84
institusi.
71
Secara historis, sepak terjang dunia Blater yang mewarnai kehidupan masyarakat Madura, tidak terlepas dari eksistensi mereka di masa lalu.
Kemunculan mereka di masa lalu merupakan buah dari ragam kompleksitas hidup semasa jaman kerajaan dan kolonialisme. Di saat era kerajaan berlangsung, selain
yang menjadi raja adalah orang-orang istimewa yang memiliki nasab kerajaan, tidak sedikit dari para raja adalah mereka yang berasal dari para jagoan desa.
Mereka mempunyai pengikut yang banyak dan memiliki ilmu bela diri yang hebat. Cerita-cerita rakyat yang berseliweran mengisahkan bahwa para jago ini
tidak mempan ditembak, anti-bacok, dan sulit ditangkap. Maka tak heran, sebagian dari mereka mampu mengambil alih kekuasaan dari para raja dan duduk
sebagai raja baru. Cerita ini dapat ditemukan pada kisah Ki Lesap dan Ken Arok Dedes misalnya. Berbagai pemberontakan dan perlawanan yang dilakukan para
jago desa ini umumnya karena merasa gerah dan muak dengan sikap dan perilaku raja yang sewenang-wenang.
Begitupun saat bercokolnya negara kolonial, ada banyak ceritera tentang jago desa yang ikut terlibat dalam beragam perlawanan. Dalam konteks Madura,
ada cerita tentang Kutil, yang terkenal dalam peritiwa tiga daerah. Sebuah revolusi yang terjadi di sekitar daerah Pekalongan. Nama asli Kutil adalah Sakhyani. Ia
merupakan seorang keturunan Madura yang hidup di Dukuh Pesayangan, daerah Talang. Selama masa revolusi di daerah tersebut, ia mendirikan sebuah organisasi,
AMRI namanya, dengan pengikut yang beragam, mulai dari pedagang, penjahit,
71
Ibid, h. 3-7.
85
petani miskin, tukang besi, dan tukang jamu.
72
Tugas dan misi berdirinya organisasi ini adalah untuk menumpas keberadaan sisa-sisa NICA dan orang-
orang yang disinyalir bersekongkol dengan NICA.
73
Lain lagi cerita soal Sakera, seorang Madura yang melakukan perlawanan di salah satu daerah tapal kuda, Pasuruan. Ia adalah seorang jago yang anti-
penjajahan. Kelihaiannya melakukan manuver pemberontakan membuat negara kolonial Belanda hampir kehilangan akal untuk menghabisinya. Sakera
merupakan sosok jago yang terkenal di kalangan rakyat bukan saja karena keberaniannya melakukan perlawanan semata, tetapi juga karena kemampuan
tubuhnya yang anti ditembaki beberapa selongsong peluru. Ia konon memiliki ilmu kebal sehingga sulit untuk dimatikan. Ringkas cerita, akhirnya Belanda
melakukan upaya muslihat dalam sebuah pentas seni yang bernama Sadur. Dalam pentas itu, Sakera diperbolehkan menari dengan perempuan asalkan seluruh jimat
yang dia pakai dilepas saat menari. Sewaktu Sakera menari, Belanda menembakinya dan dia pun mati terkapar.
74
Tetapi, di samping banyaknya para jago yang melawan ketidakadilan dari para raja, dan penindasan yang dilakukan oleh bangsa penjajah, ada pula dari
mereka yang dimanfaatkan oleh dua elemen tersebut. Dalam internal kerajaan, para jago diangkat dan dipekerjakan sebagai pelindung tahta dan keselamatan raja
dari marabahaya. Tugasnya tak lain adalah untuk menjaga status quo eksistensi para raja. Sedangkan dalam konteks kolonialisme, para jago direkrut oleh para
72
Anton E. Lukas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989, h. 146-147.
73
Ibid, h. 147-148.
74
Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” h. 4.
86
Gubernur Jenderal untuk menumpas beragam pemberontakan yang terjadi di sekitar wilayah kekuasaan mereka. Para jago ini mendapatkan keuntungan yang
sesuai dengan kesepakan bersama di antara mereka. Secara tidak langsung, bangsa penjajah melakukan strategi devide at impera antara rakyat yang mau berkhianat
dengan rakyat yang teguh untuk melawan.
75
Pada konteks masyarakat Madura, pemanfaatan rakyat sebagai pasukan penyokong negara kolonial dapat dilihat dari
sejarah berdirinya organisasi militer Barisan. Oranisasi militer ini merupakan kesepakatan bersama antara pihak Belanda dengan kerajaan-kerajaan Madura
yang saat itu tengah berusaha untuk melepaskan diri dari hegemoni kerajaan Mataram. Dengan melindungi kerajaan Madura dari penguasaan kerajaan
Mataram, Belanda mendapatkan privelse untuk mendapatkan jasa militer dari para penduduk Madura yang bebas mereka gunakan untuk berbagai kepentingan
kolonialisme.
76
Dari sudut pandang sosiologis, kemunculan Blater merupakan imbas dari faktor ekologis Madura - yang disebabkan karena tipologi geografis wilayah yang
tidak memungkinkan terjadinya penggarapan tanah secara intensif. Impak dari ketidaksuburan tanah ini kemudian menjalar pada problem unsur kesejahteraan
rakyat yang sangat minimalis. Rakyat tidak mampu hidup dari segala keterbatasan yang diakibatkan beragam persoalan fisikawi. Curah hujan yang kurang, iklim
yang gersang, dan laju pertumbuhan penduduk yang massif dari tahun ke tahun, menambah perkara hidup menjadi semakin kompleks. Migrasi faktanya bukan
merupakan satu-satunya solusi yang dijalankan oleh rata-rata penduduk Madura
75
Ibid, h. 3-6.
76
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002, h. 145-146.
87
dalam menjauhi segala permasalahan hidupnya. Menjadi Blater, nyatanya menjadi cara lain guna mengatasi segala problema hidup. Paradigma seperti ini lambat
laun mengalami ideologisasi di masyarakat.
77
Walau cara menuju keblateran penuh resiko bahkan bisa berujung pada kematian. Tetapi dengan menjadi Blater,
mereka memiliki posisi untuk melakukan daya tawar dalam hal apapun, dia akan merasa disegani dan dihormati. Sehingga kekuasaan Blater dalam personalisasi
diri, mengukuhkan karakteristiknya sebagai orang kuat lokal.
78
Faktor lain yang memicu kelahiran Blater di Madura adalah masalah institusikelembagaan. Faktor kelembagaan merupakan hal penting dalam wacana
negara modern. Institusi adalah arena legal-formal dimana setiap kepentingan diagregasi, dan setiap konflik dipecahkan melalui mekanisme prosedural.
Sehingga adanya institusi dimaksudkan untuk dapat menghilangkan perilaku dan sikap main hakim sendiri. Tetapi dalam kasus Madura, cara kerja ini belum
sepenuhnya berhasil. Begitupun di banyak wilayah di Indonesia yang lain. Intoleransi dan aksi-aksi kekerasan yang mewarnai gerak-gerik masyarakat yang
disebabkan oleh tidak adanya institusi yang kuat, adalah celah bagi terbentuknya premanisme. Kekacauan yang menimpa lembagainstitusi, khsususnya dalam
kasus Madura, dapat ditarik jauh ke alur sejarah perjalanan bangsa Madura. Secara historis, bangsa Madura selalu berada di bawah hegemoni kerajaan-
kerajaan Jawa dan negara kolonial, hal ini mengakibatkan tidak adanya upaya untuk melakukan intensifitas dan signifikansi institusi di kalangan masyarakat
77
Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” h. 5.
78
Ibid, h. 5.
88
Madura. Negara tidak hadir di tengah-tengah mereka.
79
Masyarakat tidak dilatih untuk melakukan pemecahan masalah secara institusionalis. Mereka dibiarkan
begitu saja untuk mengelola persoalannya sendiri-sendiri. Institusi hukum absen dalam kehidupan mereka. Hal ini menurut Abdur Rozaki berimbas pada strategi
pemecahan masalah di antara mereka problem solving, kekerasan menjadi pilihan utama masyarakat dalam rangka membela diri mereka.
80
79
Ibid, h. 6.
80
Ibid, h. 6.
89
BAB IV DINAMIKA KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI BANGKALAN
A. Terbentuknya Kekuasaan Politik Fuad Amin
Sebagaimana telah penulis uraikan di bab-bab sebelumnya, bahwa terdapat dua entitas kelas masyarakat yang memiliki peranan penting dalam lanskap sosio
kultur politik di Madura. Yang pertama adalah kiai, dan yang kedua blater. Kedua entitas informal ini faktanya memiliki pengaruh yang kurang lebih sama, bahkan
kadangkala melebihi segala bentuk legitimasi atas kontrol yang dimiliki oleh negara pada masyarakat. Keberadaan kiai dan blater sebagai kekuatan informal di
Madura, kerapkali menjadi simbol yang dalam bahasa Migdal disebut sebagai “Strategies of Survival”.
