Rumusan Masalah Penelitian Sebelumnya yang Relevan

4 aspek sosiologi pengarang, yakni permasalahan status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Resepsi dalam konteks penelitian ini adalah tanggapan dari pembaca mahasiswa dan guru bahasa Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan pendekatan yang penulis pergunakan dalam penelitian ini, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah latar belakang sosial budaya pengarang dari Arok Dedes dalam novel Arok Dedes ? 2. Bagaimanakah relevansi antara novel Arok Dedes dengan kenyataan sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada zaman Singosari ? 3. Bagaimanakah resepsi pembaca mengenai novel Arok Dedes ? 4. Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Arok Dedes ? C. Tujuan Penelitian Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial budaya pengarang dari novel Arok Dedes. 2. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan korelasi antara novel Arok Dedes dengan kenyataan dalam sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada zaman Singosari. 3. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan resepsi pembaca ; mahasiswa dan guru bahasa Indonesia. 4. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Arok Dedes.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi secara teoretis dan praktis. commit to user 5 1. Manfaat Teoretis Memperkenalkan kepada pencinta sastra bahwa kajian sosiologi sastra dan resepsi sastra merupakan cabang kritik sastra yang akan membawa pembaca dalam suasana karya itu dibuat juga dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang nilai-nilai ajaran yang baik sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. 2. Manfaat Praktis a. Bagi pembaca Hasil penelitian ini dapat menjadi pelajaran bagi pembaca akan nilai-nilai positif dan negatif dalam kehidupan. b. Bagi guru Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan guru dalam mencari alternatif materi ajar yang tepat dalam pengajaran novel. c. Bagi Siswa Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi siswa dalam pengetahuan tentang manfaat dan nilai-nilai yang ada dalam novel. d. Bagi Peneliti lain Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sastra. perpustakaan.uns.ac.id commit to user 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Novel a. Pengertian dan Karakteristik Secara etimologis, novel berasal dari kata latin novella yang berarti kabar atau pemberitahuan. Novella diturunkan menjadi kata inovelis yang berarti baru. Dapat dikatakan baru karena novel hadir sebagai genre sastra setelah puisi dan drama yang terlebih dahulu ada. Bentuk novel dapat dikatakan sama dengan roman karena keduanya sama-sama menceritakan hal-hal yang terjadi pada kehidupan para tokohnya dan perubahan nasib para tokohnya. Goldmann dalam Faruk, 2003: 29 mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yagn otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia. Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel tersebut. Waluyo 2002: 37 mengungkapkan bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Waluyo 2002: 38-39 membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra tinggi, sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan rendah karena tidak ada unsur kreativitasnya Di pihak lain Goldmann dalam Ratna, 2003: 126, yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil 6 commit to user 7 merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis Ratna, 2003: 127. Ratna 2004:314 menyimpulkan bahwa dari segi struktur, sebuah novel sastra maupun novel populer mengandung unsur-unsur yang paling lengkap. Novel menyediakan cerita dengan peristiwa, tokoh, dan latar, sehingga menulis dianggap berdialog dengan orang lain. Novel memanfaatkan bahasa biasa, bahasa sehari-hari, yang juga merupakan faktor penting dalam kaitannya dengan penulis. Novel juga menyediakan media yang sangat luas, sehingga pengarang memiliki kemungkinan yang seluas-luasnya untuk menyampaikan pesan. Reeve dalam Wellek dan Warren, 1989:282 mengungkapkan bahwa novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata, dari jaman pada saat novel itu ditulis. Novel dianggap sebagai dokumen atau kasus sejarah, sebagai pengakuan karena ditulis dengan sangat meyakinkan, sebagai sebuah cerita yang sebenarnya, sebagai sejarah cerita hidup seseorang pada jamannya Wellek, 1989:276. Nurgiyantoro 2007:4 menyebutkan bahwa novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar dan sudut pandang yang bersifat imajinatif. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam sebuah cerita novel kehidupan itu sering terasa benar adanya, seolah-olah terjadi secara kenyataan. Hal ini dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan atau dianalogikan dengan dunia nyata, lengkap dengan peristiwa-peristiwa dan latar aktualnya. commit to user 8 Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya fiksi yang memiliki tema, alur, latar, tokoh, dan gagasan pengarang. Selain itu, novel juga menampilkan rangkaian cerita kehidupan seseorang yang dilengkapi dengan peristiwa, permasalahan, dan penonjolan watak setiap tokohnya. b. Unsur Intrinsik Baik buruk dan menarik tidaknya sebuah cerita rekaan roman, cerpen, maupun novel sangat ditentukan oleh adanya keterkaitan antara unsur-unsur pembentuk cerita. Unsur-unsur pembentuk cerita dalam novel yang berasal dari dalam disebut unsur intrinsik, sedangkan unsur- unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar disebut unsur ekstrinsik. Menurut Damono 2000:10, pendekatan intrinsik dilakukan jika peneliti memisahkan karya sastra dari lingkungannya. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap memiliki otonomi dan bisa dipahami tanpa harus mengaitkannya dengan lingkungannya seperti penerbit, pembaca, dan penulisnya. Novel misalnya, merupakan sistem formal yang analisisnya meliputi tema, alur dan pengaluran, latar, tokoh dan penokohan, dan penceritaan. Sedangkan pendekatan ekstrinsik terhadap karya sastra dilakukan jika penelitian ditujukan untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada antara karya sastra dengan lingkungannya, antara lain pengarang, pembaca, dan penerbit. Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun sebuah karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur tersebut secara otomatis mampu membangun cerita dan membuat novel memiliki roh. Sebaliknya, unsur ekstrinsik yang menitikberatkan karya sastra dan hubungannya dengan pengarang, pembaca, dan lingkungan, akan lebih banyak berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan intrinsik dilakukan jika penelitian menitikberatkan kajian kepada karya sastra dan memisahkannya dari lingkungan tempat karya commit to user 9 tersebut dilahirkan. Sedangkan pendekatan ekstrinsik dilakukan jika penelitian lebih menitikberatkan kajian kepada karya sastra dan hubungannya dengan pengarang, pembaca, lingkungan, peristiwa, dan sudut pandang. Berdasar dari uraian di atas, unsur-unsur intrinsik novel adalah sebagai berikut: 1 Tema Tema merupakan gagasan, ide, ataupun pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap atau tidak Sudjiman, 1990:78. Stanton dan Kenny dalam Nurgiyantoro, 2007:67 menyatakan bahwa tema theme adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Sementara itu, menurut Nurgiyantoro 2007:74 tema dalam sebuah karya sastra fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Ada beberapa macam tema yaitu tema yang sifatnya didaktis, pertentangan antara baik dan buruk; tema yang eksplisit dan implisif; cinta, kehidupan keluarga; tema yang biasa dan tidak biasa; dan tema konflik kejiwaan Sudjiman, 1988:50. Selain itu, Shipley dalam Nurgiyantoro, 2007:80 mencoba menjelaskan tingkatan tema, diantaranya: a Tema tingkat fisik Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menunjukkan banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan. b Tema tingkat organik Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak mempermasalahkan seksualitas, khususnya kehidupan seks yang menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan suami istri, atau skandal-skandal seksual lainnya commit to user 10 c Tema tingkat sosial Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak mempermasalahkan ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, dan lain sebagainya. d Tema tingkat egoik Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak mempermasalahkan egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. e Tema tingkat divine Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak mempermasalahkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide atau gagasan keseluruhan yang terkandung dalam sebuah cerita. 2 Alur dan Pengaluran Alur adalah urutan peristiwa yang dihubungkan secara kausal. Peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa yang lain Stanton dalam Sugihastuti, 2000:46. Nurgiyantoro 2002:10 mengungkapkan alur adalah salah satu unsur yang mendukung terbentuknya sebuah cerita. Kenney dalam Nurgiyantoro, 2007:113 mendefinisikan alur adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster dalam Nurgiyantoro, 2007:113 mendefinisikan alur adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Nurgiyantoro dalam Sugihastuti, 2000:46 kembali mengungkapkan bahwa sebuah peristiwa terjadi karena adanya aksi atau aktifitas yang dilakukan oleh tokoh cerita, baik yang bersifat commit to user 11 verbal maupun non verbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Alur merupakan cerminan perjalanan tokoh dalam berpikir, bertindak dalam menghadapi berbagai macam masalah kehidupan. Analisis alur difokuskan pada fungsi utama yang membentuk sebuah alur cerita. Fungsi utama disusun berdasarkan hubungan sebab akibat sebuah peristiwa dalam cerita. Fungsi utama diperoleh berdasarkan sekuen yang memiliki hubungan sebab akibat satu dengan lainnya. Sementara itu Sumardjo dan Saini 1986:49 menjabarkan struktur atau tahapan alur, yaitu: pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, dan pemecahan soal Zaimar 1991:32 menjelaskan bahwa pengaluran adalah pemilihan dan pengaturan peristiwa pembentuk cerita tersebut. Cerita diawali dengan peristiwa dan diakhiri juga dengan peristiwa tanpa terikat urutan waktu. Analisis struktur cerita bertujuan untuk mendapatkan susunan teks. Satuan teks biasa disebut sekuen. Menurut Todorov 1985:50, sekuen yaitu satuan motif kalimat atau satuan cerita yang memberikan kesan atau suatu keutuhan sempurna. Syarat satu sekuen diantaranya: satu titik perhatian fokalisasi, satu kurun waktu tertentu, dan ditandai hal-hal lain seperti lay out. Jenis pengaluran terbagi atas: 1 Ingatan atau flashback, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah peristiwa yang dialami tokoh pada masa lalu. Ada dua jenis ingatan, yaitu sorot balik dan kilas balik. a Sorot balik yaitu peristiwa masa lalu yang ditampilkan dalam rangkaian peristiwa. b Kilas balik yaitu peristiwa masa lalu yang ditampilkan hanya dalam satu peristiwa. 2 Linear atau realitas fiktif, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah peristiwa yang dialami tokoh pada masa kini dalam teks. perpustakaan.uns.ac.id commit to user 12 3 Bayangan, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah peristiwa yang belum terjadi. Peristiwa itu hanya ada dalam benak tokoh cerita, termasuk di dalamnya adalah mimpi yang dialami tokoh tersebut. Dari beberapa pendapat mengenai alur, dapat disimpulkan bahwa alur adalah urutan peristiwa dan konflik-konflik yang tersusun secara logis. Sedangkan pengaluran adalah satuan urutan peristiwa dalam sebuah cerita. 3 Latar Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra Sudjiman, 1990:48. Menurut Wellek dan Warren 1989:290, latar didefinisikan sebagai alam sekitar atau lingkungan, terutama lingkungan dalamnya dapat dipandang sebagai pengekspresian watak secara metonimik dan metaforik. Latar yaitu ruang dan waktu terjadinya peristiwa, objek-objek, kebiasaan, pola perilaku sosial dan budaya yang ada pada ruang dan waktu terjadinya peristiwa itu Faruk, 1998:32. Sementara itu Nurgiyantoro 2007:227 mengklasifikasikan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, diantaranya: a Latar tempat Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan dapat berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama jelas. Keberhasilan latar tempat ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga keseluruhannya bersifat saling mengisi. b Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. commit to user 13 c Latar sosial Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Kehidupan masyarakat tersebut berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Kenny dalam Sudjiman, 1988:44 menyebutkan unsur latar secara terperinci meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai kepada perincian perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh; waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya; lingkungan agama, moral, intelektual, sosial dan emosional para tokoh. Hudgon dalam Sugihastuti, 2002:54 membedakan latar menjadi dua, yaitu: 1 Latar fisik atau material Adapun yang termasuk latar fisik atau material adalah tempat, waktu, dan alam fisik di sekitar tokoh cerita. 