Orang Kuat Dalam Dinamika Politik Lokal Studi Kasus: Kekuasaan Politik Fuad Amin Di Bangkalan

(1)

ORANG KUAT DALAM DINAMIKA POLITIK LOKAL

STUDI KASUS: KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI

BANGKALAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

Ahmad Nurcholis

1111112000006

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v ABSTRAK Nama : Ahmad Nurcholis

Prodi : Ilmu Politik

Judul : Orang Kuat Dalam Dinamika Politik Lokal Studi Kasus: Kekuasaan Politik Fuad Amin Di Bangkalan

Penelitian ini menitikberatkan pada analisa monopoli kekuasaan politik sebagai impak keberadaan orang kuat lokal, bos lokal, dan oligark lokal. Monopoli kekuasaan politik ini setidaknya melahirkan berbagai bentuk penyimpangan, yang juga melahirkan bentuk pemerintahan model dinasti yang merupakan upaya elit untuk menempatkan beberapa kroni dan keluarganya di beberapa pos strategis pemerintahan (Leo Agustino). Model pemerintahan dengan kekuasaan yang absolut serta dinasti seperti ini kerapkali mengarah pada perampokan sistemik anggaran negara dan monopoli berbagai sumber ekonomi strategis. Dalam kasus Fuad Amin, penulis juga menemukan relevansi antara aspek orang kuat lokal dengan pondasi awal lahirnya kekuasaan politik yang berdampak pada konstruksi pemerintahan dinasti. Lahirnya dominasi serta kekuasaan politik Fuad Amin, pertama-tama diuntungkan dengan posisinya yang mewarisi modal kultural sebagai elit keturunan kiai terkemuka di satu sisi, serta kedekatannya dengan dunia blater di sisi lain. Selain itu, Fuad juga diuntungkan karena posisinya sebagai pengusaha/oligark lokal dengan kepemilikan harta yang melimpah. Tiga modal kekuatan awal ini tak pelak mempermudah dirinya untuk melenggang maju ke sektor politik formal. Keberhasilan ini juga ditopang oleh kultur masyarakat yang masih memegang teguh budaya patrimornial, sehingga ketergantungan masyarakat kepada kekuatan patron (Fuad Amin) masih sangat kental.

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah dengan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dan telaah tambahan pada beberapa literatur yang penulis anggap penting. Hasilnya adalah bahwa kekuasaan politik Fuad Amin menjadi dominan karena tidak adanya lembaga hukum setempat yang independen, yang berani menindak segala penyimpangan yang dilakukan Fuad. Adanya laporan penyelewengan yang dilakukan oleh Fuad Amin, semisal kasus kekerasan terhadap para aktivis dan berbagai kasus korupsi, selalu mentah di meja polisi dan kejaksaan setempat. Kekuasaan politik Fuad semakin bertambah tatkala dirinya berhasil menjadi bupati Bangkalan pada tahun 2003 dan tahun 2008. Dengan mengenyam dua kekuatan, baik formal maupun informal, tampuk dominasi Fuad semakin tak terbendung. Fuad Amin bak raja yang bebas berbuat sekehendak hati dan tanpa kontrol yang tak terbatas. Gambaran ini tercermin dari kekuatan politiknya yang bukan sebatas ada di jejaring internal pemerintahan dan partai politik, tetapi menyebar ke setiap penjuru ormas, institusi pendidikan, dan kelompok-kelompok informal.

Kata Kunci: Orang Kuat Lokal, Bos Lokal, Oligark Lokal, Kekuasaan Politik, Fuad Amin.


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Proses penyusunan skripsi yang memakan waktu berbulan-bulan ini penulis akui adalah berkat bantuan yang diberikan oleh banyak pihak. Baik bantuan berupa saran maupun materil. Untuk itu, penulis patut mengucapkan rasa terima kasihnya pertama-tama kepada:

1. Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fisip UIN Jakarta. 2. Dr. Iding R. Hasan M.si selaku kepala jurusan Ilmu politik. 3. Dr. Chaider S. Bamualim M.A selaku dosen pembimbing.

4. Orang tua yang selalu memotivasi penulis untuk sesegera mungkin menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Seluruh jajaran dosen ilmu politik FISIP UIN Jakarta.

6. Ela, Ima, Ali, Ikbal, Ilham, kawan-kawan angkatan, kawan-kawan kampung, kawan pondok, kawan PMII, dan kawan-kawan diskusi, yang namanya tidak bisa penulis sebut satu persatu. Terima kasih banyak atas motivasinya, mengutip puisi Sutan Takdir: “segala kulihat segala membayang, segala kupegang segala mengenang,” kalian merupakan bagian sejarah kenangan yang tak terlupakan.

7. Lembaga TII (Transparancy International Indonesia) yang karenanya penulis mendapatkan beasiswa penelitian dan masukan berharga di beberapa panel diskusi yang diadakan.


(8)

vii

8. Dan terakhir, rasa terima kasih ini khususnya penulis tujukan kepada seluruh narasumber di Bangkalan. Yang demi keselamatan mereka tidak bisa penulis sebutkan namanya dengan terang. Narasumber amat terbuka memberikan informasinya atas data-data yang penulis perlukan selama berlangsungnya wawancara. Seanjang menetap di Bangkalan, banyak sekali pengalaman berharga yang penulis dapatkan. Pengalaman itu kiranya akan selalu penulis ingat dan menjadi pelajaran bagi perjuangan hidup ke depan. Semoga segala pengorbanan demi mewujudkan Bangkalan menuju arah yang lebih baik tidak berakhir sia-sia. Terima kasih untuk semuanya.

Depok, 26 Maret 2016


(9)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar III.1 Peta Madura... 58 Gambar III.2 Peta Bangkalan ... 65


(10)

ix

DAFTAR BAGAN

Bagan IV.1 Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2003-2008 ... 100

Bagan IV.2 Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2008-2013 ... 101

Bagan IV.3 Garis Keturunan Syaikhona Kholil ... 146


(11)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Tinjauan Pustaka ... 15

F. Metodelogi Penelitian ... 22

G. Teknik Pengumpulan Data ... 23

H. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II KERANGKA TEORI A. Teori Local Strongmen/Orang Kuat Lokal... 25

B. Teori Local Boss/Bos Lokal ... 35

C. Teori Oligarki ... 45

BAB III PROFIL BANGKALAN A. Geografi dan Demografi Pulau Madura ... 57

B. Tinjauan Singkat Kabupaten Bangkalan ... 64

C. Islamisasi dan Simbol Kiai dalam Perspektif Masyarakat Madura ... 67

D. Blater Sebagai Orang Kuat Lokal Madura ... 80

BAB IV DINAMIKA KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI BANGKALAN A. Terbentuknya Kekuasaan Politik Fuad Amin... 89

B. Fuad Amin dan Lanskap Orang Kuat Lokal di Bangkalan ... 107


(12)

xi

D. Friksi Bani Kholil ... 143

E. Kondisi Civil Society Selama Kepemimpinan Fuad Amin ... 148

F. Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2003 ... 175

G. Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2008 ... 190

H. Jaringan Kiai Fuad Amin... 209

I. Pencalonan Putranya, Makmun Ibnu Fuad ... 218

J. Penjegalan Imam Bukhori Kholil ... 223

K. Oligark Lokal... 243

L. Stagnasi Demokratisasi Parpol di Bangkalan ... 248

M. Intimidasi dan Strategi Ketergantungan Kepala Desa ... 259

N. Modus Korupsi Fuad Amin ... 270

O. Sumber Kekuasaan Fuad Amin ... 277

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 283

B. Saran ... 288

DAFTAR PUSTAKA ... 290


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1998 merupakan tonggak awal proses perubahan sistem politik di Indonesia. Jika di tahun sebelumnya Indonesia mengalami depolitisasi, maka di tahun tersebut Indonesia mengalami masa transisi menuju reformasi. Reformasi, dalam Kamus Merriam Webster didefinisikan sebagai “the act or process of improving something or someone by removing or correcting faults, problems, etc.” (Sebuah tindakan atau proses untuk meningkatkan sesuatu/seseorang dengan menghapus atau memperbaiki kesalahan, masalah, dll).1

Secara kontekstual, perubahan dan perbaikan yang dituntutkan saat itu adalah terkait dua isu penting, pertama menyangkut soal ekonomi, kedua menyangkut soal politik. Dalam ekonomi, masyarakat mengharapkan adanya perbaikan perekonomian; turunnya harga barang pokok, berkurangnya pengangguran, dan adanya peningkatan kualitas standar hidup mereka. Sedangkan dalam politik masyarakat mengharapkan Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.

Pada dasarnya, reformasi sedikitnya telah membawa angin segar bagi kerangka kehidupan baru masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Harapan-harapan akan adanya Indonesia yang lebih baik dan lebih terbuka serta anggapan bahwa reformasi merupakan simbol era pencerahan, setidaknya telah memberikan

1 Merriam-Webster, “Simple Definition of Reformation,” artikel diakses pada tanggal 23 Februari 2016 dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/reformation


(14)

2

sinyal optimisme dan dianggap akan mampu membawa banyak dampak perubahan. Dua diantara beberapa perubahan yang paling fundamental dari implikasi lahirnya reformasi ini adalah mulai terbukanya ruang ekspresi publik, dan tuntutan daerah untuk andil bagian dalam pengelolaan wilayahnya sendiri. Ikhwal terakhir ini, kita biasa menyebutnya dengan istilah desentralisasi, atau pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah.

Desentralisasi, di era reformasi, tentu merupakan wacana dan terobosan baru bagi sistem politik kita. Sekalipun undang-undang yang mengatur jalannya pemerintahan daerah sebetulnya juga pernah mewarnai lanskap perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak jaman penjajahan. Terhitung semenjak kolonialisme sampai berakhirnya rezim orba, setidaknya ada 7 undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah di dalamnya: Decentralisatiewet 1903, Wet op de Bestuurshervorning (stb 1922/216), Osamuseirei No. 27 tahun 1942, UU No. 1/1945, UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974.2 Namun, undang-undang tentang pemerintahan daerah yang terbit pada era reformasi, lewat implementasi desentralisasi dan otonomi daerah, memiliki esensi yang berbeda dari era-era sebelumnya tersebut. Apalagi bila dibandingkan dengan undang-undang pemerintah daerah pada era Orde Baru (1966-1998), yang dicitrakan sebagai rezim diktatorial yang sentralistis yang keberadaannya justru mengkooptasi ruang kebebasan bagi masyarakat untuk turut serta mengelola negara.3

2 Wasisto Raharjo Jati, “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema Sentralisasi atau Desentralisasi,” Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 4, (Desember 2012).


