Apalagi karir politiknya tidak hanya berhenti sebagai bupati saja, melainkan terus berlanjut hingga sukses menjabat sebagai ketua dewan DPRD Bangkalan dari fraksi partai Gerindra. Maka tak aneh jika kemudian masyarakat Bangkalan menjuluki Fuad Amin dengan gelar kanjeng. Gelar ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa Fuad Amin bukanlah orang sembarangan. Antara Fuad Amin, kekiaian, dan keblateran di Bangkalan, merupakan tiga rupa yang tak terpisahkan. Lahir dari seorang ayah keturunan kiai besar, Fuad Amin dididik dalam lingkungan keluarga yang religius. Norma-norma agama menjadi sesuatu yang sublim dalam praktik hidup Fuad semasa kecil. Bahkan dalam masa-masa tertentu, sebagaimana keluarga kiai khususnya, dan kultur masyarakat Bangkalan pada umumnya, pesantren menjadi pelabuhan terakhir bagi pendidikan Fuad kelak. Sekalipun masa belajarnya di dunia pesantren itu tidak 28 Ibid, h. 14. 108 berlangsung lama. 29 Menurut penuturan IMM, salah satu keponakannya, Fuad Amin sempat belajar di Pondok Pesantren Sidogiri selama kurun waktu 3 bulan. 30 Secara genealogi, Fuad Amin memang tidak mewarisi darah keturunan seorang blater. Bapaknya, Ki Amin, selain sebagai seorang Kiai, Ki Amin pun aktif sebagai politisi. Kiai Amin merupakan elit PPP yang paling lantang di Bangkalan. 31 Begitu juga dengan keluarga besar Fuad lainnya. Mereka adalah orang-orang yang mewarisi darah keturunan seorang wali, khususnya yang berasal dari Kiai Khos almarhum Syaikhona Kholil. Kedekatan Fuad Amin dengan dunia blater, tentu menjadi sebuah pertanyaan besar: bukankah dunia blater adalah bagian yang sama sekali bertolakbelakang dengan alam kekiaian. Berawal dari pertanyaan tersebut, penulis akan berusaha untuk menjelaskan ketiga aspek penting di Bangkalan tersebut pada sub-bab ini. Pertama soal Fuad Amin, kedua Kiai, dan terakhir, Blater. Aspek ini merupakan kata kunci bagi fenomena politik lokal di Bangkalan yang nantinya akan membawa kita pada pemahaman bersama bahwa konsep Migdal dan Sidel mengenai orang kuat lokal dan bos lokal benar-benar menjadi realita empirik sosial politik yang khas, dan terjadi di negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Secara sosiologis, seperti yang telah penulis jelaskan di muka, di Bangkalan terdapat dua kelompok yang dominan. Pertama kalangan kiai dan yang kedua kalangan blater. Demikian juga halnya dalam dunia politik. Kedua kelompok ini menjadi kelompok penentu dan elit penting dalam mengarahkan arus politik yang 29 Wawancara Pribadi dengan AAR, Bangkalan, 22 September 2015. 30 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM, Bangkalan, 23 September 2015. 31 Wawancara Pribadi dengan FHR, Bangkalan, 18 September 2015. 109 terjadi di Bangkalan. 32 Sejarah masuknya blater ke lingkaran kuasa politik lokal di Bangkalan dapat dilihat dari dua periodisasi waktu yang berbeda. Pertama adalah periode raja-raja jaman dulu saat masih berkuasa. Dan periode kedua yaitu saat terbentuknya institusi “Barisan” di bawah kendali bangsa kolonial. Paparan detail mengenai sejarah blater telah penulis terangkan di bab-bab sebelumnya. Dalam dinamika sosial di Bangkalan, keberadaan kalangan kiai dan blater nyatanya telah membentuk semacam kohesi sosial di antara keduanya. Maka tidak sedikit bila di kemudian hari, dari anak-anak keturunan kiai, yang juga menjalin hubungan yang erat dengan kalangan blater, khususnya mereka-mereka yang tidak mendapatkan pendidikan langsung di dunia pesantren. 33 Keadaan serupa juga terjadi dan sangat relevan dengan kondisi Fuad Amin. Fuad adalah salah satu keluarga kiai yang dekat dengan kalangan blater. Hal ini sesuai juga dengan kondisi masa pendidikannya di pesantren yang terhitung sangat begitu singkat. Fuad Amin tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di pesantren sampai jenjang yang utuh. Maka tak aneh bila hubungannya dengan kalangan blater terbilang bukan hanya sekadar dekat, tapi juga menginternalisasi perilaku serta bahkan menjiwai sikap-sikap blater tersebut. 