harus mencapai suatu ukuran yang dapat dimanfaatkan sehingga kayu yang dihasilkan dapat dipasarkan atau sebagai kayu bakar.
i. Penanaman kembali
Bekas pohon yang ditebang harus segera ditanam kembali sehingga jumlah tanaman akan selau tetap. Oleh karena itu, setiap akan melakukan penebangan
petani sudah menyiapkan bibit untuk ditanam sebagai pengganti pohon yang akan ditebang.
j. Kemurnian tanaman
Penanaman kayu terutama pada usia muda dianjurkan untuk ditanam bersama dengan tanaman lain, terutama tanaman bawah yang tidak saling mengganggu.
Tanaman yang dianjurkan sebagai tanaman sela antara lain adalah tanaman palawija, tanaman ekonomi, umbi-umbian, dan lain-lain. Bahkan padi gogo dan
jagung juga banyak digunakan sebagai tanaman campurannya. Tanaman campuran tersebut hanya dapat ditanam sampai dengan daun pohonnya tidak
terlalu rapat menutupi bagian bawah pohon dan sinar mataharinya masih tetap dapat menjangkau tanaman palwija yang ada di bawahnya.
2.3. Kontribusi Hutan Rakyat
Pengembangan di bidang ekonomi, pada umumnya pondok pesantren berkecimpung dalam berbagai jenis usaha ekonomi di sektor pertanian
agrobisnis. Hal ini dapat dipahami mengingat sebagian besar atau 78,5 dari 14.067 pondok pesantren berkedudukan di daerah pedesaan. Dengan kegiatan
pengembangan ini pondok pesantren meraih minimal tiga manfaat sekaligus, yaitu pertama, mendidik dan membekali para santri dengan pengetahuan, keterampilan,
dan jiwa kewirausahaan. Kedua, mendidik masyarakat sekitar pondok pesantren tentang cara-cara dan teknis yang lebih maju dalam menjalankan usaha agrobisnis
dan sekaligus memperkenalkan berbagai komoditas baru yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih baik. Ketiga, meningkatkan dan menambah sumber-sumber
pendapatan bagi pondok pesantren dan masyarakat Khaeroni 2010. Pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan secara intensif diperkirakan
mampu memberikan manfaat ekonomi terhadap pihak-pihak penyedia input yang lebih luas. Dengan demikian peran pengusahaan hutan rakyat dalam
perekonomian desa minimal mampu memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga pelaku hutan rakyat secara mikro, yang pada gilirannya memberikan
kontribusi terhadap pendapatan desa. Selain peran memberikan kontribusi pendapatan, pengusahaan rakyat juga mampu memberikan lapangan pekerjaan
terhadap tenaga kerja produktif juga mampu menstimulir usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat, bahkan hutan
rakyat juga terbukti mampu meminimalisir dampak krisis moneter Darusman 2006.
2.4. Mangium Acacia mangium
Acacia mangium yang juga dikenal dengan nama mangium, merupakan nama dari salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang paling umum digunakan
dalam program pembangunan hutan tanaman di Asia dan Pasifik. Keunggulan dari jenis ini adalah pertumbuhan pohonnya yang cepat, kualitas kayunya yang baik,
dan kemampuan toleransinya terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan
National Research Council 1983.
Mangium merupakan tanaman yang berasal dari keluarga Leguminoseae dan di Indonesia memiliki beberapa nama lokal yang antara lain mangga hutan,
tonkehutan Seram, nak Maluku, laj Aru, dan Jerri Irian Turnbull 1986. Di Negara lain pohon mangium memiliki nama local, antara lain black wattle,
brwnsalwood, hickory wattle, mangium, sabahsalwood Australia, Inggris, mangium, kayu safoda Malaysia, arr Papua Nugini, maber Filipina,
zamorano Spanyol, dan krathintepa Thailand Hall et al. 1980; Turnbull 1986. Pohon mangium umumnya besar dan bisa mencapai ketinggian 30 m,
dengan batang bebas cabang lurus yang bisa mencapai lebih dari setengah total tinggi pohon. Pohon mangium jarang mencapai diameter setinggi dada lebih dari
60 cm, akan tetapi di hutan alam Queensland dan Papua Nugini pernah dijumpai pohon dengan diameter hingga 90 cm National Research Council, 1983. Di
tempat tumbuh yang buruk pohon mangium bisa menyerupai semak besar atau pohon kecil dengan rata-rata antara 7 m sampai 10 m Turnbull 1986.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang dilaksanakan pada bulan
September - Oktober 2011.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah form kuisioner, kamera digital, alat perekam, alat tulis, alat hitung, alat pengukur tinggi pohon,
meteran phiband, peta hutan pesantren, dan peta situasi lokasi penelitian.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: 1.
Pengamatan observasi; yaitu teknik pengambilan data melalui pengamatan langsung di lapangan terhadap obyek yang diteliti. Observasi dilakukan
terutama untuk mengetahui kondisi hutan pesantren dan pola tanam yang dilakukan di hutan pesantren.
2. Wawancara; yaitu teknik pengambilan data dengan cara tanya jawab yang
dilakukan terhadap pengelola utama hutan pesantren. Wawancara dilakukan dengan dua teknik yaitu wawancara secara struktur dengan menggunakan
daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan wawancara bebas tanpa daftar pertanyaan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.
3. Pengukuran; yaitu melakukan pengukuran jumlah pohon, diameter pohon cm,
dan tinggi bebas cabang m pada tegakan hutan pesantren untuk mengetahui gambaran mengenai volume dan struktur tegakan hutan pesantren yang
diusahakan oleh pesantren.
3.4. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 2 berikut: