Latar Belakang Masalah Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Kolonial Terhadap Umat Islam Tahun 1890-1930
3
Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan mempelajari tentang Islam, dan juga mempelajari tantang Aceh, ia berhasil menyelesaikan perang Aceh, Snouck
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini, ia berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda untuk menghadapi Islam di wilayah Hindia-Belanda,
6
seperti yang dijelaskan oleh Aqib Suminto pola ini yang menjadi landasan kerja bagi para
adviseur voor Inlandsche zaken berikutnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai penasehat Gubernur Jenderal dalam menangani masalah pribumi.
Pemerintah Belanda pun tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai perlawanan umat Islam di Hindia Belanda memang banyak dimotori oleh para
haji dan ulama. Kenyataan ini menimbulkan banyak suara di kalangan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan agar pemerintah melarang orang
Islam berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.
7
Sebab ibadah haji dinilai akan menyebabkan kaum pribumi menjadi fanatik. Pemerintah Hindia
Belanda pun kemudian mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang membatasi dan mempersulit pelaksanaan ibadah haji, untuk menekan pergerakan
pribumi. Harry J. Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek
yang dapat
dipisahkan: Islam
religius dan
Islam politik
8
, Snouck
memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian,
6
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda. h. 2.
7
Suminto. h. 7
8
Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang,. Daneil Dhakidae terj Jakata: PT Pustaka Jaya, 1980. h..44.
4
yaitu ; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep
Splitsingstheori.
9
Dalam bidang agama murni, pemerintah memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajarannya, pemerintah juga harus
memperlihatkan sikap seolah memperhatikan umat Islam. Dalam bidang sosial kemasyarakatan pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan
menggalakkan agar rakyat tetap berpegang teguh pada adat tersebut, sehingga ajaran Islam sangat dibatasi agar tidak meluas. Untuk membendung hukum Islam,
Snouck mengemukakan Theori Reseptie.
10
Terakhir dalam bidang politik, Snouck menyarankan pemerintah Belanda untuk melakukan politik asosiasi, yang lebih
menekankan pada pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa dan kaum pribumi.
Sebelum kedatangan Snouck Tahun 1819 Gubernur van de Capelen mengeluarkan surat edaran yang menyatakan secepat mungkin untuk meratakan
kemampuan membaca dan menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam menaati undang-undang dan hukum negara,
11
hal tersebut agar dapat mewujudkan apa yang di cita-citakan pemerintah pada awal kedatangan Belanda
ke Hindia Belanda yang sedikitnya ada tiga tri G, pertama mendapatkan
9
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. h. 12
10
Yayan Sopyan ,Islam Negara Transormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: RMBooks, 2012 , h. 6.
Teori ini menegaskan bahwa hukum islam berlaku secara efektif di kalangan umat Islam jika hukum Islam tersebut sejalan dengan hukum adat di Indonesia. Hukum yang berlaku di
Indonesia tidak di dasarkan pada ajaran agaman tetapi lebih pada hukum adat setempat.
11
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994, h.1.
5
keuntungan ekonomi Gold, kedua mendapatkan kekuasaaan politik Glory, ketiga menyebarkan missi ideologi dan keagaamanGospel.
Pemerintah Belanda sangatlah telat dalam memajukan negara jajahannya dibandingkan dengan Inggris dan Prancis yang sudah mendirikan sekolah terlebih
dahulu di daerah jajahannya. Karena pada dasarnya pendidikan merupakan fondasi dasar dari berbagai sistem yang berlaku di Hindia Belanda untuk
membangun negara dan meningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sebelum pemerintah Belanda mendirikan sekolah sudah berdiri lembaga
pendidikan Islam seperti surau, madrasah dan pesantren yang berkembang di daerah-daerah untuk memberikan pendidikan agama, meskipun masih menganut
pendidikan tradisional namun lembaga ini memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat setempat jauh sebelum pendidikan Belanda masuk,
hingga lembaga-lembaga ini bertransformasi menjadi pendidikan modern sebagai respon modernisasi pendidikan Islam yang tertinggal dibandingkan pendidikan
yang dilakukan pemerintah Belanda, sehingga menurut pemerintah Belanda surau, madrasah, dan pondok pesantren ini merupakan ancaman bagi pemerintah
Belanda, hingga perlu dibuat kebijakan-kebijakan di dalam kurikulum pendidikan yang diajarkan.
