Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Kolonial Terhadap Umat Islam Tahun 1890-1930

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)

Oleh :

Amalia Rachmadanty NIM. 1111022000036

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2016 M/1438 H


(2)

(3)

(4)

Mohamad Nurdiansah, Mas Dio Mohamad Nurdiansah, Mba Wienarti, dan semua yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

vi

1890-1930

Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan mengenai apa saja motif dan kebijakan yang dibuat pemerintah Belanda terhadap pendidikan umat Islam di Hindia Belanda (1890-1930) salah satunya adalah politik asosiasi pendidikan yang diprakarsai Snouck Hurgronje. Dan bagaimana kondisi pendidikan masyarakat di Hindia Belanda, baik pendidikan model Barat dan pendidikan Islam pada masa kolonial Belanda. Karena pada masa, itu Pemerintah Belanda sangat mengawasi pendidikan khususnya lembaga pendidikan Islam. Penelitian ini bersifat deskriptif analitif, karena itu, metode yang penulis gunakan adalah kajian kualitatif, dan data penulis peroleh melalui penelusuran literatur.

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait kebijakan pemerintah Belanda terhadap pendidikan umat Islam di Hindia Belanda (1890-1930). diantaranya; pertama timbulnya keresahan akibat diskriminasi pendidikan yang dilakukan pemerintah Belanda khususnya Islam, kedua modernisasi pendidikan menumbuhkan semangat kebangsaan baik dari basis pendidikan barat maupun basis pendidikan Islam sebagai respon dari kebijakan pendidikan Belanda.

Skripsi ini juga ingin meningkatkan kajian sejarah dari sudut pandang pendidikan dengan pendekatan politik dan sosial. Dari hasil analisa dengan menggunakan pendekatan tersebut, penulis simpulkan bahwa asosiasi pendidikan yang awal mulanya diadakan untuk menarik beberapa orang saja tidak sepenuhnya mencapai sasaran. Kebijakan Pemerintah Belanda terhadap pendidikan bak pedang bermata dua, malah memperkuat Elit Intelektual barisan nasionalis baik sekuler maupun Islam, yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan pemerintahan kolonial dan menjadi sarana penyadaran sosial bagi masyarakat pribumi.


(6)

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang selalu bersyukur. Shalawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda alam yakni Nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para

pengikutnya hingga akhir zaman. Syukur Alhamdulillah dengan do’a dan usaha

akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun tentunya banyak hambatan dan rintangan yang senantiasa silih berganti.

Penulis menyadari skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari semua pihak, baik dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd, selaku sekeretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberikan pelayanan terkait administrasi yang penulis butuhkan.

5. Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum, selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar memberikan arahan, kritik dan saran, terutama kesediaan waktunya dalam membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.


(7)

viii

6. H. Nurhasan, MA, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan. 7. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.A. selaku dosen penguji I sekaligus

penasihat akademik yang baik dalam memberikan, masukan, arahan dan motivasi yang baik bagi penulis.

8. Drs. Tarmizy Idris, M.A. selaku doen penguji II yang telah membantu penulis dalam memperbaiki skripsi ini baik dari segi isi, maupun kalimatnya. Dari perbaikan ini, penulis belajar bagaimana menulis tulisan yang akademik, dan lebih enak dibaca.

9. Bapak dan Ibu Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis selama perkuliahan.

10.Seluruh staff dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora yang telah membantu baik dalam urusan akademik maupun acara kemahasiswaan. 11.Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Adab

dan Humaniora, Perpustakaan UI, Perpustakaan Nasinonal, ANRI yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas dalam penulisan skrispi ini.

12.Orang tua tersayang, ayahanda Bambang Eddy Usmanto dan ibunda Nurochwati yang tiada hentinya memberikan do’a, nasehat, dan kasih sayangnya. Tiada henti menanyakan kapan ananda menyelesaikan studi. Ananda meminta maaf dan mengucapkan terimakasih dari hati yang paling terdalam. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan, kemudahan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amin.


(8)

ix

13.Kakak tercinta mas Geno Mohamad Nurdiansah, mas Dio Mohamad Nurdiansah dan ipar tersayang Mbak Wien Winarti, yang selalu

memberikan do’a dan dukungan kepada penulis agar terus melanjutkan

pendidikan ke jenjang selanjutnya. Serta kepada keluarga Soemito, Mbak Mamah, Oom Miran, Oom Aris yang tak henti dan mendorong penulis untuk cepat menyelesaikan studi.

14.Sahabat-sahabat seperjuangan BPH HMJ SKI, Muhammad Naufan Faikar, Lilis Shofiyanti, Wilda Eka Safitri, Mitra Zalman, dan Presidium HMI KOFAH Muhammad Naufan Faikar, Lilis Shofiyanti, Yudha Adipradana, Ahmad Alfaiz, Dini Hafidzah, Nurfika Arafah atas dedikasi dan Pengalamannya.

15.Kepada Sulastri, Siti Rahmawati, Syifa Fauziah, Amanah, Yanti

Susilawati, Silpa Ul’haq, Masitah, Asep Halimi, Budi Permana, Mirza Rezadi dan Dirga Fawakih penulis hanturkan terima kasih yang mendalam telah memberikan warna selama masa perkuliahan. Selalu memberikan semangat dan motivasi baik dari masa awal perkuliahan sampai pada masa akhir perkuliahan. Semoga Allah senantiasa memberikan nikmat dan karuniaNYA untuk kalian semua.

16.Sahabat-sahabat SKI seperjuangan angkatan 2011 terima kasih atas kerjasamanya selama perkuliahan. Semoga kita dipertemukan dalam keadaan sukses.

17.Teruntuk kakak-kakak yang selalu membimbing penulis, Ka Ervan Anwarsyah, Ka Mughni Labib, Ka fauzan Baihaqi, Ka Candra Fivetya, Ka Novita Puspa, Ka Johan Eko Prasetyo, Ka Agus Nawawi dan Ka


(9)

x

Firman Faturohman yang tak henti memberikan motivasi dan arahan selama masa perkuliahan dan berorganisasi. Adinda Syanti Soraya, Andika Ripwan, Muhammad Mir Atul Hayat penulis haturkan pula terima kasih sudah mau membantu penulis.

18.Keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (KOFAH), Kohati Komisariat HMI KOFAH, KOHATI HMI cabang Ciputat, terimakasih atas pengertian-pengertiannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

19.Keluarga besar LKK Kohati Cabang Ciamis dan LK2 HMI Cabang Bandung yang pernah menemani penulis berproses dalam himpunan tercinta.

20.Teman-teman di Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pelita di Desa Cibeber, Klapanunnggal, Bogor tahun 2014 atas cerita dan pengalamanya..

Semoga Allah SWT selalu membalas segala amal baik kepada pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 24 November 2016


(10)

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

DEDIKASI ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR ISTILAH ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah... 8

C. Kerangka Tujuan ... 9

D. Batasan Masalah ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Metode Penelitian... 10

G. Tinjauan Pustaka ... 12

H. Kerangka Teori ... 16

I. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II Kondisi Masyarakat dan Pendidikan di Hindia Belanda 1890-1930 19 A. Keadaan Masyarakat di Hindia Belanda Masa Kolonial ... 19

B. Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda... 25

C. Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Terhadap Masyarakat Pribumi ... 38

BAB III Kebijakan Politik Asosiasi Pendikan Bagi Umat Islam 1890-1930 . 48 A. Pendidikan Umat Islam Masa Kolonial ... 48

B. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam ... 66

C. Dampak Politik Asosiasi Pendidikan Bagi Umat Islam ... 73

BAB IV Respon Umat Islam Terhadap Dampak Politik Asosiasi Pendidikan 1890-1930 ... 78

A. Keresahan dan Perlawanan Umat Islam Terhadap Politik Asosiasi Pendidikan ... 78

B. Pertumbuhan Semangat Kebangsaan Umat Islam Dalam Melawan Sistem Kolonial ... 96

BAB V PENUTUP... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108


(11)

xii

Ambacthschool Sekolah Petukangan

Asosiasi Mempertemukan Kebudyanaan Dua Negeri yang Berbeda

Sebagai Teman

de Schoolen de Eeerste Klasse Sekolah Kelas Satu untuk anak terkemuka

de Schoolen de Tweede Klasse Sekolah Kelas Dua didirikan untuk rakyat pribumi

Etische Politiek Politik Balas Budi

Hoofdenschool Sekolah untuk Calon Pegawai

Klein Ambtearen Pegawai Rendah

Menak Kelas sosial dalam golongan bangsawan Sunda

Priayi Kelas sosial dalam golongan bangsawan Jawa

Pribumi Masyarakat asli Hindia Belanda (Indonesia)

Vervolgschool Sekolah Sambungan

Rechtschool Sekolah Hakim

Binnelands Bestuur Pegawai Pemerintahan Dalam Negri


(12)

xiii

AMS Algemeene Midlebare School

ANRI Arsip Nasional Republik Indonesia

ELS Europeeche Large School

GHS Geneskundige Hoge School

HBS Hogere Burger School

HCS Hollandsch Chineesche School

HIK Hollandsch Indlandsch Kweekschool

HIS Hollandsch Indlandsch School

MLS Middlebare Landbrouw School

MULO Meer Uitgebreid Lager Onderwijs

NIAS Nederlansche Indische Artsen School

OSVIA Opleiding School oor Indlandsche Ambtenaren

PNRI Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

RHS Rechtskundige Hoge School

STOVIA School toot Opleiding voor Indlansdch Artsen

THS Technise Hoge School


(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Dua dasawarsa akhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20 dikenal sebagai puncak abad imperialisme, di mana merupakan masa keemasan bagi bangsa-bangsa Eropa yang memiliki nafsu membentuk kekaisaran seperti Inggris, Peranci, dan lain-lain yang merajalela di Afrika dan Asia dan mengancam negara yang sudah merdeka masuk ke dalam bagian provinsi Eropa. Lain hal dengan Belanda yang sudah memulai politik ekspansinya jauh sebelum itu.1

Usaha untuk tetap mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya di negeri jajahan, Islam dipelajari di negeri Belanda untuk mengenal lebih jauh segala sesuatunya tentang Islam dan pribumi Indonesia atau masyarakat Hindia Belanda demikian mereka disebut dahulu. Ketakutan Belanda lebih besar dibandingkan harapannya mengenai masa depan Islam Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19, karena tidak adanya kepastian kebijakan politik yang mengatur dan memberikan batasan-batasan untuk umat Islam di Hindia Belanda. Dari sini muncullah Islam Politiek yaitu kebijakann pemerintah Hindia Belanda dalam menangani masalah Islam.2 Babakan baru ini berada di bawah pengaruh seorang

1

Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda; het Kantoor voor Inlandsche zaken

(Jakarta: LP3ES, 1986), h. 9.

2


(14)

orientalis terkemuka pada masa itu, Dr. Christian Snouck Hurgronje3, selanjutya disebut Snouck yang menjadi peletak dasarnya.

Snouck datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1889, dan pada 1899 -1906 ia ditunjuk sebagai penasehat pada Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab (Kantoor voor Inlandsche Zaken)4, kantor ini merupakan alat untuk melaksanakan ide Snouck dalam menangani umat Islam di Hindia Belanda.

Kantoor voor Inlandsche Zaken – yang berwenang memberikan nasehat kepada

pemerintahan dalam masalah pribumi, berdiri sejak tahun 1899, tahun di mana kedatangan Etische Politiek5 sudah di ambang fajar.

3

E. Gobee, dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa

Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Jilid I. Terj. Sukarsi. (Jakarta: INIS, 1990), h. v dan Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h.119.

Snouck Hurgronje merupakan anak keempat pasangan pendeta JJ. Snouck Hurgronje dan Anna Maria, putri pendeta D. Christian de Visser. Snouck Hurgronje memasuki sekolah lanjutan H.B.S. di Breda untuk mempelajari bahasa Latin dan Yunani (Greek). Kemudian ia masuk Universitas Leiden pada 1875, dalam usia 18 tahun. Mula-mula masuk Fakultas Teologi, kemudian pindah ke Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab. Pada 24 Nopember 1880 studinya di Leiden berakhir dan ia meraih gelar doctor sastra Arab, tamat dengan predikat cumlaude dengan disertasi Het Mekkaansche Feest (Perayaan di Makkah).

Lihat juga Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang islam (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1978).h 61-76. Lihat juga Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012). h. 165-172.

Snouck tiba di Hindia Belanda pada Mei 1889 setelah penelitiannya tentang Komunitas Jawi di Mekkah dan ia pun menetap di Buitenzorg (Bogor) kediaman K.F. Holle, ia pernah mengunjungi negri Arab pada 1884 dan sampai ke Mekkah. Beberapa tulisan mengenai Islam diantaranya nerhubungan dengan hajj di Mekah yang dicetak di Leiden beberapa karyanya antara lain : De Atjehers – Het Gajoland – Arabic en Oost Indie, Het Mekkaanse Feast yang berisi tentang ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin pada tiap bulan Zulhijah.

4

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 118-119.

5

Takashi Siraishi menyebutkan bahwa zaman etis “politik eties” adalah zaman modern yang merupakan zaman baru dalam politik kolonial dimulai. Semboyan dari zaman baru ini

adalah “kemajuan”. Kata-kata yang menandakan kemajuan, seperti “vooruitgan, opheffing

(kemajuan) ontwikkeling (perkembangan), dan opvoding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu bersama bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan). Takhasi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti, 1997) cet. I, h. 35. Lihat juga Robert Cribb, Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), h. 431, Tentang Politik Ethis (Ethisce Politik).


(15)

Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan mempelajari tentang Islam, dan juga mempelajari tantang Aceh, ia berhasil menyelesaikan perang Aceh, Snouck mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini, ia berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda untuk menghadapi Islam di wilayah Hindia-Belanda,6seperti yang dijelaskan oleh Aqib Suminto pola ini yang menjadi landasan kerja bagi para

adviseur voor Inlandsche zaken berikutnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai

penasehat Gubernur Jenderal dalam menangani masalah pribumi.

Pemerintah Belanda pun tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai perlawanan umat Islam di Hindia Belanda memang banyak dimotori oleh para haji dan ulama. Kenyataan ini menimbulkan banyak suara di kalangan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan agar pemerintah melarang orang Islam berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.7 Sebab ibadah haji dinilai akan menyebabkan kaum pribumi menjadi fanatik. Pemerintah Hindia Belanda pun kemudian mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang membatasi dan mempersulit pelaksanaan ibadah haji, untuk menekan pergerakan pribumi.

Harry J. Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang dapat dipisahkan: Islam religius dan Islam politik8, Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian,

6

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda. h. 2.

7

Suminto. h. 7

8

Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang,. Daneil Dhakidae (terj) (Jakata: PT Pustaka Jaya, 1980). h..44.


(16)

yaitu ; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep

Splitsingstheori.9 Dalam bidang agama murni, pemerintah memberikan kebebasan

kepada umat Islam untuk melaksanakan ajarannya, pemerintah juga harus memperlihatkan sikap seolah memperhatikan umat Islam. Dalam bidang sosial kemasyarakatan pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan menggalakkan agar rakyat tetap berpegang teguh pada adat tersebut, sehingga ajaran Islam sangat dibatasi agar tidak meluas. Untuk membendung hukum Islam, Snouck mengemukakan Theori Reseptie.10 Terakhir dalam bidang politik, Snouck menyarankan pemerintah Belanda untuk melakukan politik asosiasi, yang lebih menekankan pada pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa dan kaum pribumi.

Sebelum kedatangan Snouck Tahun 1819 Gubernur van de Capelen mengeluarkan surat edaran yang menyatakan secepat mungkin untuk meratakan kemampuan membaca dan menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam menaati undang-undang dan hukum negara,11 hal tersebut agar dapat mewujudkan apa yang di cita-citakan pemerintah pada awal kedatangan Belanda ke Hindia Belanda yang sedikitnya ada tiga (tri G), pertama mendapatkan

9

Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. h. 12

10

Yayan Sopyan ,Islam Negara Transormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012) , h. 6.

Teori ini menegaskan bahwa hukum islam berlaku secara efektif di kalangan umat Islam jika hukum Islam tersebut sejalan dengan hukum adat di Indonesia. Hukum yang berlaku di Indonesia tidak di dasarkan pada ajaran agaman tetapi lebih pada hukum adat setempat.

11

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.1.


(17)

keuntungan ekonomi (Gold), kedua mendapatkan kekuasaaan politik (Glory), ketiga menyebarkan missi ideologi dan keagaaman(Gospel).

Pemerintah Belanda sangatlah telat dalam memajukan negara jajahannya dibandingkan dengan Inggris dan Prancis yang sudah mendirikan sekolah terlebih dahulu di daerah jajahannya. Karena pada dasarnya pendidikan merupakan fondasi dasar dari berbagai sistem yang berlaku di Hindia Belanda untuk membangun negara dan meningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

Sebelum pemerintah Belanda mendirikan sekolah sudah berdiri lembaga pendidikan Islam seperti surau, madrasah dan pesantren yang berkembang di daerah-daerah untuk memberikan pendidikan agama, meskipun masih menganut pendidikan tradisional namun lembaga ini memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat setempat jauh sebelum pendidikan Belanda masuk, hingga lembaga-lembaga ini bertransformasi menjadi pendidikan modern sebagai respon modernisasi pendidikan Islam yang tertinggal dibandingkan pendidikan yang dilakukan pemerintah Belanda, sehingga menurut pemerintah Belanda surau, madrasah, dan pondok pesantren ini merupakan ancaman bagi pemerintah Belanda, hingga perlu dibuat kebijakan-kebijakan di dalam kurikulum pendidikan yang diajarkan.

Awal abad ke 20-politik etis12 pun mulai dilancarkan, sekolah-sekolah mulai didirikan dan diperluas. Beberapa sekolah yang didirikan pemerintah Belanda

12

Takhasi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti, 1997) cet. I, h. 35. Politk Etis juga nama umum yang diberikan untuk kebijakan kolonial Belanda pada dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20. Kebijakan ini diambil setelah pidato yang


(18)

menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sejak tahun 1914 masyarakat mulai mengecam politik etis yang gagal, ditambah pada 1930 banyak masyarakat pribumi yang belum melek huruf, angka kesadaran dan kemelekan huruf sangatlah rendah, hal ini yang membuat masyarakat masih melekat segala macam bentuk prasangka, stereotip, dan lain-lain sebagainya dalam diri umat Islam. Melek huruf di sini diartikan sebagai melek huruf latin, menyebabkan tidak dihitungnya mereka yang paham dalam membaca dan menulis Arab maupun yang membaca dan menulis daerah, sehingga mereka yang hanya bisa membaca dan menulis Arab dan daerah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bekerja di pemerintahan dan pabrik13. Rendahnya melek huruf ini mencerminkan hasil yang tidak berarti dari komitmen pemerintah Belanda terhadap kebijakan politik etis tahun 190114 yang di dalamnya berkembang pula politik asosiasi pendidikan yang dilancarakn pemerintah Belanda, politik asosiasi melalui jalur pendidikan ini merupakan ide dari Snouck Hurgronje dalam menangani masyarakat Muslim pribumi di Hindia Belanda.

dilakukan Ratu Wilhelmina dari takhtanya pada 1901 dengan mengumumkan : “sebagai sebuah kekuatan kristen, Belanda wajib melakukan kebijakan pemerintah di hindia belanda dengan kesadaran bahwa belanda memiliki kewajiban moral kepada rakyat di wilayah-wilayah tersebut.” Kebijakan tersebut diungkapkan dengan kesediaan baru pemerintah untuk melibatkan dirinya sendiri dalam urusan ekonomi dan sosial di nusantara atas nama efisiensi rasional. Inilah waktu peningkatan pelayanan kesehatan, perluasan pendidikan, perluasan fasilitas komunikasi, irigasi dan infrastruktur lainnya, serta pelaksanaan tindakan transmigrasi yang membawa keuntungan untuk kepentingan perniagaan barat serta orang indonesia sendiri.

13

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 1995), h. 186.

14


(19)

Politik asosiasi ini bertujuan untuk mengasimilasi15 elit modern ke dalam budaya sekuler Barat modern melalui pendidikan dan pemanfaatan adat dan membuka posisi-posisi pemerintahan bagi masyarakat Hindia Belanda yang memenuhi kualifikasi. Dengan adanya asosisasi ini masyarakat Hindia Belanda bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan kebudayaan sendiri. Hasil dari politik asosiasi pendidikan ini adalah menjauhkan masyarakat dari sistem Islam dan ajaran Islam, dan ditarik ke dalam orbit Westernized, dengan tujuan akhir bukanlah Hindia Belanda yang diperintah dengan corak adat istiadat, namun Hindia Belanda yang diperbaratkan16. Politik Asosiasi pendidikan ini lebih banyak melirik para bangsawan atau elit pribumi. Snouck merekomendasikan bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Hindia Belanda, kaum priyayi atau elit pribumi harus diberi pendidikan Barat, sehingga terjauhkan dari agamanya dengan tujuan untuk menempatkan para elit ini di berbagai jabatan yang strategis agar Hindia Belanda dapat dipimpin oleh pribumi yang ke-baratan, serta patuh pada pemerintah Belanda.

Ini yang membuat penulis tertarik menulis kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda, khususnya politik asosiasi yang lebih menekankan pada pendidikan pribumi khususnya umat Islam. Pendidikan hanya bisa dirasakan oleh kaum elit pribumi yang di dalamnya terdapat banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, khususnya asosiasi pendidikan yang

15

Istilah asosiasi sering dipergunakan dalam pengertian yang sama dengan istilah asimilasi. Kalau asosisasi lebih bersifat mempertumakan antara dua negeri yang berbeda sebagai teman, sedangkan asimilasi cenderung untuk menyatukan keduanya. Encyclopaediae van Nederlandsch-Indie (ENI, jilid I. (‘s-Gravenhage, 1917), h. 67.

16

Harry J Benda, h.47. lihat juga Budi Ichwayudi, Hipokritisme Tokoh Orientalis Christian Snouck Hurgronje , Jurnal Religio, Vol 1, No 1, Maret 2011, h. 67-68


(20)

sangat kebarat-baratan untuk mengikis budaya masyarakat Hindia Belanda yang dari awal dibuat kebijakannya adalah untuk menarik elite intelektual ke dalam lingkaran kolonial dan menekan laju Islam, namun dalam praktiknya banyak respon dari elit intelektual dan umat Islam yang tidak sesuai dengan kebijakan awal politik asosiasi tersebut dan jauh dari perkiraan cita-cita Snouck Hurgronje dalam melancarkan politik asosiasi ini. Untuk itu skripsi ini berjudul “KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN KOLONIAL TEHADAP UMAT ISLAM TAHUN 1890-1930”

B. Identifikasi Masalah

Kebijakan baru mengenai pendidikan terdapat beberapa permasalahan yang penulis berhasil identifikasi dan berpotensi untuk dijadikan kajian terkait kondisi masyarakat muslim masa pemerintah Hindia Belanda,

1. Siapa saja yang terlibat dalam politik Asosiasi pendidikan Kolonial terhadap umat Islam di Hindia Belanda?

2. Apa motif diterapkannya politik asosisi pendidikan bagi umat Islam di Hindia Belanda?

3. Bagaimana kebijakan pemertintah Hindia Belanda dalam menerapkan politik Asosiasi pendidikan?

4. Apa dampaknya bagi umat Islam di Hindia Belanda?


(21)

C. Kerangka Tujuan

Adapun tujuan dalam penelitian skripsi ini adalah ingin mengetahui motif diberlakukannya politik asosisasi pendidikan terhadap umat Islam di Hindia Belanda. Hingga dampak yang dirasakan sampai munculnya respon umat Islam di Hindia Belanda terhadap penerapan asosiasi pendidikan.

D. Batasan Masalah

Agar tulisan dalam skripsi ini tidak melebar dan meluas, maka perlu diadakan pembatasan dan rumusan masalah agar tujuan yang ingin dicapai dapat terarah. Adapun batasan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:

1. Kondisi masyarakat dan pendidikan masyarakat di Hindia Belanda. 2. Kebijakan pemerintah Belanda dalam mengeluarkan kebijakan khusus

yaitu Asosiasi Pendidikan untuk menekan laju umat Islam dan mempertahankan kekuasaan kolonial. Serta dampak yang ditimbulkan dari kebijakan asosiasi pendidikan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda.

3. Respon umat Islam di Hindia Belanda terhadap penerapan asosiasi pendidikan.

E. Manfaat Penelitian

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat melengkapi studi-studi yang sudah ada, terutama terkait dengan pendidikan. Artinya, skripsi ini bisa menjadi rujukan bagi akademisi yang ingin mengambil kajian tentang pendidikan, khususnya politik pendidikan masa Kolonial.


(22)

Sebagai pemacu sejarawan muslim khususnya dan generasi muda pada umumnya, yang akan meneliti tentang sejarah pendidikan Islam, terutama pendidikan Islam masa Kolonial, yang masih bisa dirasakan hingga saaat ini.

F. Metode Penelitian

Dalam Penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitik, yakni dengan memberi pemaparan umum tantang kebijakan pendidikan pemerintahan Hindia Belanda serta analisis lebih fokus menyangkut Pendidikan terhadap masyarakat Pribumi Islam. Dalam hal ini metode yang digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya dalah heuristic atau pengumpulan data, kritik sumber baik intern maupun ekstern, iterpretasi atau penafsiran dan tahap terakhir adalah historiografi atau penulisan.17

Pada tahap heuristik penulis mengumpulan data-data, dimana penulis mengunjungi beberapa tempat untuk mencari sumber-sumber mengenai kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan masyarakat pribumi, penulis temukan di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan UI, Arsip Nasional Republik Indonesia. Penulis mendapatkan

Staastblad van Nederlandsch-Indie tahun1893 no 125, 1905 no 550 dan 1925 no

219, serta Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 6639 dan 7123,

Regerings Almanak dan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie di ANRI (Arsip

17

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), h. 89.


(23)

Nasional Republik Indonesia),18 Penulis menemukan buku karya Robert Van Niel

Munculnya Eite Modern di Indonesia di Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia (PNRI),19 penulis menelusuri Perpustakaan Utama UIN Jakarta menemukan Koleksi Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa

Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Islam di

Hindia Belanda Karangan Snouck Hurgronje, serta buku karangan Aqib Suminto

Politik Islam Hindia Belanda, sedangkan Kumpulan karangan Snouck Hurgronje

oleh E. Gobee dan C Adriaanse penulis temukan di Perpustakaan UI, dan beberapa sumber lainnya yang pernulis dapatkan atas rekomendasi dosen, rekomendasi teman dan intenet.

Tahap selanjutnya verifikasi atau kritik sumber, pada tahap ini penulis melakukan kritik mengenai keabsahan sumber primer dan sekunder. Berdasarkan atas kritik sumber terhadapap Staatsblad van Nederlanch-Indie tahun 1893 no 125 dan 1905 no 550, penulis menemukan lembaran kertas Staatsblad ini masih amat rapih dan bagus sehingga masih dapat terbaca tulisan diatasnya, sedangkan untuk

staatsblad tahun 1905 no 219, sudah mulai rapuh dan beberapa tulisan tidak dapat

dibaca karena sebagian kertas sudah robek dan terpisah. Untuk Bijblad no 6639 dan 7123 lembaran kertasnya juga masih rapih sehingga tulisan diatasnya masih dapat dibaca dengan jelas.

Setelah itu penulis melakukan interpretasi, dimana penulis melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi untuk kemudian

18

Jl. Ampera Raya No. 7, Jakarta 12560.

19


(24)

dilakukan tahap historiografi, yang merupakan cara penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan20. Tahap ini adalah rangkaian dari keseluruhan dari teknik metode pembahasan.

Adapun buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” menjadi buku acuan yang penulis gunakan untuk membantu dalam hal teknik penulisan skripsi ini.

G. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian skripsi ini, buku yang menjadi inspirasi untuk menulis penelitian skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN KOLONIAL TEHADAP UMAT ISLAM TAHUN

1890-1930” antara lain

Buku Politik Islam Hindia Belanda21 karya Aqib Suminto yang mana di dalamnya dijelasakn kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menangangi Islam khususnya dengan beberapa kebijakan politik yang dibuat oleh Snouck Hurgronje untuk menekan gerakan-gerakan muslim. Politik asosiasi salah satunya, asosiasi berdasarkan pemanfaatan adat dan pendidikan yang mana pembahasan dalam buku ini sangat membatu penulis dalam melakukan penelitian. Namun Aqib Suminto dalam pengantarnya lebih menekankan tulisannya pada Het

Kantooor Voor Inlandsche Zaken, peran het Kantoor voor Inlandsche zaken atau

kantor urusan pribumi. Peranan Kantoor voor Inlandsche zaken- yang berwenang

20

. Dudung Abdurahman. Metodologi Penelitian Sejarah. h. 76.

21

Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda; het Kantoor voor Inlandsche zaken


(25)

memberikan nasehat kepada pemerintahan dalam masalah pribumi- berdiri sejak tahun 1899 diawal munculnya politik etis yang tak luput dari peran seorang Adviseur voor Inlandsche zaken.

Penulis juga mengambil sumber dari buku karangan Snouck Hurgronje yang berjudul Islam di Hindia Belanda.22 Dalam buku ini snouck menggambarkan kondisi agama Islam di Hindia Belanda, menjelaskan masuknya Islam ke Indonesia dan perkembangannya sehingga banyak masyarakat pribumi yang menganut agama Islam. Snouck juga menceritakan gambaran umat Islam dalam melaksanakan ibadatnya, seperti berpuasa sebulan penuh dan merayakan Idul fitri, zakat, pernikahan. Buku ini lebih banyak menggabarkan kehiduapan masyarakat Islam Hindia Belanda dari segi sosial keagamaan.

Buku karya Robert Van Niel yang berjudul Munculnya Elit Modern di

Indonesia,23 yang menggambarkan stratifikasi masyarakat Hindia Timur dalam

kurun waktu 1900, akselerasi perubahan antara 1900-1914 dari mulai Politik Etis dalam teori dan praktek sampai kebijaksanaan politik dan sikap pemerintah terhadap masyarakat pribumi dan menggambarakn lahirnya elit Indonesia modern yang menyuarakan perubahan-perubahan untuk kemaslahatan masyarakat di Hindia Belanda. Robert van Niel menulisnya dengan sangat apik sehingga buku ini sangat membantu penulis dalam melihat kondisi masyarakat Hindia Belanda pada saat itu khususnya dalam stratifikasi social masyarakat Hindia Timur yang di

22

C Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda. (Jakarta; PT Bhratara Karya Aksara, 1983)

23

Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)


(26)

mulai dari orang Eropa, orang Cina dan Arab dan terakhir orang Indonesia. Hingga perubahan-perubahan yang terjadi pada kurun 1900-1914 karena kebjakan-kebijakan pemerintah Belanda sampai munculnya elite baru yang memiliki intelektual tinggi yang ia sebut dengan elit modern sebagai respon dari kebijakan pemerintah Belanda. Pada buku ini lebih digambarkan elit modern yang terpengaruh pendidikan barat dari kalangan masyarakat elit bangsawan.

Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern 24

karya Karel A Steenbrink juga menjadi sumber dalam penulisan ini, buku tersebut menggambarkan pendidikan Islam awal abad ke 20 dari awal pendidikan Islam yang masih sangat tradisional hingga berkembang menjadi lembaga-lembaga pendidikan modern. Steenbrink menulisakan dalam bukunya awal mula system pendidikan yang ada di Indonesia, bagaimana pendidikan tradisional yang ada di Indonesia bertransformasi menjadi lembagaa lembaga pendidikan yang modern, Buku ini lebih menggambarkan perubahan atau transformasi pendidikan tradisional yang di jelaskan sekilas pada bab-bab awal buku ini, hingga pada penjelasan lembaga pendidikan yang lebih kontemporer.

Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V25 Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto masuk juga kedalam daftar bahan yang penulis pakai, di dalam buku ini menjelaskan Jaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda. Menggambarkan politik kolonial dan transformasi politik itu sendiri mulai dari

24

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994)

25

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V. PN Balai Pustaka, 1984


(27)

datangnya VOC sampai dasawarsa terakhir Hindia Belanda. Menjelaskan struktur sosial hingga pergerakan Nasional yang terjadi di Indonesia pada awal abad ke 20. Beberapa bab dalam buku ini menjelaskan tentang kemerosotan politik yang dilancarkann oleh pemerintah Belanda terhadap pribumi dan juga menjelaskan munculnya mobilitas social di kalangan masyarakat pribumi, hal ini membantu penulis dalam menuliskan respon yang dilakukan pribumi terhadap kebijakan pemerintah Belanda.

Buku Indonesia dalam Arus Sejarah jilid V 26 masa pergerakan kebangsaaan tak lupa penulis jadikan rujukan. Buku ini ditulis beberapa sejarawan dalam bentuk bab per bab, salah satu yang penulis jadikan rujukan adalah bab 7 tulisan Prof. Dr. Soegijanto Padmo (alm) yang menuliskan tentang perkembangan sosial ekonomi pribumi sedikitnya membahas pendidikan pribumi. Bab 8 tentang Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elite Modern yang ditulis oleh Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, di dalamnya mengulas perkembangan baru pada abad 19, sekolah sekolah kejurusan yang didirikan Belanda, sekolah Belanda untuk pribumi, membahas politik etis yang dilancarkan pemerintah pada awal abad 20, perguruan tinggi dalam dan luar negri, sekolah-sekolah swasta yang tidak bersubdisi, latar belakang sosial murid sekolah pemerintah, tak lupa pendidikan wanita sampai mobilitas dosial dan munculnya elit modern. Tulisan Dr. Muhamad Hisyam pada bab 11 yaitu Reformasi Islam dan kebangkitan kebangsaan dari mulai akar dan persebaran pemikiran reformis, reformasi Islam rintisan abad ke 19, lembaga pendidikan dan organisasi modern, hingga reformasi dalam dan

26

Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), 2012


(28)

kesadaran kebangsaan. Buku yang ditulis oleh beberapa penulis ini memberikan warna dalam penulisan ini, karena beragam penjelasaan diterangkan dalam buku ini yang lebih banyak fokusnya pada akhir adab ke 19 samai awal abad ke 20 khususnya tentang pendidikan serta mobilitas masyarakat Hindia Belanda.

H. Kerangka Teori dan Pendekatan Konseptual

Prof. W.F. Wertheim mengatakan bahwa : Apapun politik terhadap Islam yang dilancarkan oleh kekuasaan non Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar oleh kekuasaan tersebut.27 Yang dimaksud adalah kekuasaan Pemerintah Koloial dalam mengambil kebijakan terhadap umat Islam di Hindia Belanda dalam kenyataan yang dihasilkan oleh politiknya bertentangan dengan apa yang diharapkan. Seperti kebijakan politik asosiasi yang di prakasai oleh Snouck Hurgronje.

Pada dasarnya sistem asosiasi pemerintah Kolonial dalam mempertahankan tanah jajahannya yang memggambarkan bahwa suatu struktur atas (bovenbow) pemerintah kolonial menjurus pada konservatisme yang hendak mempertahankan sistem kolonial dengan menjadikan kesatuan etis, kultural dan politik masyarakat elit tradisional sebagai bawahan (onderbow).28 Munculnya elit intelektual dikalangan elit tradisional yang menentang Belanda, merupakan bukti bahwa apa yang di cita-citakan Snouck tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Karena sistem asosiasi sebagai alat tidak dapat dipakai untuk mencapai tujuan yang telah

27

Harrry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980) h. 345

28


(29)

digariskan seperti kesejajaran kepentingan antara kaum pribumi dan golongan Belanda.

Asosiasi berdasarkan Encyclopedie van Nedelandsch-Indie sering dipergunakan dalam pengertaian yang sama dengan asimilasi. Ada tiga istilah yang saling bekaitan satu sama lain, yaitu unifikasi, asimilasi dan asosiasi.29 Asosiasi disini lebih bersifat mempertemukan dua negri yang berbeda sebagai teman, sedangkan asimilasi cenderung untuk menyatukan keduanya. Baik asosiasi atau asimilasi memiliki pengertian yang sama dengan unifikasi, yaitu kesatuan hukum bagi seluruh penduduknya apapun asal usulnya, dapat diartikan pula sebagai usaha untuk menyamakan semua peraturan Kolonial di daerah jajahan dengan peraturan yang berlaku di negri penjajah. Terutama menyangkut istilah asimilasi, yang mengandung arti bahwa keperluan Hindia akan dipenuhi dengan syarat-syarat Barat.30

Sedangkan umat Islam yang dimaksud dalam penulisan ini bukanlah umat Islam secara keseluruhan melainkan umat Islam dari kalangan priayi, menak atau bangsawan yang memeluk agama Islam yang merupakan tujuan utama dari politik asosiasi pendidikan yang dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

I. Sistematika Penulisan

Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus memberikan gambaran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung dalam skripsi

29

Encyclopedie van Nedelandsch-Indie, I (s’-Gravehagen, 1917), h. 67.

30


(30)

ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam 5 bab beserta bibliografi dengan urutan sebagai berikut.

BAB I ; berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, kerangka tujuan, batasan masalah, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan sistematika penulisan.

BAB II ; membahas kondisi masyarakat dan pendidikan masyarakat Hindia Belanda, juga membahas kebijakan politik asosiasi pendidikan Pemerintah Hindia Belanda bagi masyarakat pribumi.

BAB III ; membahas kebijakan politik asosiasi pendidikan bagi umat Islam masa Pemerintah Kolonial Belanda dan dampak yang ditimbulkan.

BAB IV; membahas respon umat Islam terhadap dampak politik asosasi pendidikan.

BAB V ; Penutup yang berupa kesimpulan dan saran untuk kebaikan dalam penulisan ini.


(31)

19 BAB II

KONDISI MASYARAKAT DAN PENDIDIKAN DI HINDIA BELANDA 1890-1930

A. Keadaan Masyarakat di Hindia Belanda Masa Kolonial

Nusantara negeri bak surga yang tumbuh subur dengan keaneka ragaman sumber daya alam dan budaya, negeri yang dilirik oleh para pedagang Eropa dengan hasil buminya yang mahal, rempah-rempah. Harta karun yang diperebutkan bangsa Eropa untuk menghasilkan pundi pundi uang, dari mulai Spanyol, Portugis, Belanda. Bukan hanya sekedar memperebututkan komoditi rempah tersebut, negara-negara Eropa ini membawa missi yang sangat penting, yaitu misi kristenisasi.

VOC ( Vereniging oost Indische Compagnie) sebuah persahaan dagang Belanda datang ke Hindia Belanda tahun 16021 dengan tujuan berdagang, hingga akhirnya dapat menancapkan kakinya ditanah Hindia, VOC pun mulai mengegrogoti dan ingin menguasai sumber daya alam yang ada karena awal kedatangannya kapal dagang VOC memang dengan motif hegemoni rempah dan perdagangan di tanah Hindia, namun berubah haluan pada penghujung abad ke-19. Setelah berhasil mempertahankan hegemoni politiknya selama satu abad lambat laun ekspansi ekonomi Belanda berubah haluan menjadi ekspansi kolonial. Seiring dengan kemerosotan VOC yang diakibatkan faktor internal yang terjadi

1

R.Z. Leirissa, ”Verenigde Oost Indische Comagnie (VOC)”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h 21.

VOC didirikan pada 20 Maret 1602 di Amsterdam, pembentukan VOC pada mulanya dimaksdukan untuk menghilangkan persaingan antara para pengusaha Belanda dan memperkuat diri untuk bersaing dengan perusahaan dagang Negara lain, seperti Inggris dan Portugis.


(32)

pada tahun 1795 dikarenakan izin oktroinya ditiadakan, hingga pada 1798 VOC dibubarkan karena banyak kasus yang didapat dalam pengelolaan pembukuan yang curang, pegawai yang korup dan hutang besar, sehingga VOC mendapat kerugian sebesar 134,7 juta gulden.2 Sedangkan faktor eksternal disebabkan persaingan dagang dengan negara kolonial Inggris dan kondisi eksternal negeri Belanda yang berada di bawah ekspansi kolonial Prancis telah mengantarkan perubahan yang cukup signifikan, sehingga pada akhirnya Napoleon berhasil menguasai Belanda sepenuhnya, kompeni yang dibungkus dalam VOC akhirnya menemukan ajalnya.3 Sehingga secara resmi pemerintah Indonesia di bawah naungan VOC pindah ke tangan pemerintah Belanda.

Selama masa pemerintahan Belanda, pemerintah membuat sistem pelapisan stratifikasi sosial masayarakat Hindia Belanda. Sistem pelapisan sosial ini secara umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan penjajah atau penguasa dan golongan terjajah atau rakyat. Penggolongan ini berdampak pada hak dan kewajiban masing masing golongan masyarakat kolonial yang bersifat diskriminatif. Golongan pertama tinggal di pusat-pusat kota dan berhak mendapatkan fasilitas lebih dalam hal ekonomi, hukum, kesehatan, serta pendidikan. Sedangkan golongan kedua hanya tinggal di kampung-kampung dengan fasilitas yang sangat sederhana. Di dalam golongan pertama ini terdapat para pejabat tinggi, tentara, pegawai-pegawai Belanda dan orang-orang Timur asing, mereka semua dianggap sebagai warga kota. Sedangkan orang-orang

2

Marwati Djonoed Pusponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.1.

3

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer,


(33)

pribumi dianggap sebagai orang asing yang tidak boleh tinggal dipusat kota, melainkan harus tinggal di pinggir kota dan di desa.

Dalam kenyataannya, pelapisan sosial pada masa Hindia Belanda sebenarnya sangat berlapis-lapis. Seperti dalam peraturan hukum ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927, lapisan sosial masyarakat yang dibagi oleh Pemerintah Kolonial dibedakan menjadi 3 golongan4 yaitu:

a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan, golongan ini terdiri atas: 1. Orang-orang Belanda dan keturunannya.

2. Orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis Portugis, dan lain-lain.

3. Orang-orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi golongan Eropa atau telah diakui sebagai golongan Eropa.

b. Golongan Timur Asing, didalamnya adalah orang Cina, Arab, India, Pakistan, serta orang-orang kawasan Asia lainnya.

c. Golongan Pribumi yaitu orang-orang yang asli Indonesia yang disebut inlander.5

Kebanyakan masyarakat Eropa tinggal di perkotaan, pusat perkotaan bukan hanya menjadi tempat berdagang namun sekaligus menjadi tempat berkumpulnya orang-orang Eropa. Kalangan orang Eropa yang berpendidikan dan orang eropa golongan menengah membawa kebudayaan Barat, mereka membentuk suatu

4

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No 2/1989I, (Jakarta : INIS, 2004) h.25.

5

Robert Van Niel, Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).h. 15-43.


(34)

dunia Barat di tengah tengah masyarakat perkotaan di daerah Jawa. Sekitar tahun 1900, wanita-wanita Eropa berdatangan ke tanah Hindia, sejak itu jumlah masyarakat Eropa bertambah secara signifikan. Kurang lebih ada sekitar 70.000 orang Eropa di Jawa, bisa dikatakan hanya seperempat saja Eropa totok yang lahir di Eropa dan datang ke Jawa. Yang seperempat itu kebanyakan terdiri dari para pedagang dan pengusaha, sebagian besar wakil-wakil dari urusan keuangan dan kebanyakan pegawai sipil Eropa. Beberapa orang Eropa juga ada yang melangsungkan pernikahan dengan penduduk setempat, sehingga ia banyak beranak pinak dan memiliki banyak keturunan. Kaum Indo, sebutan untuk anak keturunan campuran Indo-Europeanen banyak mengalami tekanan dan hidupnya terombang ambing. Orang-orang Eropa totok banyak yang merendahkan orang Indo, meskipun orang Indo dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama apabila ayahnya mengakuinya sebagai orang Eropa, sehingga mereka menjadi bagian masyarakat Hindia Belanda.6

Pada tahun 1900 golongan Timur asing yang terdiri dari orang Cina dan Arab tinggal di Hindia sebagai pedagang, Orang Cina merupakan kelompok terbesar di luar masyarakat Hindia Belanda di Jawa, jumlah mereka kira-kira 280.000. Menjelang tahun 1900 sebagian besar orang Cina sudah beranak pinak dan memiliki banyak keturunan di Jawa, namun mereka tetap memegang teguh kebudayaan asal Negeri mereka meskipun sudah lama tinggal di Hindia Belanda. Kebanyakan orang Cina datang untuk berdagang dan menempatakan diri dengan

6

Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h.15-28.


(35)

sifat tegas, semangat dan penuh energi hingga mereka dapat secara luas menguasai kedudukan sebagai perantara dalam struktur ekonomi Hindia Belanda.7

Sedangkan orang Arab sebagaimana dipanggil di Jawa bukan hanya mereka yang berasal dari negeri Arab, sebutan itu digunkan untuk orang orang perantau dari Timur dekat maupun Timur Tengah termasuk juga India Muslim. Tahun 1900-an perkiraan masyaraat Arab di Hindia Belanda berkisar 18.000 orang, kebanyakan mereka adalah pedagang kecil, saudagar, dan rentenir uang hampir serupa dengan orang Cina.8

Sedangkan dikalangan masyarakat pribumi, terdapat pula stratifikasi social di kalangan pribumi seperti di daerah Jawa dan Sunda. Masyarakat Jawa dan Sunda membuat stratifikasi social berdasarkan tingkatan masyarakat umum dikenal adanya beberapa lapisan berdasarkan status sosialnya, yaitu lapisan bawah, menengah dan atas. Lapisan bawah ialah yang umum disebut rakyat jelata dan merupakan masa yang terbesar dan hidup melarat. Terdapat di desa-desa sebagai petani dan buruh perkebunan, di kota-kota sebagai buruh kecil, tukang-tukang dan sebagainya. Lapisan menengah meliputi para pedagang kecil dan menengah, petani-petani kaya dan pegawai pemerintahan. Adapun lapisan atas terdiri dari keturunan bangsawan dan kerabat raja yang memerintah daerah tersebut dan umumnya mereka terbagi lagi dalam berbagai tingkatan dan gelar yang berbeda sesuai dengan tingkat hubungan mereka dengan raja. Bisa dikatakan sifatnya yang turun temurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke 19. Karena itu

7

Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h. 30.

8


(36)

mereka biasa disebut elit atau Priayi9 di Jawa dan menak10 di Sunda, yang disebut elite adalah sesuatu kelompok yang berpengaruh dalam suatu lingkungan masyarakat. Biasanya mereka dijadikan Admininstratur, pegawai pemerintah oleh pemerintah Belanda. Secara teknis kaum ningrat merupakan kelompok terpisah, namun masyarakat pribumi dengan sendirinya memasukan kaum ningrat ke dalam golongan priayi.11 Sedangkan masyarakat muslim pada masa itu dipandang sama dengan pribumi atau rakyat biasa (indigenousness).12

Dari stratifikisai sosisal inilah dapat dilihat bagaimana pemerintah Belanda mengambil kebijakan untuk masyarakat di tanah jajahannya. Pemerintah Belanda menyadari bahwa untuk dapat mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda, mereka berusaha memahami dan mengerti tentang seluk beluk penduduk pribumi yang dikuasainya. Mereka pun tahu bahwa agama penduduk yang dijajahnya itu mayoritas beragama Islam sehingga mereka sangat berhati-hati dalam mengabil kebijakan.

Kedatangan bangsa Barat disatu pihak membawa dampak pada kemajuan teknologi, kendati kemajuan tersebut tidak secara menyeluruh dirasakan oleh

9

Istilah ini pertama kali dipakai oleh Clifford Geertz dalam kajiannya The Religion of Java diterjemahkan ke dalam Agama Jawa, yang membedakan masyarakat Muslim Jawa atas tiga kategori Priayi (pejabat pemerintah), Santri ( muslim yang menjalankan agama, pedagang), dan

abangan ( masayarakat yang tinggal di pedesaan). Dalam Robert Van Niel, h. 31 dijelaskan pula maksud Priayi. Priayi adalah kelompok yang disebut elit, bagi masyarakat Indonesia berarti siapa saja yang berdiri diatas rakyat Jelata dalam hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat Indonesia.

10

Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.(Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998). h. 2. Beliau mengutip C. Van Vollenhoven yang menjelaskan sebutan menak yang digunakan dalam tradisi Jawa di daerah Sunda dipergunakan untuk menyebut semua orang yang sangat di hormati baik para bangsawan maupun pejabat tinggi.

11

Robert Van Niel, h. 31-32

12

Alwi Sihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhamadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 69.


(37)

masyarakat pribumi. Tujuannya tak lain hanya untuk meningkatkan hasil jajahannya, begitu pula dengan pendidikan.13 Pemerintah memperkenalkan sistem dan metodologi baru yang lebih efektif, namun hanya sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu disegala bidang. Pendidikan yang didapat para calon pegawai Hindia tidak serta merta diberi pendidikan yang sangat luas, mereka dididik agar dapat mandiri dan memiliki daya tangkap sebagaimana yang diperlukan.14

B. Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda

Kenyataannya Belanda sebagai penjajah benar-benar mengeruk keuntungan yang sebesar- besarnya, dengan memeras tenaga, sumber alam dan sebagainya, sementara di lain pihak juga diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu, Belanda sebagai penjajah berbeda sekali dengan kaum penjajah yang lain, seperti Inggris dan Jepang. Belanda benar-benar sangat lambat dari negara-negara Kolonial lainnya. Inggris meskipun mereka sebagai kolonialis, mereka tidak mengesampingkan kemajuan pribumi terutama di bidang pendidikannya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa negara bekas jajahan Inggris seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan sebagainya. Sekarang semua negara tersebut masuk ke dalam kategori negara maju.

13

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, lintasan Sejarah, Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta:Diterbitkan Kerjasama dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan dan PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet ke 2, h. 47-48

14

E. Gobee dan C Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV (Jakarta : Indonesian Netherlands Coorperation in Isalamic Stuidie (INIS), 1991). h. 477-479.


(38)

Tahun 1819 Gubernur van de Capelen mengeluarkan surat edaran yang menyatakan secepat mungkin untuk meratakan kemampuan membaca dan menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam menaati undang-undang dan hukum negara.15 Maksud dari surat instruksi tersebut adalah perlunya didirikan Sekolah Dasar (SD) pada zaman itu. Sebab pendidikan Islam yang ada di Surau, Masjid, langgar dan Pondok Pesantren dianggap tidak membantu pemerintah Hindia Belanda.

Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah Westernisasi dan Kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.16 Perhatian pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya untuk mendapatkan ternaga terdidik dengan upah yang minim, karena apabila mendatangkan langsung tenaga terdidik atau pegawai administrasi pemerintah dan pekerja bawahan dari Belanda pastilah dibutuhkan biaya yang cukup besar sehingga sangat lah dibutuhkan seorang pribumi yang terdidik, alasan ini digunakan oleh Van den Bosch yang merasa sangat membutuhkan tenaga pribumi untuk memajukan perkembangan ekonomi di Hindia Belanda. Dibukalah pendidikan untuk golongan pribumi dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Pada abad ke-20 sebuah zaman baru dalam politik kolonial dimulai, yaitu zaman etis. Semboyan dari zaman ini adalah “kemajuan”. Kata-kata yang

15

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.1.

16

Zuhairini, dkk, Sejarah Pedidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1986), h. 145.


(39)

menandakan kemajuan seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu bersama bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan).17

Kebijakan politik ini berkonsentrasi pada modernisasi masyarakat Hindia Belanda dan membebaskan dari kekuasaan Kolonial. Adalah C.Th. Van Deventer yang menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Een Ereschuld (Suatu hutang kehormatan), di dalam jurnal Belanda de Gids, dia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Hindia Belanda atas semua kekayaan yang sudah di peras dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar kembali dengan jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat Hindia Belanda didalam kebijakan kolonial. 18

Ide ide politik etis antara lain adalah irigasi, emigrasi dan pendidikan. Pendidikan memiliki skala yang paling penting melihat populasi masayarakat pribumi sehingga mereka berpikir untuk memajukan dan meningkatkan pendidikan masyarakat pribumi. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak diangkatnya Alexander W.F Idenburg sebagai menteri urusan jajahan.19

Pendidikan dan emansipasi masyarakat Hindia Belanda secara berangsur-angsur itulah inti dari Politik Etis. Pendidikan masyarakat Hindia Belanda harus di arahkan dari ketidak matangan yang di paksakan agar berdiri di atas kaki sendiri.

17

Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Perpustakaan Utama Garffiti,1997), h. 35

18

M.C Ricklefs, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h.328.

19


(40)

Bersainglah dua aliran dalam lingkaran Kolonial. Aliran pertama menyukai pendidikan dalam bahasa Belanda untuk elite pribumi, menurut mereka cara ini akan memperkuat komitmen para elite pada kebudayaan Barat dan dapat menghasilkan pemimpin pribumi yang dapat bekerjasama dengan para tuan Belanda pada era Etis baru. Usaha Westernisasi penduduk asli kemudian dikenal sebagai asosiasi. Tujuannya ialah menjembatani Timur dan Barat, kalangan pribumi dengan orang Belanda, yang di jajah dengan yang menjajah. Bahwa timbul asimlasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur sosial dan politik yang sama dengan negeri Belanda. Profeor C. Snouck Hurgronje merupakan tokoh dominan aliran ini.20 dan direktur pendidikan politik Etis yang pertama yaitu J.H. Abendanon (1900-1905). Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melatih elit pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan ini juga bisa memangkas biaya-biaya administratif, menghambat ‘fanatisme’ Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia21 Seperti yang digambarkan oleh Robert Van Niel, Niel menyebutkan bahwa Snouck Hurgronje banyak menyumbangkan saran kepada pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang bercirikan Barat kepada

20

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer,

(Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 451-452.

21

Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102


(41)

golongan elit pribumi.22 Sedangkan aliran pemikiran lainnya lebih menyukai pendidikan dasar yang menggunakan bahasa pribumi bagi masyarakat pribumi dan lebih menekankan pada kesejahteraan langsung. Disisi ini ada Gubernur Jendral J.B van Heutsz dan A.W.F. Idenburg yang mendukung pendidikan yang lebih dasar dan praktis yang diperuntukkan bagi kalangan masyarakat yang lebih luas sehingga bisa memberikan sumbangan bagi keberhasilan Politik Etis.23

Dalam penerapannya pemerintah membuat sruktur pendidikan dan sistem yang masih mengikuti konsep stratifikasi Kolonial berdasarkan penduduk tanah jajahan, dimana stratifikasi ini mengenal jenjang tinggi-rendah pembagian warga masyarakat, dari yang paling atas terdiri dari penduduk Eropa, disusul Timur Asing (teruama Arab dan China), arsitokrat pribumi lebih dikenal dengan priayi dan rakyat umum atau pribumi24.

Sebelum pemerintah Belanda membuka secara umum pendidkan untuk pribumi, pendidikan sudah berlangsung di kalangan masayarakat pribumi. Anak rakyat umum pribumi dari kalangan bawah lebih memilih untuk menempa ilmu agama Islam di Pesantren-pesantren sedang kan untuk para anak pejabat dan bangsawan lebih memilih untuk memanggil guru privat orang Belanda seperti yang dilakukan oleh beberapa bupati seperti bupati Serang, bupati Sumedang, bupati Galuh, dimana mereka melangsungkan proses belajar mengajar di

22

Niel. h. 60.

23

Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102

24


(42)

pendopo.25pelajaran yang diajarkan antara lain menulis dan membaca Melayu (latin dan Arab), berhitung. Guru yang mengajar mendapat honor tinggi dari bupati, hal ini merupakan suatu perubahan dalam kemajuan pendidikan pribumi.

Untuk mengatur pendidikan bagi pribumi, pemerintah kolonial mengeluarkan Indische Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1893 Nomor 12526 yang menetapkan pembagian sekolah pribumi menjadi sekolah dasar kelas satu dan sekolah dasar kels dua27. Atas kebijakan ini lah kondisi pendidikan masyarakat pribumi masa kolonial semakin memprihatikan karena adanya diskriminasi sosial yang terlihat pada pendidikan masyarakat pribumi, terlihat pada didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah untuk rakyat biasa dan kaum bangsawan, pemerintah Belanda mendirikan sekolah kelas satu (de

Schoolen de Eeerste Klasse) untuk anak tokoh terkemuka dan orang-orang

pribumi yang terhormat, sedangkan sekolah dasar kelas dua (de Schoolen de

Tweede Klasse) 28 didirikan untuk rakyat pribumi.

Sekolah kelas satu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan, dan perusahaan. Pelajaran yang didapatkan adalah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur tanah ditempuh dalam masa belajar 5 tahun dengan guru sekolah lulusan Kweekschool. Bahasa pengantar yang digunakan adalah

25Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”

., h.237. lihat juga Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.208

26

Lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie no 129 tahun 1893.

27Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”

., h. 202.

28

Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), h 280.


(43)

bahasa daerah dan bahasa Melayu. Lain halnya dengan sekolah kelas dua yang diperuntukan bagi anak rakyat biasa, sekolah ini hanya untuk memenuhi syarat kebutuhan pendidikan rakyat umum dengan lama belajar 3 tahun. Mata pelajaran yang diberikan antara lain membaca, menulis, dan berhitung dengan bahasa daerah dan Melayu sebagai bahasa pengantar. Tidak ada kualifikasi khusus guru yang mengajar seperti sekolah kelas satu.

Beberapa sekolah yang didirikan Belanda untuk kepentingan kepegawaian pemerintah antara lain Hoofdenschool, Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool)

sekolah Kristen di Batutulis, Batavia, Sekolah Pendidikan calon Guru ( Hollandsh

Indlandsche Kweekschool / HIK), STOVIA ( Scool tot Opleiding voor

Indlandsche Arsten) atau lebih dikenal dengan sekolah dokter Jawa29.

Hoofdenschool adalah sekolah untuk calon pegawai pemerintah, sekolah

yang didirkan untuk kaum bangsawan dan anak-anak raja, bupati dan tokoh terkemuka. Didirikan pada 1878 di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sekolah ini disebut juga dengan Sakola Menak (bangsawan). Awal mula murid

Hoofdenschool hanya 44 orang bangsawan terkemuka, mata pelajaran yang

diajarkan antara lain membaca, berhitung. Bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda dimana pada awal tahun ajaran pertama murid hanya sebagai “murid pendengar”. Tahun 1882 Hoofdenschool merubah arah tujuan pendidikannya, sekolah ini menjadi sekolah menengah yang mencetak lulusan murid terdidik sebagai calon pegawai pemerintah sesuai keinginan pemerintah, karena

29Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam

Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238-240


(44)

pemerintah merasa masih membutuhkan tenaga pegawai pribumi yang terdidik dan berkualitas. Jumlah murid semakin bertambah pada tahun 1890 dan akhirnya berdasarkan keputusan Gubernur Jendral nomor 11 tanggal 19 agustus 1899

Hoofdenschool berubah menjadi OSVIA ( Opleidingschool voor Inlandsche

Ambtenaren) Sekolah Pendidikan Untuk Pejabat Pribumi.30 Sekolah untuk para

pejabat pribumi yang menghasilkan pegawai pemerintahan dalam negri

(Binnelands Bestuur). Tidak ada diskriminasi lagi dalam penerimaaan murid pada

sekolah menengah ini, sekolah ini dibuka untuk umum bukan hanya untuk para anak bangsawan dan raja-raja.

Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) adalah sekolah pendidikan

calon guru.31 Maksud didirikanya sekolah ini adalah sebagai persiapan pembangunan sekolah untuk pribumi. Tahun 1834 sekolah ini pertama kali dibuka atas usaaha yang dilakukan swasta di Ambon, sedang di pualu Jawa, HIK pertama kali dibuka pada 1852 oleh pemerintah di Surakarta. Setelah pembukaannya di Surakarta pada 1866, HIK Surakarta memiliki peningkatan jumlah murid hingga tidak dapat di tampung lagi. Atas dasar itu K.F. Holle32 pada pertengahan 1866

30

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer,

(Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452.

31Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam

Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238

32

K.F Holle tiba di Hindia Belanda pada umur 14 tahun dan menetap di daerah Priangan dekat Buitenzorg (Bogor), memulai kariranya sebagai seorang juru tulis di sebuah kantor pemerintah pada 1846. Ia brhubungan dekat dengan beberapa menak salah satu hubungan karibnya ia jalin dengan Raden Haji Moehammad Moesa (1822-1886) yang merupakan kepala penghulu Garut, ia menikahi mojang priyangan seperti kebanyakan orang Belanda. pada 1871 ia menjabat sebagai penasihat kehormatan untuk Urusan-urusan masyarakat Pribumi dalam Pemerintah Kolonial. Hubungan Holle dan Moesa sebagai informan kuncinya membuat hubungannya semakin dekat, hingga Holle berusaha menarik para elite Priangan ke dalam lingkaran Kolonial dan merekomendaskan pada para penghulu agara menggunakan bahasa latin dalam setiap karyanya sebagai pengganti bahasa arab. Holle memuka sebuah jalan yangkemudian diikuti oleh sahabat dan


(45)

membuka HIK di Bandung biasa disebut dengan sekolah Raja. Murid pertama berjumlah 27 orang, antara lain adalah murid pindahan dari HIK Surakarta. Bahasa pengantar yang digunakan dalam proses belajar menggunakan bahasa Melayu, kemudian tahun 1865 diajarkan bahasa Belanda dan sejak 1871 bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar. Dengan adanya HIK di Bandung, pendidikan pribumi di Priangan dapat berkembang dengan pesat dikarenakan adanya tenaga guru pengajar baik di sekolah pemerintahan maupun di sekolah swasta seperti HIS.33

STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten) lebih dikenal dengan sebutan sekolah dokter Jawa. STOVIA dibuka pada 1851 dengan jumlah murid 13 orang, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.34 Pendidikan dokter sudah dimulai sejak awal abad 19 pada 1811 ketika maraknya penyakikt cacar yang menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat pribumi, akhirnya beberapa orang dilantik oleh para penilik vaksin untuk menjadi juru cacar. Menjelang pertengahan abad 19 lembaga tersebut dilakukan secara reguler berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 Januari 1849 didirikanlah sekolah ahli kesehatan, untuk membantu rumah sakit militer di Batavia yang dikenal dengan nama STOVIA. Pendidikan juru cacar yang hanya satu tahun diperpanjang menjadi 2 tahun pendidikan dan bukan hanya cacar saja tetapi ditambahkan beberapa mata pelajaran tentang

penggantinya Snouck Hurgronje dimana keduanya fokus pada pembentukan Muslim yang terkolonisasi. Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012). H 161-165

33 Nina Herlina Lubis, “Pendidikan

, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, h. 238-239.

34

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer,


(46)

kesehatan agar lulusannya paham tentang penyakit dan kesehatan lainnya sehingga dapat melakukan operasi ringan dan merawat pasien. Setelah 2 tahun masa pendidikan para siswa diuji oleh beberapa dokter dan apoteker militer, jika lulus mereka mendapat gelar dokter Jawa. Tahun 1864 masa belajar di STOVIA diperpanjang menjadi 5-6 tahun, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Diberikan pula pelajaran bahasa Belanda selama 2-3 tahun bagi murid-murid yang bukan berasal dari sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda. Tahun 1875 gelar dokter Jawa diubah menjadi Indlandsche geneeskunde atau ahli kesehatan pribumi. 35

Akhir abad 19 dan awal abad 20, penguasa perkebunan di Sumatra Utara membutuhkan tenaga medis yang terbilang murah karena tenaga medis dari Eropa sukar untuk dijangkau. Adanya STOVIA dengan mendidik pribumi mengenai ilmu kesehatan merupakan jalan keluar dari permasalah itu. Dibawah pimpinan K.F. Roll dan Departemen Pendidikan yang mendukung program pendidikan kedokteran, melakukan upaya peningkatan kinerja STOVIA dengan lama belajar menjadi 6 tahun, 3 tahun tingkat persiapan bagi sebagian besar mahasiswa. Kedudukan dokter sangat dijunjung tinggi di tengah masyarakt pribumi, maka dari itu dilakukan berbagai macam upaya untuk menarik minat para pelajar. Tahun 1891 telah diputuskan mengizinkan semua pemuda yang berminat pada pendidikan dokter dapat mendaftar dan mengikuti sekolah dasar Eropa tanpa dipungut biaya dengan perjanjian yang ditandatangani orang tua bahwasanya anak mereka setelah lulus akan bekerja pada pemerintah selama beberapa tahun. Gaji

35

Sekolah dokter Jawa berubah pada 1902 menjadi STOVIA. Sugijanto Padmo (alm),


(47)

dokter sangat rendah dibandingkan dengan praktik swasta yang sangat tinggi. Tahun 1904 daya tarik ditambah dengan memberikan gaji f150 sebulan bagi mahasiswa yang berprestasi. Reorganisasi STOVIA dilakukan pada 1900-1902, untuk masuk STOVIA di tetepkan lulusan sekolah Belanda dan memiliki kemampuan pengantar bahasa Belanda sebagai syarat masuk, hal ini memberi peluang mendapatkan pendidikan lanjut untuk masuk ke sekolah dokter di negri Belanda. STOVIA ditingkatakan menjadi perguruan tinggi kedokteran

Geneskundige Hoge School (GHS) pada 192736.

Pemerintah juga mendirikan Sekolah untuk pribumi, bukan dari golongan bangsawan, dikalangan Belanda beranggapan perlu pengembangan pendidikan yang bercorak barat bagi masayarakat pribumi dengan tujuan untuk keperluan perluasan birokrasi dan jaringan admininstrasi pemerintah kolonial, sesuai dengan pendapat van der Prijs untuk membentengi “Volkano Islam”.37

Pada perkembangan awal abad ke 20 Gubernur Van Heutz di bawah kepemimpinannya sistem pendidikan diperluas sampai ke desa-desa untuk orang-orang biasa dan penduduk desa, disebut dengan volksschool atau desaschool dengan lama belajar tiga tahun, itupun di bangun dengan sangat sederhana dan tidak dibiayai oleh pemerintah, dari ide kecil ini penduduk pribumi dapat menerima pelajaran membaca, menulis, berhitung dan menggambar.38 Dapat dilihat bahwasanya

36Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”

., h. 204. Lihat juga

Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah

dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 247.

37

Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 241-243.

38I.J Brugmans “Politik Pengajaran” dalam H. Baudet dan I.J Brugman

(ed), Politik Etis dan Revolusi kemerdekaanI. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 181.


(48)

pemerintah sangatlah pilih kasih dalam menangani pendidikan pribumi. Jika sudah pandai siswa dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang selanjutnya yaitu sekolah sambungan atau vervolgschool dengan masa belajar 2 tahun. Sistem ini menggantikan kedudukan sekolah kelas dua sebagai lembaga pendidikan yanng penting untuk masyarakat pribumi. Sedangkan, Sekolah-sekolah Pribumi Kelas

Dua (Tweede Klasse School) bermetamorfosis menjadi apa yang disebut

Standaardscholen (sekolah-sekolah standar) pada tahun 1908. Sekolah-sekolah ini

diperuntukkan bagi kalangan keluarga pedagang atau para petani di desa.39

Abad 20 Sekolah kelas satu berkembang menjadi HIS (Hollandsch

Indlandsch School). Sekolah ini dibuka bukan karena pemerintah melainkan

desakan masyarakat yang merasa bahwa sekolah kelas satu tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan ke pendidikan selanjutnya. Budi Utomo mendesak pemerintah untuk mendirikan sekolah bercorak baru. Karena diskriminasi ras juga sangat dirsasakan pada klasifikasi sekolah. Pemerintah membuka sekolah sekolah pada tingkatan dasar berdasarkan ras keturunan seperti Europeeche Lagere School (ELS) dikhususkan untuk anak-anak Eropa, Hollandsh Chinese School dikhususkan untuk anak-anak China dan keturunan Asia Timur40. Masyarakat juga meminta agar kesempatan untuk masuk ke sekolah Belanda diperluas agar mereka dapat mengikuti ujian pegawai rendah (klein ambtenaar). Pemerintah pun mengubah peraturan masuk sekolah Belanda pada 1911. HIS dibuka sebagai

39

Yudi Latif, h. 103.

40


(49)

penjelmaan sekolah kelas satu pada 1914 dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya dan lama belajar 7 tahun.41

Siswa yang berbakat dapat melanjutkan sekolah ke MULO (Meer

Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu sekolah lanjutan pertama. Setelah lulus dapat

melanjutkan ke sekolah menengah selanjutnya yaitu AMS (Algemeene

Middlebare School). Tahun 1920 jika siswa dapat lulus dengan peringkat yang

baik mereka dapat meneruskan ke perguruan tinggi. Selain MULO dan AMS ada juga HBS (Hogere Burgerschool).

Pada perguruan tinggi pemerintah mendirikan MLS (Middlebare

Landbrouw School). THS (Technise Hoge School) untuk memunjang kebutuhan

insiyur dan orangorang yang ahli dalam bidang tekhnologi khususnya tekhnologi pengairan guna menunang industri gula di Jawa yang dirasakan kebutuhannya setelah tahun 1920, sekolah ini merupakan pendidikan tinggi di Hindia Belanda yang memenuhi syarat sebagai perguruan tinggi, perguruan tinggi ini menerima lulusan AMS dan HBS dengan lama belajar 5 tahun. Ada juga RHS

(Rechtskundige Hoge School) perguruan tinggi yang fokus pada bidang hukum,

ekonomi dan ilmu ilmu social didirikan pada 1924 dengan lama belajar 5 tahun, sebelumnya sudah ada sekolah Rechtschool (sekolah hakim) didirikan di Batavia pada 1909, terdiri menjadi dua bagian, yaitu bagian persiapan dan bagian pendidikan kejuruan dengan lama belajar masing masaing 3 tahun dan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.Tahun 1913 di Surabaya

41 Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, h.


(50)

dibuka pula sekolah semacam STOVIA dengan nama Nederlansche Indische

Artsen School (NIAS)42

Sekolah yang didirkan pemerintah semakin banyak menarik perhatian masayarakat pribumi. Sekolah dianggap sebagai alat untuk dapat memasuki lingkungan hidup baru atau hidup kerpiyaian, hidup sebagai menak bagi masyarakat golongan bawah, dan legitimasi bagi masyarakat atas. Namun meskipun sudah banyak yang mencicipi bangku sekolah pada 1930 menurut sensus mengatakan masyarakat pribumi masih banyak yang buta huruf , hanya 6,44% masyarakat pribumi yang dapat membaca.43

C. Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Terhadap Masyarakat Pribumi

Harry J. .Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang dapat dipisahkan: Islam religius dan Islam politik,44 Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian,

42

Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.30. lihat juga Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 247, dan M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452. Perguruan tinggi yang didirika masa pemerntah Kolonial menjelma sebagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia, THS kini ITB, MLS kini IPB, GHS kini FK UI, RHS kini dipecah menjadi fakultas fakultas hukum, ekonomi dan ilmu sosial dan politik di lingkungan UI, NIAS kini FK Unair.

43

Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik

Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V,. h.242. lihat juga Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,. h. 48. Buta huruf yamg dimaksud adalah buta huruf latin, masyarakat yang dapat membaca huruf arab tidak masuk dalam hitungan dapat membaca.

44

Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang,. Terj.Daneil Dhakidae dari The Cressent and the Rissing Sun (Jakata: PT Pustaka Jaya, 1980),, h.44.


(51)

yaitu ; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep

Splitsingstheori45.

Prinsip yang dikemukan Snouck dalam bidang kemasyarakatan dan politik adalah menggalakan pribumi agar dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda. Prinsip ini tidak dapat terlepas dari eksistensi kekuasaan Belanda di tanah jajahannya ditambah untuk merebut kemenangan dalam persaingan dengan Islam. Belanda memanfaatkan asosiasi dan pemanfaatan adat untuk tetap bertahan di tanah jajahannya. Dan melalui pendidikan sebagai jalan utamanya.

Dengan mengabulkan keinginan penduduk Hindia Belanda memperoleh pendidikan, menurut Snouck akan menjamin kekalnya loyalitas mereka terhadap pemerintah kolonial, dan akan berdampak menghilangkan cita-cita Pan Islam46 dari segala kekuatannya. Secara tidak langsung juga akan bermanfaat bagi

45

Aqib Suminto. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES,198), cet I,. h. 12

46

Pengertian Pan-Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai seorang khalifah. Secara modern dapat diartikan bahwa kepemimpinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama. Pada masa Usmani Muda, Turki berusaha menggunakan Pan-Islam untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah Kesultanan Usmani. Usaha ini cepat menarik perhatian Asia Afrika yang pada waktu itu hampir seluruhnya sedang dijajah oleh Barat. Ide Pan-Islam ini akan memanfaatkan kemajuan Barat dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, Pan-Islam sekedar berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa Ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, Pan-Islam dalam pengertian ini tetap dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah, karena bisa membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya. Umat Islam di suatu tempat berkat adanya Pan-Islam akan bisa merasakan penderitaan saudaranya di tempat lain. Pada 1884 Jamaluddin al Afghani bersama Muhammad Abduh menerbitkan majalah Al Urwatul Wutsqa di Paris. Melalui majalah ini mereka berusaha menyadarkan dunia Islam agar menemukan kembali kepribadiannya. Diimbaunya dunia Islam agar berpegang teguh kepada agamanya, sebab disitulah terletak kekuatan Islam. Meskipun demikian tidak digalakkannya ta’assub berlebihan sehingga merusak hak orang lain, atau berusaha memusnahkan agama lain. Setiap kepala pemerintahan muslim diserukannya harus berpegang teguh pada hukum syariah. Dicanangkannya persatuan sesama umat dan bangsa Islam. Seorang muslim sehatusnya merasa sedih dan prihatin tatkala mendengar berita kejatuhan suatu negara Islam ke tangan negara bukan Islam. Aqib, h 80


(52)

penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan missi.47

Sudah dijelaskan pula diatas perlakuan Belanda yang berbeda terhadap negara jajahannya yang tidak sama dengan Negara penjajah lainnya yang sudah terlebih dahulu mendirikan sekolah daripada Belanda, seperti penjajah Spanyol dan Inggris yang mensejahterakan negara dibawah kekuasanya dengan mendirikan lembaga pendidikan lebih awal daripada Belanda yang sangat lambat. Abad ke-16 Spanyol sudah mendirikan Universitas di Filipina begitu pula dengan Inggris mendirikan Universitas di India pada abad ke-17, Belanda baru mendirikan sekolah di penghujung akhir abad ke-19.

Snouck melihat guru-guru agama dan ahli kitab suci Islam, kiai dan ulama merupakan unsur sosial yang paling penting dalam tatanan masyarakat Hindia Belanda. karena maraknya perlawanan yang dipimpin oleh para Kiai dan ulama terhadap pemerintah, maka golongan ini dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda, terlebih lagi orang-orang yang pulang dari ibadah Haji dan lama bermukim disana untuk menimba ilmu agama, karena alasan inilah pemerintah membuat kebijakan tentang pembatasan pergi Haji dan mengawasi masyarakat Hindia Belanda yang pergi Haji selama beribadah sampai kembali ke tanah air.48 Karena banyak dari mereka yang pulang ke tanah air mendirikan halaqah halaqah

47

Suminto. h.40

48

Aqib Suminto,h. 92-96 tentang haji dan Pan Islam. lihat Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,(Bandung: Mizan,1996), cet I, h.44.dan juga Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang, Terj. dari The Crescent and The Rising Sun, Indonesian islam under the Japanese occupation 1942-1945 oleh Daneil Dhakidae (Jakata: Mizan, 1980), cet I. h.42. dan jga G.J.

Pijper, “Politik Islam pemerintah Belanda dalam H. Baudet dan I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutaarga,. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987),. h. 242.


(1)

119

Lampiran 7:

Karel Frederick Holle, Sumber :

media-kitlv.nl


(2)

120

Lampiran 8:


(3)

121

Lampiran 9:


(4)

122

Lampiran 10 :

School voor Technisch Onderwijs in Nederlands-Indie. Sumber:

media-kitlv.nl


(5)

123

Lampiran 11 :

Murid OSVIA di Madiun antara 1918-1919. Sumber:

media-kitlv.nl


(6)

124

Lampiran 12 :

MULO Bandoeng. Sumber:

media-kitlv.nl

MULO Purwokerto 1910. Sumber:

media-kitlv.nl

MULO Ambon, 1925. Sumber: