Islamisasi dan Simbol Kiai dalam Perspektif Masyarakat Madura

71 kemudian tagun 1624, Mataram akhirnya dapat menguasai dan menaklukan Surabaya serta Madura. Setelah Madura resmi ditaklukan, Raden Praseno putra mahkota Bangkalan, cucu Raden Pratanu, Raja Bangkalan Islam Pertama, diambil mantu oleh Sultan Agung untuk dinikahkan dengan putrinya di Mataram. Melalui pernikahan ini, secara aklamasi Raden Praseno diangkat menjadi Raja Madura Barat dengan gelar „Cakraningrat I‟. Dari sini secara yuridis, Madura menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Turun temurun raja- raja di Madura Barat diperintah oleh para keturunan Cakraningrat. Sepeninggal Cakraningrat I, tahta Madura Barat turun kepada anaknya Cakraningrat II yang merupakan anak dari hasil pernikahannya dengan Syarifah Ambami, putri Sunan Giri. 42 Di sisi lain, Madura Timur pada tahun 1671 dikuasai oleh raja nan arif dan bijaksana, Yudanegara namanya. Konon ia merupakan keturunan Cakranegara, Raja Madura Timur sebelum mereka ditaklukan oleh Sultan Agung. Menurut beberapa kabar yang didapat, Yudanegara adalah seorang sahabat Trunojoyo sewaktu mereka menyantri kepada Sunan Giri. Sepeninggal Yudanegara, suksesi raja di Madura Timur jatuh ke tangan para menantunya lantaran tak satu pun dari garis keturunannya dikaruniai anak laki-laki. Silsilah Dinasti Yudanegara berakhir ketika kekuasaan kerajaan dipimpin oleh Pangeran Adikara III. Pangeran Adikara III akhirnya dikudeta oleh Ki Lesap karena ia bersekongkol dengan VOC. Seterusnya kerajaan dipegang oleh Raden Ayu Tirtanegara dengan Bindara Saod sebagai suaminya. Bindara Saod sendiri merupakan putra dari Bindara Bungso 42 Ibid, h. 218-219. 72 yang masyhur dengan ilmu agamanya. Ia adalah seorang kyai terkenal di Batu Ampar Sumenep. 43 Madura masuk menjadi bagian teritori Hindia-Belanda setelah VOC bubar pada tahun 1799. Selama mengawasi Madura, Hindia-Belanda menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung. 44 Kondisi penduduk Madura selama berada langsung di bawah kekuasaan Hindia-Belanda maupun VOC hampir serupa dengan keadaan penduduk Indonesia pada umumnya, mereka berada dalam kondisi yang mengenaskan. Kelaparan dan kemiskinan adalah fenomena yang lumrah. Hanya sebagian saja di antara mereka yang turut serta menikmati hasil jerih payah para petani dan penduduk setempat. Mereka adalah terutama para raja, penguasa dan orang-orang pilihan bangsa kolonial. 45 Tindak pidana kriminal di Madura, dari hari ke hari, selama kolonialisasi berlanjut, selalu semakin bertambah jumlahnya. Fakta di lapangan menunjukan bahwa kasus tindakan kriminal di Madura lebih banyak ketimbang di Jawa. Banyak di antara para penduduk yang mati terbunuh sia-sia. Satu kasus pembunuhan pada tahun 1871 pernah terjadi di daerah Sumenep. Sebanyak 2.342 penduduk meninggal dunia. 46 Penyebab utama maraknya tindakan kriminal ini disebabkan oleh berbagai macam pajak dan kewajiban yang dibebankan kepada penduduk. Selain kriminalitas, wabah penyakit, telah menambah kesengsaraan 43 Ibid, h. 219-220. 44 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 54-55. 45 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 221. 46 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 76-77. 73 penduduk semakin menjadi-jadi. Suatu waktu di daerah Pamekasan pernah terjadi wabah penyakit yang sangat ganas. 47 “Banyak penderita berbulan-bulan lamanya tidak makan nasi dan hidup dengan memakan kulit katjang dan djagoeng, kulit-kulit kayu, akar-akaran, dan bedogol makanan lunak, seperti bedogol pisang. Pencurian tanaman tegalan yang „dimakan mentah‟ adalah begitu banyak, sehingga keadaan itu dianggap normal, Nota 1904:57.” 48 Kelaparan, kesengsaraan, penindasan, serta ketimpangan yang terjadi di masyarakat inilah yang pada akhirnya menciptakan ketidakpercayaan penduduk kepada para penguasa setempat. “Dalam masa hampir dua abad penjajahan Belanda di Madura, terdapat beberapa realitas sosial sebagai akibat kolonialisasi itu. Pertama, Madura menjadi terisolasi dari dunia luar karena hubungan dari dan keluar Madura diatur dengan sangat ketat. Kedua, Madura mengalami defisit. Kemiskinan massal yang berujung pada pencurian pangan dan ternak serta migrasi besar- besaran adalah fenomena yang amat mudah dijumpai. Ketiga, terjadi kemunduran kaum ningrat. Mereka miskin dan terpuruk dalam utang piutang serta terlibat dalam kejahatan. Mereka menjadi lemah dan bergantung pada Belanda. Sebagai akibatnya, rakyat tak lagi memercayai mereka dan mencari sosok pemimpin lain yang dinilai lebih mampu mewakili aspirasinya. Fenomena ketiga inilah yang pada akhirnya memicu munculnya golongan lain untuk tampil sebagai pemimpin masyarakat Madura: kyai.” 49 Dengan demikian, satu-satunya tumpuan masyarakat waktu itu persis berada di bawah bimbingan para kyai. Kyai adalah aktor moral sekaligus sosial. Ia merupakan stimulus bagi asa para penduduk yang hampir pupus. Kharisma keilmuan agama yang besar yang dimiliki oleh peran kyai mencitrakan bahwa “merekalah” agen pembaharu satu-satunya yang dapat dipercaya. Dalam strata sosial masyarakat Madura, posisi kyai ditempatkan pada posisi yang tinggi. Fakta ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kondisi yang ada di 47 Ibid, h. 76. 48 Menurut Nota dalam Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 76. 49 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 222. 74 berbagai wilayah lain di Indonesia pada umumnya. Kyai adalah aktor penting dalam sejarah pergerakan nasional, sehingga secara otomatis keberadaannya dalam hirarki sosial begitu tinggi. Kyai merupakan salah satu aktor penggerak basis massa. Perannya di masa awal pra-kemerdekaan telah membuktikan hal tersebut. Keikutsertaan kyai dalam pelbagai perlawanan memperjuangkan kemerdekaan, dan keikutsertaan mereka memimpin pemberontakan kepada para penguasa yang lalim, tidak sulit untuk menjadikan para kyai sebagai panutan rakyat yang sangat dihormati. Rakyat dari zaman ke zaman, menganggap kyai adalah guru mereka sekaligus orang tua mereka. Segala perkataan dan nasihatnya dianggap karomah dan berkah yang wajib diamini. Munculnya berbagai organisasi pergerakan nasional pun, faktanya, juga tidak terlepas dari campur tangan para kyai. Sebagai salah satu agen sosial, kyai adalah orang-orang terdidik yang hidup bersama keluh kesah dan berbaur langsung dengan rakyat. Inilah yang membedakan kyai dengan agen sosial lainnya yang terkesan menjaga jarak dan jauh dengan rakyat. Tidak sulit kiranya bagi mereka menaruh tempat di hati rakyat. Sejarah perjuangan bangsa indonesia, yang terfragmentasi semenjak kolonialisasi, mampu diintegrasikan atas inisiatif para kyai - selain oleh orang- orang terdidik kaum intelektual lainnya. Berdirinya Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, tidak lain merupakan inisiasi para kyai. Nama-nama seperti KH. Samanhoedhi, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Hasyim Asy‟ari, mereka adalah agen tonggak permulaan berkembangnya suatu identitas 75 kebangsaan. 