Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam

68 Dalam rangkaian ceramah yang disampaikan Snouck Hurgronje pada Akademi Studi Administratif Hindia Belanda The Dutch East Indian Academy of Admininstrative Studies di Leiden pada 1911, Snouck mempromosikan kebijakan Etis “Asosiasi”. Berharap dari muslim yang telah teremansipasikan akan lahir di Hindia Belanda. 42 Mengutip kata kata Snouck dalam Jajat Burhanudin ”…… Lahirnya sebuah Negara Belanda, yang terdiri dari dua negarayang secara geografis berjauhan tetapi secara spiritual satu kesatuan, salah satunya di Eropa barat laut dan yang lainnya di Asia Tenggara….” 43 Politik yang dianjurkan Snouck tersebut adalah merupakan bagian dari pandangannya mengenai masa depan Hindia Belanda. Dia ingin menciptakan masa depan Hindia Belanda yang modern dan maju. Karena itulah dia juga menginginkan adanya proses ke arah “Indonesianisasi”. Melalui gagasannya ini, penguasa Belanda di Hindia Belanda didorong untuk memiliki rasa tanggung jawab moral dalam mengangkat harkat penduduk tanah jajahannya, baik melalui pendidikan Barat maupun melalui penyebarluasan kebudayaan Barat. 44 Dalam penglihatannya Snouck menganggap bahwa kalangan pribumi yang berkebudayaan tinggi relative jauh dari pengaruh ajaran Islam, mereka lebih dipengaruhi oleh kebudayaan barat yang membuat mudahnya masyarakat ini untuk dipertemukan dengan pemerintah Eropa, Snouck pun merasa optimis lambat laun rakyat umum akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. 42 Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan. h. 227 43 Burhanudin, h. 227 44 Effendi, ”Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam Di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah Studi Pemikiran Snouck Hurgronye ”. Jurnal TAPIs Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012, h. 101 69 Pandidikan kolonial sangatlah berbeda dengan pendidikan Islam tradisional. Metode yang diterapkan jauh lebih maju dari sistem pendidikan tradisional. Tujuan didirikannya sekolah bagi pribumi adalah untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda. Karenanya pemerintah tidak mengakui lulusan pendidikan tradisional. Seperti yang sudah disebutkan dalam surat edaran Gubernur J Van den Capellen bahwasanya dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar dapat memahami dan mematuhi undang-undang dan hukum negara. Surat edaran tersebut sangatlah memojokan umat Islam, mereka yang belajar di lembaga pendidikan Islam dianggap buta huruf karena tidak dapat membaca huruf latin yang menimbulkan kecurigaan, pemerintah menaruh anggapan negatif bahwa mereka cenderung dianggap sebagai pembakang karena tak mampu memahami undang-undang dan hukum negara. 45 Sikap Kolonial Belanda dapat dilihat dari kebijakan yang sangat diskriminatif secara sosial, ras, anggaran terhadap pendidikan Islam. seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya diskriminasi sosial dapat dilihat dari perbedaan didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah untuk rakyat biasa dan kaum bangsawan, Belanda mendirikan sekolah kelas satu de Schoolen de Eeerste Klasse untuk anak tokoh terkemuka dan orang-orang bumiputra, sedangkan sekolah dasar kelas dua de Schoolen de Tweede Klasse 46 didirikan 45 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999, h.153. 46 Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011, h 280. 70 untuk rakyat pribumi kalangan biasa, yang mana Islam di katagorikan sebagai rakyat pribumi. Diskriminasi ras terlihat pada klasifikasi sekolah. Pemerintah membuka sekolah sekolah pada tingkatan dasar berdasarkan ras keturunan seperti Europeeche Lagere School ELS dikhususkan untuk anak-anak Eropa, Hollandsh Chinese School dikhususkan untuk anak-anak China dan keturunan Asia Timur, Hollandsh School lebih dikenal dengan sebutan sekolah bumiputra dikhususkan untuk anak pribumi kalangan ningrat, dan terakhir Inlandsch School yang disediakan untuk anak pribumi pada umumnya. Diskriminasi anggaran pada pemberian anggaran yang lebih besar kepada sekolah untuk anak Eropa dibandingkan dengan sekolah bumiputra yang notaben nya sekolah bumiputra memiliki siswa lebih banyak. Sekolah Eropa mendapatkan anggaran dua kali lebih banyak dibandingkan sekolah bumiputra pada 1909-1915 dimana tiap tahunnya sekolah bumiputra banyak mengalami peningkatan jumlah siswa. Pemerintah menolak untuk memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam karena Gubernur Jenderal tidak ingin menghabiskan keuangan Negara untuk mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang mungkin pada akhirnya akan menentang pemerintah Belanda. 47 Keadaan ini memperlihatkan sebuah perbandingan yang amat tidak seimbang dan terus berlanjut. Pemerintah Kolonial memelihara dan membiarkan strata dan kesenjangan terus berlangsung. 48 47 Yudi latif, h. 115. 48 Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 2003, cet II, h.145. 71 Diskriminasi dalam hak kepemelukan agama terlihat pada kebijakan Belanda yang mengonsentrasikan wilayah yang mayoritas penduduk beragama Kristen, seperti Batak, Manado, dan Kalimantan. Pesantren yang merupakan basis dari pendidikan muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali dari pemerintah Belanda, diperparah dengan memusuhi umat Islam. Padahal merujuk pada kebijakan yang dibuat oleh Snouck, bahwa dalam hal agama pemerintah haruslah bersifat netral, 49 namun dalam praktiknya tidak sesuai, pemerintah lebih berpihak pada agama kristen. Politik yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat Hindia Belanda yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasarkan oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya sehingga mereka tetapkan ketentuan atau peraturan yang menyangkut pendidikan agama Islam untuk menahan laju Islam. Pendidikan Barat di formulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Hindia Belanda yang di yakini Snouck bahwa Islam tidak akan mampu melawan pendidikan bercorak barat, Islam dianggap sebagai agama kaku dan penghalang kemajuan sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi. 50 Pada 1890, K.F Holle menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi, karena banyak pemberontakan yang terjadi melawan kekuasaan Belanda dimotori oleh para ulama dan Haji. 51 Untuk penyeragaman Holle menyarankan 49 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES,198, cet I, h.12. 50 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,h. 49. 51 Jajat Burhanudin, “The Dutch Colonial Policy On Islam, Reading The Intellectual Journey Of Snouck Hurgronje ”, Al-Jamiah,Vol 52, No 1, 2014 M1435 h.26 72 agar para Bupati melaporkan para guru di daerah masing-masing. Snouck menyarankan pada 1904 untuk mengawasi tindak tanduk para pengajar, para pengajar harus mendapatkan izin khusus dari Bupati, dan pengawasan oleh Bupati yang dilakaukan oleh panitia kecil. Tahun 1905 keluar peraturan Ordonansi Guru pertama, yang mana peraturan tersebut berisikan bahwasanya seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila memperoleh izin dari Bupati. Izin tersebut baru diberikan bila guru agama tersebut jelas-jelas bisa dinilai sebagai orang baik, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan dan ketertiban umum. Guru agama Islam tersebut harus mengisi daftar murid, disamping harus menjelaskan mata pelajaran yang harus diajarkan. Bupati atau instasi yang berwenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu. Guru agama Islam bisa dihukum kurung maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila mengajar tanpa izin atau lalai mengisimengirimkan daftar tersebut, atau enggan memperlihatkan daftar itu kepada yang berwenang, berkeberatan memberi keterangan atau enggan diperiksa oleh yang berwenang. Izin itu pun bisa dicabut bila ternyata berkali-kali guru agama tersebut melanggar peraturan, atau dinilai berkelakuan kurang baik. 52 Ordonansi guru 1905 dinilai kurang efisien, sehingga pada 1925 dikeluarkan ordonansi guru baru yaitu bahwa setiap guru agama harus mampu memperlihatkan bukti tanda terima pemberitahuanya, ia harus mengisi daftar 52 Saatsblad 1905 no 550. Ordinansi guru ini berlaku sejak 2 November 1905, berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura. 73 murid dan daftar pelajaran yang sewaktu-waktu dapat diperiksa oleh pejabat setempat, boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali telah mendapat semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda. 53 Kedua ordonansi guru ini merupakan alat pengontrol pemerintah Kolonial untuk mengawasi para pengajar agama Islam di Hindia Belanda. Bagi suatu sekolah yang memiliki organisasi teratur, tuntutan ordonansi ini memang tidak menjadi masalah. Tapi bagi guru-guru agama pada umumnya yang tidak memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya, peraturan ini terasa memberatkan. Selain itu, banyak di antara guru agama waktu itu yang tidak bisa membaca huruf Latin, sedangkan yang bisa pun sangat jarang yang mempunyai mesin tulis untuk mengisi sekian lembar daftar laporan. 54 Seperti halnya Ordonansi Guru sebelumnya, ordonansi baru ini pun dalam praktiknya dipergunakan untuk menghambat agama Islam, meskipun bukan itu tujuan yang tercantum dalam ketentuan ordonansi tersebut. 55

C. Dampak atas Politik Asosiasi Pendidikan

Awal abad ke 20 atas usul Snouck, pemerintah Belanda membuka sekolah bersistem pendidikan barat guna menyaingi pesantren. Tujuannya tak lain adalah untuk memperluas pengaruh pemerintahan Belanda dengan anggapan bahwa masa depan penjajahan Belanda bergantung pada penyatuan wilayah dengan kebudayaan Belanda. Sekolah yang dikhususkan untuk anak priayi dan kalangan 53 Staatsblad 1925 no 219. Sejak 1 Januari 1927 tidak hanya berlaku di Jawa Madura, tetapi berlaku pula untuk Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok. Pada tahun 1930-an berlaku pula untuk Bengkulu. 54 Deliar Noer,. h 194. 55 Suminto, h. 55 74 ningrat ini memiliki tujuan untuk menarik para anak-anak priayi ke dalam lingkaran kolonial, menjadikan masyarakat pribumi yang terbaratkan westernisasi. Takashi Sirashi menjelaskan bahwa pendidikan gaya barat memberikan mobilitas, mobilitas yang dimaksud adalah mobilitas dalam tatanan social. Pengalaman yang diperoleh dari pendidikan barat membuat para kaum terpelajar menyebut dirinya kaum muda, kaum muda ini merasa dirinya lebih modern dan maju ketimbang orang tua mereka. Kaum terpelajar yang masuk sekolah dasar dan menengah Belanda, lebih maju dan modern dibandingkan para pelajar yang bersekolah di sekolah bumiputra. Kunci utama masuk ke sekolah Belanda adalah kemampuan bahasa Belanda. karena lewat bahasa secara otomatis memperkenalkan budaya Belanda dengan sendirinya. Belanda memberi contoh tentang modernitas dan membuka dunia dan zaman baru bagi kehidupan elit intelektual di kalangan pribumi. Bagi kaum muda, kaum elite intelektual yang telah berpendidikan barat ditandai dengan cara komunikasi mereka sehari-haari menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan dalam keseharian. Cara berpakaian mereka, dengan menggunakan jas, dasi, kebiasan pergi ke restaurant untuk meminum limun, pergi ke bioskop, dan lebih suka mendengarkan music daripada gamelan. 56 Hal yang demikian membuktikan bahwa banyak kaum elit intelektual sudah terasosiasi dengan kebudayaan barat. 56 Takashi Siraishi, h. 39-40. 75 Dalam kebijakan ini Snouck mengharapkan kalangan bangsawan dapat menjadi partner dalam kehidupan sosial budaya pemerintah kolonial, di samping menjadi pewaris pola asosiasinya. Harapan Snouck tercapai karena tidak sedikit dari kalangan pribumi dari strata bangsawan yang menjadi kaki tangan pemerintah kolonial. 57 Sebagaimana yang telah dijelasakan, tujuan pendidikan dalam politik asosiasi pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial setidaknya mencakup dua hal: pertama, membentuk masyarakat pribumi yang berjiwa Barat, kedua, membendung atau menyaingi pengaruh agama Islam yang ketika itu merupakan ruh perlawanan bagi penjajah. Hal ini dapat dilihat dari pelajar pribumi yang masuk ke sekolah Barat berasal dari keluarga priyai Muslim yang taat, seperti yang ditulisakn oleh Yudi latif: “…..Sejumlah pelopor dari gerakan proto-nasionalisme, seperti Tjipto Mangunkusumo, Sutomo, Tirto Adhi Surjo, dan produk-produk awal dari kebijakan ‘asosiasi’ seperti Djajadiningrat bersaudara Ahmad, Hasan dan Husein, serta figur-figur berpengaruh dari Sarekat Islam SI, seperti Umar Said Tjokroaminoto, merupakan anak-anak dari priyayi Muslim yang taat …..” 58 Pendidikan modern barat yang dijalankan dalam kebijakan politk asosisasi memang dapat menjauhkan seorang muslim dari lingkaran agama. Efek pendidikan modern barat yang intens juga bisa dikatakan membuat komiten seorang muslim menjadi pudar. Hal ini pernah terjadi pada seorang Agus Salim. Ia mengakui meski mendapat pendidikan agama sejak kanak-kanak, namun 57 Aqib Suminto, h.42. 58 Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,Bandung: Mizan Pustaka, 2005. h. 108.