1
Simbol ini kelak telah menghantarkan keduanya ke tempat istimewa di antara kalangan orang-orang berpengaruh dan terhormat.
Kehadiran mereka di antara masyarakat Madura, jika ditilik kembali ke sejarah masa silam, sangat begitu besar impresinya. Mereka bukan hanya tinggal
dan menetap sebagaimana masyarakat biasa, lebih dari itu, keberadaan mereka ditujukan pula untuk turut serta dalam membina dan mengintervensi masyarakat
di berbagai aspek: baik agama, sosial maupun politik. Keterlibatan ini telah membentuk ikatan emosi yang kuat, yang mengikis batas impersonal masyarakat
dengan kelompok-kelompok informal.
1
Strategies of Survival merupakan strategi bertahan hidup dengan mendekatkan diri kepada kekuatan patron, yang dalam hal ini adalah para jago yang berkuasa pada teritori tertentu, Daniel
Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality,
democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
90
Munculnya kiai sebagai orang lokal berpengaruh, dalam penjelasan Kuntowijoyo,
2
tidak terlepas dari konsekuensi logis yang diakibatkan oleh faktor ekologi tegalan. Madura yang didominasi oleh ekologi tegal sebagai impak dari
iklim yang kering dan dengan curah hujan yang begitu minim, pada akhirnya memberikan dampak lain pada kehidupan bercocok tanam masyarakat. Mereka
tidak sama dengan masyarakat jawa yang umumnya berococok tanam dengan menanam padi di sawah. Mereka, masyarakat Madura, harus berjibaku dengan
cuaca ekstrem yang tidak cocok untuk menanam tanaman sejenis. Karenanya, mereka lebih banyak menanam umbi-umbian yang memerlukan pasokan air lebih
sedikit. Tegal menjadi pilihan corak bercocok tanam masyarakat. Kondisi ekologi yang seperti ini pada akhirnya mau tidak mau juga
berpengaruh besar pada konsepsi pemukiman penduduk di sekitarnya. Masyarakat Madura memiliki model pemukiman yang lebih terpencar-pencar dari pada jenis
pemukiman di pulau Jawa yang rapat dan terintegrasi di satu desa.
3
Makanya hidup masyarakat Jawa cenderung berkelompok, karena dalam sistem tani yang
menjadi ciri khas masyarakat Jawa, teknis irigasi perlu diatur sesuai dan biasanya terjadi atas asas gotong royong. Dengan demikian, wajar bila solidaritas antar
masyarakat Jawa terbentuk dalam kerangka ekonomi. Sedang corak ekologi tegalan dengan pemukiman penduduk terpencar-
pencar yang dominan pada masyarakat Madura, juga akhirnya berpengaruh pada minimnya solidaritas antar mereka. Hal ini belakangan tergambarkan melalui
2
Lihat Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002.
3
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002, h. 60.
91
sikap individualistik masyarakat Madura. Mereka tidak terikat dengan rasa tanggung jawab dengan sesama dan antar masyarakat desa sebagaimana yang
terjadi pada masyarakat Jawa dan Sumatra. Tanggung jawab yang menonjol di dalam kultur Madura lebih bersifat eksklusif antar keluarga saja.
4
Adapun satu- satunya simbol pengerat solidaritas atau yang oleh Durkheim disebut dengan
„jaringan sentimen kolektif‟ di antara masyarakat Madura adalah melalui ritus- ritus agama.
5
Dengan menunaikan ritual ibadah, dan upacara-upacara keagamaan secara bersama-sama, lambat laun rasa solidaritas ini muncul dan terpupuk ke
permukaan. Kiai menjadi entitas penting dalam simbol solidaritas tersebut.
6
Sama halnya dengan kiai, eksistensi dan munculnya pengaruh blater juga tidak bisa terlepaskan dari faktor ekologi tegalan yang tidak mampu memberikan
pasokan kebutuhan secara maksimal, sehingga keadaan masyarakat menjadi serba kekurangan.
7
Walaupun, kemunculannya sebagai orang kuat lokal juga merupakan buntut dari beragam penindasan yang seringkali dilakukan oleh elit
semasa raja-raja dulu berkuasa dan semasa penjajahan, serta sebagai impak hadirnya institusi Barisan di bawah kendali kolonialisme Hindia-Belanda.
8
Hasil cocok tanam tegalan yang masyarakat Madura kerjakan, faktanya tidak banyak membantu dan memberikan keuntungan bagi kebutuhan hidup
4
Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto,
ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal Jakarta: LP3ES, 2004, h. 215.
5
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial, h. 450.
6
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 216.
7
Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 December 2009.
8
Barisan merupakan satuan korps militer yang beranggotakan para sipil dan digunakan untuk kepentingan Belanda. A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
Yogyakarta: LkiS, 2002, h. 68.
92
mereka sehari-hari. Bahkan untuk memenuhi pasokan kebutuhan yang serba kekurangan tersebut, masyarakat Madura mesti mendatangkan sebagian
logistiknya dari Pulau Jawa. Hal tersebut cukup untuk menjadi alasan mengapa akhirnya banyak di antara masyarakat Madura yang lebih memilih hidup
bermigrasi ke Jawa atau ke beberapa tempat lainnya di Indonesia ketimbang tetap menetap di daerah. Atau, meskipun menetap, sebagian di antara mereka lebih
memilih hidup untuk menjadi bandit-bandit desa blater.
9
Berprofesi sebagai bandit desa atau blater setidaknya telah memberikan jaminan bagi kepastian hidup
mereka sehari-hari. Corak hidup blater yang lekat dengan alam kekerasan, menjadikan mereka sebagai aktor yang ditakuti. Mereka kerap terlibat dalam
perampokan serta pencurian.
10
Sikap ini telah meningkatkan daya tawarnya selaku kelompok penting pada strata sosial di masyarakat. Namun harus digarisbawahi,
bahwa tidak selamanya keberadaan para blater di Madura hanya sebatas diilustrasikan sebagai para bandit atau kriminil lokal. Sebab tak jarang dari
mereka pun turut serta, malah menjadi bagian dari garda terdepan masyarakat dalam rangka melawan kolonialisme dan despotisme para raja.
Dengan sejarah sosial yang berpengaruh di masyarakat, maka tak aneh bila kemudian, di era-era selanjutnya, dua kelompok ini memegang peranan penting,
bukan saja dalam konteks kehidupan sosial, melainkan juga dalam wacana politik lokal di Bangkalan. Penjelasan mengenai lahirnya kekuasaan politik Fuad Amin
era kontemporer saat ini, tidak bisa dilepas begitu saja dari sejarah panjang
9
Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 December 2009.
10
Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 December 2009.
93
eksistensi blater dan kiai di masa lalu. Fuad Amin merupakan manifestasi kalangan kiai-blater yang tetap bertahan meskipun di era demokrasi yang lebih
modern. Sebagai elit yang mewakili tahta waris trah kiai di satu sisi, dan keterlibatannya secara langsung dengan alam pergaulan blater di pihak lain, telah
tampak menegaskan eksistensi Fuad Amin sebagai satu-satunya orang kuat lokal berpengaruh yang paling disegani, dihormati, sekaligus ditakuti oleh masyarakat.
Dengan bersandar pada argumen Joe S. Migdal bahwa orang kuat lokal merupakan
‘melange’ yang berada di luar organisasi negara yang keberadaannya terbentuk karena relasi sosial masyarakat yang masih bersifat patron-klien,
11
benar-benar merupakan realita empirik bila merujuk pada kasus lokalitas Fuad Amin di Bangkalan. Kemunculan orang kuat lokal yang tergambarkan lewat
pribadi Fuad Amin di aras Bangkalan tidak dapat dihindari dan juga merupakan akibat langsung dari kondisi umum pola jejaring yang terwarisi turun temurun
yang menginternalisasi corak masyarakat Bangkalan yang hingga sekarang tetap lestari memegang teguh budaya patrimornialistik. Dimana kiai dan blater kokoh
berada di strata paling atas sebagai patron dalam relasi kelas sosial setempat. Apalagi keberadaannya telah menstimulus pandangan masyarakat bahwa mereka
adalah satu- dua aktor yang sanggup menawarkan „strategi bertahan hidup‟.
Masyarakat menjadi ketergantungan pada dua kelompok ini. Menjauhi keduanya sama saja menolak aspek penghidupan yang ditawarkan oleh dua kelompok
informal ini, lebih-lebih menentang atau melawan keberadaannya.
11
John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru Jakarta:
Demos, 2005, h. 73.