50 Identitas berdasarkan keagamaan ini kemudian membentuk semacam ikatan kebersamaan yang termanifestasikan lewat ragam aksi perjuangan dan perlawanan. Maka wajar jika akhirnya kyai menempati posisi struktur dan peran penting dalam diskursus sosial kemasyarakatan di Indonesia. Sepang terjang kyai dalam hubungannya dengan fungsi sosial di masyarakat, tidak hanya terjadi saat indonesia dijajah, setelah indonesia mengalami kemerdekaan sekalipun, kyai tetap dianggap sebagai aktor utama penggerak umat. Berbeda dengan pemimpin formal pada umumnya yang mendapatkan legitimasi formal dari rakyat, kyai mendapatkan otoritasnya di masyarakat sebagai pemimpin informal melalui legitimasi sosio-kultural. 51 Pada kasus Madura, dengan mayoritas penduduknya beragama islam, sebagaimana telah digambarkan secara ringkas di atas, kyai memiliki fungsi sosial strategis dalam kehidupan di dalamnya. Mereka sering dimintai pendapat untuk berbagai macam persoalan. Bukan saja persoalan yang berkaitan dengan aspek agama, bahkan untuk masalah-masalah remeh temeh sekalipun, kyai tidak absen dimintai masukan. Saat musim pemilu tiba misalnya, banyak orang-orang dari elit pemerintah yang datang untuk sekadar mohon restu dan minta didoakan supaya menang dalam pemilihan. Atau para pedagang yang mohon dimudahkan mencari rezeki saat berdagang. Sebenarnya masih banyak tradisi umum lainnya, yang bisa dibilang kurang afdol tanpa melibatkan kyai. 50 Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah gerakan modern islam bisa dilihat dalam buku Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia Jakarta: LP3ES, 1980. 51 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep, Madura, h. 223. 76 Image yang tertanam dalam benak masyarakat tentang kyai, menyimpan keutamaan penting bahwa ia adalah pusat pemecah setiap masalah. Saluran bagi tercapainya setiap cita dan impian mereka. Kontribusi kyai yang besar dalam bidang pendidikan agama, etika moral, dan peran sosial di dalam masyarakat Madura, pada akhirnya sulit untuk tidak melibatkan kyai di berbagai sudut dimensi kehidupan mereka. Sebagaima dikatakan oleh Muhammad Kosim dalam sebuah tulisannya di Jurnal Karsa: “Pengaruh kyai melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan lainnya. Dalam berbagai urusan umat, kyai menjadi tempat mengadu. Seperti urusan agama, pengobatan, rizki, jodoh, membangun rumah, bercocok tanam, konflik sosial, karier, politik, dan sejumlah problema hidup lainnya. Belum mantap rasanya apabila segala urusan tidak dikonsultasikan kepada kyai dan belum mendapat restu darinya. Kyai melayani kebutuhan umat dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, umatpun merasa puas. Dan sebagai “imbalannya” umat akan patuh, tunduk, dan siap mengabdi kepada kyai. Hubungan antara kyai dan umatnya — sebagaimana digam-barkan di atas —dikenal dengan pola hubungan paternalisme, di mana hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin atasan-bawahan seperti hubungan antara ayah dan anak.” 52 Hubungan yang terjalin antara masyarakat dengan kyai di Madura menyiratkan adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan simbiosis mutualisme di antara mereka . Di satu sisi masyarakat mendapatkan kepuasan batin dengan wejangan, nasihat, yang diberikan oleh kyai, di sisi lain kyai meneguhkan fungsinya sebagai aktor penting di masyarakat. Rasa hormat, manut, dan loyalitas kepada kyai disajikan oleh masyarakat dalam bentuk penghormatan yang sama besarnya dengan apa yang mereka lakukan kepada para pemimpin mereka. Malah sebagian di antara mereka lebih menghormati kyai dibandingkan pejabat 52 Muhammad Kosim, “Kyai Dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura,” Jurnal Karsa , Vol. XII No. 2 Oktober, 2007: h. 162. 