Management Model of Islamic Boarding School Forest (A case study in Darunnajah 2 Islamic Boarding School Cipining, Argapura Village, Cigudeg Sub District, Bogor Regency, West Java)

(1)

MODEL PENGELOLAAN HUTAN PESANTREN

(Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Oleh:

Kiki Ahmad Zakiyudin E14062437

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

Kiki Ahmad Zakiyudin. E14062437. “Model Pengelolaan Hutan Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menjadi alternatif bagi para orangtua untuk menitipkan anak-anaknya menimba ilmu. Dengan meningkatnya jumlah santri di pesantren, menyebabkan kebutuhan semakin besar. Oleh karena itu, perlu ada sebuah terobosan khususnya di bidang ekonomi dalam rangka menopang perekonomian pesantren. Banyak pesantren di Indonesia berdiri di atas tanah wakaf, salah satunya adalah Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining. Sejak awal berdirinya, tanah wakaf yang diberikan belum digunakan sepenuhnya secara produktif. Oleh karena itu, agar tanah wakaf bisa optimal, maka pesantren tersebut membangun usaha di bidang kehutanan. Usaha ini dikembangkan agar hasilnya bisa dirasakan dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu, pembangunan hutan pesantren didasarkan pada keinginan pesantren untuk membiayai semua kebutuhannya berasal dari hasil alam. Untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan hutan pesantren, maka dilakukan penelitian yang bertujuan: 1) Mengidentifikasi bentuk pengelolaan hutan pesantren; 2) Menghitung nilai potensi tegakan hutan pesantren; 3) Menghitung kontribusi dari usaha kehutanan.

Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Oktober 2011. Data yang dikumpulkan berupa data primer melalui wawancara terstruktur dan tidak terstruktur terhadap key person dan data sekunder diperoleh melalui studi literatur. Pengolahan data dilakukan dengan perhitungan dan diaplikasikan dalam bentuk tabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif.

Hutan Pesantren Darunnajah 2 Cipining memiliki luas 52 ha dan terbagi ke dalam 12 blok. Blok-blok tersebut antara lain Sibali 1 (8 ha), Sibali 2 (6,5 ha), Sibali 3 (6 ha), Sibali 4 (4,5 ha), Cipayung (7 ha), Cikarang 1 (2 ha), Cikarang 2 (1,5 ha), Ciapus (4,5 ha), Segaraan (3 ha), Gudawang 1 (4 ha), Gudawang 2 (3,5 ha), dan Gudawang 3 (1,5 ha). Secara umum pengelolaan hutan pesantren belum sepenuhnya tertata rapi, hal ini dibuktikan dengan belum berjalannya tempat persemaian benih mangium, sistem jarak tanam yang belum konsisten, dan teknik penebangan yang belum benar. Kegiatan pengelolaan hutan pesantren meliputi penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Adapun sistem penebangannya adalah tebang habis, dan pola tanamnya adalah monokultur dengan jenis tanaman mangium (Acacia mangium). Berdasarkan hasil perhitungan potensi tegakan setiap KU antara lain KU I 8,88 m3/ha, KU II 13,26 m3/ha, KU III 40,03 m3/ha, KU IV 139,25 m3/ha, dan KU V 130,01 m3/ha. Dari total usaha yang dijalankan, industri penggergajian memberikan kontribusi pendapatan terbesar kepada pesantren yaitu sebesar 34,18%, sedangkan usaha budidaya hutan sendiri pada urutan kedua yaitu sebesar 20,97%. Karena kedua usaha tersebut masih dalam satu rangkaian kegiatan, maka jika digabungkan kontribusi usaha kehutanan adalah sebesar 55,15%.


(3)

SUMMARY

Kiki Ahmad Zakiyudin. E14062437. “Management Model of Islamic Boarding School Forest (A case study in Darunnajah 2 Islamic Boarding School Cipining, Argapura Village, Cigudeg Sub District, Bogor Regency, West Java)”. Under supervision of Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.

Islamic Boarding school is the institution that became an alternative for parents to entrust their children to get knowledge. The increasing number of students in Islamic boarding schools, lead the greater developement of islamic boarding school. Therefore, there should be a breakthrough, especially in the economic field in order to shore up the economy of the school. Many boarding schools in Indonesia built on the waqaf land, one of which is an Islamic boarding school Darunnajah 2, Cipining. Since its establishment, the waqaf lands have not been used productively. Therefore, in order to optimize the waqaf land, the school developed a business based on agroforestry. Benefit of this business is expected to be felt in a long period. In addition, developement of forest is based on the desire of the school to cover all the needs which could be gotten from natural products. In order to know the effectivity of forest management at Islamic boarding school, a scientific research was designed to : 1) Identify the form of forest management ; 2) Calculate the potential value of forest ; 3) Calculate the contribution of the forestry business.

The experiment was conducted in September to October 2011. The collected data was a primary data that was obtained through structured and unstructured interviews of key persons and secondary data was obtained through the study of literature. Data processing was done by calculation and applied to tabulated form to be analyzed descriptively. Darunnajah forest has an area of 52 hectares which is divided into 12 blocks. Blocks include Sibali 1 (8 ha), Sibali 2 (6.5 ha), Sibali 3 (6 ha), Sibali 4 (4.5 ha), Cipayung (7 ha), Cikarang 1 (2 ha), Cikarang 2 (1.5 ha), Ciapus (4.5 ha), Segaraan (3 ha), Gudawang 1 (4 ha), Gudawang 2 (3.5 ha), and Gudawang 3 (1.5 ha). In general, forest management has not been organized properly. There is no mangium seed place, unconsistence spacing system, and harvesting techniques that was not correct were the evidence of unorganized management. Forest management activities in schools include land preparation, seedlings, planting, maintenance, and harvesting. The system is clear-cutting, and cropping patterns are monocultures with plants mangium (Acacia mangium). Based on calculations of the potential stand KU: KU I 8.88 m3/ha, KU II 13.26 m3/ha, KU III 40.03 m3/ha, KU IV 139.25 m3/ha, and KU V 130.01 m3/ha. From the total business, sawmill industry contributed the largest revenue to the schools 34.18%, while the cultivation of forests was in second place 20.97%. Since both of these efforts are still in a series of activities, the combined contribution of forestry is 55.15%.


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Model Pengelolaan Hutan Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Kiki Ahmad Zakiyudin NRP E14062437


(5)

Judul Skripsi : Model Pengelolaan Hutan Pesantren ( Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Nama : Kiki Ahmad Zakiyudin

NIM : E14062437

Menyetujui Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc NIP. 196412171990021001

Mengetahui

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 196304011994031001


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang diberikan-Nya, sehingga skripsi ini bisa diselesaikan. Sholawat dan salam penulis juga haturkan kepada manusia agung dan teladan umat, Nabi Muhammad SAW. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan tahun 2012 adalah hutan pesantren, dengan judul Model Pengelolaan Hutan Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi bentuk pengelolaan hutan yang diterapkan, menghitung nilai potensi tegakan hutan pesantren, dan menghitung kontribusi dari usaha kehutanan terhadap pendapatan total usaha pesantren.

Penulis menyadari bahwa skripsi hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan penulis demi kesempurnaannya. Semoga skripsi hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang memerlukan serta berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2012 Penulis


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karawang, Jawa Barat pada tanggal 8 Mei 1987 dan merupakan anak kelima dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak A. Yusuf Rahman dengan Ibu Pipih Sofiah.

Pada tahun 2000, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Kamojing I, kemudian melanjutkan studi di SLTPN I Cikampek dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SMA Negeri I Pandeglang dan lulus pada tahun 2006. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2007, penulis mulai belajar di Fakultas Kehutanan IPB.

Selama menempuh program sarjana penulis aktif sebagai ketua divisi syiar Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT) IPB (2006-2007), sekretaris umum DKM Ibadurrahman (2007), ketua forum instruktur tahsin LPQ Al-Hurriyyah (2008-2010), ketua divisi tahsin dan tahfizh LPQ Al-Hurriyyah (2007-2008), ketua LPQ Al-Hurriyyyah (2008-2009), ketua PSDM Badan Pengelola Rumah Tangga (BPRT) DKM Hurriyyah (2009-2010), pengurus BPRT DKM Al-Hurriyyah (2008-2010), serta asisten praktikum matakuliah Pendidikan Agama Islam (2008-2011).

Tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Jawa Barat jalur Sancang – Kamojang. Tahun 2010 penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Selanjutnya tahun 2011 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) selama 2 bulan di PT. Sarminto Parakantja Timber, Kalimantan Tengah.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul Model Pengelolaan Hutan Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) yang di bimbing oleh Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc.


(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitiannya yang berjudul “Model Pengelolaan Hutan Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyelesaian skripsi hasil penelitian ini. 2. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.. selaku dosen pembimbing akademik atas

bimbingan dan dukungan yang diberikan selama masa studi.

3. Dr. Ir. Harnios Arief, MSc selaku dosen penguji ujian akhir yang telah memberikan saran, nasihat, serta evaluasi yang membangun.

4. Dosen dan staf di Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB atas nasihat serta ilmu yang telah banyak disampaikan.

5. Bapak (A. Yusuf Rahman), ibu (Pipih Sofiah), ibu mertua (Elsi Murwani), kakak (Teh Ida, Teh Iis, Teh Aam, A Uus), adik (Pupu, Zahro, Ratu), serta keluarga tercinta untuk kasih sayang, dukungan, kesabaran, perhatian, bimbingan, serta doa yang tiada henti-hentinya.

6. Istri (Adkhilni Utami, S.KH) dan putra (Muhammad Hafizh Izzuddin) yang selalu menjadi penyejuk hati.

7. Ustadz Trimo dan staf biro usaha Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian.

8. Drs. E. Syamsudin, Dr. Hasyim, DEA, Dr. Trisna Priadi, Dr. Ahmad, Dr. Irmansyah, Dr. Abdul Munif, Asep Nurhalim, Lc, dan Ust. Hamzah yang senantiasa memberikan bimbingan dengan nilai-nilai islam kepada saya. 9. Murobbi (Dedi Mulyono) dan lingkaran kecilku yang telah memberikan


(9)

10. Saudaraku Faris Fakhri, S.Pt yang rela mengorbankan waktunya untuk membantu dalam penelitian saya, serta Rizka Ardhiyana, S.Tp yang telah ikhlas meminjamkan laptopnya untuk mengerjakan karya ilmiah.

11. Rekan-rekan seperjuangan di DKM „Ibadurrahman FAHUTAN atas setiap waktu yang diperjuangkan dan ukhuwah yang tidak pernah tergoyahkan. 12. Rekan-rekan MNH angkatan 43 serta senior dan adik angkatan di FAHUTAN

yang telah memberikan motivasi serta doa.

13. Saudara-saudari seperjuangan: Ksatria 43, Gatot, Marboth Al-Hurriyyah, dan Buroq 43 atas persaudaraan yang indah.

14. Semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan penulis demi kesempurnaannya. Semoga skripsi hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang memerlukan serta berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2012


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan ... 5

1.4. Manfaat ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pondok Pesantren ... 6

2.2. Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat ... 8

2.3. Kontribusi Hutan Rakyat ... 13

2.4. Mangium (Acacia mangium) ... 14

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 15

3.4. Jenis dan Sumber Data ... 15

3.5. Metode Pengambilan Contoh ... 16

3.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 17

BAB IV KONDISI UMUM 4.1. Lokasi Penelitian ... 19

4.2. Kondisi Fisik dan Iklim Hutan Pesantren ... 19

4.3. Sejarah Singkat Pegelolaan Hutan Pesantren ... 21

4.4. Perkembangan Usah Hutan Pesantren ... 26

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengelolaan Hutan Pesantren ... 29

5.2. Potensi Tegakan Hutan Pesantren ... 38

5.3. Industri Penggergajian dan Pemasaran Hasil Hutan Pesantren.. 41

5.4. Kontribusi Usaha Hutan Pesantren ... 45

5.5. Perbedaan Sistem Pengelolaan Hutan Pesantren dengan Hutan Rakyat Daerah Lain ... 46

5.6. Partisipasi Santri Dalam Pengelolaan Hutan Pesantren ... 47

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 49

6.2. Saran ... 50


(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Data Jumlah Santri Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining ... 4

2. Jenis dan Sumber Data Primer ... 16

3. Jenis dan Sumber Data Sekunder ... 16

4. Nama-nama Blok di Hutan Pesantren Darunnajah 2 Cipining ... ... 21

5. Potensi tegakan mangium (Acacia mangium) di hutan pesntren ... 38

6. Pendapatan rata-rata per tahun usaha industri ... 43

7. Pengeluaran rata-rata per tahun industri penggergajian ... 43

8. Pendapatan rata-rata kegiatan usaha Pesantren Darunnajah 2 Cipining selama setahun ... 46


(12)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Lokasi penelitian ... 19

2. Sebaran tegakan mangium (Acacia mangium) ... 20

3. Struktur Organisasi Pesantren Darunnajah 2 Cipining ... 22

4. Struktur Organisasi Biro Usaha Pesantren ... 22

5. Peternakan domba ... 23

6. Peternakan kerbau ... 23

7. Struktur Organisasi Hutan Pesantren... 27

8. Lahan setelah dibakar ... 31

9. Kegiatan penanaman mangium ... 32

10. Kegiatan penyiangan ... 34

11. Tegakan belum dijarangi dengan umur < 1 tahun ... 35

12. Tegakan setelah dijarangi dengan umur < 4 tahun ... 35

13. Proses kegiatan pemanenan di hutan pesantren ... 37

14. Grafik Jumlah batang/ha tanaman mangium pada setiap umur ... 39

15. Grafik Volume/ ha tanaman mangium pada setiap umur ... 40

16. Hasil industri penggergajian ... 41

17. Hasil pembuatan peti telur ... 42

18. Saluran Pemasaran Hasil Hutan Pesantren Darunnajah 2 Cipining .. 44


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Daftar Pertanyaan Penelitian ... 54 2. Hasil Pengukuran Volume Tanaman Mangium (Acacia mangium) ... 59 3. Hasil Perhitungan Pendapatan Usaha Pesantren ... 83


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pesantren merupakan lembaga pendidikan non-profit yang memiliki ciri utama yaitu kemandirian. Hal tersebut ditunjukkan dengan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan para santri, ustadz, maupun para pegawai. Ketika pesantren masih berukuran kecil, dimana jumlah santrinya masih puluhan orang, dan kyai sebagai pengajar tunggal, maka seolah-olah pesantren adalah milik pribadi kyai. Pada tahap ini, kyai mampu memenuhi kebutuhan ekonomi pesantrennya karena kebutuhannya tidak terlalu besar. Namun, saat ini pesantren merupakan tempat yang menjadi alternatif bagi para orang tua untuk menitipkan anak-anaknya menimba ilmu ke lembaga tersebut. Berdasarkan data statistik Departemen Agama, pada tahun 2003 jumlah pesantren di Indonesia mencapai 14.067 buah, sedangkan pada tahun 2006 jumlah pesantren mengalami peningkatan yaitu menjadi 16.015 buah pesantren (Anonim 2012). Peningkatan jumlah pesantren yang diikuti peningkatan jumlah santri menyebabkan kebutuhan pesantren semakin besar. Oleh karena itu, perlu ada sebuah terobosan khususnya di bidang ekonomi dalam rangka menopang perekonomian pesantren.

Pesantren bukan sekedar pusat pendalaman agama, tafaqquh fiddin. Pesantren juga memiliki potensi pengembangan ekonomi karena pesantren merupakan komunitas yang terjalin dalam ikatan saling percaya yang sangat kuat. Adanya kegiatan ekonomi pesantren memberikan nilai strategis bagi pesantren sebagai lembaga pendidikan. Hal tersebut bisa menjadi peluang bagi para santri dalam peningkatan skill, keterampilan, dan wawasan. Saat ini, peran dunia pesantren dalam pengembangan ekonomi bukan sekedar wacana. Seiring kian parahnya kondisi ekonomi bangsa, terpaan krisis ekonomi, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta banyaknya siswa putus sekolah telah menginspirasi sejumlah pesantren untuk memberi perhatian lebih pada aspek ekonomi.

Banyak pesantren di Indonesia menggunakan tanah wakaf yang diberikan oleh para warga sekitar atau wali murid sebagai lahan pesantren. Namun, tanah wakaf yang diberikan biasanya belum digunakan dengan optimal sehingga


(15)

mengakibatkan lahan tersebut tidak produktif dan terbengkalai. Studi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2006) menunjukkan bahwa harta wakaf di Indonesia secara nasional tercatat mencapai hampir 363 ribu bidang tanah, dengan nilai secara nominal diperkirakan mencapai Rp 590 triliyun. Ini setara dengan lebih dari 67 milyar dolar AS (kurs Rp 9.250/dolar). Tetapi wakaf yang begitu besar belum memberikan kontribusinya secara sosial dan belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (Saidi 2010). Begitu pula dengan pesantren dimana sebagian besar tanahnya adalah tanah wakaf dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perekonomian pesantren tersebut.

Salah satu usaha yang dapat dikembangkan dan menjadi sumber pendapatan bagi pesantren dalam melaksanakan programnya adalah hutan pesantren. Hutan pesantren merupakan hutan yang pengelolaannya oleh institusi pesantren dengan pemilikan lahan milik pesantren. Jika mengacu pada UU 41 tahun 1999, maka hutan pesantren dikategorikan ke dalam hutan hak karena berada pada lahan yang dibebani hak milik. Apabila usaha ini benar-benar dapat dilaksanakan oleh pesantren, maka hal tersebut dapat memberikan dampak bagi kesejahteraan warga pesantren, begitu pula masyarakat sekitar pesantren tersebut. Selain itu, pembangunan hutan rakyat di areal lahan milik pesantren akan menjadi sarana pendidikan bagi para santri untuk mengenal dunia kehutanan sehinga mereka dapat mengetahui dan memahami pentingnya konservasi hutan dan cara mengelola hutan secara lestari serta memanfaatkan hasil hutan dengan baik.

Salah satu pondok pesantren yang telah mengembangkan usaha kehutanan adalah Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Cigudeg, Bogor. Pesantren ini berdiri pada tahun 1986 di atas tanah wakaf seluas 70 ha. Sejak awal berdirinya, tanah wakaf yang diberikan belum digunakan sepenuhnya secara produktif. Hal ini menjadi pemikiran bagi pengurus pesantren bagaimana mengoptimalkan tanah wakaf yang belum produktif. Oleh karena itu, agar tanah wakaf yang diberikan dapat digunakan secara optimal, maka pesantren tersebut membangun usaha di bidang kehutanan. Bagi pengurus pesantren, usaha tersebut dkembangkan agar hasilnya bisa dirasakan dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu, pembangunan hutan pesantren didasarkan pada keinginan pesantren untuk membiayai semua kebutuhan pesantren berasal dari hasil alam.


(16)

Agar usaha hutan yang dijalankan berjalan dengan baik, sebuah institusi harus memiliki asas lestari dalam pengelolaann hutan. Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh Pesantren Darunnajah Cipining dilakukan penelitian dengan judul “Model Pengelolaan Hutan Pesantren di Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Cigudeg, Bogor”.

1.2.Perumusan Masalah

Pesantren, dengan ciri utama kemandiriannya, harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan baik para santri, ustadz/ ustadzah, maupun pegawai pesantren. Ketika pesantren memiliki jumlah santri semakin banyak, maka pemenuhan kebutuhan bagi mereka semakin besar. Salah satu pesantren dengan jumlah santri yang banyak adalah Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Cigudeg, Bogor. Saat ini pesantren tersebut memiliki jumlah santri sebanyak 1.551 orang (Tabel 1). Besarnya jumlah santri di sebuah pesantren menjadi sebuah pemikiran bagi pengelola pesantren untuk mencari sumber pendapatan. Pesantren tidak bisa mengandalkan hanya pada iuran para santri serta bantuan-bantuan dari sebuah perusahaan atau sebuah institusi tertentu untuk menutupi kebutuhan di pesantren. Oleh karena itu, salah satu solusi yang dapat menjadi sumber pendapatan pesantren adalah mendirikan unit usaha pesantren. Unit usaha tersebut diharapkan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan secara ekonomi, tetapi dapat melatih para santri untuk memiliki skill di bidang usaha tertentu dan memupuk jiwa kewirausahaan.

Tabel 1. Jumlah santri Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining tahun 2011

No Jenjang pendidikan Jumlah santri

Laki-laki Perempuan

1 Raudhatul Athfal/TK 27 25

2 Madrasah Ibtidaiyah 151 129

3 Madrasah Tsanawiyah 332 277

4 SMP 71 42

5 Madrasah Aliyah 111 149

6 SMK 83 84

7 Takhosus 36 34


(17)

Pemanfaatan lahan untuk dijadikan unit usaha pesantren bisa lebih baik agar lahan bisa digunakan secara optimal, seperti Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining yang menggunakan sebagian lahannya untuk dijadikan unit usaha pesantren. Usaha yang dijalankan di pesantren tersebut adalah usaha peternakan, industri penggergajian, pertanian, perikanan, perdagangan, dan kehutanan. Usaha-usaha tersebut dapat menjadi modal bagi pesantren untuk mencukupi kebutuhan secara ekonomi pesantren apabila bisa dijalankan dengan baik.

Salah satu usaha yang dijalankan di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining adalah usaha kehutanan. Sistem tanam yang diterapkan adalah monokultur dengan jenis tanaman mangium. Usaha tersebut telah berjalan selama 23 tahun dengan memanfaatkan lahan wakaf yang diberikan pemerintah kepada pesantren. Pembangunan hutan pada dasarnya memberikan dampak yang positif baik untuk perbaikan bentuk topografi tanah yang sebelumnya tandus dan kering menjadi tanah yang subur serta memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi suatu rumah tangga.

Usaha kehutanan akan memberikan kontribusi secara ekonomi apabila di dalamnya terdapat serangkaian kegiatan pengelolaan hutan. Kegiatan tersebut bisa dicontohkan misalnya apakah ada kegiatan perencanaan penanaman, bagaimana sistem pemanenan yang digunakan, dan lain-lain. Pada penelitian ini akan dikaji bagaimana model pengelolaan hutan yang diterapkan di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining.

1.3.Tujuan

Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi bentuk pengelolaan hutan pesantren yang diterapkan. 2. Menghitung nilai potensi tegakan hutan pesantren.

3. Menghitung kontribusi dari usaha kehutanan terhadap pendapatan total usaha pesantren.


(18)

1.4.Manfaat

Penelitian diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peneliti dalam menerapkan berbagai konsep, terutama konsep tentang pengelolaan hutan sehinggga bisa membandingkan antara teori kehutanan yang ada dengan konsep yang diterapkan oleh Pesantren Darunnajah 2 Cipining Bogor dalam pengusahaan hutannya. Selain untuk peneliti, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi berbagai kalangan:

1. Akademisi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber data, informasi, atau literatur bagi kegiatan-kegiatan penelitian maupun penulisan ilmiah selanjutnya.

2. Pesantren. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengaruh positif bagi pesantren untuk evaluasi dalam pengelolaan hutan yang diterapkan sehingga pengelolaan hutan dapat lebih baik lagi.

3. Kalangan non-akademisi, pemerintah, dan swasta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sebuah bahan pertimbangan untuk dijadikan rekomendasi bagi pesantren-pesantren di Indonesia dalam mengembangkan usaha hutan rakyat yang berbasis pesantren.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pondok Pesantren 2.1.1. Pengertian Pesantren

Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian tradisional dalam batasan ini menunjukkan bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (300-400 tahun) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian umat Islam Indonesia, yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia, dan telah mengalami perubahan hidup umat, bukan tradisional dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian (Mastuhu 1994).

2.1.2. Tujuan Pesantren

Menurut Mastuhu (1994) tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi

masyarakat, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW (mengikuti sunah Nabi). Selain itu, pesantren mendidik seorang muslim agar mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.

2.1.3. Pengelolaan Hutan Oleh Pesantren

Pesantren bukan sekadar pusat pendalaman agama, tafaqquh fiddin. Pesantren juga memiliki potensi pengembangan ekonomi. Sejarah awal pesantren sejatinya adalah sejarah kemandirian ekonomi, selain kemandirian pandangan keagamaan. Saat ini, sejumlah pesantren telah membuktikan kepiawaian mereka


(20)

memerankan diri sebagai pelaku ekonomi. Sebagian dalam bentuk pengembangan koperasi pesantren. Selain itu, ada sederet pesantren yang menekuni usaha agribisnis serta memproduksi kebutuhan konsumsi masyarakat (Karni 2009). Salah satu contoh usaha agribisnis adalah pengelolaan hutan. Beberapa contoh pesantren yang menjalankan usaha mandirinya adalah sebagai berikut:

1. Pesantren Luhur Al-Wasilah

Pesantren yang terletak di Kabupaten Garut ini dipimpin oleh Bapak Kyai Thonthowi Djauhari Musaddad. Pesantren tersebut melakukan sebuah program pembangunan pedesaan mandiri yang diarahkan bagi penguatan pelaksanaan otonomi desa, yang diupayakan pada optimalisasi partisipasi masyarakat desa, sikap kemandirian individu yang berorientasi pada kemandirian masyarakat desa. Kemandirian diterjemahkan sebagai kesanggupan suatu desa untuk memberdayakan setiap potensi sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya alam (SDA) yang semuanya dikelola menjadi kekuatan sistem di desa itu sendiri. Pesantren ini mengajak pada masyarakat sekitarnya untuk melestarikan lingkungan. Adapun bentuk kegiatan pelesatrian lingkungan dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) adalah kegiatan persemaian. Kegiatan ini bekerja sama antara mustame (masyarakat yang ikut pengajian di pesantren) dan pesantren Luhur Al-Wasilah. Kegiatan ini dapat dikatakan berhasil. Indikator keberhasilannya yaitu ekonomi masyarakat pelaksana program mengalami peningkatan seperti dapat menyekolahkan anak, membuat rumah, bahkan membeli lahan (Diniyati 2010). 2. Pesantren Cintawana

Yayasan pesantren Cintawana terletak di Desa Cikunten, Kecamatan Singapatna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pesantren ini didirikan pada tahun 1917 oleh K.H. Muhammad Toha (Alm.) dan sekarang dipimpin oleh generasi ke-3 yaitu Kyai Asep Sujai Farid.

Pesantren Cintawana memiliki perhatian terhadap hutan sejak milad (ulang tahun) ke-90. Keterlibatan pesantren dalam kegiatan kehutanan disebabkan oleh banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat setelah mereka bekerja sama dengan perusahaan atau pemerintah sehingga memerlukan pendamping. Pelibatan santri dilakukan dengan memilih santri-santri tertentu yang mempunyai minat saja terutama santri dewasa yang mempunyai potensi dan kemauan untuk


(21)

melakukan survey, pemetaan, dan lainnya. Bentuk perhatian yang dilakukan oleh pesantren adalah membentuk kelompok tani dimana pengelompokan petani berdasarkan letak lahan. Jumlah anggota kelompok tani 300 orang, terbagi dalam 35 ha lahan yang tersebar di Desa Cilolohan, Suka Senang, dan Cikesal. Pemilihan desa tersebut berdasarkan pada kesiapan kelompok dan kesiapan lahan yaitu ada lahan kritis. Setiap desa memiliki satu koordinator dan alumni pesantren yang membantu kegiatan ini (Diniyati et al. 2010).

3. Pondok Pesantren Darussalam

Pesantren yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur tersebut mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.112/Kpts-II/2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Persetujuan dan Pengesahan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Periode Tahun 2007-2016 atas nama Koperasi Pondok Pesantren Darussalam Provinsi Kalimantan Timur. Luas hutan yang dikelola adalah ± 21.690 ha (Dephut 2008).

2.2.Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat

Pergeseran dalam paradigma pembangunan dari pendekatan pembangunan yang tersentralisasi dan top down menuju pendekatan pembangunan partisipatif memberikan imbas juga kepada pembangunan kehutanan, dari kehutanan industrial (konvensional) menuju kehutanan yang berbasiskan masyarakat. Dalam kepustakaan terdapat beberapa istilah yang digunakan secara bergantian, saling melengkapi, atau bahkan tertukar, yakni community forestry, social forestry, participatory forestry, farm forestry, agroforestry, dan lain-lain (Suharjito et al.

2000).

Menurut Suharjito et al. (2000) umumnya istilah social forestry digunakan sebagai istilah payung yang mencakup program-program dan kegiatan kehutanan yang sedikit atau banyak melibatkan peranan masyarakat atau rakyat lokal, atau yang dikembangkan untuk kepentingan masyarakat banyak.


(22)

2.2.1. Hutan Rakyat

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.26/Menhut-II/2005 tentang pedoman Pemanfaatan Hutan Hak, hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah, yang lazim disebut dengan hutan rakyat yang di atasnya didominasi oleh pepohonan dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh bupati/ walikota. Menurut Hardjanto (2000), hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan. Oleh karena itu, hutan rakyat disebut hutan milik.

Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat. Keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikro organisme, mineral tanah dan air, serta udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan berbeda-beda antar kelompok masyarakat (Suharjito 2000).

2.2.2. Potensi Hutan Rakyat

Hutan rakyat telah sejak puluhan tahun yang lalu diusahakan dan terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya, tapi juga masyarakat dan lingkungannya. Sekalipun demikian pada awalnya keberadaan dan peran hutan rakyat kurang “dilirik” oleh para birokrat, peneliti maupun ilmuwan pada umumnya, hingga adanya temuan hasil penelitian IPB pada tahun 1976 dan UGM pada tahun 1977 tentang konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa yang ternyata sebagian besar disediakan oleh hutan rakyat (Darusman dan Hardjanto 2006).

Menurut Direktur Penghijauan dan Perhutanan Sosial (Departemen Kehutanan 1995) menyatakan bahwa hutan rakyat mempunyai manfaat ganda,


(23)

yaitu selain manfaat ekologis juga manfaat ekonomis. Departemen Kehutanan sendiri menegaskan bahwa tujuan pokok dari pengembangan hutan rakyat adalah antara lain memenuhi kebutuhan kayu, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperluas kesempatan kerja penduduk, dan salah satu upaya pengentasan kemiskinan.

Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya, yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor dinas yang menangani kehutanan di seluruh Indonesia mencapai 39.416.557 m3, dengan luas 1.568.415 ha, sedangkan data potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon yang ada mencapai 226.080.019 dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 batang (Anonim 2004 dalam Darusman dan Hardjanto 2006).