Awal abad ke 20-politik etis
12
pun mulai dilancarkan, sekolah-sekolah mulai didirikan dan diperluas. Beberapa sekolah yang didirikan pemerintah Belanda
12
Takhasi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti, 1997 cet. I, h. 35. Politk Etis juga nama umum yang diberikan untuk kebijakan kolonial
Belanda pada dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20. Kebijakan ini diambil setelah pidato yang
6
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sejak tahun 1914 masyarakat mulai mengecam politik etis yang gagal, ditambah pada 1930 banyak
masyarakat pribumi yang belum melek huruf, angka kesadaran dan kemelekan huruf sangatlah rendah, hal ini yang membuat masyarakat masih melekat segala
macam bentuk prasangka, stereotip, dan lain-lain sebagainya dalam diri umat Islam. Melek huruf di sini diartikan sebagai melek huruf latin, menyebabkan tidak
dihitungnya mereka yang paham dalam membaca dan menulis Arab maupun yang membaca dan menulis daerah, sehingga mereka yang hanya bisa membaca dan
menulis Arab dan daerah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bekerja di pemerintahan dan pabrik
13
. Rendahnya melek huruf ini mencerminkan hasil yang tidak berarti dari komitmen pemerintah Belanda terhadap kebijakan politik etis
tahun 1901
14
yang di dalamnya berkembang pula politik asosiasi pendidikan yang dilancarakn pemerintah Belanda, politik asosiasi melalui jalur pendidikan ini
merupakan ide dari Snouck Hurgronje dalam menangani masyarakat Muslim pribumi di Hindia Belanda.
dilakukan Ratu Wilhelmina dari takhtanya pada 1901 dengan mengumumkan : “sebagai sebuah kekuatan kristen, Belanda wajib melakukan kebijakan pemerintah di hindia belanda dengan
kesadaran bahwa belanda memiliki kewajiban moral kepada rakyat di wilayah- wilayah tersebut.”
Kebijakan tersebut diungkapkan dengan kesediaan baru pemerintah untuk melibatkan dirinya sendiri dalam urusan ekonomi dan sosial di nusantara atas nama efisiensi rasional. Inilah waktu
peningkatan pelayanan kesehatan, perluasan pendidikan, perluasan fasilitas komunikasi, irigasi dan infrastruktur lainnya, serta pelaksanaan tindakan transmigrasi yang membawa keuntungan
untuk kepentingan perniagaan barat serta orang indonesia sendiri.
13
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 1995, h. 186.
14
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa.Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013 ,h. 63.
7
Politik asosiasi ini bertujuan untuk mengasimilasi
15
elit modern ke dalam budaya sekuler Barat modern melalui pendidikan dan pemanfaatan adat dan
membuka posisi-posisi pemerintahan bagi masyarakat Hindia Belanda yang memenuhi kualifikasi. Dengan adanya asosisasi ini masyarakat Hindia Belanda
bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan kebudayaan sendiri. Hasil dari politik asosiasi pendidikan ini adalah menjauhkan masyarakat dari
sistem Islam dan ajaran Islam, dan ditarik ke dalam orbit Westernized, dengan tujuan akhir bukanlah Hindia Belanda yang diperintah dengan corak adat istiadat,
namun Hindia Belanda yang diperbaratkan
16
. Politik Asosiasi pendidikan ini lebih banyak melirik para bangsawan atau elit pribumi. Snouck merekomendasikan
bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Hindia Belanda, kaum priyayi atau elit pribumi harus diberi pendidikan Barat, sehingga terjauhkan dari agamanya
dengan tujuan untuk menempatkan para elit ini di berbagai jabatan yang strategis agar Hindia Belanda dapat dipimpin oleh pribumi yang ke-baratan, serta patuh
pada pemerintah Belanda. Ini yang membuat penulis tertarik menulis kebijakan politik pemerintah
Hindia Belanda, khususnya politik asosiasi yang lebih menekankan pada pendidikan pribumi khususnya umat Islam. Pendidikan hanya bisa dirasakan oleh
kaum elit pribumi yang di dalamnya terdapat banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, khususnya asosiasi pendidikan yang
15
Istilah asosiasi sering dipergunakan dalam pengertian yang sama dengan istilah asimilasi. Kalau asosisasi lebih bersifat mempertumakan antara dua negeri yang berbeda sebagai
teman, sedangkan asimilasi cenderung untuk menyatukan keduanya. Encyclopaediae van Nederlandsch-Indie ENI,
jilid I. ‘s-Gravenhage, 1917, h. 67.
16
Harry J Benda, h.47. lihat juga Budi Ichwayudi, Hipokritisme Tokoh Orientalis Christian Snouck Hurgronje , Jurnal Religio, Vol 1, No 1, Maret 2011, h. 67-68
8
sangat kebarat-baratan untuk mengikis budaya masyarakat Hindia Belanda yang dari awal dibuat kebijakannya adalah untuk menarik elite intelektual ke dalam
lingkaran kolonial dan menekan laju Islam, namun dalam praktiknya banyak respon dari elit intelektual dan umat Islam yang tidak sesuai dengan kebijakan
awal politik asosiasi tersebut dan jauh dari perkiraan cita-cita Snouck Hurgronje dalam melancarkan politik asosiasi ini. Untuk itu skripsi ini berjudul
“KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN KOLONIAL TEHADAP UMAT ISLAM TAHUN 1890-
1930”