(15)

3

Kehadiran desentralisasi pasca meletusnya gelombang aksi dan demonstrasi, merupakan fakta penting yang mesti tidak ditunda lagi saat itu. Setidaknya ia telah menjadi salah satu kebutuhan mendesak yang amat urgen. Hal ini mengingat banyaknya daerah yang mengancam untuk keluar dari barisan NKRI jika hak-hak politiknya tidak terpenuhi. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, daerah termarjinalkan. Mereka hanya menjadi penonton bagi kekayaannya sendiri yang dirampas, dikeruk, dan dieksploitasi oleh pusat. Artinya, pola sentralistik adalah paradigma satu-satunya yang membingkai hubungan pusat-daerah yang diaplikasikan secara otoritatif oleh pemerintahan era Soeharto waktu itu.

Di tengah gejolak tuntutan itu, akhirnya UUD No. 22 tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah dirumuskan dan disetujui oleh eksekutif dan legislatif di bawah kendali pemerintahan Habibie. Hal ini sedikitnya mampu meredam instabilitas disintegrasi bangsa kala itu. Di antara beberapa daerah yang menuntut memisahkan diri waktu itu antara lain: Aceh, Papua, Timor Timur dan Riau – sekadar menyebutkan.4

Di samping melahirkan konsep desentralisasi – sebagai media antisipasi gejolak yang terjadi di daerah, reformasi juga telah mencetuskan apa yang kita kenal dengan kebijakan pemekaran daerah (redistricting)5 dan juga melahirkan sistem turunannya berupa pilkada langsung. Sekalipun kemunculan sistem pilkada langsung ini datang agak belakangan.

4 Ibid, h. 7.

5 Istilah redistricting digunakan oleh Leo Agustino untuk membedakan pemahaman terhadap

“pemekeran wilayah” dalam arti yang sebenarnya. Pemekaran wilayah secara denotasi adalah

bertambah luasnya suatu wilayah, tetapi maksud yang dituju bukanlah itu. Yang dimaksudkan adalah bertambahnya jumlah wilayah baru. Maka untuk meminimalisir kerancuan tersebut, Leo menggunakan istilah redistricting yang artinya pemekaran jabatan.


(16)

4

Menurut Leo Agustino, kebijakan redistricting merupakan sebuah upaya dan usaha dari pemerintah untuk menciptakan tranformasi pelayanan publik yang lebih komperehensif di masyarakat, agar keberadaan negara benar-benar dirasakan dan sampai menyentuh masyarakat lapisan bawah – yakni sampai kepada masyarakat di pelosok daerah terpencil sekalipun. Intinya adalah agar distribusi kesejahteraan merata. Tidak hanya sebatas dirasakan oleh masyarakat kota.6 Sedangkan adanya mekanisme pilkada langsung merupakan sebuah manifestasi yang menggambarkan terwujudnya masyarakat merdeka. Masyarakat yang bebas menentukan siapa saja pemimpin yang pantas bagi mereka.7 Upaya ini dilakukan dan ada sebagai wahana pengikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan urusan-urusan negara, pembalikan logika orde baru yang bertubi-tubi mengalienasi

masyarakat dari negara.

Secara diametral, tambah Leo, ada dua faktor; dampak positif dan negatif yang saling berhadap-hadapan sewaktu munculnya konsep otonomi daerah (desentraliasasi) di satu sisi dan redistricting (pemekaran jabatan ke daerah) di sisi lain.8 Dan penulis yakin, bahwa konsep turunannya, seperti lahirnya pilkada langsung - yang juga tidak disertai pendidikan politik yang memadai - juga menambah daftar kompleksitas serta kesemrawutan di dalam kehidupan politik kita era reformasi ini. Selain faktor positif yang telah disebutkan di awal tulisan, seperti hadirnya kebebasan, keadilan yang merata, dan efisiensi pelayanan publik, konsep sistem politik baru pasca reformasi seperti ini juga setidaknya menyimpan

6 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi (Widya Padjadjaran, 2011), h. 31.

7 Ibid, h. 31. 8 Ibid, h. 51.


(17)

5

banyak cacat, ambivalen secara bersamaan.9 Maraknya praktik KKN dan tumbuhnya pemerintahan model dinasti merupakan contoh kecil dari berbagai dampak negatif yang dihasilkan sistem desentralisasi. Ekses negatif yang paling menonjol dari proses transisi ini adalah meruaknya praktek oligarki yang menggurita ke tingkatan lokal. Reformasi nyatanya telah melahirkan “Soeharto” baru dalam alam yang berbeda. Hal ini terlihat paradoks, karena di satu sisi reformasi menumbuhkan harapan, tapi di sisi lain ternyata reformasi adalah bagian penerusan warisan praktek oligarki yang tak kunjung selesai. Tetapi harus digarisbawahi, bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, menurut Syarif Hidayat, tidak melulu merupakan faktor utama maraknya penyelewengan kekuasaan di tingkat lokal, perubahan paradigma relasi state-society di jaman orba dan reformasi, juga turut berperan sebagai unsur penyumbang berkembangnya kekuatan-kekuatan dominan yang menghambat laju perkembangan sosial, ekonomi, politik, di masyarakat lokal.10

“...bahwa secara substansial, tidak semua permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di daerah saat ini merupakan implikasi langsung dari implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Tetapi lebih sebagai akibat dari adanya pergeseran pola interaksi antara state

dan society pada periode pemerintahan pasca Soeharto”11

Hal ini juga sepadan dengan komentar Rahadi T Wiratama dalam catatannya selaku editor dalam buku Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, menurutnya, Vedi R Hadiz telah berhasil memberikan gambaran umum bahwa demokrasi pasca Soeharto

9 Ibid, h. 51.

10 Syarif Hidayat, “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten,” dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014), h. 302.


(18)

6

merupakan era di mana para oligark (kolega, kerabat pewaris orba) beradaptasi dengan mekanisme prosedural formal baru – dengan memanfaatkan instrumen politik yang tersedia, seperti partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi.12 Jadi, tumbangnya Soeharto bukan berarti menghilangkan tradisi oligarki yang kadung mewabah di masa itu, melainkan meneruskan jenjang serta melahirkan sistem oligarki dengan jenis yang baru.

Menggeliatnya sepak terjang para oligark yang bermain di wilayah lokal pasca reformasi secara rasional memang terkesan wajar, karena hal itu menjadi kesempatan langka bagi mereka (orang kuat lokal) untuk dapat menancapkan cakarnya lebih dalam ke pusat arus kuasa lokal. Yang tidak mungkin mereka lakukan saat Soeharto masih eksis berkuasa. Lantaran di zamannya, Soeharto tidak memberikan celah sedikitpun bagi keberadaan para penentang dan pesaingnya untuk berkembang. Di mana ia selalu berupaya mencengkeram eksistensi mereka di berbagai sudut dimensi kehidupan ekonomi-politik. Maka tak heran bila dalam hal ini Winters kemudian menyebut Soeharto sebagai oligarki sultanistik.13 Kategoristik yang Winters sematkan kepada jenis kepemimpinan Soeharto ini tidak terhindar dari eksistensi Soeharto yang menjadi satu-satunya kekuatan tunggal dari pada oligark yang dominan.

12 Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), h. xxii.

13 Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33 (2014): h. 15.


(19)

7

Dalam diskursus politik lokal, para oligark aras lokal ini sering diketemukan dalam bentuknya sebagai “orang kuat lokal” (local strongmen)14 atau para “bos lokal” (local bosses).15 Bertambah kuatnya eksistensi orang kuat lokal (local strongmen, istilah Migdal) - karena pusat tak lagi mengontrol keberadaan mereka, atau mengguritanya para bosisme (bossism, format baru local strongmen versi Sidel) merupakan reduksi atas nilai-nilai demokrasi di sektor bawah tersebut. Dan tak jarang, bahkan kebanyakan, antara “local strongmen, bangsawan, serta birokrat/politisi lokal”16 pasca Soeharto, melakukan persekongkolan untuk menghisap proyek-proyek negara yang dulu banyak dikerjakan oleh pusat. Kendatipun untuk beberapa kasus, mereka pun acapkali terlibat sengit dalam persaingan.17 Hanya saja, persaingan atau kerjasama yang mereka lakukan, tetap dan tidak terlepas dari kepentingannya untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta kekayaan bagi kemakmuran mereka sendiri, dari pada untuk kepentingan rakyat.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, desentralisasi, redistricting dan pilkada langsung merupakan wahana peralihan paradigma dari stationary bandits ke roving bandits.18 Penjelasan tentang stationary bandits dan roving bandits

14 Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era

Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 17. 15 Ibid, h. 20.

16 Klasifikasi kekuatan politik di tingkat lokal menurut Leo Agustino dibagi ke dalam tiga arus utama: pertama adalah para birokrat yang berasal dari bangsawan, kedua birokrat yang berasal dari masyarakat awam, ketiga adalah para orang kuat lokal (Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, 2011, h. 64).

17 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 61-67.

18 Pembacaan penulis terhadap stationary bandits dan roving bandits merujuk pada bab yang ditulis khusus oleh Leo soal Local Strongmen dan Roving Bandits. Stationary bandits merupakan bandit kelas kakap yang memiliki bawahan orang-orang kuat lokal yang tersebar di seluruh pelosok wilayah, dan mereka bertanggung jawab terhadapnya. Sedang roving bandits merupakan


(20)

8

seperti diungkapkan oleh McGuire dan Olson yang penulis kutip dari Leo Agustino adalah sebagai berikut::

“Stationary Bandits are rulers without a long lasting base..., they also want to maximize their own incomes. Sedangkan Roving Bandits are rulers without a realm of their own who use their armies to maximize their own incomes. In doing so, roving bandits are perpetually moving around, leaving a place after is plundered. In this respect they are very similar to nomads. The form of organization that result from this behavior is called anarchy (McGuire & Olson 1996:63).”19

“Bandit Menetap adalah penguasa tanpa basis yang tahan lama ..., mereka ingin memaksimalkan pendapatan mereka sendiri. Sedangkan Bandit Pengembara adalah penguasa tanpa ranah yang menggunakan tentara untuk memaksimalkan pendapatan mereka. Dalam praktiknya, Bandit Pengembara- terus menerus bergerak, meninggalkan tempat setelah menjarahnya. Dalam hal ini mereka sangat mirip dengan kaum nomaden. Bentuk organisasi yang dihasilkan dari perilaku ini disebut anarki (McGuire & Olson 1996:63).” (Terjemahan dari penulis)

Dari sudut pandang historis, keberadaan orang kuat lokal atau local strongmen20

dan bosisme atau bossism21 di jaman orde baru dapat dikategorikan ke dalam dua posisi yang berbeda. Jika bukan kepanjangan tangan orde baru, mereka adalah kaum oposisi yang kontra terhadap orde baru. Selepas orba runtuh, dan reformasi diaplikasikan dalam bentuk mekanisme otonomi daerah serta pilkada langsung, kedua kelompok ini akhirnya berebut ambisi; saling berkompetisi untuk bagaimana menguasai daerah yang tidak lagi dikontrol oleh pusat. Peralihan dari sentralisme ke polisentrisme faktanya telah dijadikan ladang perebutan kekuasaan oleh mereka. Kembalinya kaum oposisi yang selama zaman orba dibungkam dan ditindas ke gelanggang politik lokal, memberikan dimensi ketegangan baru

orang kuat lokal, bawahan stionary bandits yang menancapkan pengaruhnya sebagai raja lokal ketika stationary bandits runtuh (Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, 2011, h. 33).

19 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 33.

20 Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 17.


(21)

9

dengan kelompok yang dulu menyokong orba di ranah politik lokal. Bahkan kelompok-kelompok tersebut, baik yang pro maupun yang kontra terhadap orba, menggunakan berbagai cara untuk menghantarkannya menjadi raja lokal kedaerahan.22 Seluruh potensi sumber daya kekuasaan dipraktikkan, termasuk suap dan kekerasan (koersif).

Fenomena bos ekonomi (bossism) dan orang kuat lokal (local strongmen) dalam mobilitas sosial, ekonomi, dan politik di struktur lokal memberikan sinyalemen kepada kita bahwa tidak selamanya reformasi selalu membawa dampak yang baik. Bukti di lapangan menunjukan, tradisi orde baru yang sarat dengan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) pun marak terjadi di daerah pasca reformasi diimplementasikan. Para bosism dan local strongmen, pasca mereka mencapai tampuk kekuasaan, dengan kewenangan yang mereka miliki, juga melakukan hal yang serupa; represif, koruptif, kolutif, dan nepotistik. Sama seperti yang dulu pernah dipraktikkan ketika Soeharto berkuasa. Adanya desentralisasi, seolah-olah hanya mempolarisasikan praktek tersebut. Impaknya, kini KKN tidak lagi terpusat, melainkan menyebar ke segala penjuru daerah. Bahkan mendagri di kabinet Presiden SBY, Gamawan Fauji, mengatakan bahwa lebih 115 dari 524 kepala daerah menjalani proses hukum dan kebanyakan terjerat kasus korupsi.23 Kasus-kasus tersebut sampai sekarang masih banyak yang ditangani oleh KPK dan selebihnya sudah mendekam dalam penjara.

22 Mohammad Agus Yusoff dan Leo Agustino, “Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru,” Jebat: Malaysian Journal of History, Politics & Strategic Studies, Vol. 39 (July 2012): h. 86.

23 Fitriyah, “Kekerasan, Korupsi dan Pemilukada,”artikel diakses pada tanggal 11 Maret 2015 dari http://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3152/2829


(22)

10

Kinerja para kepala daerah, dalam pusara perubahan menjadi semacam parasit di tengah asa yang baru pulih. Pengkorupsian aset dan sumber daya daerah secara besar-besaran, jika bukan rampok, apalagi bahasa yang pantas untuk mereka? Canggihnya, mereka melakukan berbagai penyimpangan itu melalui mekanisme lain yang lebih ekslusif, yaitu melalui pembentukan sistem kerja pemerintahan „dinasti politik‟, - sebuah konsep dan metode “KKN” yang dilakukan secara sistemik dan tertutup. Lahirnya pemerintahan dinasti seperti itu tidak terhindar dari kokohnya dominasi sang elit.

Larangan politik dinasti memang tidak tertuang dalam peraturan perundang-undangan, sebab masing-masing warga negara memiliki hak yang setara dan egaliter, untuk atau tidak berpolitik; untuk mencalonkan atau dicalonkan. Kebebasan egaliter ini nyatanya telah dijamin dalam konstitusi kita. Di sinilah dinasti politik menjadi semacam problem dilematis bangsa. Karena di satu sisi, model pemerintahan dinasti lahir sebagai pengejewantahan hak politik bagi warga negara. Tapi di sisi lain, model pemerintahan dinasti politik - dengan kewenangan yang besar, dan dominasi yang tersebar - rentan menciptakan dan terjadinya penyelewengan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Lord Acton: “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutelly.”24

Secara definitif, pengertian dinasti politik seperti yang penulis sadur dari Leo Agustino adalah suatu “kerajaan politik di mana elit menempatkan keluarganya, saudaranya, dan kerabatnya di beberapa pos penting pemerintahan


(23)

11

baik lokal ataupun nasional.”25 Singkatnya, dengan dinasti politik, elit membentuk strategi semacam jaringan kerajaan yang terstruktur dan sistematis, supaya penyelewengan berbagai anggaran pemerintahan dapat diakal-akali secara efektif dan terselubung. Pada prosesnya, dibutuhkan konsep matang untuk membangun sebuah dinasti. Praktek kedinastian bukanlah usaha instan. Usaha ini memerlukan strategi canggih dan konsep jitu. Penempatan satu persatu keluarga dan para kerabat di berbagai pos jabatan penting bukanlah perkara mudah. Agar tidak menuai protes dan kecaman, tak mungkin dilakukan tanpa melewati penghegemonian dan dominasi di segala dimensi: baik sosial, ekonomi maupun politik. Praksisnya, keterbentukannya dipersiapkan matang-matang agar permanen dan kontinuistik.

Salah satu dinasti politik yang saat ini mendapatkan sorotan khusus di antaranya adalah dinasti Fuad Amin di Bangkalan. Fuad adalah mantan Bupati Bangkalan yang selama dua periode berturut-turut memenangkan kontestasi pilkada. Setelah dua periode memimpin Bangkalan, di tahun berikutnya ia mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, dan terpilih. Kemudian Fuad Amin didaulat untuk menjadi ketua DPRD Bangkalan. Anaknya, di periode yang sama, berhasil pula menjadi Bupati Bangkalan, meneruskan estafet kepemimpinannya. Dalam satu periode tersebut, anak dan ayah sama-sama menguasai dua sektor paling krusial, yakni eksekutif dan legislatif.

Bangkalan merupakan wilayah administratif (kabupaten) yang masuk ke dalam bagian Provinsi Jawa Timur. Bangkalan bukanlah wilayah redistricting

25 Ibid, h. 130.


(24)

12

sebagaimana Banten dan beberapa daerah baru lainnya yang lahir pasca orde baru. Dan sama halnya dengan beberapa daerah lainnya di Indonesia, sewaktu otonomi daerah digulirkan, seluruh kekuatan sosial di Bangkalan berebut untuk saling adu kuasa. Sejalan dengan apa yang Huntington katakan bahwa proses transisi yang tanpa diikuti pranata politik yang mapan hanya akan menyebabkan perebutan kekuasaan yang tidak sehat di antara kelompok-kelompok sosial masyarakat.26 Kondisi seperti ini lazim di negeri yang baru pertama mengalami demokratisasi, sehingga mobilisasi lebih mungkin terjadi ketimbang partisipasi.

Asumsi awal terbentuknya dinasti politik di bawah kepemimpinan Fuad Amin bisa dilihat dari beragam faktor, pertama dimungkinkan karena alam reformasi tidak diimbangi oleh pranata hukum yang siap, baik dari segi yuridis maupun manusianya. Artinya suprastruktur dan infrastruktur hukum belum teguh, tegak, dan mapan. Kedua, civil society masih lemah, tidak terintegrasi dalam satu kekuatan dominan. Ketiga, karena Fuad Amin merupakan salah satu cicit Kyai Kholil Bangkalan yang merupakan ulama besar NU kharismatik yang banyak dijadikan rujukan ilmu kegamaan. Di tengah masyarakat religius, penghormatan khidmat kepada para kyai dan keturunannya merupakan sebuah tradisi lahiriah yang wajib, ditambah, agama merupakan faktor pemersatu identitas masyarakat Madura.27 Penghormatan masyarakat Bangkalan terhadap Fuad Amin salah satunya bersumber dari faktor tersebut. Keempat, karena posisi Fuad sebagai

blater (baca: jawara), yang memudahkan dirinya menghegemoni

26 J.W. Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), h. 186.

27 Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,

Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto, ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 216.


(25)

13

kekuatan sosial di Bangkalan. Menurut Abdur Rozaki, sebagaimana penulis kutip langsung dari wawancaranya dengan majalah detik, ia mengatakan:

“Kelihaian bermain di dua basis masyarakat, blater dan pesantren, menurut

Abdur, melanggengkan kekuasaan Fuad. Mayoritas kepala desa (klebun) di Bangkalan yang menjadi tangan kanan Fuad adalah blater itu. Supaya loyal,

para klebun itu disuruh membuat perusahaan lalu diberi proyek.”28

Bukti yang menggambarkan amat berpengaruhnya sepak terjang Fuad Amin di Bangkalan adalah terlihat dalam sebuah pemberitaan yang dirilis oleh majalah detik, bahwa menurut majalah tersebut, Fuad Amin digelari “Kanjeng atau Tuhan Kedua” oleh sebagian masyarakatnya.29

Praktek kedinastian atau kekerabatan yang terjadi di Bangkalan, penulis rasa sudah menembus batas etis dan moral. Dengan memanfaatkan wibawa dan nama besar “Kyai Kholil Bangkalan” sebagai legitimasi atas kontrolnya pada masyarakat, tentu ada sebuah pembodohan masif pada masyarakat yang mesti segera dicerkaskan, agar masyarakat mulai rasional menanggapi dimensi keagamaan dan politik praktis secara berbeda. Supaya eksistensi politik dinasti bukan lagi dianggap sebagai hal mafhum dan wajar oleh sebagian masyarakat awam, melainkan pengejewantahan oligarki baru era reformasi. Sebab itulah dinasti politik di Bangkalan sebagai impak dari adanya dominasi yang kuat sangat penting untuk diteliti, untuk melihat faktor-faktor penunjang keajegan dan kekokohannya dalam masyarakat yang demokratis.

28 “Dinasti Tuhan Kedua di Bangkalan,” Majalah Detik, edisi 161 (29 Desember 2014 - 4 Januari 2015).

29 “Dinasti Tuhan Kedua di Bangkalan,” Majalah Detik, edisi 161 (29 Desember 2014 - 4 Januari 2015).


(26)

14 B. Pertanyaan Penelitian

Dalam merumuskan masalah pada penelitian ini, penulis mencoba membatasinya dengan dua pertanyaan, yakni:

1. Bagaimana proses terbentuknya kekuasaan politik Fuad Amin di Bangkalan?

2. Bagaimana dinamika kekuasaan politik Fuad Amin?

3. Bagaimana kondisi civil society selama kepemimpinan Fuad Amin? C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok masalah tersebut diatas, penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui dan menganalisa pola terbentuknya kekuasaan politik Fuad Amin di Bangkalan.

2. Untuk mengetahui dinamika politik Fuad Amin di Bangkalan.

3. Untuk mendalami kondisi civil society selama kepemimpinan Fuad Amin di Bangkalan.

D. Manfaat Penelitian

Sebagai sebuah penelitian yang berorientasi atas asas manfaat, peneliti membagi manfaat penelitian kedalam tiga aspek manfaat.

1. Manfaat Akademis

Secara akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur tambahan, referensi tambahan dan informasi bagi para peneliti yang tertarik pada isu-isu politik lokal – sebagai bentuk ijtihad bagi kemajuan ilmu politik. Selain itu, hasil penelitian pun dapat dijadikan bahan rekomendasi bagi masyarakat setempat untuk membangun civil society yang kuat – yang sadar bahwa dominasi yang


(27)

15

berlebihan adalah buruk bagi masa depan demokrasi. Orientasi akademis lain dari penelitian ini setidaknya memberikan gambaran bagaimana terciptanya Good Governance di lingkungan pemerintahan lokal.

2. Manfaat Praktis

Hakikatnya, penelitian ini dilakukan atas dasar kegelisahan pribadi dalam melihat fenomena mandegnya pembangunan di daerah-daerah yang memiliki pola pemerintahan dominasi tunggal. Karena penulis sendiri merasakan betapa civil society tidak berkembang sama sekali di daerah-daerah tersebut. Sekalipun ada itu pun hanya suara-suara kecil saja. Karena kegelisahan tersebut akhirnya penulis harapkan penelitian ini bukan hanya dijadikan sebagai hasil penelitian secara tertulis, tetapi lebih dari itu dapat dijadikan solusi sekaligus aksiologi - mampu diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

E. Tinjauan Pustaka

Term dominasi dan munculnya dinasti politik di berbagai daerah pasca reformasi khususnya, menjadi wacana serta diskursus menarik dalam kajian politik kontemporer masa kini. Permasalahan utama kedinastian yang merebak dan melanda beberapa segmentasi kehidupan politik di tanah air ditengarai telah memunculkan rasa ketidakadilan dari segelintir elit yang turun temurun mempertahankan status quo mereka. Apalagi kinerja elit yang duduk di jabatan publik tidak mampu bekerja dengan maksimal, bahkan kinerja mereka terkesan asal-asalan. Maindset yang tertanam dalam diri para birokrat kita bukan untuk melayani, melainkan mencari keuntungan sebesar-besarnya dari posisi yang mereka duduki. Mereka lebih mengedepankan ego sektoral ketimbang murni


(28)

16

mengurus rakyatnya sendiri. Tak ayal akhirnya rakyat kecewa dengan praktek dominasi dan dinasti seperti ini.

Pemerintahan dengan model dinasti politik yang terjadi di alam demokrasi memang tidak terlepas dan bersumber dari keterpilihan masing-masing individu dalam setiap pemilihan, baik pileg, pilbup, pilgub, maupun pilpres. Pendeknya dinasti politik adalah hak, dan demokrasi membuka ruang sebebas-bebasnya kepada rakyat, kepada siapapun, untuk memilih atau tidak memilih, untuk mencalonkan atau tidak mencalonkan, sesuai preferensi masing-masing. Hanya saja, reformasi yang baru berlangsung, tidak secepat kilat memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga mobilisasi massa lebih menonjol ketimbang partisipasi murni. Praktik patronase politik menjadi wacana substantif dalam mobilisasi tersebut. Padahal syarat berkembangnya pembangunan politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Lucian Pye, bertalian erat dengan masalah

mobilisasi dan partisipasi seperti ini.30 Partisipasi bersumber dari kesadaran masyarakat atas politik, sedangkan mobilisasi muncul lantaran masyarakat belum mengerti arti penting politik dalam marwah kehidupan mereka sehari-hari. Terbentuknya dinasti politik merupakan faktor dari latar belakang dan problem seperti itu.

Karenanya, tema yang menyangkut dinasti politik banyak diminati. Di antara mereka adalah Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof (2012):

Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di Indonesia Pasca Orde Baru. Di dalam artikel yang diterbitkan oleh Malaysian Journal of History,

30 Lucian Pye, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), h. 22.


(29)

17

Politics & Strategic Studies, Leo dan Yusof menitikberatkan penelitian mereka pada politik lokal di Indonesia setelah 1998 dan sebelum tahun tersebut. Dari penelitiannya didapatkan bahwa gelombang demokratisasi tidak selamanya berakhir dengan hasil yang sempurna. Negara-negara seperti India, Brazil, Filipina, Thailand, Nigeria dan Peru mengalami nasib yang kurang baik, berkebalikan dari esensi demokrasi yang diharapkan pada umumnya. Fakta lain pasca demokratisasi dikumandangkan malah memicu terbentuknya sistem otokratik semi pada politik lokal di negara-negara tersebut. Kemunculan para orang kuat lokal serta bos ekonomi di kancah politik lokal merupakan bukti betapa demokratisasi pun nyatanya dapat lahir dengan wajah lain.31

Esensi demokratisasi sebenarnya adalah untuk membebaskan masyarakat dari belenggu otoritarian, sebuah transformasi nilai dari masyarakat tertutup kepada masyarakat yang lebih terbuka, sehingga masyarakat mendapatkan hak politiknya secara proporsional, terbentuknya civil society yang mapan, dan adanya

check and balance yang konstruktif. Tapi di tengah proses pendemokratisasi-an tersebut, nyatanya demokratisasi juga telah ditunggangi oleh para free rider yang kurang lebih memanfaatkan momen untuk adu kuasa baru. Setelah bertahun-tahun dibungkam hak politiknya oleh rezim otoriter, hasrat untuk menjadi raja kecil di daerah mewabahi segenap elemen masyarakat di spektrum lokal. Begitupun dengan demokratisasi di Indonesia, yang tak luput dari keberadaan para pembajak demokrasi tersebut. Saat demokratisasi berlangsung, banyak di antara mereka, khususnya para pemain politik lokal yang juga memanfaatkan momen reformasi

31 Mohammad Agus Yusoff dan Leo Agustino, “Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi:

Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru,” Jebat: Malaysian Journal of History, Politics & Strategic Studies, Vol. 39 (July 2012): h. 78-82.


(30)

18

sebagai wadah arena persaingan untuk berkuasa. Mereka umumnya para elit lokal yang dulu saat zaman orba adalah para penyokong, maupun kalangan yang beroposisi terhadap Soeharto.

Padahal gambaran politik lokal sebelum orde reformasi lahir, berada dalam posisi yang sangat monoton, sebab daerah tidak memiliki wewenang untuk mengurus daerahnya secara mandiri. Daerah seolah-olah hanyalah wayang, dan pusat adalah sebenar-benarnya dalang. Seluruh kebijakan serta wewenang daerah dikendalikan oleh pusat sepenuhnya. Begitu kuatnya pusat, daerah seakan-akan sekadar dijadikan sebagai lumbung kekayaan pusat semata; yang dikeruk kekayaannya namun tidak diperhatikan keberadaannya.32 Tetapi setelah reformasi 1998 meletus, daerah seperti mendapatkan angin segar untuk bangkit. Hiruk pikuk kehidupan politik yang pelik di masa orde baru seolah-olah sirna dengan datangnya zaman reformasi. Harapan baru demi terwujudnya demokrasi yang utuh-penuh, hinggap pada segenap masyarakat di daerah. Karena jika selama masa orde baru mereka tidak bisa mendapatkan hak politiknya, maka di era reformasi harapan akan mendapatkan hak politiknya datang kembali.

Tetapi, hasil penelitian Leo dan Yusof mendapatkan fakta lain. Politik lokal mengalami “bulan madunya” (istilah Leo dan Yusof) sebagai daerah yang didamba hanya beberapa tahun saja. Setelahnya, lanskap politik lokal di daerah kembali ke wajah bopeng seperti zaman orba sedia kala. Kehidupan atau dinamika politik yang berlangsung beberapa masa selanjutnya hampir serupa dengan zaman

32 Ibid, h. 82.


(31)

19

Soeharto.33 Tumpuan permasalahan dari ketidakberubahan politik lokal pasca reformasi menurut mereka ada pada eksistensi “orang kuat lokal”. Orang kuat lokal ini terbagi menjadi dua. Pertama adalah penyokong orba, dimana ketika Soeharto masih berkuasa, Soeharto tempatkan orang-orangnya di daerah. Tugas mereka di daerah adalah untuk menjaga stabilitas daerah dari berbagai macam bentuk protes dan aksi. Orang-orang peliharaan ini merupakan orang kuat yang disegani – jika bukan karena yang ditakuti. Dan yang kedua adalah orang-orang yang kontra terhadap Soeharto. Dua kelompok inilah yang nantinya kebanyakan saling berebut kuasa di arena politik lokal sewaktu pilkada langsung diimplementasikan. Dan saat reformasi memberikan nuansa baru dengan harapan adanya kemajuan daerah yang lebih konstruktif, lagi-lagi yang hadir malah reduksi dari nilai tersebut. Daerah malah lahir dengan raja-raja kecil di dalamnya. Mereka mulai membangun model dinasti politik yang hampir mirip dengan apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dulu. Transisi orba ke reformasi nyatanya tidak serta merta membawa dampak perubahan ke daerah-daerah, malah zaman reformasi seolah-olah merupakan pembabakan baru neo-Soehartois. Karena sebagian penduduk masyarakat yang tergambarkan sebagai “orang kuat” di kedaerahan masih banyak yang mengutamakan ego nepotistik dibandingkan semangat kebersamaan untuk pembangunan.34

Selain tulisan Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof (2012) soal:

Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di Indonesia Pasca Orde Baru. Ada juga hasil analisa Wasisto Raharjo Djati yang penulis jadikan rujukan

33 Ibid, h. 86. 34 Ibid, h. 90-91.


(32)

20

tinjauan pustaka. Tulisan tersebut diterbitkan oleh jurnal sosiologi masyarakat, Pusat Kajian Sosiologi (Labsosio FISIP-UI), dengan judul Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal. Dalam tulisan tersebut, Wasisto melihat pembentukan dinasti politik dari sudut pandang berbeda pada umumnya. Jika kebanyakan ilmuwan melihat Dinasti Politik sebagai akibat adanya campur tangan “elit yang membajak demokrasi,” Wasisto lebih melihatnya dari proses internal familisme. Bahwa adanya elit kuat lokal hanyalah merupakan bagian dari faktor eksternal pembentukan dinasti politik saja, tetapi di sisi lain ada juga faktor internal yang melatarbelakanginya yakni bagaimana keluarga saling memberikan pengaruh terhadap preferensi pembentukan “dinasti politik”.

Dalam penelitiannya, disebutkan ada 3 unsur utama mengapa akhirnya Dinasti Politik lahir. Pertama, karena kegagalan partai lokal melakukan regenerasi politik. Kedua, biaya demokrasi partisipasi yang tinggi. Ketiga, adanya kekuatan antar elit yang tidak seimbang.35 Dari ketiga unsur tersebut, Wasisto melihat bahwa perumusan terbentuknya dinasti politik tidak hanya dapat dilakukan melalui pendekatan Neopatrimornialisme sebagaimana Haris (2007) dan Zuhro (2010), serta pendekatan Klan Politik sebagaimana Kreuzer (2005) dan Cesar (2013), dan pendekatan Poltik Predator sebagaimana Asako (2010) dan Mc Coy (1994) yang bertumpu pada tesis Migdal (1988) dan Sidel (2005), tetapi lebih dari itu juga dapat dilihat dari perspektif familisme.36

35 Wasisto Raharjo Djati, “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal,” Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol 18 No. 2 (Juli 2013: 203-231): h. 203. 36 Ibid, h. 204-206.


(33)

21

Perspektif familisme sebagaimana yang dikutip langsung dari penelitian Wasisto memberikan gambaran semacam ini:

“Pertama, analisis dinasti politik tidak boleh terpaku pada hubungan

patronase keluarga secara umum, tetapi lebih terspesialisasikan menurut preferensi politik keluarga yang terbagi dalam tiga hal, yakni familisme, quasifamilisme, dan ego familisme. Kedua, pembentukan dinasti politik dipahami dalam dua nalar besar yakni by design yang mengarah achieved status atau by design yang mengarah pada by accident. Kedua nalar itu penting untuk membantu kita agar tidak terjebak pada pemikiran elit. Ketiga, sumber dinasti politik tidak hanya relasi keluarga intim atau demokrasi pasutri yang selama ini selalu menjadi diskursus dominan, namun terdapat empat aspek, seperti tribalisme, feodalisme, jaringan maupun populisme.”37

Dari pembacaan penulis terhadap analisis penelitian Wasisto, setidaknya dia hendak mengemukakan bahwa pembentukan dinasti politik tidak hanya dapat dilihat dari perspektif elit yang sudah menjadi semacam kaca mata umum bagi para ilmuwan politik. Padahal melalui pendekatan familisme kita akan mengetahui bagaimana proses pembentukan dinasti politik itu terjadi. Familisme sendiri tidak terdeterminasi pada dorongan keluarga untuk membentuk atau tidak membentuk kekuasaan secara dinasti, tetapi juga dilihatnya berdasarkan pada dukungan dan dorongan dari masyarakat.38

Dengan penelitian yang sudah ada, seperti Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof serta Wasisto Raharjo Djati, yang telah mengupas tuntas apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya dinasti politik serta karakteristik lingkungan sosio politiknya. Sekalipun penelitian di atas tidak terkait dengan tema besar dominasi dan dinasti politik di Bangkalan, setidaknya penulis sudah mendapatkan gambaran umum tentang bagaimana perkembangan dinamika dinasti politik dari tahun ke tahun, baik itu sebelum era reformasi maupun

37 Ibid, h. 228-229. 38 Ibid, h. 229.


(34)

22

setelahnya. Ditambah referensi dari kedua tulisan tersebut setidaknya telah memberikan masukan berarti bagi penggunaan teori serta pendekatan metodologi sebagai “pisau analisis” pada tema yang akan penulis angkat. Karena penulis sendiri sadari, bahwa topik dinasti politik di Bangkalan masih baru, sehingga memerlukan literatur pendukung dari penelitian sejenis.

F. Metodelogi Penelitian

Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri merupakan sebuah metodelogi penelitian dengan ketajaman dan kedalaman peneliti atas konteks dan fenomena objek penelitian. Bahwa objek penelitian memiliki makna yang mesti dipahami secara mendalam, karena sifatnya interpretatif, maka peneliti mesti memahami dan mendalami makna dari beragam pemahaman yang berbeda-beda tersebut.39 Penelitian yang akan dilakukan merupakan kajian secara mendalam mengenai impak lahirnya dominasi Fuad Amin pada pembentukan dinasti politik. Mengapa dinasti politik muncul, dan bagaimana ia muncul, merupakan dua pertanyaan utama yang harus peneliti jawab. Selain itu, peneliti pun hendak mengkaji ulang apakah betul bahwa praktek intimidatif di lingkungan pemerintahan lokal masih berlangsung sehingga mobilisasi massa sangat mungkin dilakukan. Atau apakah legitimasi masyarakat pada pemerintahan dinasti bukan bersumber dari praktik intimidatif yang sebetulnya sudah terlalu kuno dipraktikkan, melainkan berasal dari budaya irasionalitas yang masih mengungkungi kesadaran masyarakat. Untuk itu, peneliti mesti menganalisa pola struktural masyarakat, baik itu dari


(35)

23

peninggalan-peninggalan sejarah berupa karya tekstual, dokumen resmi, maupun interaksi langsung dengan para ahli sejarah dan masyarakat Bangkalan.

G. Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara

Wawancara dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai prosesi tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal.40Karenanya, tekhnik wawancara ini sangat berguna untuk megelaborasi data serta pemantapan konteks mengenai wacana yang akan didiskusikan. Oleh karenanya, proses wawancara atas kasus yang hendak digarap akan dipusatkan terhadap beberapa nara sumber yang diantaranya adalah para keluarga Bani Kholil, Madura Corruption Watch (MCW), masyarakat dan pihak-pihak terkait.

2. Studi/Telaah Dokumentasi

Yang peneliti maksud dengan studi/telaah dokumentasi adalah pencarian literatur yang berkaitan erat dengan topik penelitian. Studi/telaah dokumentasi tersebut dapat berupa: artikel, jurnal, buku, catatan sejarah, koran, majalah, blog, dll.41

H. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang komperehensif dan saling berkorelasi antara bab yang satu dengan bab lainnya, maka penulis merunut topik penelitian masing-masing ke dalam 5 bab. Bab pertama menerangkan latar belakang penelitian, mengapa topik dominasi dan dinasti politik pada ranah

40 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1127. 41 Samiaji, Penelitian Kualitatif, h. 61.


(36)

24

politik lokal dianggap muhim sehingga dipilih menjadi tema yang akan diteliti. Bab kedua menjelaskan teori yang secara khusus digunakan sebagai pisau analisis

membedah tema yang diteliti, yang dalam hal ini penulis akan memaparkan apa itu local strongmen dan apa itu bosisme dan apa itu oligarki, dan bagaimana ketiga teori ini kompatibel untuk menerangkan munculnya dominasi dan dinasti politik. Bab ketiga merupakan deskripsi wilayah yang hendak diteliti. Dalam bab ini penulis menggambarkan bagaimana Bangkalan secara kultural, politik, ekonomi dan agama. Selanjutnya adalah bab keempat, pada bagian ini penulis menganalisa fenomena munculnya dominasi dan dinasti politik Fuad Amin di Bangkalan melalui kaca mata teori yang sudah disediakan tadi. Apakah teori-teori tersebut masih relevan untuk menjelaskan kedua fenomena itu atau tidak. Dan kelima adalah penarikan kesimpulan dari hasil penelitian. Kesimpulan ini membicarakan uraian singkat dari penyebab munculnya dominasi dan dinasti di Bangkalan.


(37)

25 BAB II

KERANGKA TEORI

A. Teori Local Strongmen/Orang Kuat Lokal

Perubahan sosial politik yang terjadi dan merubah warna masyarakat dunia pada saat ini, dinilai sebagai dampak pergerakan negara-negara di dunia dan masyarakat di masa lalu. Atau dalam terminologi Marx, dikenal dengan diskursus

materialisme histroris1. Di mana globalisasi, kolonialisasi, dan industrialisasi melahirkan pengaruhnya yang begitu primer. Huntington menjelaskan, bahwa perubahan yang terjadi atas negara dan masyarakat di dunia hingga memunculkan dualisme potret antara negara kuat dan negara lemah bukanlah disebabkan karena macam-macam jenis pemerintahan yang dianut, tetapi lebih pada efektifitas kinerja sebuah pemerintahan itu berjalan.2

Negara, dalam masa tertentu, pernah menjadi simbol tunggal dalam dinamika kehidupan masyarakat karena kapabilitas dan koersinya yang begitu besar. Segala garis kebijakan tersentralisasi pada wujud negara sebagai satu-satunya pemilik kekuatan otonom. Negara menjadi pusat kuasa yang tak terbendung. Pengalaman ini dapat kita lihat semasa perang dunia I, II, perang dingin, di masa kolonialisme global, dan sewaktu gelombang industrialisasi mendera dunia modern. Sedangkan pasca itu, semua kritik, peran sentral dan

1Materialisme Historis merupakan sebuah konsep dari filsafat Karl Marx yang berarti seluruh peradaban manusia berasal dari kontinuum sejarah yang tak putus-putus. Pip Jone, Pengantar Teori-Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 78.

2 Joel S. Migdal, State in Society: Studying How States And Societies Transform And Constitute One Another (Cambridge, UK: The Press Syndicate of The University of Cambridge), h. 59.


(38)

26

pengaruh negara lamat-lamat ditinggalkan oleh para pengkaji/ilmuwan sosial-politik.3

Pasca kolonialisasi berakhir, kita pun disuguhkan dengan fenomena-fenomena baru daripada dasawarsa sebelumnya, yakni munculnya beberapa negara lemah, yang gagal menancapkan pengaruhnya di masyarakat, kesulitan melakukan kontrol terhadap warganya, dan bersusah payah memaksakan aturan konstitusi di wilayah teritorial mereka. Negara tidak dapat melakukan berbagai inisiasi kebijakan di dalam perkembangan kehidupan sosial masyarakat sebagaimana umumnya. Pada kasus ini, Joel S. Migdal mencoba menjelaskannya dengan membawa kita pada pemahaman bahwa negara adalah bagian yang terintegrasi dengan masyarakat. Sifat yang dimiliki negara tidak terlepas dari basis sifat masyarakat di dalamnya.4 Migdal mendefinisikan negara sebagai organisasi besar yang hidup berdampingan dengan organisasi-organisasi lainnya di luar dirinya.5 Secara lengkapnya Joel S. Migdal mengatakan:

“The state is a sprawling organization within society that coexists with many other formal and informal social organizations, from families to tribes to large industrial enterprises. What distinguishes the state, at least in the modern era, is that state officials seek predominance over those myriad other organizations. That is, they aim for the state to make the binding rules

guiding people‟s behavior or, at the very least, to authorize particular other organizations to make those rules in certain realms. By “rules” I mean the

laws, regulations, decrees, and the like that state officials indicate they are willing to enforce through the coercive means at their disposal. Rules include everything from living up to contractual commitments to driving on the right side of the road to paying alimony on time. They involve the entire

3 Ibid, h. 58.

4 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554


(39)

27

array of property rights and any of the other countless definitions of the

boundaries delineating acceptable behavior for people.”6

“Negara adalah organisasi yang luas di dalam masyarakat yang berdampingan dengan banyak organisasi sosial formal dan informal lainnya, dari keluarga, suku, perusahaan industri besar. Yang membedakan negara, di era modern setidaknya, adalah bahwa pejabat negara mencari dominasi atas segudang organisasi lainnya. Artinya, tujuan mereka untuk negara adalah untuk membuat aturan yang mengikat yang membimbing perilaku masyarakat atau, setidaknya, untuk mengotorisasi/menguasai organisasi lain khususnya untuk membuat aturan-aturan pada aspek tertentu. Dengan "aturan" saya mengartikannya hukum, peraturan, keputusan, dan seperti pejabat negara yang menunjukan kesediaan mereka untuk menegakkan melalui pemaksaan yang mereka tetapkan. Aturan mencakup segala sesuatu dari hidup, komitmen kontrak, mengemudi di sisi kanan jalan, membayar tunjangan tepat waktu. Mereka melibatkan seluruh peranti hak milik dan salah satu definisi yang tak terhitung lainnya dari batas-batas yang menggambarkan perilaku yang dapat diterima oleh orang-orang.” (Terjemahan dari penulis)

Eksistensi organisasi-organisasi di luar negara pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan yang dapat mengurangi kapabilitas negara sebagai satu-satunya alat pengontrol yang sah. Etnisitas, klan, bahkan kelompok-kelompok macam sekte agama adalah macam-macam kekuatan yang bisa saja mengganggu bahkan menghalang-halangi jalannya berbagai aturan serta rambu-rambu pembangunan yang telah ditetapkan oleh negara. Hal seperti ini banyak kita temukan pada kasus dan pengalaman negara-negara di dunia ketiga.

Di negara-negara yang baru merdeka, modernisasi aturan hukum bisa jadi masih sering bertolak belakang dengan aturan-aturan tradisional yang secara kultur masih kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diperparah lagi dengan kompetisi antar kelompok kepentingan di antara mereka – untuk mengambil alih kekuasaan yang diwariskan pasca bangsa penjajah hengkang.7 Maka akan terlihat maklum bila kondisi negara di dunia ketiga terbilang lemah.

6 Ibid, h. 63. 7 Ibid, h. 64.


(40)

28

Sebab infrastruktur negara, baik yang berupa sumber daya manusia maupun fundamentalisme hukum, masih berada dalam tahap perkembangan. Sehingga kontrol sosial sangat sulit diimplementasikan. Beda halnya pada kasus negara-negara di eropa misalnya, di mana tentara, sistem peradilan hukum, dan mekanisme penarikan pajak terorganisir secara baik, dan telah menjadi instrumen pokok dalam wacana strategi dominasi kontrol negara terhadap masyarakat.8 Sedang pada kasus negara-negara baru di dunia ketiga, ikhwal itu belum tercipta secara sempurna.

Beragam teori yang ada, seperti teori modernisasi, teori marxis, dan teori ketergantungan, menurut Migdal, tidak mampu menjelaskan apa-apa terhadap ketidakmampuan negara itu dalam mencapai legitimasi kontrol sosial mereka di masyarakat. Teori modernisasi terlalu mengenyampingkan konflik yang lahir dalam tubuh negara, teori marxis seringkali menjurus dan terlalu fokus pada konflik antar kelas, dan teori ketergantungan, banyak mengabaikan peran masyarakat. Ketiganya memiliki kelemahan saat dihadapkan pada pertanyaan: mengapa negara A kuat sedang negara B lemah.9

Untuk itu, Migdal menyodorkan apa yang ia namakan dengan pendekatan

state in society, “yang menggambarkan masyarakat sebagai arena jejaring

organisasi-organisasi sosial daripada sebagai pendikotomian struktur.”10

“The model I am suggesting, what I call state-in-society, depicts society as a mélange of social organizations rather than a dichotomous structure.

8 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center), “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World –Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554

9 Joel S. Migdal, State in Society, h. 65. 10 Ibid, h. 49.


(41)

29

Various formations, including the idea of the state as well as many others (which may or may not include parts of the state) singly or in tandem offer individuals strategies of personal survival and, for some, strategies of upward mobility. Individual choice among strategies is based on the material incentives and coercion organizations can bring to bear and on the

organizations‟ use of symbols and values concerning how social life should be ordered. These symbols and values either reinforce the forms of social control in the society or propose new forms of social life. Indeed, this struggle is ongoing in every society. Societies are not static formations but are constantly becoming as a result of these struggles over social control.”11 “Model yang saya sarankan, apa yang saya sebut state-in-society, yang menggambarkan masyarakat sebagai campuran berbagai macam organisasi sosial daripada sekedar struktur dikotomis. Berbagai formasi, termasuk gagasan negara serta banyak lagi yang lainnya (yang mungkin atau yang tidak mungkin termasuk bagian dari negara) secara tunggal atau tandem menawarkan individu-individu strategi bertahan hidup bagi pribadi dan, untuk beberapa, strategi mobilitas ke atas. Pilihan individu di antara beberapa strategi didasarkan pada insentif material dan lembaga paksaan yang dapat membawa, menanggung dan atas penggunaan simbol dan nilai organisasi tentang bagaimana kehidupan sosial harus diwujudkan. Simbol dan nilai-nilai ini baik yang memperkuat bentuk kontrol sosial dalam masyarakat atau yang mengusulkan bentuk-bentuk baru dari kehidupan sosial. Memang, perjuangan ini sedang berlangsung di setiap masyarakat. Masyarakat bukan merupakan bentuk statis tetapi terus menerus mecari bentuk dari hasil lewat perjuangan kontrol sosial ini.” (Terjemahan dari penulis)

“To be sure, in some instances, the idea-state may make and enforce many rules in the society or may choose to delegate some of that authority to other mechanisms, such as the church or market. There are other societies, however, where social organizations actively vie with one another in offering strategies and in proposing different rules of the game. Here, the mélange of social organizations is marked by an environment of conflict, an active struggle for social control of the population. The state is part of the environment of conflict in which its own parts struggle with one another. The battles may be with families over the rules of education and socialization; they may be with ethnic groups over territoriality; they may be with religious

organizations over daily habits.”12

“Yang pasti, dalam beberapa kasus, gagasan-negara dapat membuat dan menegakkan banyak aturan dalam masyarakat atau mungkin memilih mendelegasikan beberapa kewenangan ke mekanisme yang lain, seperti gereja atau pasar. Masih ada masyarakat lainnya, yang bagaimanapun, di mana organisasi-organisasi sosial secara aktif bersaing satu sama lain dalam menawarkan strategi dan mengusulkan aturan main yang berbeda. Di sini, campuran dari berbagai macam organisasi sosial ditandai oleh lingkungan

11 Ibid, h. 49-50.


(42)

30

konflik, perjuangan aktif bagi kontrol sosial penduduk. Negara adalah bagian dari lingkungan konflik di mana negara merupakan bagian tersendiri yang juga berjuang dengan yang lainnya. Pertempuran mungkin saja terjadi dengan keluarga mengenai aturan pendidikan dan sosialisasi; mungkin dengan kelompok etnis mengenai kewilayahan; mungkin dengan organisasi keagamaan mengenai kebiasaan sehari-hari.” (Terjemahan dari penulis)

Dari paparan Migdal itu, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan penting, selain gambaran soal negara sebagai wahana konflik berbagai kepentingan organisasi sosial yang saling berebut mendapatkan pencapaian mereka terhadap kontrol sosial di masyarakat, namun juga soal kemunculan negara lemah (weak state) sebagai impak kekalahan negara oleh kekuatan-kekuatan informal di luar institusi resmi. Setidaknya, konsep Migdal mengenai negara lemah telah merejuvinasi kembali asumsi-asumsi Weber yang terlalu idealistik dalam mendefinisikan negara sebagai satu-satunya asosiasi politik dengan berbagai kekayaan haknya untuk memonopoli kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat.13

“Migdal percaya bahwa negara bukanlah satu-satunya organisasi yang hidup berdampingan dengan masyarakat. Di luar negara, bahkan lebih banyak lagi dari macam-macam organisasi yang ada, yang juga mencoba untuk memberikan dan menanamkan dominasi serta pengaruhnya seperti yang dilakukan oleh negara. Cara mereka melakukan itu semua, selain dengan memberikan insentif berupa bantuan dan keamanan, juga dengan memberikan sanksi sosial kepada siapa saja yang tidak mematuhinya. Sanksi sosial ini dapat berupa adanya tindakan kekerasan dan pengucilan. Dengan banyaknya organisasi yang menjamur di luar negara, maka masyarakat dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit untuk memilih satu di antara mereka, mana saja yang benar-benar memanifestasikan diri sebagai

kelompok yang mampu menstimulus konstruksi „strategi bertahan hidup‟

bagi mereka. Masyarakat, dalam hal ini, bukan berarti hidup dalam kebebasan tanpa adanya aturan yang mengikat dan mengatur mereka, tapi faktanya mereka tetap hidup dalam aturan aturan, tetapi dalam alokasi yang tidak terpusat. Karena berbagai sistem aturan dan peradilan mengatur mereka dalam waktu dan secara bersamaan. Berhasil tidaknya sebuah organisasi untuk melakukan kontrol sosial terhadap anggotanya tidak saja

13Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for

presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.


(43)

31

terlihat saat mereka mematuhi segala aspek dan aturan yang berlaku di dalam organisasi tersebut, tetapi saat mereka juga meyakini dan sadar bahwa

nilai legitimasi yang mereka berikan adalah baik dan benar.”14

Harus digarisbawahi, bahwa kontrol sosial, dominasi, dan hegemoni merupakan alat politik paling ampuh yang mesti dimiliki negara dalam rangka mengatur, mengarahkan, memaksakan dan membatasi segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat. Tanpa memegang kendali dominasi dan kontrol atas masyarakat, negara akan menjadi lemah, dan masyarakat akan berpaling untuk mengikuti aturan dan arahan yang berasal dari organisasi informal di luar negara. Sehingga perebutan kontrol sosial di masyarakat mutlak menjadi penting sebab upaya mobilisasi masyarakat hanya akan terjadi apabila tiga komponen ini terpenuhi: partisipasi, kepatuhan, dan legitimasi.15 Kontrol sosial sendiri singkatnya diartikan sebagai:

“The state‟s capacity to mobilise society rests on social control, defined as

the ability to make the operative rules of the game for people in society. The major struggles in many societies are over who has the right and ability to

make the rules that guide people‟s social behaviour (the state or other

organisations).”16

“Kapasitas negara untuk memobilisasi masyarakat bertumpu pada kontrol sosial, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat aturan operasi dari aturan main untuk orang-orang dalam masyarakat. Perjuangan utama di banyak masyarakat adalah lebih kepada siapa yang benar dan mampu membuat aturan yang membimbing perilaku masyarakat sosial (negara atau organisasi lain).” (Terjemahan dari penulis)

14 Hasil terjemahan penulis dalam bagian tertentu pada artikel yang ditulis oleh Daniel

Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen,

Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.

15 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center), “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World –Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554

16 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center), “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World –Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554


(44)

32

Ada banyak usaha yang dilakukan oleh negara maupun organisasi informal dalam memaksakan aturan dan kehendak mereka. Ikhwal paling penting adalah dengan adanya “proses pemberian sanksi dan hadiah lewat beragam bentuk: insentif material, paksaan, dan manipulasi simbolik kehidupan sosial.”17

Adanya kelompok ataupun institusi informal di luar negara yang mengurangi efektifitas dan kapabilitas negara, oleh Migdal ditengarai disebabkan oleh kehadiran local strongmen (orang kuat lokal). Orang kuat lokal, secara konsep, jelasnya didefinisikan sebagai kekuatan informal, baik yang berupa “tuan tanah, tengkulak, pengusaha, kepala suku, panglima perang, bos, petani kaya, pemimpin klan, ...dan sebagainya, yang berusaha memonopoli kontrol atas masyarakat dalam cakupan wilayah tertentu lewat kerjasama jejaring yang mereka bangun.”18

Di banyak kasus, orang kuat lokal sering ditemukan di negara-negara Asia-Afrika. Mereka umumnya adalah negara-negara yang baru merdeka dengan modal infrastruktur hukum dan keinstitusian yang masih sedikit pengalaman. Infiltrasi yang dilakukan oleh para orang kuat lokal di dalam negara, setidaknya menghasilkan instabilitas politik yang mau tidak mau telah meningkatkan eksistensi mereka di mata para politisi maupun implementors (sebutan Migdal untuk para pelaksana tugas pemerintah pusat di daerah)19 untuk dijadikan partner

17 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center), “Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554

18 Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era

Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 17.

19Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for


(45)

33

maupun jaringan patronase – atau agen kepentingan mereka dalam momen-momen pemilu. Imbalnya, para orang kuat ini mendapatkan akses langsung pada perolehan sumber daya ekonomi yang diberikan politisi atau para implementors kepada mereka. Bahkan tak jarang, orang kuat ini berhasil melakukan lobi untuk menaruh beberapa keluarganya di pos-pos pemerintahan supaya dapat memastikan bahwa sumber proyek ekonomi yang diberikan tidak jatuh ke tangan pihak lain. Persekongkolan antara pihak birokrat, politisi, dan orang kuat lokal ini biasa disebut dengan istilah segitiga akomodasi.20 Kontan dengan adanya persekongkolan antara para implementors dengan orang kuat lokal ini telah menjadikan alokasi kepentingan pusat yang terangkum dalam segala kebijakan di berbagai aspek yang sejatinya akan diterapkan untuk daerah menjadi terganggu.21

“Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka

pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibukota atau dikeluarkan oleh

pelaksana peraturan yang kuat (Migdal 1988:256).”22

Dalam dinamika politik lokal di Indonesia, eksistensi orang kuat lokal bisa ditelusuri lewat beragam kultur dan budaya setempat. Penisbatan orang kuat lokal di masing-masing wilayah mempunyai istilah yang beragam. Di Banten misalnya, manifestasi orang kuat lokal digambarkan melalui julukan Jawara. Sedang istilah

territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.

20Melvin. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia.” Ibid, h. 17-18.

21Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for

presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of

Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.

22 Menurut Migdal seperti dikutip John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina,

Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h. 73.


(46)

34

orang kuat lokal di Madura dikenal dengan sebutan Blater. Keberadaan dan posisi mereka, bila dilihat dari aspek sejarah, merupakan aktor yang tumbuh dan berkembang di dalam adat dan budaya masyarakat sejak era pra kolonial dan masa kolonial. Mereka lahir dengan berbagai pengalaman kekerasan di sekeliling mereka. Sikap, tindakan, serta cara pandang yang berlaku di masyarakat merupakan benih internalisasi budaya kekerasan yang melekat dalam diri orang kuat lokal. Bahkan rupa mereka di masa lalu tak jarang adalah para pemberontak, pembela rakyat, penolong kaum papa – yang dengan kekuatan serta keberanian yang dimiliki, bersama-sama melakukan perlawanan terhadap kesemena-menaan para elit, baik elit penjajah maupun elit feodal lokal. Cerita rakyat ini turun temurun diwariskan dalam beberapa kisah heroik semisal Ken Arok, Samin, dan Pitung.23

Eksistensi mereka bila merunut pada kesimpulan Migdal, adalah imbas dari pola adat yang sudah mengakar dalam kultur di masyarakat. Dan yang tak kalah penting, keberadaan orang kuat lokal merupakan kiamat bagi jalannya efektifitas dan dominasi negara atas masyarakat – sebab negara otomatis menjadi lemah dan gagal untuk melakukan kontrol. Atau dengan bahasa yang lebih halus, akan sulit untuk melakukan berbagai perubahan melalui program serta kebijakan yang tengah dicanangkan.24 Faktor munculnya orang kuat lokal dan sepak terjang mereka oleh migdal dijelaskan sebagai berikut.

“Pertama, local strongmen tumbuh subur dalam masyarakat yang mirip dengan jejaringan. Berkat struktur yang mirip jejaringan inilah, para orang kual lokal memperoleh pengaruh signifikan yang jauh melampaui pengaruh

23 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi (Widya Padjadjaran, 2011), h. 57.


(47)

35

para pemimpin dan para birokrat lokal formal. Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan memanfaatkan komponen penting yang

diyakini masyarakat sebagai „strategi bertahan hidup‟. Logika bertahan

hidup, memberikan kesempatan bagi local strongmen bukan saja bagi membangun legitimasinya di mata rakyat yang mengharapkan ibanya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, tetapi juga memperluas kekuasaannya. Personalisme orang kuat lokal menempatkan mereka sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi kliennya (baca:pengikutnya) yang (serba) kekurangan – di daerah kekuasaan mereka. Ketiga, local strongmen secara langsung ataupun tidak telah berhasil membatasi kapasitas lembaga dan

aparatur negara sehingga menyebabkan pemerintah lemah.”25

Merujuk pada kesimpulan akhir bahwa orang kuat lokal merupakan penghambat laju pembangunan di negara dunia ketiga sebab keberadaannya telah membatasi kapasitas negara, begitu menarik bila dianalisis ulang. Benarkah eksistensi mereka adalah parasit yang selamanya mengganggu proyek pembangunan? Apakah orang kuat lokal tidak dapat tumbuh di negara yang kuat? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan dibahas di kerangka teori lainnya oleh John T. Sidel. Dia menawarkan kerangka teori alternatif bagi frame analisis orang kuat lokal yang bertolakbelakang dengan tesis Migdal. Teorinya dikenal dengan istilah local boss/bos lokal.

B. Teori Bos Lokal/Local Boss

Bagi siapapun yang memiliki minat pada pembahasan dinamika politik lokal di dunia ketiga, tentu sulit untuk melepaskan diri dari konsep local strongmen yang diilhami dari beberapa temuan Joel S. Migdal soal kapabilitas negara-negara dunia ketiga dalam rangka mengontrol dan mengatur jalannya biro pemerintahan di masyarakat. Dalam temuannya, Migdal membuat hipotesa penyelidikan pada unsur-unsur penopang mengapa negara-negara di dunia ketiga praksis cenderung


(48)

36

menjadi negara yang lemah.26 Negara lemah adalah negara yang tidak mampu menguasai dominasi dan kontrol atas masyarakatnya, sebab hal ini disebabkan adanya tarikan kekuatan di luar negara yang lebih besar.

Pokok inti dari risetnya adalah bahwa negara bukanlah satu-satunya organisasi yang memaksakan, mengatur, dan mendominasi kontrol sosial di dalam masyarakat sebagaimana tercermin dalam pandangan Weber. Kendati keabsahan tunggal mutlak hanya dimiliki negara, tetapi di luar negara, ternyata terdapat banyak kekuatan informal dan aktor lainnya yang juga memiliki pengaruh dan upaya yang sama besar dengan negara demi mendapatkan legitimasi kontrol sosial tersebut. Secara hukum, dalam perspektif negara, mereka - para (kelompok informal), bisa jadi adalah kelompok-kelompok yang inkonstitusional, karena sifat dan eksistennya telah mengurangi legitimasi serta kepatuhan masyarakat kepada negara. Bentuk rupa ini salah satunya tergambarkan lewat para jago atau orang kuat yang secara simbolik memiliki modal kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar dalam lingkup kehidupan masyarakat sehari-hari, - hal inilah yang membedakan mereka dengan masyarakat biasa.

Secara ringkas, keberhasilan local strongmen atau orang kuat lokal dalam mencapai distribusi dan pengakuan kontrol sosial mereka di masyarakat menurut Migdal, didasari atas tiga faktor utama. Pertama, karena sifat masyarakat yang berbentuk jejaring, dimana klientisme tumbuh sumbur dan berkembang. Sehingga kontrol sosial terfragmentasi pada kekuatan-kekuatan yang ada – karena tidak mampu dimonopoli oleh negara. Kedua, karena proses akulturasi mitos “strategi

26John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h. 72-73.


(49)

37

bertahan hidup” yang ada dalam diri orang kuat lokal di masyarakat, dan sudah menjadi simbol tersendiri di antara mereka. Di mana orang kuat menjadi satu-satunya tumpuan hidup masyarakat. Dan ketiga, kemampuan orang kuat lokal mengintervensi, menembus, dan menangkap lembaga-lembaga negara sehingga menjadikan negara menjadi lemah – yakni melalui semacam gangguan lewat berbagai tindakan koersif yang ditujukan pada birokrat-birokrat pemerintah.27

Selain Joel S. Migdal dengan teorinya soal local strongmen/orang kuat lokal, teori tentang kebangkitan kekuatan informal di luar negara lainnya ditengadahkan juga oleh John T. Sidel. Dalam teorinya Sidel memilih diksi yang sedikit berbeda dari pendahulunya tersebut. Dia menyebut teorinya dengan istilah local boss/bos lokal atau bossism/teori bosisme. Sebagaimana yang diakui oleh John T. Sidel sendiri, teori ini merupakan kerangka analisis alternatif guna menjelaskan fenomena orang kuat lokal akan kondisi yang lebih akurat serta komperehensif saat dihadapkan pada kasus-kasus negara dunia ketiga di Asia Tenggara. Teori ini merupakan pemutarbalikan fakta atas temuan-temuan Migdal di negara dunia ketiga atau sebagai pelengkap dari kelemahan teori yang telah ada. Bila dalam perspektif Migdal kemunculan orang kuat lokal diproduksi di luar negara dan merupakan penyebab negara menjadi lemah, Sidel berpendapat sebaliknya, bahwa bos lokal merupakan hasil dari perkawinan silang negara dengan sistem pasar. Artinya, negara setidaknya memiliki peran dalam mereproduksi, mengandung, serta melahirkan para bos lokal dalam dimensi kehidupan sosial mereka. Sehingga argumen Migdal yang menyatakan bahwa

27 Ibid, h. 72-75.


(50)

38

orang kuat lokal hanyalah penghambat sistem kapital dan arus modal, terbantahkan sama sekali. Faktanya, orang kuat lokal dengan globalisasi dan arus modal internasional, mampu beradaptasi bahkan meraup untung dengan ikut serta menjadi salah satu agen pemain di dalam sistem pasar tersebut.28 Mereka melihat berbagai proyek pembangunan di negara-negara dunia ketiga sebagai peluang untuk memperkaya diri dan menjaga jejaring mereka (melalui pemberian insentif), dengan menguasai segala bentuk sumber daya ekonomi yang banyak dicairkan oleh negara.

Perbedaan mencolok lainnya, di antara local strongmen dan local boss terletak pada asumsi masing-masing teorisi mengenai historisitas dan impak dari lahirnya kekuatan informal ini. Bila Joel S. Migdal datang dengan asumsi bahwa kemunculan orang kuat lokal lebih disebabkan karena ketidakmampuan negara dalam menguasai kontrol sosial di masyarakat – dalam artian negara telah menjadi lemah akibat dampak aktivisme orang kuat lokal terlebih dulu. Sidel sebaliknya, bahwa orang kuat/bos lokal hadir dari proses strukturasi yang sengaja digunakan negara untuk meminimalisir kontradiksi program-program mereka di masyarakat pada tingkat bawah, serta sengaja dipelihara untuk menopang kepentingan oknum yang bersemayam dalam negara.29 Hal ini tercermin dalam bentuk negara kapitalistik di kawasan Asia Tenggara, dimana arus modal banyak mewarnai jalannya pembangunan pasca kolonialisme dan orang kuat lokal hidup harmonis di dalam era baru tersebut.

28 Ibid, h. 74-75.

29 Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era

Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2


(1)

DAFTAR TERPILIH

JAWA TIMUR :

BANGKALAN PROVINSI

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009

: KABUPATEN

PARTAI POLITIK SUARA SAH

1 2 3 6

NO NO.

URUT DCT

4

NAMA CALON TERPILIH DAPIL

5

1 Partai Hati Nurani Rakyat 1 H. UMAR FAROUQ ALKOMY, SH 02 4,386

2 Partai Hati Nurani Rakyat 1 MUHAMMAD SYAHRUM DAHRIYADI 05 4,093

3 Partai Hati Nurani Rakyat 1 H. SUMAMBRI, ST 06 5,369

4 Partai Gerakan Indonesia Raya 1 IMRON ROSYADI, SE. Msi 02 3,501

5 Partai Keadilan Sejahtera 2 MUJIBURAHMAN, SH 05 5,374

6 Partai Amanat Nasional 3 H. MUHAMMAD SUDARMO, S.Th.1 01 3,564

7 Partai Amanat Nasional 1 MOH. MAKMUN IBNU FUAD 05 8,083

8 Partai Amanat Nasional 2 SOLIHIN, SE 06 5,307

9 Partai Persatuan Daerah 1 ROKIB, SE 01 4,405

10 Partai Persatuan Daerah 1 Hj. SITI FATHONAH RACHMANIYAH, ST 04 5,956

11 Partai Kebangkitan Bangsa 1 HUMRON MAULA MUHAMMAD,S.HI. 01 2,687

12 Partai Kebangkitan Bangsa 2 HOTIB MARZUKI, SE 02 3,511

13 Partai Kebangkitan Bangsa 1 ABDUL KHALIK AMIN 03 7,681

14 Partai Kebangkitan Bangsa 2 H. SYAFIUDDIN ASMORO 03 11,319

15 Partai Kebangkitan Bangsa 7 AHSAN 03 3,786

16 Partai Kebangkitan Bangsa 1 H. ALI WAHDIN 04 4,662

17 Partai Kebangkitan Bangsa 2 HM. NASIR MUNIR ROWI 04 5,410

18 Partai Kebangkitan Bangsa 3 MOHAMAD IMAM SUPARDI,S.Ag 05 9,021

19 Partai Kebangkitan Bangsa 1 ABD. ROFIK 06 6,327

20 Partai Kebangkitan Bangsa 5 AHMAD HARIYANTO, S.Sos 06 4,930

21 Partai Demokrasi Pembaruan 1 NUR HASAN, S.Pd,M.Si 03 5,806

22 Partai Republika Nusantara 1 R.H. ZULKIFLI, S.E. 01 4,198

23 Partai Republika Nusantara 1 MAHMUDI 06 3,804

24 Partai Golongan Karya 1 A. MUFID SOBAR 01 1,869

25 Partai Persatuan Pembangunan 4 Drs.Ec. MUNAWAR CHOLIL 01 3,414

26 Partai Persatuan Pembangunan 1 SYAIFULLAH, S.Ag. 02 3,445

27 Partai Persatuan Pembangunan 4 MUSADDAT 04 3,841

28 Partai Persatuan Pembangunan 2 H. MAHMUD , SE. 05 3,489

29 Partai Persatuan Pembangunan 1 Drs. HOSYAN, SH. 06 3,398

30 Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia 1 KH. MUKAFFI, SH.,Msi. 02 6,422

31 Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia 1 SYAIFUL RIZAL FAKHAL, SH. 03 6,437

32 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 1 MOHAMMAD IDRIS, SE 01 1,973

33 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 1 FATKUR RAHMAN 06 4,215

34 Partai Bintang Reformasi 1 H. MUKAFFI 02 4,494

35 Partai Bintang Reformasi 1 Ir. H. EKA HADI PRIYANTO 04 4,728

36 Partai Bintang Reformasi 1 AKHMAD SAFRUDIN 05 2,504


(2)

PARTAI POLITIK SUARA SAH

1 2 3 6

NO NO.

URUT DCT

4

NAMA CALON TERPILIH DAPIL

5

38 Partai Demokrat 5 MOCHDOR, S.Si 02 2,708

39 Partai Demokrat 2 H.ABDURRAHMAN 03 4,588

40 Partai Demokrat 1 Ir. RISKI 04 3,109

41 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 8 MATWAR, S.Pd 02 1,671

42 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 1 H. MUSAWWIR,SH 03 2,700

43 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 1 H. NURHASAN 04 2,519

44 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 1 SOFIULLOH SYARIP, S.PdI 05 3,447


(3)

(4)

(5)

No.

Hasil Pemilu/

Pembaharuan

Jumlah/ Total

Result of ABRI PPP Golkar PDI-P PAU PKB Demokrat P2N PKNU RPR

General Election

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14)

1. Bangkalan 1982 8 23 11 3 - - - 45

2. Bangkalan 1987 9 17 18 1 - - - 45

3. Bangkalan 1992 9 13 22 1 - - - 45

4. Bangkalan 1997 9 15 21 - - - 45

5. Bangkalan 1999 5 - 3 7 5 25 - - - 45

6. Bangkalan 2004 - 9 - - - 25 - 11 - - - 45


(6)

8. Revisi 2007 - 9 - - - 25 - 11 - - - 45

9. Revisi 2008 - 9 - - - 25 - 11 - - - 45

10. Bangkalan 2009 - 5 - - - 15 4 - 7 5 9 45

Sumber Data : Sekretariat DPRD Kabupaten Bangkalan

Data Source : DPRD Secretariat of Bangkalan Regency