2 Latar sosial Yang termasuk latar sosial adalah penggambaran keadaan masyarakat atau kelompok sosial tertentu, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada suatu tempat atau waktu tertentu, pandangan hidup, dan adat istiadat yang melatari sebuah peristiwa. Aminudin 2002:67 mengungkapkan bahwa ada dua aspek fungsi setting dalam karya fiksi, diantaranya:1 Setting berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis. 2 Setting memiliki fungsi psikologis yaitu nuansa makna tertentu serta mampu menciptakan suasana- suasana tertentu yang menggerakkan emosi aspek kejiwaan pembacanya. commit to user 14 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar adalah penjelasan mengenai suasana, waktu, tempat, dan perilaku lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang ada dalam sebuah cerita. 4 Tokoh dan Penokohan Tidak ada cerita yang tidak memiliki tokoh, sekalipun tokoh tersebut tidak berupa manusia. Tokoh cerita dapat berupa hewan dan tumbuhan yang dipersonalisasikan. Contoh personalisasi tokoh hewan dan tumbuhan biasanya muncul dalam sebuah fabel. Tokoh cerita dapat didefinisikan sebagai subjek sekaligus objek peristiwa dan pelaku yang berperan dalam sebuah cerita. Seperti telah disebutkan di atas bahwa definisi singkat tokoh merujuk pada pelaku cerita, sedangkan definisi penokohan lebih merujuk pada penggambaran tokoh-tokoh cerita yang mempunyai watak-watak tertentu. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, 2007:165 berpendapat bahwa tokoh cerita character orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Menurut Nurgiyantoro 2007:176, tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut: a Tokoh utama dan tokoh tambahan yaitu tokoh utama central character atau main character yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh ini merupakan yang paling banyak diceritakan dan senantiasa hadir dalam setiap kejadian. Tokoh tambahan peripheral character yaitu tokoh yang pemunculannya sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama. b Tokoh protagonis dan tokoh antagonis.Tokoh protagonis yaitu tokoh yang digambarkan sebagai hero-tokoh yang merupakan pengejewantahan norma-norma, perpustakaan.uns.ac.id commit to user 15 nilai-nilai yang ideal yakni sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Tokoh antagonis yaitu tokoh yang menyebabkan konflik, beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tak langsung dan bersifat fisik ataupun batin. c Tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana simple atau flat character yaitu tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu, sifat dan tingkah lakunya bersifat datar dan monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu, mudah dikenal dan dipahami, lebih familiar, dan cenderung stereotip. Tokoh bulat complex atau round character yaitu tokoh yang memiliki watak dan tingkah laku bermacam-macam, perwatakannya sulit dideskripsikan secara tepat, bahkan dapat bertentangan dan sulit diduga. d Tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis atau biasa disebut tokoh tidak berkembang static character yaitu tokoh yang memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang dari awal hingga akhir cerita. Tokoh ini juga kurang terlibat dan tak terpengaruh oleh adanya perubahan- perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh berkembang developing character yaitu tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan watak, sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot. Tokoh ini secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, dan lainnya, yang kesemuanya akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Sikap dan watak dari tokoh berkembang mengalami perkembangan dan perubahan dari awal, tengah, dan akhir cerita. e Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal typical character yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral neutral character yaitu tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Tokoh netral merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Tokoh ini dihadirkan commit to user 16 semata-mata de mi cerita, atau bahkan dialah empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Penokohan tokoh cerita secara tipikal pada hakikatnya dapat dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, dan tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata. Tanggapan itu mungkin bernada negatif seperti terlihat dalam karya yang bersifat menyindir, mengkritik, bahkan mungkin mengecam, karikatural atau setengah karikatural. Namun sebaliknya juga mungkin bernada positif seperti yang terasa dalam nada memuji. Tanggapan juga dapat bersifat netral, artinya pengarang melukiskan seperti apa adanya tanpa disertai sikap subjektivitasnya sendiri yang cenderung memihak Nurgiyantoro, 2007:191. Aminudin 2002:80 mengungkapkan bahwa ada sembilan cara untuk memahami watak tokoh dalam cerita, diantaranya: tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, gambaran yang diberikan pengarang melalui gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian, menunjukkan bagaimana perilakunya, melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, memahami bagaimana jalan pikirannya, melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya, melihat bagaimana tokoh-tokoh lain memberikan reaksi terhadapnya, melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh lainnya. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku cerita yang dimunculkan dalam sebuah karya naratif. Sedangkan penokohan adalah cara pengarang memberi gambaran yang sejelas-jelasnya kepada pembaca mengenai tokoh dan perwatakannya dalam sebuah cerita. perpustakaan.uns.ac.id commit to user 17 5 Penceritaan Dalam menganalisis penceritaan, menurut Genete dalam Todorov, 1985:25 harus mempertimbangkan 2 kategori, yaitu kategori modus dan kategori tutur. Kategori tutur disebut juga penceritaan. Kehadiran pencerita terdiri atas 2 jenis, yaitu: a Pencerita dalam intern. Pencerita dalam terlibat secara langsung sebagai tokoh cerita. Ciri- cirinya adalah ditemukannya kosakata “aku” atau “saya” di dalam cerita tersebut.b Pencerita luar ekstern. Pencerita luar sama sekali tidak terlibat sebagai tokoh cerita. Ciri-cirinya adalah ditemukannya kosakata “dia”, “ia” atau penunjuk kata ganti orang ketiga lainnya. Tipe penceritaan terbagi atas tiga jenis, diantaranya: 1 Wicara yang dialihkan: pencerita menyajikan pikiran-pikiran dan perasaan yang dialami para tokoh, 2 Wicara yang dinarasikan: pencerita menyajikan peristiwa dan tindakan yang dialami para tokoh. 