Perkembangan Usaha Hutan Pesantren

pesantren sendiri didasarkan pada keinginan pesantren untuk membiayai semua kebutuhan pesantren berasal dari hasil alam. Pembangunan hutan pesantren dimulai setelah berdirinya Pondok Pesantren Darunnajah 2 tahun 1988. Sebelumnya lahan di lokasi pesantren merupakan lokasi yang dipenuhi semak belukar. Di awal pembangunan hutan, tanaman yang ditanam adalah sengon seluas 30 ha dan hutan bambu seluas 10 ha. Tanaman sengon ini memiliki daur yang cukup pendek yaitu 5 tahun sehingga dari tahun 1993 - 1995 tanaman tersebut sudah dapat dipanen dengan teknik tebang habis. Kemudian setelah pemanen selesai, lahan tersebut ditanami tanaman palawija seperti singkong, sampai akhirnya ditanami sengon kembali. Pertumbuhan tanaman sengon di hutan pesantren tidak terlalu bagus dimana tanamannya tumbuh kerdil dan ukuran diameternya kecil, sehingga pada tahun 1999 dirubah dengan tanaman mangium melalui kerja sama dengan Perhutani. Pola kerja sama yang dilakukan adalah pola kemitraan dengan kontrak kerja sama selama lima tahun. Sebagai langkah percobaan, ditanami tanaman mangium seluas 10 hektar. Dengan pola kemitraan tersebut, pesantren mendapatkan bantuan berupa pembinaan, dan penyediaan bibit mangium. Adapun hasil dari kegiatan pemanenan sepenuhnya untuk pesantren tanpa ada pembagian kepada Perhutani. Pada dasarnya, kerja sama antara Perhutani dan Pesantren Darunnajah 2 Cipining dimaksudkan agar Pesantren dapat menjaga keamanan hutan milik Perhutani, karena wilayah Perhutani berada di tepi wilayah pesantren. Setelah kontrak dengan Perhutani berakhir tahun 2004, maka pesantren mengelola hutannya secara mandiri. Saat ini, luas hutan yang sedang dikelola pesantren adalah 52 hektar dengan tegakan utama mangium.

4.4. Perkembangan Usaha Hutan Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memerlukan biaya utuk menjalankan programnya. Oleh karena itu, pesantren membuat usaha sebagai sumber dalam membiayai operasional pesantren. Saat ini sumber pendanaan yang tetap bagi Pesantren Darunnajah 2 Cipining hanya ada dua yaitu iuran santri dan usaha pesantren. Salah satu usaha yang dijalankan adalah pengelolaan hutan dengan tanaman mangium. Usaha pengelolaan hutan oleh Pesantren Darunnajah 2 Cipining telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pesantren. Hal ini ditunjukkan dengan semua kebutuhan rumah tangga yang menggunakan kayu seperti lemari, meja belajar, kusen, dan lain-lain berasal dari hutan pesantren. Hutan Pesantren Darunnajah 2 Cipining telah menghasilkan kayu 520 m 3 tahun. Selanjutnya dari hasil usaha budidaya hutan ini bila dikonversi ke dalam rupiah dimana mencapai Rp 194.211.200,-tahun. Pada awalnya, pesantren hanya bisa menjual kayunya dalam bentuk kayu gelondongan. Untuk meningkatkan nilai kayu, akhirnya pada tahun 2007, pesantren mendirikan industri gergajian untuk mengolah kayu yang berasal dari hutan pesantren, sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada kayu gelondongan. Industri penggegajian sendiri telah menghasilkan kayu olahan sebesar 240m 3 tahun. Setelah industri penggergajian berdiri, penjualan kayu glondongan tidak dijalankan. Pengelolaan hutan oleh Pesantren Darunnajah 2 Cipining dikepalai oleh kepala biro usaha yang membawahi semua usaha pesantren. Adapun struktur organisasi yang terbentuk dalam pengelolaan hutan pesantren disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Struktur organisasi hutan pesantren Struktur organisasi di atas cukup sederhana dalam hal pengelolaan hutan pada umumnya. Kebijakan-kebijakan yang diambil dalam pengelolaan kehutanan diatur dan ditentukan sepenuhnya oleh kepala biro usaha pesantren dan Kepala bidang kehutanan. Tugas mandor adalah melakukan pengawasan secara langsung di lapangan mengenai penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Dua mandor tersebut membawahi karyawan tetap hutan pesantren yag berjumlah 18 yang terdiri dari 8 laki-laki dan 10 perempuan. Para karyawan hutan tersebut digaji oleh pesantren sebesar Rp 20.000 – Rp 30.000hari.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN