Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Terhadap Masyarakat
40
penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan missi.
47
Sudah dijelaskan pula diatas perlakuan Belanda yang berbeda terhadap negara jajahannya yang tidak sama dengan Negara penjajah lainnya yang sudah
terlebih dahulu mendirikan sekolah daripada Belanda, seperti penjajah Spanyol dan Inggris yang mensejahterakan negara dibawah kekuasanya dengan
mendirikan lembaga pendidikan lebih awal daripada Belanda yang sangat lambat. Abad ke-16 Spanyol sudah mendirikan Universitas di Filipina begitu pula dengan
Inggris mendirikan Universitas di India pada abad ke-17, Belanda baru mendirikan sekolah di penghujung akhir abad ke-19.
Snouck melihat guru-guru agama dan ahli kitab suci Islam, kiai dan ulama merupakan unsur sosial yang paling penting dalam tatanan masyarakat Hindia
Belanda. karena maraknya perlawanan yang dipimpin oleh para Kiai dan ulama terhadap pemerintah, maka golongan ini dianggap berbahaya oleh pemerintah
Belanda, terlebih lagi orang-orang yang pulang dari ibadah Haji dan lama bermukim disana untuk menimba ilmu agama, karena alasan inilah pemerintah
membuat kebijakan tentang pembatasan pergi Haji dan mengawasi masyarakat Hindia Belanda yang pergi Haji selama beribadah sampai kembali ke tanah air.
48
Karena banyak dari mereka yang pulang ke tanah air mendirikan halaqah halaqah
47
Suminto. h.40
48
Aqib Suminto, h. 92-96 tentang haji dan Pan Islam. lihat Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,Bandung: Mizan,1996, cet I, h.44.dan
juga Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang, Terj. dari The Crescent and The Rising Sun, Indonesian islam under the Japanese
occupation 1942-1945 oleh Daneil Dhakidae Jakata: Mizan, 1980, cet I. h.42. dan jga G.J.
Pijper, “Politik Islam pemerintah Belanda” dalam H. Baudet dan I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutaarga,. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987,. h. 242.
41
kecil sampai pesantren guna memberikan pendidikan agama pada masyarakat muslim pribumi. Melihat hal ini Snouck tak tinggal diam. Ia membuat kebijakan
khususnya untuk masyarakat pribumi yang beragama Islam agar terlepas dari ajaran agama. Seperti prinsipnya dalam bidang kemasyarakatan, ia menggalakan
pribumi untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan barat asosiasi kebudayaan. Dengan cara mendirikan sekolah berpendidikan barat untuk menyaingi eksistensi
pendidikan agama yang diajarkan di surau, masjid, madrsah dan pesantren yang dibawa oleh para haji dan ulama tersebut.
Dalam melancarkan politik asosiasi pendidikan, Belanda mendirikan sekolah untuk masyarakat pribumi. Namun banyak terjadi diskriminasi yang
sangat terelihat dalam mendirikan sekolah. Dari mulai kurikulum yang diajarkan dan pengelompokan sekolah berdasarkan warna kulit dan ras. Awalnya hanya
anak-anak keturunan bangsawan yang dapat menikmati sekolah karena memang itu misi awal Snouck, memilih anak-anak bangsawan untuk melancarkan misi nya
memishakan mereka dari kebudayaan asli, adat dan agama hingga mereka dapat berpegang pada kebudayaan barat.
49
Snouck dan J.H. Abendanon melakukan upaya khusus untuk memberi jalan bagi anak-anak dari keluarga terkemuka agar bisa memasuki tingkatan
pendidikan yang lebih tinggi di negeri Belanda. Sehingga, pada tahun 1900 telah ada sekitar lima orang mahasiswa Hindia di negeri Belanda. Pada tahun-tahun
49
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h.41. dan juga Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,. Bandung: Mizan, 1996. h.30.
42
berikutnya, jumlah itu meningkat semakin cepat mencapai sekitar 25 pada tahun 1908.
50
Sekolah-sekolah yang dikembangkan pemerintah bukanlah hasil pertumbuhan lokal, melaikan hasil manipulasi kebudayaan model Barat yang
berakar pada negri asal penjajah, baik organisasi maupun kurikulumnya. Sekolah kolonial diorganisir secara hirarkis menurut umur dan tingkatan sekolah
berdasarkan batas perkembangan sesuai dengan kepentingan pemerintah. Masyarakat tidak bisa dengan sendiriya masuk dan memilih sekolahnya sendiri,
sebagai akibat bahwa sistem pendidikan yang berkembang bukanlah merupakan tuntuan lokal tetapi mencerminkan kepentingan kolonial, dimana pendidikan
moral dan agama serta bahasa negara jajahan merupakan bagian yang kurang penting disamping keterampilan birokrasi untuk memperkokoh kekuasaan
Belanda. Seperti pelajaran sejarah dan geografi yang tidak masuk dalam kurikulum dan pengetahuan bahasa lokal, dikarenakan semua itu akan melibatkan
pelajaran tentang kebudayaan dan identitas lokal. Seberapa banyak sekolah yang didirikan Belanda berkaitan erat dengan
apa yang diharapkan dari lembaga pendidikan yang didirikan itu, pemerintah Belanda ingin mengeksploitasi pendidikan demi kepentingan kolonial. Resep
yang paling ampuh adalah dengan mengontrol kurikulum yang diajarkan. Kontrol kurikulum ditentukan atas dasar kepentingan kolonial dengan memberikan
beberapa subjek mata pelajaran yang dibutuhkan bagi kebutuhan administrasi. Pemerintah sangat berhati-hati dalam memilih subjek mata pelajaran. Adapun
50
Yudi Latif, h. 106.
43
pelajaran yang diberikan meliputi pengetahuan dasar mengenai kemampuan membaca, menulis bahasa Melayu latin, berhitung, membuat surat, pembukuan,
pengetahuan pertanian, dan kesehatan. Hingga akhir abad 19 ditambah dengan bahasa Belanda, menggambar, menyanyi, geografi serta pelajaran teknik pertanian
dan kesehatan.
51
Meskipun mata pelajaran yang diajarkan mencontoh pendidikan Barat, namun dalam prakteknya materi yang diajarkan sangat terbatas dan jauh
berbeda, baik dari substansi dan relevansinya dengan hakikat pendidikan dan lingkungan kebudayaan murid. Pemerintah sering memberikan pelajaran bahasa
Belanda, pelajaran bahasa dengan sendirinya akan melibatkan pelajaran kebudayaan, nilai-nilai dan pandangan hidup yang luas.
Berbagai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif sejalan dengan prinsip kolonial sebagai berikut:
1. Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu 2. Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja,
terutama demi kepentingan kaum penjajah. 3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada
dalam masyarakat. 4. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial Belanda.
5. Dasar pendidikannya adalah pendidikan barat yang berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan barat.
52
51
Nina Lubis, h. 254.
52
Abudin Nata, h. 282
44
S. Nasution berpendapat dalam Abuddin Nata, bahwasanya politik kolonial erat hubungannya dengan kepentingan kolonialisme, yang didominasi oleh para
penguasa dan tidak di dorong oleh nilai etis. Ciri politik dan praktik pendidikan kolonial, khususnya pemerintah Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda adalah
sebagai berikut : a. Diskriminasi yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi
masyarakat pribumi di Hindia Belanda. b. Diskriminasi dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam
antara pendidikan Belanda dengan pendidikan pribumi. c. Kontrol sosial yang kuat.
d. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah dalam menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan
pendidikan. e. Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan
di negri Belanda. f. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan
anak pribumi.
53
Kebijakan pemerintah dalam masalah pendidikan untuk memajukan masyarakat pribumi hanayalah bualan belaka, bukti nyata tentang kebijakan
pemerintah adalah adanya diskriminasi pendidikan terhadap masyarakat pribumi dengan mengusahakn pendidikan serendah rendahnya dan memperlambat lahirnya
53
Abudin Nata, h. 285.
45
sekolah yang setaraf dan memiliki keunggulan yang baik seperti sekolah sekolah anak-anak Eropa.
Antara pemerintah dan masyarakat setempat memiliki pendapat yang berbeda pandangan terhadap lahirnya sekolah- sekolah, namun dalam pandangan
masyarakat kolonial juga terdapat perbedaan persepsi, Orang Eropa yang tidak percaya dengan kemampuan masyarakat pribumi dan masyarakat pribumi yang
juga tidak percaya dengan kemampuan mereka sendiri.
54
Sementara ada juga kelompok sosial yang melihat kahadiran pendidikan Belanda sebagai peluang
yang menguntungkan, keanekaragaman pandangan tersebut memberikan gambaran bahwa dalam situasi kolonial, orang tak lagi bebas menentukan pilihan
atau arah bagi pendidikan anak-anak mereka, yang ada hanya dua pilihan menerima atau menolak kebijakan yang sudah ditawarkan oleh pemerintah
Belanda. Sesusai dengan yang digambarkan oleh Aqib Suminto politik Asosiasi ini
memiliki tujuan mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan negara jajahan melalui kebudayaan, khususnya di bidang pendidikan yang menjadi fokus utama
dalam penerapannya.
55
Politik Asosiasi juga mencita-citakan suatu masyarakat Hindia Belanda dimana dua golongan yaitu Eropa dan Pribumi dapat hidup
berdampingan dalam satu masyarakat, golongan pribumi yang telah mendapatkan pendidikan Barat diharapakn dapat bekerjasama dengan golongan Belanda.
56
Dalam prakteknya, penerapan politik asosiasi ini bukanlah untuk
54
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,. h. 42
55
Aqib Suminto, h. 39.
56
Marwati Djoened Pusponegoro, h.61.
46
mengembangkan pendidikan seluruh masyarakat pribumi, secara keseluruhan hanya beberapa individu yang diusahakan untuk dilepas dari masyarakat
pribuminya. Snouck memilih anak dari kalangan anak-anak raja atau para bangsawan
pribumi. Karena menurut Snouck, Belanda berfungsi sebagai wali dan fungsi wali inilah yang mewajibkan Belanda untuk mendidik Indonesia.
57
Murid Snouck yang sangat terkenal dan cemerlang adalah Pangeran Aria Hosein Djajadiningrat
58
, berhasil ditempatkan di sekolah Belanda ELS dan HBS dan melanjutkan
pendidikan ke Universitas Leiden disana ia mendapatkan gelar Cumlaude ia merupakan anak keturunan bupati Banten. Snouck juga memberi kesempatan pada
Wiranatakusumah, tahun 1906 ia dipindahkan sekolahnya dari kelasnya di OSVIA dan mensponsorinya di Sekolah menengah Belanda di Batavia yang memiliki
pendidikan lebih baik. Wiranatakusumah tidak pernah menamatkan sekolahnya namun ia masih dapat mendapatkan kedudukan tinggi dan menjadi salah satu
tokoh terkemuka di Jawa Barat.
59
Snouck juga memiliki delapan anak asuh yang berada di bawah pengawasannya, antara lain Tuanku Ibrahim, Teungku Pakeh, Teuku Usoih
57
Aqib Suminto ,.h.41
58
G.J. Pijper, Beberapa Studi Tentang Islam di Indonesia 1900-1950, Terj. dari Studien over de Geshiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950 oleh Tujimah dan Yessy Augusdin
Jakarta: UI-Press, 1985, cet II. H .9. lihat juga Aqib Suminto,Politik Islam Hindia Belanda, h. 41.dan juga G.J. Pijper, “Politik Islam pemerintah Belanda” dalam H. Baudet dan I.J Brugmans,
Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutarga,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987, h.245. juga
Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian alm eds, Indonesia dalam Arus Sejarah,
Jilid V., Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve, h 263.
59
Robert Van Niel. h.78.
47
Keumangan, Teuku Tajeb Peureula, Teuku Mahmud Pidie di Aceh, Raja Mahmud Indragiri di Bandung, Raden Muhammad di Bogor dan Syarif Kasim
Siak di Jakarta, setelah kepergian Snouck pada 1906 ia menyerahkan pengawasan teradap delapan anak asuhnya pada Dr. G.A.J Hazeu.
60
Minat dan perhatian Snouck membuat anak asuhnya amat terpengaruh dengan kebudayan
Barat.
61
Gagasan untuk mendidik anak anak pribumi ini kemudian di putuskan oleh pemerintah, sehingga secara resmi mereka dibiayai oleh pemerintah Belanda
sampai tahun 1931.
62
Sekolah sebagai lembaga pendidikan, umumnya mencerminkan kekuatan dan kepentingan pemerintah kolonial. Pendidikan mulai dari tingkat bawah sampai
tingkat tinggi umumnya bukan dimaksudkan untuk mencerdaskan masyarakat Hindia Belanda, melainkan sekedar memberi kesempatan kepada keluarga
golongan tertentu yang dipercaya untuk ikut serta dalam mempertahankan kelangsungan kolonial. Walaupun sistem pendidikan yang dikembangkan sedikit
banyak telah memberikan peluang untuk anak-anak pribumi, sebagai hasil interaksi antara penguasa kolonial dan penduduk setempat, sekolah sekolah yang
didirikan fungsinya untuk memenuhi kepentingan kolonial, antara lain untuk mengisi kekurangan tenaga pegawai dalam birokrasi kolonial di tingkat bawah
atau menjadi pegawai pada perusahaan-perusahaan industri dan perdagangan swasta yang erat hubunganya dengan pemerintah.
60
Aqib, h.42
61
Van Niel. h. 79
62
Lihat Bijblad no 6639 dan no 7123
48
BAB III KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN BAGI UMAT ISLAM