3 Wicara yang dilaporkan: Pencerita menyajikan dialog-dialog para tokoh cerita. Sementara itu Todorov dalam Nurgiyantoro, 2002:94 berpendapat bahwa penceritaan merupakan peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiktif tidak dikemukakan sebagaimana aslinya, akan tetapi menurut penuturan tertentu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penceritaan adalah cara pengarang menyajikan peristiwa yang ada dalam cerita, serta pikiran dan perasaan yang dialami oleh tokoh cerita. c.. Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik novel adalah unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar karya sastra, seperti karya sastra dengan lingkungan, pengarang, pembaca, dan penerbitnya. Selain itu, unsur ekstrinsik juga lebih banyak berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan. Menurut Nurgiyantoro 2007:24, unsur ekstrinsik novel adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Sementara itu, Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro, 2007:24 menjelaskan bahwa perpustakaan.uns.ac.id commit to user 18 unsur yang dimaksud antara lain adalah subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur sosiologi, biografi pengarang, keadaan lingkungan ekonomi, sosial, dan budaya dapat menentukan ciri karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa Nurgiyantoro, 2007:24. Dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur ekstrinsik sangat berpengaruh besar terhadap wujud dan roh cerita yang dihasilkan karena melibatkan sudut pandang pengarang yang memiliki perbedaan lingkungan ekonomi, sosial, dan budaya. d. Pendekatan Sosiologi Pengarang Dari beberapa macam pendekatan yang ada dalam mengkaji karya sastra, pendekatan sosiologi sastra dan sosiologi pengarang dapat dikatakan sebagai pendekatan yang tidak pernah sepi untuk digunakan. Hal ini terjadi mengingat karya sastra selalu mencerminkan keadaan sosial budaya masyarakatnya. Ratna 2004:60 menyebutkan bahwa dasar pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a karya sastra dihasilkan oleh pengarang; b pengarang adalah anggota masyarakat; c pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat; d hasil karya sastra dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Pengarang adalah anggota masyarakat, memperoleh pengetahuan melalui masyarakat, dan yang terpenting pengarang menyajikan sudut pandang sesuai dengan masyarakat yang mengkondisikannya. Secara faktual, pengarang jelas memegang peranan penting, bahkan menetukan. Tanpa pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Tanpa pengarang fakta-fakta sosial hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan. Melalui daya imajinasinya, pengarang berhasil melihat fakta-fakta secara multidimensional, gejala di balik gejala. Kemampuannya dalam perpustakaan.uns.ac.id commit to user 19 menghasilkan karya sastra disebabkan oleh perbedaan kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas, bukan perbedaan jenis Ratna, 2004:302-303. Pandangan dalam masyarakat lama maupun masyarakat modern, pengarang termasuk sebagai kelompok elite, sebagai kelas menengah atas. Dalam masyarakat lama, pengarang dianggap memiliki kemampuan tersendiri dalam mengakumulasikan gejala-gejala sosial. Sedangkan dalam masyarakat modern, pengarang memperoleh posisi terhormat tanpa harus memperoleh gelar akademis. Ratna, 2004:333 Pada umumnya para pengarang yang berhasil adalah para pengamat sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Pendek kata, pengarang merupakan indikator penting dalam menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur kebudayaan, sekaligus perkembangan tradisi sastra Ratna, 2004:334. Penonjolan paling besar pada pengarang diberikan dalam zaman Romantik. Selain itu, bangsa Yunani Kuno menganggap bahwa pengarang mendapat ilham dari dewa Luxemburg 1991:7. Sejarah sastra abad ke-19 sudah mulai memperhatikan bagaimana karya sastra lahir dan dapat dijelaskan sedetil-detilnya dengan meneliti riwayat kejadian, peristiwa yang dialami oleh pengarang dan lingkungan geografis serta historis tempat pengarang dibesarkan. Menurut Luxemburg 1991:8, paling banyak karya sastra merupakan teks yang di dalamnya terjalin fakta biografis. Setiap pengarang akan mengatur kesan dari kehidupan dan pengalamannya sendiri, mengubahnya dan memanfaatkannya untuk menyusun teks. Untuk memahami suatu teks seutuhnya, kita tidak cuma harus membaca teksnya, tapi juga memahami penulisnya. Selain penulisnya, juga kondisi jaman serta lingkungan dimana ia hidup. perpustakaan.uns.ac.id commit to user 20 e. Perspektif Pengarang Kualitas responsif dan representatif, entitas dan integritas karya sastra di tengah-tengah masyarakat, mengandaikan bahwa karya sastra secara keseluruhan mengambil bahan di dalam dan melalui kehidupan masyarakat. Dengan demikian, karya sastra, seperti juga karya-karya dalam ilmu kemanusiaan yang lain, mengesahkan dan mengevaluasikan bahan-bahan yang sama, tetapi dengan cara pandang dan cara pemahaman yang berbeda. Dengan memanfaatkan kualitas manipulatif medium bahasa, karya sastra bahkan dapat menunjukkan maksud yang sama dengan cara yang sama sekali bertentangan Ratna, 2003:35. Menurut Hellwig 2007:62, tidak hanya pengarang novel yang menciptakan bayangan tentang masyarakat, para ahli sejarah, antropologi dan sosiologi juga demikian. Setiap pengarang, ilmuwan ataupun tidak, dikekang oleh prasangka-prasangkanya masing-masing dan membubuhkan nilai-nilai serta ideologi-ideologinya pada materi yang disajikannya. Masih menurut Hellwig 2007:62, dalam karya fiksi diciptakan dunia khayalan dengan pelaku-pelaku serta kejadian yang dikarang. Sekalipun kejadian-kejadian itu tidak pernah benar-benar terjadi, dan watak atau tokoh-tokohnya bukan tokoh sejarah, namun mereka mewakili nilai-nilai, norma-norma, dan ideologi-ideologi suatu kurun waktu tertentu. Dalam sebuah tulisannya mengenai novel-novel Charles Dickens, salah satunya Oliver Twist, Raymond Williams 1973 merinci keterkaitan antara novel dengan gagasan sosial. Menurutnya, ada tujuh macam cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukkan gagasan sosialnya ke dalam novel, yaitu mempropagandakannya, menambahkan gagasan ke dalamnya, memperbantahkan gagasan, menyodorkan gagasan sebagai konvensi, dan memunculkan gagasan sebagai tokoh, melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi maupun menampilkannya sebagai super struktur perpustakaan.uns.ac.id commit to user 21 Dapat disimpulkan bahwa perspektif pengarang dalam karya sastra, dalam hal ini novel, selalu dihubungkan dengan pemasukan ideologi- ideologi, nilai-nilai atau norma-norma yang dianut oleh pengarang yang bersangkutan.