77 pemerintahan. Saking besarnya peran kyai dalam masyarakat, sampai-sampai ada peribahasa lokal di Madura yang terkenal “buppa’-babu’guruh-ratoh.” 53 Menurut Kuntowijoyo seperti yang penulis kutip dari Muhammad Kosim, Madura adalah „pulau seribu pesantren‟. 54 Beragam model kyai, hidup dan berkembang sesuai vak serta bidangnya masing-masing. Mulai dari kyai langgar, kyai pesantren, kyai tarekat, dan kyai dukun, menghiasai bentuk-bentuk profesi kyai dalam masyarakat Madura. 55 Otoritas kyai yang besar dilihat dari sudut pandang kehidupan masyarakat Madura, membentuk citra tersendiri bahwa kyai adalah manusia yang berbeda dari manusia pada umumnya. Persepsi masyarakat yang memercayai bahwa kyai jauh dari tindak tanduk profan, telah mempertebal perannya sebagai sebuah institusi baru di masyarakat. Dan sebagai cikal bakal sebuah institusi, kyai sepertinya memiliki imunitas sosial moral di masyarakat. Secara eksplisit, masyarakat yakin, barang siapa yang melawan kyai maka orang itu akan mendatangkan bencana bagi dirinya sendiri kualat. 56 Peranan kyai dan otoritasnya yang besar dalam kaca mata orang Madura, dapat ditelusuri dengan menggunakan dua parameter. 57 Parameter pertama menyangkut islamisasi yang terjadi di Madura, dan kedua, faktor ekologis Madura. Penyebaran Islam di Madura secara historis salah satunya dilakukan oleh wali songo. Pembauran wali songo dengan masyarakat sekitar, dalam hal ini Sunan 53 Peribahasa ini konon mempertegas posisi kyaiguru dengan peranan Bapak, Ibu, dan Pejabat Pemerintah. Dalam keluarga, orang Madura menghormati Bapak-Ibu, dan dalam unit sosial di masyarakat, orang Madura menghormati Kyai dulu baru Pemerintah. Muhammad Kosim dalam Jurnal Karsa. Kyai dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura, h. 162. 54 Kosim, Kyai Dan Blater, h. 162. 55 Ibid, h. 162. 56 Ibid, h. 162-163. 57 Ibid, h. 163-164. 78 Ampel dan Sunan Giri, menandaskan kontribusi besar kyai sepanjang sejarah islam di Madura. Mereka dalam hitungan matematis jumlah penganut islam di Madura, telah berhasil menyebarkan agama ini di bumi Madura. Bahkan di banyak kesempatan, para wali ini turut dalam berbagai pemberontakan bersama para penduduk. Mereka adalah mobilitator perjuangan melawan kolonialisme. Maka tak heran, jika saat ini banyak pesantren bermunculan di tanah Madura. Itu adalah bukti kontinuitas sejarah yang berkelindan dari masa ke masa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan formal pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. 58 Sedangkan faktor lain, penguat peran kyai di Madura, adalah bersumber dari dimensi ekologi. Ekologi yang dimaksud di sini adalah ekologi tegalan. Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ekologi tegalan merupakan impak dari tanah di Madura yang tidak cocok untuk ditanami padi. Curah hujan yang kurang, iklim yang gersang, dan tanah yang kurang subur menyebabkan masyarakat harus mencari alternatif tanaman lain yang cocok dengan tipologi tanah di Madura. Adapun tanaman alternatif tersebut yakni jagung dan singkong. Ekologi tegalan pada akhirnya berpengaruh pada pola pemukiman dengan rata-rata banyak rumah yang minimun di setiap desa. Hal ini membawa spirit yang terbangun antar warga bukan berasal dari unsur gotong royong serta kebersamaan sebagaimana desa-desa di Jawa pada umumnya. Solidaritas warga di perkampungan di Madura diikat oleh ritual-ritual agama dengan masjid sebagai pusat pertemuan dan kyai sebagai pusat panutan central of man. Agama menjadi satu-satunya perekat silaturahmi antar warga sekaligus pembentuk rasa 58 Ibid, h. 163-164. 79 kepemilikan bersama. 59 Tak heran bila agama dan orang Madura menjadi identitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama adalah bagian dari harga diri orang Madura. Menghina agama berarti sama saja merendahkan harga diri dan martabat orang Madura. Beberapa kasus konflik agama yang terjadi di Madura kurang lebih muncul karena paradigma tersebut. 60 Dari waktu ke waktu, dengan semakin besarnya pengaruh dan peran kyai di Madura, banyak di antara mereka, untuk kemudian hari terjun ke dunia politik. Keterlibatan para kyai dalam politik prosedural ini, adalah sarana memanfaatkan modal sosial yang sudah mereka miliki. Kepercayaan dan rasa hormat masyarakat yang sudah mereka genggam, digunakan sebaik-baiknya oleh para kyai dalam melihat peluang mereka yang sangat strategis untuk menjadi pemimpin formal. Transformasi kyai, dari pemimpin informal menjadi pemimpin formal, setidaknya telah mengkristalkan kekuatan dan kekuasaan mereka menjadi semakin luas. Karena kekuasaan legal-formal yang mereka dapat dari panggung demokrasi prosedural, ditambah kharisma yang mereka miliki di mata masyarakat, yang didapat melalui perannya sebagai agen sosio kultural, menjadikan kekuatan para kyai berlipat-lipat besarnya. Kini mereka bukan hanya dinisbatkan sebagai pemimpin informal saja, melainkan sebagai pemimpin formal sekaligus. Untuk itu, sisi negatif dari keikutsertaan kyai dalam persoalan politis adalah melemahnya civil society dalam rangka mengawasi peran serta kinerja pemerintah. Ada rasa tidak enak yang menjangkiti masyarakat untuk melakukan protes tatkala mereka para kyai melakukan kesewenang-wenangan dalam tugas mereka sebagai 59 Ibid, h. 163-164. 60 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 December 2009: h. 2. 80 pemimpin formal baru. Sehingga situasi seperti ini mirip dengan sejarah eropa zaman pertengahan, dimana agama memainkan peran sebagai otoritas absolut yang jauh dari kritikan.

D. Blater Sebagai Orang Kuat Lokal Madura

Kekerasan tidak luput dalam dinamika sosial kehidupan manusia. Sebab kekerasan merupakan bagian dari dalam diri manusia yang secara psikologi diliputi perasaan dan emosi. Peperangan yang mewarnai perjalanan sejarah umat manusia, adalah ekspresi dari nilai-nilai kekerasan yang dimilikinya. Sepanjang umat manusia masih mendiami bumi, selama itu pula internalisasi kekerasan menjadi hal yang akan menemani perjalanan kita sepanjang masa. Sebagaimana kalimat satir yang dikatakan oleh George Orwel: “perang ialah damai, kebebasan ialah perbudakan, kebodohan ialah kekuatan.” 61 Dalam studi yang dilakukan oleh Johan Galtung, pada prakteknya, kekerasan dapat dikategorikan menjadi tiga divertifikasi, pertama adalalah kekerasan secara fisik, kedua, kekerasan struktural, dan ketiga adalah kekerasan kultural. Pada jenis yang pertama, kekerasan fisik digambarkan dengan adanya proses konflikinteraksi yang dilakukan secara langsung, misalkan melalui pemukulan, tamparan ataupun yang memungkinkan terjadinya kontak langsung secara fisik. Sedangkan kekerasan jenis kedua, yakni kekerasan struktural, merupakan jenis kekerasan yang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang memberatkan. Sehingga munculnya objek sebagai korban yang dirugikan. Salah satu contoh kekerasan yang termasuk kategori ini adalah 61 George Orwel, 1984 Yogyakarta: Bentang, 2014, h. 19. 81 praktek korupsi kolusi dan nepotisme KKN di lingkungan pemerintahan. Adapun kekerasan jenis terakhir, kekerasan kultural, adalah jenis kekerasan yang dilakukan melalui propaganda dan kampanye melalui berbagai produk kebudayaan. Misalnya, propaganda yang dipraktekkan rezim Soeharto dengan memasifkan kampanye anti-PKI lewat pemutaran film G-30-S-PKI setiap tahunnya. 62 Melalui kaca mata kekerasan yang diuraikan Johan Galtung, kita dapat melihat bagaimana fenomena Blater orang kuat lokal di Madura didefinisikan. Blater adalah gambaran praktek kekerasan yang terjadi di tingkat lokal – dalam hal ini terjadi di Madura. Kondisi ini sama halnya dengan fenomena jawara yang terjadi di Banten. Baik blater maupun jawara, merupakan lokalitas praktek kekerasan yang marak terjadi di belahan wilayah Indonesia. Ragam kekerasan yang mewarnai dinamika sosial masyarakat daerah, identik dengan eksistensi preman lokal. Kewenangan yang mereka punyai kurang lebih berasal dari berbagai intimidasi, pemalakan, kerusuhan, dan pembunuhan yang kerapkali mereka lakukan. Dalam diskursus orang kuat lokal Madura, Blater merupakan salah satu elit yang memiliki strata sosial yang prestisius yang serupa dengan kyai. Bila kyai dihormati karena kedudukan ilmu agamanya yang tinggi, Blater disegani karena kekuatan dalam dirinya yang besar. Dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Madura, Blater dideskripsikan sebagai orang yang suka membunuh dan membuat 62 Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film Serpong: Marjin Kiri, 2013, h. 35-57. 82 onar. Kehadirannya adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya carok yang terkenal di masyarakat setempat. Penisbatan Blater pada diri seseorang dinilai dari seberapa berani ia melakukan upaya carok. Meskipun carok bukanlah satu-satunya arena legitimasi keblateran bisa didapatkan. Ada arena-arena lainnya dimana pelegitimasian keblateran muncul seperti: “kedekatan seseorang dengan tradisi kerapan sapi, sabung ayam, jaringan kriminalitas dan remoh blater.” 63 Tetapi tetap budaya carok merupakan budaya yang menyangkut erat soal harga diri dan prinsip orang Madura. Sedikit saja harga diri orang Madura ternodai, maka tak segan orang- orang ini untuk melakukan upaya carok. Bahkan tendensi adanya paradigma semacam ini tergambar jelas dalam peribahasa setempat yang penulis kutip langsung dari Abdur Rozaki: “ango‟an pote tolang etembang pote matah, artinya lebih baik putih tulang dibandingkan putih mata. „Hidup itu tidak ada maknanya kalau kehilangan harga diri‟.” 64 Ada banyak kasus yang seringkali menimbulkan praktek carok di masyarakat. Prinsip masyarakat lokal yang teguh soal harga diri, dan merasa maloh 65 bila harga diri mereka dinjak-injak, seringkali menimbulkan resistensi antar warga. Pertikaian-pertikain antar warga, bahkan antar sekte agama semisal kasus Syiah di Sampang, beberapa kali mencuat menjadi pemberitaan nasional. Kasus pertikaian dan perkelahian antar warga, menurut Wijayata, yang penulis kutip langsung dari Abdur Rozaki, adalah bisa disebabkan sebagai berikut: 63 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” h. 2. 64 Ibid, h. 1. 65 Maloh adalah perasaan malu 83 “Pertama, gangguan atas istri. Orang Madura akan mudah terpancing dan melakukan pembelaan dalam bentuk carok kalau istrinya diganggu. Begitu juga dengan adanya sikap cemburu, kalau kemudian terjadi perselingkuhan sang istri dengan orang lain. Lelaki yang berselingkuh dengan istri orang itulah yang akan menjadi sasaran dari sang suami. Kedua, balas dendam. Upaya melakukan pembalasan bila terdapat diantara salah satu anggota keluaraga yang terbunuh. Ketiga, mempertahankan martabat dan keempat, mempertahankan harta warisan. Wiyata, 2002; 89-159. ” 66 Pengidentikan Blater hanya dengan kekerasan di satu titik tidak selamanya menjadi dominasi wacana orang kuat lokal di Madura. Kultur Madura yang agamis, nyatanya juga telah menuntut reproduksi Blater dengan ciri khas tertentu. Adanya hubungan yang saling mengisi antara kekerasan di satu sisi, dan religiusitas di sisi yang lain. 67 Maka, dalam kasus Madura, Blater dapat tumbuh dan muncul dari segala aspek strata sosial, baik dari kalangan masyarakat sipil biasa maupun santri. 68 Sebuah diametral yang saling berbeda tentunya, tapi dalam realita sosial di lapangan, tak jarang peristiwa ini terjadi: jiwa blater dan santri hadir pada diri seseorang sekaligus. Dan tak jarang antara Blater dan Kyai terjalin relasi ekonomi-politik bersama yang saling menguntungkan satu sama lain. 69 Sebagaimana yang ditulis oleh Abdur Rozaki: “Kedua aktor ini dalam praktek sosialnya, terkadang saling berseberangan paham dan visi. Namun dalam konteks tertentu tak jarang pula saling menjalin relasi kultural, ekonomi dan politik kuasa. Rozaki; 2004. Dalam konteks inilah citra simbolik kekerasan dan religiusitas saling berkelindan dan berdialektika dalam ruang- ruang sosial masyarakat Madura.” 70 Berdasarkan pengamatan penulis, faktor kemunculan Blater di Madura dapat ditelusuri lewat 3 jalur utama. Pertama, dari sudut pandang kesejarahan, kedua, dari sudut pandang sosiologis-ekologis, dan ketiga dari perspektif 66 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” h. 1. 67 Ibid, h. 1. 68 Ibid, h. 2. 69 Ibid, h. 3. 70 Ibid, h. 3. 84 institusi. 71 Secara historis, sepak terjang dunia Blater yang mewarnai kehidupan masyarakat Madura, tidak terlepas dari eksistensi mereka di masa lalu. Kemunculan mereka di masa lalu merupakan buah dari ragam kompleksitas hidup semasa jaman kerajaan dan kolonialisme. Di saat era kerajaan berlangsung, selain yang menjadi raja adalah orang-orang istimewa yang memiliki nasab kerajaan, tidak sedikit dari para raja adalah mereka yang berasal dari para jagoan desa. Mereka mempunyai pengikut yang banyak dan memiliki ilmu bela diri yang hebat. Cerita-cerita rakyat yang berseliweran mengisahkan bahwa para jago ini tidak mempan ditembak, anti-bacok, dan sulit ditangkap. Maka tak heran, sebagian dari mereka mampu mengambil alih kekuasaan dari para raja dan duduk sebagai raja baru. Cerita ini dapat ditemukan pada kisah Ki Lesap dan Ken Arok Dedes misalnya. Berbagai pemberontakan dan perlawanan yang dilakukan para jago desa ini umumnya karena merasa gerah dan muak dengan sikap dan perilaku raja yang sewenang-wenang. Begitupun saat bercokolnya negara kolonial, ada banyak ceritera tentang jago desa yang ikut terlibat dalam beragam perlawanan. Dalam konteks Madura, ada cerita tentang Kutil, yang terkenal dalam peritiwa tiga daerah. Sebuah revolusi yang terjadi di sekitar daerah Pekalongan. Nama asli Kutil adalah Sakhyani. Ia merupakan seorang keturunan Madura yang hidup di Dukuh Pesayangan, daerah Talang. Selama masa revolusi di daerah tersebut, ia mendirikan sebuah organisasi, AMRI namanya, dengan pengikut yang beragam, mulai dari pedagang, penjahit, 71 Ibid, h. 3-7.