2.2.3. Pengelolaan Hutan Rakyat

Menurut Purwanto at al. (2004) dari hasil kajian dan studi hasil hutan rakyat yang dilakukan oleh Balai Sumber: Litbang Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS-IBB) di Surakarta, secara garis besar terdapat dua model pengelolaan hutan rakyat yaitu:

1. Monokultur (satu jenis kayu)

a. Agroforestry, kayu dengan tanaman semusim dan kayu dengan tanaman perkebunan.

b. Sylvopasteur, kayu dengan tanaman makanan ternak. c. Wanafarma, kayu dengan tanaman obat-obatan. 2. Polikultur atau campuran

Friday et al. (1999) menyatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat seperti

agroforestry terdiri dari: a. Pemilihan lokasi

Lokasi yang dipilih untuk ditanami kayu milik rakyat sebaiknya dipilih di kawasan-kawasan yang tidak dapat dijadikan lahan untuk pertanian secara


(24)

permanen. Apabila di lahan-lahan tersebut sudah ada tanaman-tanaman yang berupa tanaman kayu atau buah-buahan, maka tanaman kayu dapat dilaksanakan sebagai tanaman sisipan di antara tanaman lain yang sudah ada sehingga seluruh kebun akan menjadi lebih produktif.

b. Persiapan lahan

Tanah-tanah yang akan ditanami tanaman kayu pada umumnya berupa tanah yang telah berupa kebun dan terdapat tanaman lainnya serta tidak mengandung tumbuhan liar. Oleh karena itu, untuk menanam kayu tidak perlu dibersihkan secara keseluruhan. Setiap bibit yang akan ditanam cukup disiapkan lubang tanam yang berukuran kurang lebih 30 cm x 30 cm dengan kedalaman 30 cm yang sekelilingnya dibersihkan dan diameter lubangnya ± 100 cm (sistem camplongan). Apabila tanaman kayu akan ditanam bersama-sama dengan tanaman palawija dengan sendirinya persiapan lahan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.

c. Pemilihan jenis kayu

Jenis kayu yang dipilih sebaiknya jenis kayu yang sudah lazim ditanam di Pulau Jawa misalnya: kayu sengon, kayu afrika, mindi, dan lain-lain yang merupakan jenis kayu yang sudah dikenal dan telah mempunyai pasaran yang teratur baik sebagai bahan untuk kayu kontruksi maupun sebagai bahan baku untuk industri.

d. Pengadaan bibit

Pengadaan bibit dapat dilaksanakan secara vegetatif dengan bibit yang berasal dari batang atau cabang dan secara generatif. Pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek dan cangkokan pada tanaman muda sedangkan persiapan bibit secara generatif yang berasal dari biji maka penanamannya dapat dilaksanakan langsung dengan menanamkan biji di lapangan atau dibuat bibit dalam persemaian, tergantung sifat dan jenis kayu yang bersangkutan.

e. Pengangkutan

Mengangkut bibit dari persemaian ke lokasi penanaman perlu diperhatikan karena pengangkutan yang tidak baik dapat menyebabkan rusaknya bibit. Bahaya terbesar adalah kekurangan air dan kerusakan akar, sehingga diusahakan untuk memilih lokasi sumber air yang tersedia sepanjang tahun, dan kondisi tanah yang datar.


(25)

f. Penanaman

Jarak tanam yang tepat sesuai dengan rencana perlu ditetapkan dalam penanaman bibit. Apabila pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman lain, maka perlu diperhatikan jarak tanam yang diatur agar tidak saling mengganggu. Sementara itu, apabila tanaman kayu yang akan ditanam murni, maka perlu diperhatikan apakah akan dimulai dengan tanaman yang rapat, misalnya 3 m x 2 m. Hal ini akan tergantung dari kondisi lahan dan tujuan penanaman. Apabila akan dilaksanakan tumpangsari dengan jenis tanaman lain dapat dipilih jarak tanam 4 m x 5 m sehingga per ha akan diperoleh 500 pohon, sedangkan di antara dua larikan pohon dapat ditanam palawija atau tanaman lain sebagai tanaman campuran. Bila jaraknya sesuai, tanaman campuran tidak akan saling mengganggu tanaman pokoknya. Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim penghujan dan diberi pupuk dasar bila memungkinkan. Selain itu, diberi bahan mulsa yang digunakan di sekitar pohon yang dapat diambil dari hasil penyiangan tentunya yang tidak membahayakan.

g. Pemeliharaan tanaman

Pada dasarnya tanaman kayu yang masih muda harus dijaga dari gulma dan semak serta alang-alang yang berlebihan. Oleh karena itu, untuk mengurangi biaya pemeliharaan sebaiknya di antara larikan ditanami palawija yang tidak mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelei, kacang wijen, dan lain-lain. Kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan, penyiangan melingkar, meminimalkan persaingan, pemangkasan yang tepat, dan melindungi pohon dari hama dan penyakit. Pemeliharaan yang berupa penjarangan dan penyiangan akan sangat membantu pertumbuhan kayunya.

h. Penebangan

Penebangan pohon-pohon tergantung dari beberapa faktor, yaitu: tujuan penanaman, kondisi alami dari tanaman, kondisi pasar, dan cara menebang. Berdasarkan pengalaman penebangan dengan orientasi pasar, sebaiknya dilaksanakan secara tebang pilih. Perlu diperhatikan bahwa setiap penebangan harus ditanam kembali secepatnya. Apabila penebangan berupa pemeliharaan, yaitu penjarangan, maka perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang sudah


(26)

harus mencapai suatu ukuran yang dapat dimanfaatkan sehingga kayu yang dihasilkan dapat dipasarkan atau sebagai kayu bakar.

i. Penanaman kembali

Bekas pohon yang ditebang harus segera ditanam kembali sehingga jumlah tanaman akan selau tetap. Oleh karena itu, setiap akan melakukan penebangan petani sudah menyiapkan bibit untuk ditanam sebagai pengganti pohon yang akan ditebang.

j. Kemurnian tanaman

Penanaman kayu terutama pada usia muda dianjurkan untuk ditanam bersama dengan tanaman lain, terutama tanaman bawah yang tidak saling mengganggu. Tanaman yang dianjurkan sebagai tanaman sela antara lain adalah tanaman palawija, tanaman ekonomi, umbi-umbian, dan lain-lain. Bahkan padi gogo dan jagung juga banyak digunakan sebagai tanaman campurannya. Tanaman campuran tersebut hanya dapat ditanam sampai dengan daun pohonnya tidak terlalu rapat menutupi bagian bawah pohon dan sinar mataharinya masih tetap dapat menjangkau tanaman palwija yang ada di bawahnya.

2.3.Kontribusi Hutan Rakyat

Pengembangan di bidang ekonomi, pada umumnya pondok pesantren berkecimpung dalam berbagai jenis usaha ekonomi di sektor pertanian (agrobisnis). Hal ini dapat dipahami mengingat sebagian besar atau 78,5% dari 14.067 pondok pesantren berkedudukan di daerah pedesaan. Dengan kegiatan pengembangan ini pondok pesantren meraih minimal tiga manfaat sekaligus, yaitu pertama, mendidik dan membekali para santri dengan pengetahuan, keterampilan, dan jiwa kewirausahaan. Kedua, mendidik masyarakat sekitar pondok pesantren tentang cara-cara dan teknis yang lebih maju dalam menjalankan usaha agrobisnis dan sekaligus memperkenalkan berbagai komoditas baru yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih baik. Ketiga, meningkatkan dan menambah sumber-sumber pendapatan bagi pondok pesantren dan masyarakat (Khaeroni 2010).

Pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan secara intensif diperkirakan mampu memberikan manfaat ekonomi terhadap pihak-pihak penyedia input yang lebih luas. Dengan demikian peran pengusahaan hutan rakyat dalam


(27)

perekonomian desa minimal mampu memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga pelaku hutan rakyat (secara mikro), yang pada gilirannya memberikan kontribusi terhadap pendapatan desa. Selain peran memberikan kontribusi pendapatan, pengusahaan rakyat juga mampu memberikan lapangan pekerjaan terhadap tenaga kerja produktif juga mampu menstimulir usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat, bahkan hutan rakyat juga terbukti mampu meminimalisir dampak krisis moneter (Darusman 2006).

2.4. Mangium (Acacia mangium)

Acacia mangium yang juga dikenal dengan nama mangium, merupakan nama dari salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang paling umum digunakan dalam program pembangunan hutan tanaman di Asia dan Pasifik. Keunggulan dari jenis ini adalah pertumbuhan pohonnya yang cepat, kualitas kayunya yang baik, dan kemampuan toleransinya terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan (National Research Council 1983).

Mangium merupakan tanaman yang berasal dari keluarga Leguminoseae dan di Indonesia memiliki beberapa nama lokal yang antara lain mangga hutan, tonkehutan (Seram), nak (Maluku), laj (Aru), dan Jerri (Irian) (Turnbull 1986). Di Negara lain pohon mangium memiliki nama local, antara lain black wattle,

brwnsalwood, hickory wattle, mangium, sabahsalwood (Australia, Inggris), mangium, kayu safoda (Malaysia), arr (Papua Nugini), maber (Filipina), zamorano (Spanyol), dan krathintepa (Thailand) (Hall et al. 1980; Turnbull 1986). Pohon mangium umumnya besar dan bisa mencapai ketinggian 30 m, dengan batang bebas cabang lurus yang bisa mencapai lebih dari setengah total tinggi pohon. Pohon mangium jarang mencapai diameter setinggi dada lebih dari 60 cm, akan tetapi di hutan alam Queensland dan Papua Nugini pernah dijumpai pohon dengan diameter hingga 90 cm (National Research Council, 1983). Di tempat tumbuh yang buruk pohon mangium bisa menyerupai semak besar atau pohon kecil dengan rata-rata antara 7 m sampai 10 m (Turnbull 1986).


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2011.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah form kuisioner, kamera digital, alat perekam, alat tulis, alat hitung, alat pengukur tinggi pohon, meteran/ phiband, peta hutan pesantren, dan peta situasi lokasi penelitian.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. Pengamatan (observasi); yaitu teknik pengambilan data melalui pengamatan langsung di lapangan terhadap obyek yang diteliti. Observasi dilakukan terutama untuk mengetahui kondisi hutan pesantren dan pola tanam yang dilakukan di hutan pesantren.

2. Wawancara; yaitu teknik pengambilan data dengan cara tanya jawab yang dilakukan terhadap pengelola utama hutan pesantren. Wawancara dilakukan dengan dua teknik yaitu wawancara secara struktur dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan wawancara bebas tanpa daftar pertanyaan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.

3. Pengukuran; yaitu melakukan pengukuran jumlah pohon, diameter pohon (cm), dan tinggi bebas cabang (m) pada tegakan hutan pesantren untuk mengetahui gambaran mengenai volume dan struktur tegakan hutan pesantren yang diusahakan oleh pesantren.

3.4. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 2 berikut:


(29)

Tabel 2. Jenis dan sumber data primer

No Jenis data Sumber data

1. Latar belakang pembangunan hutan pesantren, tujuan pembangunan hutan, dan pengelola hutan.

Kepala biro usaha hutan pesantren

2. Kegiatan perencanaan, pembibitan, cara penanaman (cara penanaman, tata waktu kegiatan penanaman, pola tanam, jumlah bibit per tahun yang ditanam, biaya penanaman pertahun, dll), pemeliharaan (pemupukan, pemangkasan, penjarangan, dll), dan pemanenan (tujuan pemanenan, umur pohon yang ditebang, alat pemanenan, dan jumlah tenaga kerja).

Kepala biro usaha pesantren

3. Jumlah hasil produksi yang dijual dalam setahun, harga satuan dari hasil produksi yang dijual, dan pendapatan dari hutan pesantren.

Kepala biro usaha pesantren dan bendahara pesantren

4. Karakteristik industri penggergajian kayu yang meliputi tahun pendirian, izin pendirian, pengelola, dan kapasitas produksi.

Kepala usaha penggergajian kayu Pesantren

5. Jumlah pohon, diameter (cm), dan tinggi bebas cabang (Tbc) tegakan Acacia mangium yang diusahakan oleh Pesantren Darunnajah 2 Cipining.

Pengukuran langsung

Adapun data sekunder diperoleh melalui studi pustaka disajikan pada Tabel 3:

Tabel 3. Jenis dan sumber data sekunder

No Jenis data Sumber data

1.

2.

Kondisi umum lokasi penelitian yang meliputi kondisi geografis pesantren, kondisi fisik lingkungan pesantren.

Peta lokasi penelitian/ hutan pesantren.

Studi literatur dokumen Pesantren Darunnajah 2 Cipinng

Dokumen pesantren

3.5. Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh hanya dilakukan pada pendugaan potensi hutan pesantren. Penentuan plot contoh hutan Acacia mangium dilakukan dengan menggunakan metode Purpossive Sampling pada salah satu blok masing-masing


(30)

kelas umur tegakan mangium. Adapun umur dan luasan tegakannya adalah sebagai berikut:

Umur 1 tahun : 15 ha Umur 2 tahun : 10 ha Umur 3 tahun : 18 ha Umur 4 tahun : 5 ha Umur 5 tahun : 4 ha

Selanjutnya pada masing-masing umur tegakan dibuat plot contoh berukuran 20 m x 50 m sebanyak 1 plot contoh, sehingga dalam penelitian ini plot contoh yang dibuat adalah sebanyak 5 plot. Dalam plot contoh tersebut dihitung dan diukur jumlah pohon per plot, diameter (cm) dan tinggi bebas cabang (m) untuk mendapatkan data potensi tegakan dan struktur tegakan hutan pesantren dengan tegakan Acacia mangium.

3.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data

3.6.1.Informasi Pengelolaan Hutan Pesantren

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk mendapatkan informasi dan gambaran mengenai latar belakang pengusahaan dan sistem pengelolaan hutan rakyat di Pesantren darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. 3.6.2.Potensi Hutan Pesantren Darunnajah Cipining

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk mendapatkan gambaran mengenai potensi tegakan hutan rakyat Acacia mangium yang diusahakan oleh pesantren. Beberapa asumsi yang mendasari analisis potensi hutan pesantren sebagai berikut:

a. Jenis kayu yang akan ditentukan potensinya adalah jenis kayu komersial b. Daur ditentukan berdasarkan daur nyata di lapangan

c. Potensi dihitung umur daur, rumus volume kayu: Vst = ¼ x π x d2 x h x f

Adapun rumus-rumus yang digunakan dalam pendugaan potensi hutannya adalah sebagai berikut:


(31)

a. Kerapatan tegakan per hektar: ∑pohon tiap plot

0,1 ha

b. Volume pohon dengan rumus berikut: V = ¼ x π x d2 x Tbc x f

Keterangan:

V : Volume pohon (m3) d : diameter pohon (cm) Tbc : tinggi bebas cabang (m) f : angka bentuk mangium (0,7)

c. Volume per hektar (m3/ha) dapat dihitung dengan rumus: ∑pohon per hektar x volume pohon

3.6.2.Kontribusi Hutan Pesantren terhadap Pendapatan Pesantren

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara desktiptif berdasarkan tabulasi dan gambar untuk mendapatkan gambaran dan informasi mengenai besarnya pendapatan total Pesantren Darunnajah dari berbagai sumber usaha yang ada di Pesantren dan besarnya kontribusi pendapatan hutan pesantren terhadap pendapatan total pesantren. Besarnya pendapatan total pesantren dapat dihitung dengan rumus:

P = Ppt + Pi + Ppp + Ppi + Ppd +Pk P = Pendapatan total pesantren Ppt = Pendapatan Usaha Peternakan Pi = Pendapatan Usaha Industri

Ppp= Pendapatan Usaha Pertanian dan Perkebunan Ppi = Pendapatan Usaha Perikanan

Ppd= Pendapatan Usaha Perdagangan Pk = Pendapatan Usaha Kehutanan

Persentase pendapatan usaha kehutanan terhadap pendapatan total pesantren dapat dihitung dengan rumus:

%Pk = (Pk/P) x 100%

Pk = Pendapatan Usaha Kehutanan P = Pendapatan total usaha pesantren


(32)

BAB IV KONDISI UMUM

4.1. Lokasi Penelitian

Hutan Pesantren merupakan bagian dari wilayah Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining yang terletak di jalan Argapura kotak pos 1 Desa Argapura Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian

4.2. Kondisi Fisik dan Iklim Hutan Pesantren

Kondisi fisik menunjukkan keadaan yang dimiliki suatu wilayah tertentu dan berhubungan dengan fisiknya seperti keadaan tanah, relief, fisiografi, dan drainase. Keadaan tanah di lokasi penelitian berdasarkan hasil penelitian tim LPPM IPB (2006) secara garis besar tanah-tanah yang ditemukan terdapat lima subgroups, yaitu 1) Tropaquepts Litik, 2) Palehumults Tipik, 3) Paleudults Tipik, 4) Dystropepts Litik, dan 5) Haplohumults Tipik. Selanjutnya, relief di tempat penelitian tergolong ke dalam bentuk wilayah yang bervariasi dari datar sampai agak berombak (lereng 0-3%), yaitu yang digunakan untuk areal pesawahan dan danau atau bendungan, serta sebagian bangunan dan areal bermain, berombak (undulating) yaitu dengan kisaran lereng 3-8%, bergelombang (rolling) dengan kisaran lereng 8-15%, berbukit agak bergelombang (hilly torolling) dengan kisaran lereng > 30%. Dipandang dari fisiografinya, lokasi penelitian dalam tingkat tingginya atau jenisnya tergolong fisiografi lipatan (Folded muntain = F), sedangkan pada tingkat tengah atau macamnya tergolong fisiografi lipatan pula,


(33)

dan pada tingkat rendah atau rupanya tergolong fisiografi punggung lipatan (Fold ridge) yang bercampur dengan sedikit bukit karts, dengan cirri ditemukannya sink hole atau gua-gua kapur. Adapun drainase pada lokasi penelitian baik permukaan maupun dalam sebagian besar tergolong baik sampai sangat baik, hanya sebagian kecil yang tergolong berdrainase jelek, yaitu yang digunakan untuk sawah (LPPM IPB 2006).

Hutan Pesantren Darunnajah 2 Cipining berlokasi di Desa Argapura. Lokasi tersebut memiliki iklim yang umumnya merupakan iklim di Kecamatan Cigudeg, dengan temperatur berkisar 280C – 330C dan termasuk golongan C dan D berdasarkan Schmith dan Ferguson. Kelembaban udara rata-rata 80 persen, kecepatan angin rata-rata 3,2 knot, jumlah curah hujan 2.645 mm/tahun, dan jumlah hari hujan sebanyak 209 hari/tahun (Munawar 2010).

Hutan Pesantren Darunnajah 2 Cipining memiliki luas total 52 ha. Hutan tersebut terbagi ke dalam 12 blok dengan tegakan seumur pada setiap bloknya (Gambar 2). Setiap blok diberi nama dengan luas masing-masing berbeda (Tabel 3). Adapun jenis tanaman di hutan pesantren adalah mangium (Acacia mangium).


(34)

Tabel 4. Nama-nama blok di hutan Pesantren Darunnajah 2

No. Nama Blok Luas

(ha)

Umur (Tahun)

1 Sibali 1 8 2

2 Sibali 2 6,5 3

3 Sibali 3 6 1

4 Sibali 4 4,5 1

5 Cipayung 7 3

6 Cikarang 1 2 2

7 Cikarang 2 1,5 1

8 Ciapus 4,5 3

9 Segaraan 3 1

10 Gudawang 1 4 5

11 Gudawang 2 3,5 4

12 Gudawang 3 1,5 4

4.3. Sejarah Singkat Usaha Pegelolaan Hutan Pesantren

Berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 593.82/SK.259.S/AGR-DA/225-87, tanggal 24 Februari 1987 Pesantren Darunnah 2 Cipining berdiri di atas tanah wakaf seluas 70 hektar. Berdirinya Pesantren Darunnajah 2 Cipining ini dilatar belakangi karena Pondok Pesantren Darunnajah 1 Ulujami Jakarta Selatan tidak dapat menampung seluruh peminat yang mendaftar, sehingga mendorong pimpinan pesantren untuk mencari lokasi yang lain agar dapat menampung para santri yang mendaftar ke pesantren tersebut. Akhirnya tahun 1986 dimulai pencarian lokasi yang memungkinkan mendirkan pesantren dan ditemukanlah lokasi yang tepat yaitu di Kampung Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Adapun peresmian pesantren sendiri yaitu pada tanggal 18 Juli 1988. Sejak berdirinya pada tahun 1988, Pesantren Darunnajah 2 Cipining telah berusaha menerapkan model kepemimpinan dan pola manajemen modern. Saat ini, pimpinan pesantren dibantu oleh sembilan biro yaitu biro pendidikan, biro pengasuhan, biro keuangan, biro rumah tangga, biro usaha, biro dakwah dan humas, biro pengkaderan, biro ilmu dan teknologi, serta biro pramuka


(35)

dan pengembangan prestasi santri dengan struktur organisasi yang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur organisasi Pesantren Darunnajah 2 Cipining

Dari Gambar 3 salah satu struktur yang dimasukkan dalam struktur organisasi pesantren adalah biro usaha. Fungsi biro tersebut adalah mencari dana dalam rangka mendukung operasional semua kegiatan pesantren. Adapun usaha yang dijalankan oleh pesantren antara lain peternakan, industri, pertanian dan perkebunan, perikanan, perdagangan, dan kehutanan. Biro usaha memiliki struktur organisasi yang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur organisasi biro usaha pesantren

Usaha-usaha yang ditunjukkan Gambar 4 merupakan sumber pendapatan bagi pesantren untuk menjalankan program dan memenuhi kebutuhan bagi para santri. Berikut adalah penjelasan dri usaha-usaha Pesantren Darunnajah 2 Cipining:


(36)

1. Usaha Peternakan

Peternakan merupakan salah satu unit usaha yang dijalankan Pesantren Darunnajah 2 Cipining . Usaha ini dibangun pada 1995, dimana hewan yang diusahakan adalah domba dan ayam. Hanya saja pada 2004, usaha ternak ayam dihentikan, karena harga yang fluktuatif dan tidak terlalu memberikan keuntungan kepada pesantren. selain itu, isu adanya flu burung juga menjadi pertimbangan pesantren untuk menghentikan ternak ayam.

Hewan yang masih dijalankan sebagai usaha pesantren sampai saat ini adalah domba dan kerbau. Adapun model yang dikembangkan dari usaha tersebut adalah usaha penggemukan. Model ini dikembangkan karena waktu pemeliharaan sampai dijual tidak lama hanya sekitar 2 – 4 bulan. Hewan domba biasanya dijual ketika ada acara-acara tertentu, yaitu untuk aqiqah dan qurban. Sedangkan penjualan kerbau momennya tidak tentu, bahkan penentuan harga jual hanya ditaksir tanpa penimbangan yang biasa disebut dengan istilah jogrog. Untuk pemasaran sendiri, Pesantren Darunnajah 2 menjualnya hanya kepada pesantren-pesantren lainnya yaitu Pesantren Darunnajah 1, 2, 3, dan 4, serta Pesantren Darul Muttaqien.

Gambar 5. Peternakan domba Gambar 6. Peternakan kerbau

2. Usaha Pertanian dan Perkebunan

Usaha ini dimulai sejak didirikannya pesantren. Hasil pertanian utama bagi pesantren adalah padi. Berdasarkan hasil wawancara, padi yang dihasilkan merupakan hasil kerja sama dengan para petani masyarakat sekitar pesantren, dimana pengelolaan sawah diserahkan sepenuhnya kepada petani dan hasilnya dibagi dengan sistem paroan. Paroan adalah istilah pembagian hasil dengan


(37)

pembagian yang sama antara pengelola dengan yang memiliki lahan. Luas lahan yang digunakan untuk sawah adalah 2,6 hektar, tetapi yang produktif hanya 1,7 hektar. Setiap tahunnya sawah yang dikembangkan mengalami dua kali panen, dimana setiap kali panen padi yang dihasilkan kurang lebih 2 ton, dan dibagi masing-masing 1 ton. Jika diolah menjadi beras, maka dari 1 ton tersebut, maka akan mengahasilkan 7 kwintal.

Beras yang dihasilkan dari sawah pesantren digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari bagi para santri. Kebutuhan pesantren akan nasi sendiri tidak kurang dari 1,5 kwintal per harinya, sehingga hasil panen padi hanya cukup untuk lima hari. Selain ditanami padi, tanaman buah-buahan seperti pisang, kelapa, nangka, dan cempedak dikembangkan di pesantren.

Pisang merupakan salah satu komoditas yang dihasilkan di pesantren. Tanaman pisang senantiasa dipanen setiap minggunya, dimana dalam seminggunya tanaman pisang dipanen dua kali. Dalam seminggu pisang dipanen sebanyak 15 tandan, dimana setiap tandan terdapat 12 sisir. Tanaman pisang di pesantren ditanam tidak pada areal khusus, tetapi tanaman tersebut menyebar di sekitar areal pesantren. Pada 1998 sempat dilaksanakan penanaman tanaman pisang secara massal di lahan seluas 10 hektar. Kemudian tahun 2000-2004 pesantren bekerja sama dengan IPB melakukan penanaman tanaman pisang abaka di lahan seluas 25 hektar.

Selain pisang, buah yang menjadi komoditas yang dikembangkan di pesantren adalah kelapa. Buah kelapa dipanen satu minggu sekali. Dalam satu kali panen, tidak kurang dihasilkan kelapa sebanyak 90 – 100 butir. Selain itu, pesantren juga memiliki tanaman nangka untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari santri. Jadi, buah nangka yang dihasilkan tidak dijual. Buah nangka biasa dipanen seminggu sekali, dimana dalam satu kali petik bisa mencapai 18 buah. Sebagian besar nangka yang didapat dijadikan sayur. Selanjutnya, tanaman buah yang ada di pesantren selain yang di atas adalah buah campedak. Buah campedak hampir mirip seperti nangka, tapi bentuknya panjang dan lebih kecil dari buah nangka, dan aromanya harum. Saat ini, pesantren memiliki pohon campedak kurang lebih 40 pohon.


(38)

Selain tanaman buah, dikembangkan pula tanaman umbi-umbian. Tanaman yang diusahakan adalah singkong. Tanaman singkong biasa dipanen seminggu sekali dimana dalam satu kali panen menghasilkan 1,2 kwintal singkong.

3. Usaha Perikanan

Usaha perikanan sudah dua tahun tidak berjalan lagi. Berhentinya usaha ini karena pengelolaan yang kurang baik. Sebelumnya, jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan nila, ikan mas, ikan lele, dan ikan bawal. Berdasarkan hasil wawancara, usaha di bidang perikanan saat ini hanya penyewaan lahan untuk budidaya lobster yang dikembangkan oleh swasta.

4. Usaha Perdagangan

Banyaknya para santriwan dan santriwati di Pesantren Darunnajah 2 memberikan dorongan kepada pengelola pesantren untuk membentuk usaha yang dapat memenuhi kebutuhan para santri mulai dari makanan, alat kebersihan, dll. Akhirnya dibentuklah usaha perdagangan yang harapannya dapat mencukupi kebutuhan para santri tersebut. Adapun usaha yang dijalankan dalam usaha ini antara lain penyediaan kantin di lingkungan pesantren, warung serba ada (waserda), dan jasa seperti barber shop, laundry, dan warnet/wartel.

5. Usaha Industri Penggergajian

Industri gergajian merupakan salah satu usaha yang dijalankan oleh Pesantren Darunnajah 2. Usaha ini berdiri pada tahun 2007. Usaha ini didirikan untuk meningkatkan nilai kayu. Kayu yang dipanen dari hutan pesantren diolah dahulu sehingga kayu yang dihasilkan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Industri penggergajian sendiri baru memiliki satu unit yaitu Bain saw.

Industri penggergajian di Pesantren Darunnajah 2 memproduksi berbagai macam kayu olahan, antara lain balok, kaso, reng, papan, dan racuk (bahan baku

spring bed). Selain itu, industri gergajian juga memproduksi peti telur dari bahan sisa pembuatan kayu gergajian.

6. Usaha Kehutanan

Salah satu usaha Pesantren Darunnajah 2 yang menjadi andalan dalam pembiayaan operasional pesantren adalah usaha di bidang kehutanan, karena usaha tersebut memberikan konribusi yag cukup besar. Pembangunan hutan


(39)

pesantren sendiri didasarkan pada keinginan pesantren untuk membiayai semua kebutuhan pesantren berasal dari hasil alam.

Pembangunan hutan pesantren dimulai setelah berdirinya Pondok Pesantren Darunnajah 2 tahun 1988. Sebelumnya lahan di lokasi pesantren merupakan lokasi yang dipenuhi semak belukar. Di awal pembangunan hutan, tanaman yang ditanam adalah sengon seluas 30 ha dan hutan bambu seluas 10 ha. Tanaman sengon ini memiliki daur yang cukup pendek yaitu 5 tahun sehingga dari tahun 1993 - 1995 tanaman tersebut sudah dapat dipanen dengan teknik tebang habis. Kemudian setelah pemanen selesai, lahan tersebut ditanami tanaman palawija seperti singkong, sampai akhirnya ditanami sengon kembali.

Pertumbuhan tanaman sengon di hutan pesantren tidak terlalu bagus dimana tanamannya tumbuh kerdil dan ukuran diameternya kecil, sehingga pada tahun 1999 dirubah dengan tanaman mangium melalui kerja sama dengan Perhutani. Pola kerja sama yang dilakukan adalah pola kemitraan dengan kontrak kerja sama selama lima tahun. Sebagai langkah percobaan, ditanami tanaman mangium seluas 10 hektar. Dengan pola kemitraan tersebut, pesantren mendapatkan bantuan berupa pembinaan, dan penyediaan bibit mangium. Adapun hasil dari kegiatan pemanenan sepenuhnya untuk pesantren tanpa ada pembagian kepada Perhutani. Pada dasarnya, kerja sama antara Perhutani dan Pesantren Darunnajah 2 Cipining dimaksudkan agar Pesantren dapat menjaga keamanan hutan milik Perhutani, karena wilayah Perhutani berada di tepi wilayah pesantren. Setelah kontrak dengan Perhutani berakhir tahun 2004, maka pesantren mengelola hutannya secara mandiri. Saat ini, luas hutan yang sedang dikelola pesantren adalah 52 hektar dengan tegakan utama mangium.

4.4. Perkembangan Usaha Hutan Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memerlukan biaya utuk menjalankan programnya. Oleh karena itu, pesantren membuat usaha sebagai sumber dalam membiayai operasional pesantren. Saat ini sumber pendanaan yang tetap bagi Pesantren Darunnajah 2 Cipining hanya ada dua yaitu iuran santri dan usaha pesantren. Salah satu usaha yang dijalankan adalah pengelolaan hutan dengan tanaman mangium. Usaha pengelolaan hutan oleh Pesantren Darunnajah 2


(40)

Cipining telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pesantren. Hal ini ditunjukkan dengan semua kebutuhan rumah tangga yang menggunakan kayu seperti lemari, meja belajar, kusen, dan lain-lain berasal dari hutan pesantren.

Hutan Pesantren Darunnajah 2 Cipining telah menghasilkan kayu 520 m3/tahun. Selanjutnya dari hasil usaha budidaya hutan ini bila dikonversi ke dalam rupiah dimana mencapai Rp 194.211.200,-/tahun.

Pada awalnya, pesantren hanya bisa menjual kayunya dalam bentuk kayu gelondongan. Untuk meningkatkan nilai kayu, akhirnya pada tahun 2007, pesantren mendirikan industri gergajian untuk mengolah kayu yang berasal dari hutan pesantren, sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada kayu gelondongan. Industri penggegajian sendiri telah menghasilkan kayu olahan sebesar 240m3/tahun. Setelah industri penggergajian berdiri, penjualan kayu glondongan tidak dijalankan.

Pengelolaan hutan oleh Pesantren Darunnajah 2 Cipining dikepalai oleh kepala biro usaha yang membawahi semua usaha pesantren. Adapun struktur organisasi yang terbentuk dalam pengelolaan hutan pesantren disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur organisasi hutan pesantren

Struktur organisasi di atas cukup sederhana dalam hal pengelolaan hutan pada umumnya. Kebijakan-kebijakan yang diambil dalam pengelolaan kehutanan diatur dan ditentukan sepenuhnya oleh kepala biro usaha pesantren dan Kepala bidang kehutanan. Tugas mandor adalah melakukan pengawasan secara langsung di


(41)

lapangan mengenai penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Dua mandor tersebut membawahi karyawan tetap hutan pesantren yag berjumlah 18 yang terdiri dari 8 laki-laki dan 10 perempuan. Para karyawan hutan tersebut digaji oleh pesantren sebesar Rp 20.000 – Rp 30.000/hari.


(42)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengelolaan Hutan Pesantren

Pembangunan hutan pesantren di Pesantren Darunnajah 2 Cipining telah melewati kurun waktu yang cukup panjang, dimulai sejak tahun 1988 dan berlangsung sampai sekarang. Pembangunan hutan tersebut didasari keinginan pesantren untuk memenuhi kebutuhanya berasal dari alam, khususnya hasil berupa kayu yang sangat bermanfaat bagi kebutuhan rumah tangga pesantren seperti pembuatan meja, pintu, jendela, dll. Pesantren mampu memenuhi kebutuhannya melalui hutannya sendiri dengan memanfaatkan tanah wakaf.

Pembangunan hutan pesantren diawali dengan penanaman sengon yang berakhir tahun 2005. Tanaman sengon kemudian diganti oleh tanaman mangium mulai tahun 1999. Saat ini hutan pesantren telah sepenuhnya ditanami dengan tanaman mangium (Acacia mangium) yang dianggap lebih menguntungkan daripada sengon.

Beberapa yang perlu dibahas dalam pengelolaan hutan pesantren ini adalah sisitem silvikultur dan teknik silvikultur yang diterapkan oleh pesantren.

5.1.1. Sistem Silvikultur

Sistem silvikultur adalah kaidah dalam membangun hutan yang merupakan suatu siklus yang terdiri dari rangkaian kegiatan yang berurutan dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya (penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dll) untuk mencapai tujuan tertentu dalam pengelolaan hutan (Anonim, 2009). Berdasarkan sistem pemanenannya, terdapat beberapa sistem silvikultur yag dikenal, yaitu sistem tebang pilih, tebang habis, tebang rumpang, dan tebang jalur. Dari hasil pengamatan kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pesantren, sistem silvikultur pengelolaan hutan di Pesantren Darunnajah 2 Cipining dapat dikategorikan ke dalam sistem tebang habis. Sistem ini digunakan sejak rotasi awal hutan pesantren yaitu setelah tegakan mencapai umur 5 tahun. Setelah dilakukan penebangan, ada dua kebijakan yang dilakukan oleh pengelola hutan pesantren, yaitu lahan dibakar


(43)

kemudian ditanami kembali dan lahan dibakar kemudian dibiarkan yang kemudian akan tumbuh sendiri anakan baru. Kemudian sistem tanamnya adalah sistem monokultur, dimana pada area hutannya hanya ditanam satu jenis tanaman saja yaitu Acacia mangium.

Kegiatan penebangan di hutan pesantren dilakukakan apabila tegakan tersebut sudah mencapai umur 4 – 5 tahun dan diameternya mencapai 20 cm. Selain itu, penebangan pohon dilakukan apabila ada kebutuhan yang mendadak.

5.1.2. Teknik Silvikultur

Beberapa teknik silvikultur yang diterapkan di Pesantren Darunnajah 2 Cipining dalam pengelolaan hutannya dimulai dengan penyiapan lahan, pengadaan bibit tanaman, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

1. Penyiapan Lahan

Kegiatan penyiapan lahan merupakan bagian dari rangkaian pengelolaam hutan. Penyiapan lahan bertujuan untuk mempersiapkan lahan seoptimal mungkin. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Biro Usaha Pesantren bahwa yang menentukan kebijakan dilakukan penyiapan lahan adalah kepala biro usaha atas usulan mandor hutan pesantren. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kegiatan penyiapan lahan dilakukan pada lahan bekas tebangan dan lahan yang belum tergarap, dan cara penanganannya hampir sama yaitu lahan yang akan menjadi tempat tumbuh tanaman dibakar (Gambar 8). Pada lahan bekas tebangan, ada dua kebijakan yang dilakukan oleh pengelola hutan pesantren, yaitu ditanam kembali dan dibiarkan yang nantinya akan tumbuh sendiri anakan baru. Seperti pada blok cipayung, dimana blok tersebut tanamannya campuran yaitu sebagian hasil penanaman dan sebagian lagi merupakan tanaman yang tumbuh sendiri. Alasan mereka melakukan kebijakan dibakar kemudian dibiarkan karena terbatasnya biaya dan berpandangan produktivitasnya cepat. Langkah tersebut sudah berjalan selama tiga tahun. Selanjutnya pada lahan yang belum tergarap sebelum digarap, areal dibersihkan dahulu kemudian dibakar, setelah dibakar baru dibuatkan lubang yang kemudian dilakukan penanaman.


(44)

Gambar 8. Lahan setelah dibakar

Adapun penyiapan lahan di hutan pesantren dilakukan dua bulan sebelum penanaman yaitu pada bulan Oktober - November. Pada tahap penyiapan lahan ini, pesantren mempekerjakan 26 orang pekerja. Seluruh pekerja ini berasal dari masyarakat sekitar dengan status pekerja harian.

2. Pengadaan Benih dan Bibit

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Biro Usaha, pengadaan benih dilakukan untuk menyiapkan bibit yang akan ditanam pada lahan yang belum tergarap. Benih sendiri didapatkan dengan cara membeli kepada Perhutani. Karena persemaian di pesantren belum berjalan lagi, sehingga pembeliannya dalam bentuk bibit. Jadi bibit di hutan pesantren ada dua macam, yaitu bibit tanaman yang berasal dari cabutan di hutan pesantren dan yang berasal dari Perhutani. Jika dipersentasekan, bibit yang berasal dari cabutan adalah 60%, dan yang berasal dari Perhutani adalah sebesar 40%. Kebutuhan bibit per tahun adalah sebesar 15.000 bibit. Selanjutnya bibit yang siap ditanam adalah bibit yang berukuran 30 – 40 cm dengan umur bibit 4 bulan. Benih dan bibit yang dipilih pesantren sampai saat ini adalah tanaman mangium (Acacia mangium) karena tanaman tersebut bisa tumbuh baik pada lahan pesantren. Tanaman mangium dipilih karena tanah pesantren yang cocok sebagai tempat tumbuhnya mangium, mudah pemasarannya, serta tanamannya cepat dipanen dimana umur 4-5 tahun sudah bisa ditebang dengan diameter 15 cm – 30 cm.


(45)

3. Penanaman

Kegiatan penanaman dilakukan pada lahan yang sudah dibuatkan lubang tanam dengan jarak yang telah disesuaikan. Lubang tanam yang dibuat berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm. Jarak tanam yang diterapkan di hutan pesantren pada awal penanaman adalah 1 m x 1,5 m. Hanya saja berdasarkan pengamatan di lapangan, jarak tanam yang ada cukup bervariasi yaitu 1 m x 1 m, 1 m x 1,5 m, dan 2 m x 3 m. Kegiatan penanaman ini dilakukan pada musim hujan atau pada bulan bulan Desember yang ditanam secara manual.

Teknik penanaman bibit mangium dilakukan dengan cara manual yaitu bibit yang sudah siap tanam ditanam oleh tenaga manusia seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Bibit mangium sendiri berasal dari Perhutani dengan membeli, karena saat ini persemaian di pesantren tidak jalan lagi, sehingga untuk mendapatkan bibit yang baik pesantren membeli bibitnya ke Perhutani. Ada juga bibit mangium berasal dari hasil cabutan alam. Hanya saja kualitas cabutan alam tidak terlalu bagus. Oleh karena itu, pada lahan kosong yang baru akan ditanam pesantren menanam bibit mangium yaitu dengan bibit yang dibeli dari Perhutani.

Gambar 9. Kegiatan penanaman mangium

Selain dilakukan penanaman sendiri oleh pesantren, pada tahun 1999 pesantren bekerja sama dengan Perhutani melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program ini dilakukan agar masyarakat bisa ikut mengelola hutan pesantren dan tidak merambah ke wilayah Perhutani dimana wilayah Perhutani sangat berdekatan dengan hutan pesantren. Wilayah hutan pesantren selanjutnya ditanami oleh tanaman mangium bersama masyarakat


(46)

sekitar dimana bibit diperoleh dari Perhutani secara gratis. Proyek ini berjalan hingga tahun 2005, dan setelah itu pesantren memutuskan untuk mengelola hutannya secara mandiri. Selain itu, Pesantren Darunnajah 2 juga kerja sama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dari tahun 1998 s.d. 2004 yaitu pembangunan hutan dan perkebunan seluas 5 ha dalam rangka konservasi lingkungan di areal pesantren.

4. Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan dalam pengusahaan hutan sangat penting untuk dilakukan. Sebagai usaha yang telah dijalankan selama dua puluh tiga tahun, maka selalu dilakukan kegiatan pemeliharaan terhadap hutannya. Adapun kegiatan pemeliharaannya terdiri dari penyulaman, penyiangan, pemupukan, pemangkasan, dan penjarangan.

1. Penyulaman

Kegiatan penyulaman dilakukan setelah satu bulan penanaman. Sebelumnya tenaga kerja hutan pesantren akan melakukan penghitungan terhadap tanaman yang mati atau layu. Jika ada yang mati atau layu, maka tanaman tersebut akan diganti oleh tanaman yang baru. Adapun tanaman yang daunnya rontok, tetapi batangnya masih terlihat segar, maka tanaman tersebut tidak disulam. Tanaman mangium sudah bisa terlihat mati atau tidak setelah dua minggu dari penanaman. Kegiatan penyulaman ini dilakukan pada musim hujan setelah satu bulan penanaman.

2. Penyiangan

Kegiatan penyiangan dirasakan sangat penting bagi pesantren dalam pengelolaan hutannya. Tujuan dilakukan penyiangan adalah untuk membebaskan tanaman mangium dari belukar, tanaman pemanjat dan tanaman pengganggu lainnya. Penyiangan di hutan pesantren umumnya dilakukan pada tahun pertama dan kedua. Pesantren melakukan kegiatan penyiangan terhadap hutannya dua kali pada tahun pertama, selanjutnya tahun kedua dilakukan hanya satu kali. Gambar 10 adalah gambar kegiatan penyiangan.


(1)

No. Pohon Keliling (m) Diameter (m) Tinggi (m) Lbds (m2) Volume (m3)

53 0.510 0.162 12.500 0.021 0.181

54 0.650 0.207 12.000 0.034 0.283

55 0.510 0.162 13.000 0.021 0.188

56 0.450 0.143 12.500 0.016 0.141

57 0.530 0.169 12.000 0.022 0.188

58 0.320 0.102 12.000 0.008 0.068

59 0.310 0.099 11.000 0.008 0.059

60 0.530 0.169 13.000 0.022 0.204

61 0.580 0.185 13.000 0.027 0.244

62 0.560 0.178 13.000 0.025 0.227

63 0.410 0.131 12.000 0.013 0.112

64 0.580 0.185 12.000 0.027 0.225

65 0.380 0.121 11.500 0.011 0.093

66 0.530 0.169 12.500 0.022 0.196

67 0.510 0.162 11.000 0.021 0.159

68 0.360 0.115 11.000 0.010 0.079

69 0.540 0.172 12.500 0.023 0.203

70 0.400 0.127 11.500 0.013 0.103

71 0.510 0.162 13.000 0.021 0.188

72 0.320 0.102 11.000 0.008 0.063

73 0.600 0.191 11.500 0.029 0.231

74 0.540 0.172 11.500 0.023 0.187

Jumlah 11.500 869.500 1.561 13.001


(2)

Lampiran 3

HASIL PERHITUNGAN USAHA PESANTREN

1. Usaha Peternakan

Tabel Pendapatan rata-rata per tahun usaha peternakan Jenis Hewan

Ternak

Produksi Rata-rata yang Dijual

(ekor)

Harga Jual (Rp/ ekor)

Biaya (Rp)

Pendapatan (Rp)

Kerbau 18 9.000.000 90.000.000 72.000.000

Domba 186 1.200.000 130.200.000 93.000.000

Jumlah 165.000.000

2. Usaha Industri Gergajian

Tabel Pendapatan rata-rata per tahun usaha industri Jenis produk Satuan Produksi

rata-rata (/tahun)

Harga jual (Rp/satuan)

Hasil jual (Rp/tahun)

Balok m3 365 1.600.000 584.000.000

Kaso m3 273,75 900.000 246.375.000

Reng m3 91,5 1.100.000 100.650.000

Papan m3 182,5 1.200.000 219.000.000

Racuk m3 121,7 700.000 85.190.000

Peti telur buah 19.200 2.800 53.760.000

Sebetan Pick up 792 160.000 126.720.000

Serbuk gergaji Truk 48 250.000 12.000.000

Jasa Rental m3 120.000 5.760.000

Total 1.433.455.000

Tabel Keuntungan rata-rata per tahun usaha industri

Biaya (Rp/ tahun) Hasil Jual (Rp/ tahun) Pendapatan (Rp/ tahun) 1.116.900.000 1.433.455.000 316.555.000


(3)

3. Usaha Pertanian dan Perkebunan

Tabel Pendapatan rata-rata per tahun usaha pertanian dan perkebunan pesantren Jenis Tanaman Produksi Rata-rata

yang Dijual (*/ tahun)

Harga Jual Rata-rata

(Rp/ *)

Pendapatan Rata-rata (Rp/ tahun)

Pisang* 720 50.000 36.000.000

Singkong* 5760 1.500 8.640.000

Kelapa* 4800 2.500 12.000.000

Campedak* 24 250.000 6.000.000

Total 62.640.000

Ket * = Pisang dalam tandan, singkong dalam kg, kelapa dalam butir, campedak dalam pohon.

4. Usaha Perdagangan

Tabel Pendapatan usaha perdagangan dalam setahun

No Usaha Pendapatan

(Rp)

1 Koperasi Putra 61.735.521 2 Koperasi Putri 24.037.050 3 Kantin Putra -41.903.715 4 Kantin Putri 52.445.719 5 Kantin Pengkol 32.905.696 6 Kantin SMP 3.559.288 7 Kantin Café 1.063.000 8 Kantin Baso 19.439.920 9 Wartel Putra 1.352.000 10 Wartel Putri 1.600.000 11 Barbershop 148.000

12 Fotocopy 17.549.240

13 Barang bekas 1.069.750 14 Pulsa handphone 4.796.500 15 Warung mie pengkol 2.421.440

16 Walapa 3.094.600

Total 185,314,009


(4)

5. Usaha Kehutanan

Tabel Pendapatan pesantren dari sektor kehutanan dalam setahun Jenis hasil Satuan Produksi

(/tahun)

Pendapatan (Rp)

Pemanenan m3 520,028 164.211.200


(5)

RINGKASAN

Kiki Ahmad Zakiyudin. E14062437. “Model Pengelolaan Hutan Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining, Desa Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menjadi alternatif bagi para orangtua untuk menitipkan anak-anaknya menimba ilmu. Dengan meningkatnya jumlah santri di pesantren, menyebabkan kebutuhan semakin besar. Oleh karena itu, perlu ada sebuah terobosan khususnya di bidang ekonomi dalam rangka menopang perekonomian pesantren. Banyak pesantren di Indonesia berdiri di atas tanah wakaf, salah satunya adalah Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining. Sejak awal berdirinya, tanah wakaf yang diberikan belum digunakan sepenuhnya secara produktif. Oleh karena itu, agar tanah wakaf bisa optimal, maka pesantren tersebut membangun usaha di bidang kehutanan. Usaha ini dikembangkan agar hasilnya bisa dirasakan dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu, pembangunan hutan pesantren didasarkan pada keinginan pesantren untuk membiayai semua kebutuhannya berasal dari hasil alam. Untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan hutan pesantren, maka dilakukan penelitian yang bertujuan: 1) Mengidentifikasi bentuk pengelolaan hutan pesantren; 2) Menghitung nilai potensi tegakan hutan pesantren; 3) Menghitung kontribusi dari usaha kehutanan.

Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Oktober 2011. Data yang dikumpulkan berupa data primer melalui wawancara terstruktur dan tidak terstruktur terhadap key person dan data sekunder diperoleh melalui studi literatur. Pengolahan data dilakukan dengan perhitungan dan diaplikasikan dalam bentuk tabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif.

Hutan Pesantren Darunnajah 2 Cipining memiliki luas 52 ha dan terbagi ke dalam 12 blok. Blok-blok tersebut antara lain Sibali 1 (8 ha), Sibali 2 (6,5 ha), Sibali 3 (6 ha), Sibali 4 (4,5 ha), Cipayung (7 ha), Cikarang 1 (2 ha), Cikarang 2 (1,5 ha), Ciapus (4,5 ha), Segaraan (3 ha), Gudawang 1 (4 ha), Gudawang 2 (3,5 ha), dan Gudawang 3 (1,5 ha). Secara umum pengelolaan hutan pesantren belum sepenuhnya tertata rapi, hal ini dibuktikan dengan belum berjalannya tempat persemaian benih mangium, sistem jarak tanam yang belum konsisten, dan teknik penebangan yang belum benar. Kegiatan pengelolaan hutan pesantren meliputi penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Adapun sistem penebangannya adalah tebang habis, dan pola tanamnya adalah monokultur dengan jenis tanaman mangium (Acacia mangium). Berdasarkan hasil perhitungan potensi tegakan setiap KU antara lain KU I 8,88 m3/ha, KU II 13,26 m3/ha, KU III 40,03 m3/ha, KU IV 139,25 m3/ha, dan KU V 130,01 m3/ha. Dari total usaha yang dijalankan, industri penggergajian memberikan kontribusi pendapatan terbesar kepada pesantren yaitu sebesar 34,18%, sedangkan usaha budidaya hutan sendiri pada urutan kedua yaitu sebesar 20,97%. Karena kedua usaha tersebut masih dalam satu rangkaian kegiatan, maka jika digabungkan kontribusi usaha kehutanan adalah sebesar 55,15%.


(6)

SUMMARY

Kiki Ahmad Zakiyudin. E14062437. “Management Model of Islamic Boarding School Forest (A case study in Darunnajah 2 Islamic Boarding School Cipining, Argapura Village, Cigudeg Sub District, Bogor Regency, West Java)”. Under supervision of Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.

Islamic Boarding school is the institution that became an alternative for parents to entrust their children to get knowledge. The increasing number of students in Islamic boarding schools, lead the greater developement of islamic boarding school. Therefore, there should be a breakthrough, especially in the economic field in order to shore up the economy of the school. Many boarding schools in Indonesia built on the waqaf land, one of which is an Islamic boarding school Darunnajah 2, Cipining. Since its establishment, the waqaf lands have not been used productively. Therefore, in order to optimize the waqaf land, the school developed a business based on agroforestry. Benefit of this business is expected to be felt in a long period. In addition, developement of forest is based on the desire of the school to cover all the needs which could be gotten from natural products. In order to know the effectivity of forest management at Islamic boarding school, a scientific research was designed to : 1) Identify the form of forest management ; 2) Calculate the potential value of forest ; 3) Calculate the contribution of the forestry business.

The experiment was conducted in September to October 2011. The collected data was a primary data that was obtained through structured and unstructured interviews of key persons and secondary data was obtained through the study of literature. Data processing was done by calculation and applied to tabulated form to be analyzed descriptively. Darunnajah forest has an area of 52 hectares which is divided into 12 blocks. Blocks include Sibali 1 (8 ha), Sibali 2 (6.5 ha), Sibali 3 (6 ha), Sibali 4 (4.5 ha), Cipayung (7 ha), Cikarang 1 (2 ha), Cikarang 2 (1.5 ha), Ciapus (4.5 ha), Segaraan (3 ha), Gudawang 1 (4 ha), Gudawang 2 (3.5 ha), and Gudawang 3 (1.5 ha). In general, forest management has not been organized properly. There is no mangium seed place, unconsistence spacing system, and harvesting techniques that was not correct were the evidence of unorganized management. Forest management activities in schools include land preparation, seedlings, planting, maintenance, and harvesting. The system is clear-cutting, and cropping patterns are monocultures with plants mangium (Acacia mangium). Based on calculations of the potential stand KU: KU I 8.88 m3/ha, KU II 13.26 m3/ha, KU III 40.03 m3/ha, KU IV 139.25 m3/ha, and KU V 130.01 m3/ha. From the total business, sawmill industry contributed the largest revenue to the schools 34.18%, while the cultivation of forests was in second place 20.97%. Since both of these efforts are still in a series of activities, the combined contribution of forestry is 55.15%.