34 “.............Nah, seorang Blater sehebat apapun itu pasti dekat dengan kiai dan tunduk sama kiai. Itu sejarah dari awalnya ya selalu begitu. Tidak ada seorang blater itu berani sama kiai. Nah, karena kedekatan-kedekatan seperti ini, anak-anak kiai ini ada juga yang pergaulannya dengan blater. Khususnya yang tidak mondok di pesantren. Sehingga kedekatan-kedekatan dengan blater ini, itu tentu menjadi sebuah sikap keseharian, dari, walaupun itu keluarga pesantren tapi karena kedekatannya dengan blater, jiwanya itu paham gitu. Bahkan tidak hanya jiwanya yang paham, sikapnya juga lebih dari sikap blater yang dominan. Nah, Fuad Amin ini masuk yang kelompok 32 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM, Bangkalan, 23 September 2015. 33 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 34 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 110 itu. Salah satunya dari keluarga pesantren yang dekat dengan blater. Sebenarnya kalau urusan blater di Bangkalan ini kita tidak perlu dekat atau punya jiwa blater juga. Karena walaupun bagaimana, kalau sama keluarga kiai, blater itu tidak akan berani. Tidak akan berani. Seperti misalnya, perseteruan saya dengan fuad amin, si fuad amin inikan dekat sekali dengan blater di Bangkalan. Tapi untuk hal-hal politik, ketika berseberangan dengan saya, blater ini pun juga mundur enggak berani berhadapan dengan saya. Misalnya, untuk melakukan kekerasan, kalau blater itukan ya itu memang dunianya hitam. Jadi kalau jika berhadapan dengan saya, mereka mundur, ndak berani. Karena saya masih keluarga dalam juga. Demikian juga blater- blater yang dukung saya, ketika awalnya pun saya suruh perintahkan gimanapun, enggak akan berani untuk melawan si Fuad. Ya itu sudah, trahnya blater begitu. Nah, Fuad masuk dalam kelompok yang dekat sekali dengan blater”. 35 Persepsi soal dunia keblateran di Bangkalan memang terbelah menjadi dua. Pada konteks ini, blater mempunyai dua makna stereotip sekaligus, yakni makna positif di satu sisi, dan makna negatif di sisi lain. Di satu pihak ada yang beranggapan bahwa blater adalah para jago yang selalu ada di belakang rakyat. Tapi di pihak lain ada juga yang berangapan bahwa blater merupakan dunia yang hitam kelam nan profan. Pembelahan ini merupakan buntut dari sejarah eksistensi mereka di masa lalu. Dari berbagai literatur yeng membahas soal blater, memang alam keblateran tidak bisa dilepaskan dari dua sudut pandang ini. Dalam sejarah pra-kemerdekaan misalnya, diceritakan, bahwa kaum blater adalah kalangan para jago yang turut terlibat dalam berbagai usaha-usaha kemerdekaan. Mereka seringkali terlibat perlawanan dengan para raja lalim dan bangsa kolonial. Tapi di sisi lain, keberadaan para blater juga tidak terpisahkan dari berbagai praktek kriminal yang terjadi di masa itu. Dengan kondisi sosial- ekonomi-politik yang tidak menentu, dan dengan keadaan serba kekurangan dan kemelaratan yang banyak menimpa masyarakat, orang kuat lokal lebih memilih 35 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM. 111 jalan pintas sebagai para kriminil lokal untuk dapat tetap hidup, atau dengan bersekongkol menjadi kaki tangan para raja dan bangsa kolonial untuk melayani berbagai kepentingan mereka dengan mendapatkan imbalan tertentu. Pada masa rezim Soeharto masih berkuasa, para blater dan kiai tidak memiliki hak politik yang luas lagi leluasa. Keberadaan mereka sebagai tokoh sentral yang hidup berdampingan dengan rakyat - yang dapat dilihat dari pengalaman sepak terjangnya dalam sejarah silam - telah dulu dikebiri dari pentas politik lokal akibat cengkeraman rezim yang nyatanya sudah semakin mengakar sampai ke tingkat bawah. Pada masa-masa orba, blater dan kiai hanya sebatas tinggal di pinggiran, mereka hidup di desa-desa, dengan tidak ikut andil bagian dalam berbagai proses dan urusan politik apapun yang terjadi di Bangkalan. 36 Sekalipun perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan orba yang dianggap merugikan pernah terjadi atas inisiasi para kiai, tetapi hal itu tidak lantas kemudian menjadi sinyalemen keberadaan partisipasi politik yang lebih massif di masa orba, sebab perlawanan tersebut masih bersifat temporal dan tidak memberikan dampak reduktif atas dominasi struktural politik orba di masyarakat. Perlawanan-perlawanan itu dapat dilihat dari protes-protes yang kerap dilancarkan oleh para kiai yang tergabung dalam BASRA Badan Silaturahmi Ulama Madura. Saat itu mereka menolak wacana pembangunan dan industrialisasi yang diprakarsai orba di kawasan Madura. 37 36 Wawancara Pribadi dengan AHS, Bangkalan, 20 September 2015. 37 Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” Disertasi Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015, h. 99-100.