2. Sosiologi Sastra

Istilah ”sosiologi sastra” dikenalkan pada tulisan-tulisan kritikus dan ahli sejarah sastra yang perhatian utamanya ditujukan dengan cara-cara seorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju Abrams, 1981:178. Sosiologi sastra memperlakukan karya sastra sebagai karya yang ditentukan dipersiapkan secara tidak terhindarkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan- kekuatan pada zamannya, yaitu dalam pokok masalahnya, penilaian- penilaian kehidupan yang implisit dan eksplisit yang diberikan, bahkan juga dalam bentuknya. Sosiologi sastra didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antarahubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat. Meskipun demikian sistem produksi karya sastra tidak didasarkan atas komunikasi linier antara pengarang, penerbit, patron, dan masyarakat pembaca pada umumnya, melainkan juga tradisi dan konvensi literer. Sosiologi sastra memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi- fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam pengertian yang negatif. Artinya, antarhubungan yang terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antarhubungan akan menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing. commit to user 22 Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut Soemanto, 1993; Levin, 1973:56. Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya. Sementara itu, Pospelov 1967:354 berpendapat sebagai berikut: What is the relationship between literature and sociology? Literature is an art that develops in human society throughout the ages quite independently of sociology, whereas sociology ias a science whose purpose is to discover the objective laws of social life in all its manifestations including creative art. Dalam pendapat lain, Rushing 2004 juga berpendapat bahwa : Sociology of literature a brach of literary study that examines the relationship between literary work and their social, modes of publicational dramatic presentation, and the social class position of authors and readers Metode sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksicerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis. Sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya, politik, keamanan, ekonomi dan alam yang melingkupinya. Selain merupakan suatu eksperimen moral yang dituangkan oleh pengarang melalui bahasa, sastra dalam kenyataannya menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial Damono, 1978:1. Seperti halnya karya seni yang lain, karya sastra adalah refleksi pengalaman hidup dan kehidupan manusia, baik secara nyata ataupun hanya rekaan semata, yang dipenggal-penggal dan kemudian dirangkai kembali dengan imajinasi, persepsi dan keahlian pengarang serta perpustakaan.uns.ac.id commit to user 23 disajikan melalui sebuah media bahasa. Bagaimanapun peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan Tuhan, alam semesta, masyarakat, manusia lainnya, dengan dirinya sendiri. Hubungan hakiki itulah yang kemudian melahirkan berbagai masalah yang dihadapi manusia, misalnya : maut, tragedi, cinta, loyalitas, harapan , makna dan tujuan hidup. Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren 1956 membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu: a sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang; b sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya; c sosiologi sastra: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt Damono, 1978 dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni: a konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya; b sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat; cFungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca. Umar Junus 1985 mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut: a karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya; b penelitian mengenai perpustakaan.uns.ac.id commit to user 24 penghasilan dan pemasaran karya sastra; c penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya; d pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas; ependekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan f pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Dari beberapa pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa metode sosiologi sastra mempunyai prinsip dasar bahwa karya sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastrakesusastraan itu ditulis, atau dengan kata lain karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat.

3. Resepsi Sastra

Resepsi sastra, pada dasarnya sudah di mulai oleh Mukarovsky dan Vodicka, dengan konsep karya seni sebagai objek estetik, bukan artefak. Dengan adanya peranan dan aktifitas pembacalah, yang disertai dengan peranan masa lampaunya terjadi pertemuan antara objek dengan subjek, yang dengan sendirinya menimbulkan kualitas estetis. Teeuw dalam Ratna,2004: 201 menganggap studi resepsi sastra seperti ini sangat tepat untuk sastra Indonesia sebab Indonesia memiliki khazanah sastra, khususnya sastra lama yang sangat beragam. Resepsi sastra berasal dari kata latin “recipare” yang berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Jika pembaca merasa nikmat dalam memahami karya sastra berarti karya sastra tersebut dipandang sukses. Resepsi sastra adalah pendekatan penelitian sastra yang tidak berpusat pada teks. Karena teks bukan satu-satunya objek penelitian, pendekatan ini tidak murni meneliti sastra. Resepsi sastra justru meneliti teks sastra dalam kaitannya tertentu. Teks sastra di teliti dalam kaitannya dengan pengaruh yakni keberterimaan pembaca Ratna, 2004: 169, karena itu. Dasar pemikirannya adalah teks sastra ditulis dengan segala struktur estetik yang perpustakaan.uns.ac.id commit to user 25 ada untuk disajikan kepada pembaca, maka dalam hal ini seorang pembaca mempunyai peranan penting dalam memahami makna teks sastra tersebut Endraswara, 2003: 118 Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial Sastriyani 2001:253. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu Ratna dalam Walidin 2007. Sementara itu, Jurt 2005:1 menyatakan bahwa reception theory, despite its influence, has been criticised for its lack of attention to the social contexts of reception. It has also mainly been applied within one national context. Menurut Pradopo 2007:218 yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw dalam Pradopo 2007:207 menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai. Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses perpustakaan.uns.ac.id commit to user 26 resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru. Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya Jauss 1983:21. Metode resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya Pradopo 2007:209. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Pradopo 2007:210-211 mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode. Menurut Ratna 2009:167-168, resepsi sinkronis merupakan penelitian resepsi sastra yang berhubungan dengan pembaca sezaman. Dalam hal ini, sekelompok pembaca dalam satu kurun waktu yang sama, memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra secara psikologis perpustakaan.uns.ac.id commit to user 27 maupun sosiologis. Resepsi diakronis merupakan bentuk penelitian resepsi yang melibatkan pembaca sepanjang zaman. Penelitian resepsi diakronis ini membutuhkan data dokumenter yang sangat relevan dan memadai. Pada penelitian resepsi sinkronis, umumnya terdapat norma-norma yang sama dalam memahami karya sastra. Tetapi dengan adanya perbedaan horizon harapan pada setiap pembaca, maka pembaca akan menanggapi sebuah karya sastra dengan cara yang berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan, pengalaman, bahkan ideologi dari pembaca itu sendiri. Pradopo 2007:211. Penelitian resepsi sinkronis ini menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berada dalam satu kurun waktu. Penelitian ini dapat menggunakan tanggapan pembaca yang berupa artikel, penelitian, ataupun dengan mengedarkan angket-angket penelitian pada pembaca. Resepsi diakronis umumnya menggunakan pembaca ahli sebagai wakil dari pembaca pada tiap periode. Pada penelitian diakronis ini mempunyai kelebihan dalam menunjukkan nilai senia sebuah karya sastra, sepanjang waktu yang telah dialuinya Pradopo 2009:211. Menurut Endraswara 2008:126 proses kerja penelitian resepsi sastra secara sinkronis atau penelitian secara eksperimental, minimal menempuh dua langkah sebagai berikut: a setiap pembaca perorangan maupun kelompok yang telah ditentukan, disajikan sebuah karya sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan baik lisan maupun tertulis. Jawaban yang diperoleh dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut bentuk pertanyaan yang diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara tertulis dapat dibulasikan. Sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan metode wawancara, dapat dianalisis secara kualitatif; b Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca tersebut diminta untuk menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya. Hasil interpretasi pembaca ini dianalisis menggunakan metode kualitatif. Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah resepsi, digunakan strategi dokumenter melalui kepuasan media massa. commit to user 28 Hasil kupasan tersebut yang nantinya akan dikaji oleh peneliti Endraswara 2008:127. Menurut Abdullah dalam Jabrohim 2001:119, penelitian resepsi secara sinkronis dan diakronis, dimasukan ke dalam kelompok penelitian resepsi menggunakan kritik teks sastra. Dalam penelitian resepsi sastra, Abdullah membagi tiga pendekatan, yaitu 1 penelitian resepsi sastra secara eksperimental, 2 penelitian resepsi lewat kritik sastra, dan 3 penelitian resepsi intertekstualitas. Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian sinkronis dan diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui kritik sastra saja. Penelitian eksperimental dapat dimasukan ke dalam peneitian sinkronis, karena dalam penelitian eksperimental ini mengunakan subjek penelitian yang berada dalam satu kurun waktu. Sedangkan penelitian dengan pendekatan yang ketiga, yaitu melalui intertekstualitas, dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis. Karena dapat diteliti hasil konkretisasi melalui teks-teks sastra yang muncul pada setiap periodenya. Tetapi penelitian ini dapat digunakan pada teks sastra yang memiliki hubungan intertekstual dengan teks sastra yang menjadi acuan penelitian. Abrams dalam Pradopo, 2005 membagi kritik sastra kedalam empat tipe yaitu kritik mimetik, kritik ekspresif, kritik objektif, dan kritik pragmatik. Kritik mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan atau penggambaran dunia kehidupan manusia. Kritik ekspresif memandang karya sastra terutama dalam hubunganya dengan penulis sendiri. Kritik objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia yang mengelilinginya. Kritik pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada pembaca. Kritik pragmatik disebut juga dengan resepsi sastra. Resepsi sastra dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi teks reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu dapat bersifat pasif atau aktif. perpustakaan.uns.ac.id commit to user 29 Tanggapan yang bersifat pasif adalah bagaimana seorang pembaca dapat memaknai karya itu atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif yaitu bagaimana pembaca mereaksinya Junus, 1985: 1. Tanggapan pembaca terhadap karya sastra yang dibacanya sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuannya Ratna, 2004: 170. Pembaca mengharapkan sesuatu terhadap karya sastra. Harapan pembaca tersebut, disebut dengan cakrawala harapan. Cakrawala harapan pertama kali diperkenalkan oleh Jauss. Jauss dalam Pradopo, 1995: 207 berawal dari penelitiannya tentang sejarah sastra yang tidak lagi memaparkan nama pengarang dan jenis sastra melainkan bagaimana suatu karya sastra dapat diterima oleh pembacanya. Di mulai dari karya sastra itu terbit pertama kali sampai masa berikutnya. Dari suatu masa ke masa lain tersebut terdapat jarak yang akan dijembatani oleh cakrawala harapan dari pembaca terhadap karya sastra dalam arti pembaca sudah mempunyai konsep atau pengertian dan pemahaman tentang suatu karya sastra sebelum ia membaca karya sastra tersebut pemahaman antara pembaca satu dengan yang lain tentang karya sastra pasti berbeda, hal itulah yang menimbulkan cakrawala harapan pembaca yang ditentukan oleh tiga kriteria yaitu: a pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap karya sastra sebelumnya; b norma-norma dalam karya sastra yang telah dibaca pembaca; dan c perbedaan fiksi dan kenyataan. Resepsi sastra berpandangan bahwa sastra dipelajari dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Menurut Jabrohim 2001: 119-120 dalam meneliti karya sastra berdasarkan resepsi dapat dilakukan dengan tiga cara yang akan dipaparkan sebagai berikut: a intertektualitas yaitu penelitian resepsi intertektualitas dapat dilakukan melalui suatu karya sastra tertentu. Penelitian ini meneliti tanggapan pembaca karya sastra tertentu yang mempunyai hubungan dengan karya sastra yang diteliti, misalnya: Novel layar terkembang mempunyai hubungan dengan dengan novel Belenggu, maka untuk meneliti novel Belenggu dapat meneliti novel perpustakaan.uns.ac.id commit to user 30 Layar Terkembang; b Eksperimental yaitu penelitian resepsi sastra diperkenalkan terhadap karya sastra pada satu periode yaitu masa kini. Penelitian ini dapat dilakukan dengan cara menyebarkan angket atau kuesioner dengan meminjam metodologi penelitian sosial; c kritik sastra yaitu penelitan resepsi sastra dalam metode kritik sastra dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara metode sinkronik dan diakronik, metode sinkronik dilakukan dalam satu kurun waktu atau periode tertentu. Kritik atau tanggapan pembaca dapat diambil dari penerbitan periode yang diteliti. Metode diakronik dilakukan melalui kritik pembaca dari satu periode ke periode berikutnya. Penelitian ini dapat dilakukan dengan cara menyimpulkan tanggapan pembaca ahli sehingga wakil pembaca dari setiap periode dapat diwakili. Berdasar dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan resepsi sastra adalah satu metode kritik sastra yang menitik beratkan pada pendapat atau tanggapan pembaca dalam menilai karya sastra.

4. Sosiologi Pengarang Pramudya Ananta Toer

Pramoedya dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. commit to user 31 a. Hoakiau di Indonesia Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro- Komunis Chinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia. Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang . Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga perpustakaan.uns.ac.id commit to user 32 wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1995, otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik 1995. b. Kontroversi Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut pencabutan, tetapi mengingatkan siapa Pramoedya itu. Katanya, banyak orang tidak mengetahui reputasi gelap Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan hadiah Magsasay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran tidak terpuji pada masa paling gelap bagi commit to user 33 kreativitas pada jaman demokrasi terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya. Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari golongan polemik biasa yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang kelewat jauh. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. c. Multikulturalis Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian perpustakaan.uns.ac.id commit to user 34 Authors Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan. Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. 5. Nilai Pendidikan Karya Sastra Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memiliki nilai, termasuk di dalamnya nilai edukatif atau pendidikan. Nilai yang terkandung di dalam karya sastra dapat dijadikan pedoman bagi penikmatnya, terutama bagi anak-anak atau generasi muda. Ada beberapa nilai yang harus dimiliki sebuah karya sastra yang baik, yaitu: nilai estetika, nilai moral, nilai konsepsional, nilai sosial budaya, dan nilai-nilai lainnya. Sebuah karya sastra yang baik pada dasarnya mengandung nilai- nilai yang perlu ditanamkan pada anak atau generasi muda. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ahmadi dan Uhbiyati 1991: 69 bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya. Sutrisno 1997: 63 juga menyatakan bahwa nilai-nilai dari sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema-tema besar mengenai commit to user 35 siapa manusia, keberadaannya di dunia dan didalam masyarakat; apa itu kebudayaannya dan proses pendidikannya; semua ini dipigurakan dalam refleksi konkret fenomenal- berdasar fenomena eksistensi manusia- dan direfleksi sebagai rentangan perjalanan bereksistensi. Nilai edukatif disebut juga nilai pendidikan. Nilai pendidikan dapat diperoleh pembaca setelah membaca karya sastra. Dengan membaca, memahami, dan merenungkannya pembaca akan memperoleh pengetahuan dan pendidikan. Semi 1993: 20 mengungkapkan bahwa nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagaian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi masalah. Nilai pendidikan dalam karya sastra tidak akan terlepas dari karya sastra itu sendiri. Karya sastra dapat memberikan pengalaman yang tidak diberikan media lain Suyitno, 2000:3. Bertolak dari pendapat Suyitno tersebut, nilai pendidikan dalam karya sastra tidak selalu berupa nasihat atau petuah bagi pembaca, namun juga dapat berupa kritikan pedas bagi seseorang, kelompok atau sebuah struktur sosial yang sesuai dengan harapan pengarang dalam kehidupan nyata. Semi 1993: 20 mengungkapkan bahwa nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagaian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi masalah. Sugono 2003: 111 menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah sebagai berikut: a nilai hedonik, yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca; b nilai artistik, yaitu nilai yang dapat dimanifestasikan sebagai suatu seni atau ketrampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; c nilai kultural, yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan perpustakaan.uns.ac.id commit to user 36 suatu masyarakat, peradaban, dan keagamaan; d nilai etis, moral, dan agama, yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama; dan e nilai praktis, yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sastrowardoyo dalam Tuloli, 1999: 232 menjelaskan bahwa sebenarnya dalam masyarakat modern kesusastraan dapat berkembang dengan subur dan nilai-nilainya dapat dirasakan manfaatnya oleh umum. Kesusastraan sendiri mengandung potensi-potensi ke arah keluasan kemanusiaan dan semangat hidup serta mengandung ekspresi total pribadi manusia yang meliputi tingkat pengalaman biologi, sosial, intelektual, dan religius. Nilai-nilai seperti itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern karena merupakan hasil observasi yang teliti dari pengarang yang dituangkan dalam karya sastra. Tillman 2004: xx-xxi mengemukakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sastra, yaitu: a kedamaian, merupakan suatu keadaan yang ditandai tidak adanya kekerasan, adanya penerimaan, komunikasi keadilan, komunikasi, ketenangan, dan sebagainya; b penghargaan, yaitu mengenal kualitas individu, karena setiap individu adalah berharga; c cinta, maksudnya dalam pribadi yang baik selalu ada cinta yang tulus, memberikan kebaikan, pemeliharaan dan pengertian, melenyapkan kecemburuan, dan menjaga tingkah laku; d toleransi, yakni sifat terbuka dan reseptif pada indahnya perbedaan atau saling menghargai melalui saling pengertian; e kejujuran yang berarti menyatakan bahwa kebenaran tidak ada kontradiksi dalam pikiran, kata atau tindakan serta tidak ada kemunafikan; f kerendahan hati, artinya mengizinkan diri untuk tumbuh dalam kemuliaan dan integritas; g kerja sama yang disebabkan karena ada prinsip saling menghargai, keberanian, pertimbangan pemeliharaan, membagi keuntungan, dan adanya penerimaan; h Kebahagiaan sebagai akibat adanya kepuasan; i tanggung jawab, yaitu melakukan kewajiban dengan sepenuh hati; perpustakaan.uns.ac.id commit to user 37 j kesederhanaan, maksudnya kemampuan mempertimbangkan hal-hal yang tidak perlu; k kebebasan yang berarti adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dan pilihan seimbang dengan konsekuensinya; dan l Persatuan yang merupakan keharmonisan antara individu dalam suatu kelompok serta dibangun dari saling berbagi pandangan, harapan, dan tujuan mulia atau demi kebaikan bersama. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi pendidikan batin pembacanya atau penikmatnya. Peneliti menyimpulkan bahwa secara umum nilai-nilai didik yang terdapat dalam karya sastra yaitu: a nilai religius agama; b nilai moral etika; c nilai estetis; d nilai kepahlawanan; dan e nilai sosial. a. Nilai Religius Agama Agama dapat bertindak sebagai pemacu faktor kreatif, kedinamisan hidup, dan perangsang atau pemberi makna kehidupan. Melalui agama manusia pun dapat mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap sekaligus menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik. Sebuah karya sastra yang mengangkat masalah kemanusiaan yang berdasarkan kebenaran akan menggugah hati nurani dan memberikan kemungkinan pertimbangan baru pada diri penikmatnya. Hal itu tentu ada kaitannya dengan tiga wilayah fundamental yang menjadi sumber penciptaan karya sastra, yaitu: kehidupan agama, sosial, dan individual. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat berfungsi sebagai peneguh batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya Sugono, 2003: 115. b. Nilai Estetis Horatius penyair Romawi kuno menyatakan manfaat karya sastra dengan ungkapan yang padat, yaitu dulce et utile perpustakaan.uns.ac.id commit to user 38 menyenangkan dan bermanfaat. Menyenangkan dapat dikaitkan dengan aspek hiburan yang ditawarkannya, sedangkan bermanfaat dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang diberikan sastra Sugono, 2003: 61. Keestetikan dalam karya sastra dapat ditengarai sebagai berikut : 1 karya itu mampu menghidupkan atau memperbarui pengetahuan pembaca, menuntunnya melihat berbagai kenyataan kehidupan, dan memberikan orientasi baru terhadap hal yang dimiliki; 2 karya itu mampu membangkitkan aspirasi pembaca untuk berpikir, berbuat lebih banyak, dan berkarya lebih baik bagi penyempurnaan kehidupan; dan 3 karya itu mampu memperlihatkan peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, dan politik masa lalu yang berkaitan dengan peristiwa masa kini dan masa depan. c. Nilai Moral Etika Nilai moral yang dimaksud dalam konteks ini menyangkut baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Moral juga dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu rangkaian cerita. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Dendy Sugono 2003: 182 yang menjelaskan bahwa karya sastra dikatakan memunyai nilai moral apabila karya sastra itu menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai kehidupan yang berlaku. d. Nilai Kepahlawanan Heroik Para pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan kepunyaannya demi membela kebenaran. dan berusaha mewujudkan keyakinan tersebut. Kepahlawanan yang dimaksud adalah sifat atau karakter tokoh-tokoh yang diceritakan dalam lagu, berjuang mewujudkan cita-citanya. Dengan demikian tokoh yang menjadi pahlawanan dalam konteks pembahasan ini adalah perjuangan tokoh yang diceritakan dalam lagu membela keyakinannya. commit to user 39 e. Nilai Sosial Nilai sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian tersebut dapat berupa perhatian maupun berupa kritik. Kritik tersebut sendiri dilatarbelakangi dorongan untuk memprotes ketidakadilan yang dilihat, didengar, maupun dialaminya. Dendy Sugono 2003: 111 menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah sebagai berikut: 1 nilai hedonik, yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca; 2 nilai artistik, yaitu nilai yang dapat dimanifestasikan sebagai suatu seni atau ketrampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; 3 nilai kultural, yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, dan keagamaan; 4 nilai etis, moral, dan agama, yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama; dan 5 nilai praktis, yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sastrowardoyo dalam Tuloli, 1999: 232 menjelaskan bahwa sebenarnya dalam masyarakat modern kesusastraan dapat berkembang dengan subur dan nilai-nilainya dapat dirasakan manfaatnya oleh umum. Kesusastraan sendiri mengandung potensi-potensi ke arah keluasan kemanusiaan dan semangat hidup serta mengandung ekspresi total pribadi manusia yang meliputi tingkat pengalaman biologi, sosial, intelektual, dan religius. Nilai-nilai seperti itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern karena merupakan hasil observasi yang teliti dari pengarang yang dituangkan dalam karya sastra. Waluyo 1990: 27 mengemukakan bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra commit to user 40 dapat berupa nilai medial menjadi sarana, nilai final yang dikejar seseorang, nilai cultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Setiap karya sastra yang baik selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun secara fungsional mempunyai ciri yang mampu membedakan antara satu dengan yang lain. Suatu nilai jika dihayati seseorang, maka akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindakdemi mencapai tujuan hidupnya. Nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan, sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya yaitu berupa ajaran agama, logika, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sementara itu, menurut Suyitno nilai merupakan sesuatu yang kita alami sebagai ajakan dari panggilan untuk dihadapi. Nilai-nilai berarti tidak melanggar norma-norma, menjunjung budi pekerti, sedangkan pelanggaran terhadap nilai-nilai merupakan pelanggaran norma atau susila. Nilai-nilai ditunjukkan oleh perilaku baik yang sesuai dengan norma-norma atau aturan yang ada dan pelanggaran nilai-nilai berkaitan dengan hal-hal yang tidak baik serta melanggar norma atau aturan yang ada. Nilai atau nilai-nilai merupakan suatu konsep, yaitu pembentukan mentalita yang dirumuskan dari tingkah laku manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan yang hakiki, baik dan perlu dihargai sebagaimana mestinya. Nilai-nilai menyediakan prinsip umum dan yang menjadi acuan serta tolok ukur standar dalam membuat keputusan, pilihan tindakan, dan tujuan tertentu bagi para anggota suatu masyarakat. Lebih lanjut Grana menjelaskan bahwa nilai merupakan gabungan semua unsur kebudayaan yang dianggap baik buruk dalam suatu masyarakat, karena itu pula masyarakat mendorong dan mengharuskan warga untuk menghayati serta mengamalkan nilai yang dianggap ideal itu. commit to user 41 Dari teori di atas tersirat pengertian bahwa pendidikan merupakan usaha untuk membentuk nilai hidup, sikap hidup, kepribadian, dan intelektualitas seseorang. Karya sastra dapat berperan sebagai media pendidikan masyarakat. Selain itu, sastra dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan dorongan, semangat, memulihkan kepercayaan diri, dan melepaskan ketegangan batin.

B. Penelitian Sebelumnya yang Relevan

Herlina S 2013 melakukan penelitian kajian sosiologi sastra, resepsi sastra dan nilai pendidikan terhadap novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia. Penelitian tersebut bertujuan mendeskripsikan 1 latar belakang sosial budaya masyarakat pinggiran novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia, 2 pengaruh latar belakang sosial pengarang terhadap proses penciptaan novel Rumah tanpa Jendela Karya Asma Nadia, 3 resepsi pembaca novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia, 4 nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia. Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan resepsi sastra. Kegiatan yang dilakukan selama penelitian adalah membaca, mencermati, menafsirkan isi novel Rumah Tanpa Jendela. Hasil dari kegiatan tersebut dideskripsikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Herlina S adalah: 1 latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel Rumah Tanpa Jendela tampak kebiasaan-kebiasaan, ajaran-ajaran tertentu, dan sifat kemandirian. 2 hal yang yang mempengaruhi latar belakang sosial pengarang terhadap proses penciptaan novel Rumah Tanpa Jendela Karya Asma Nadia adalah keadaan ekonomi keluarga pengarang, dan keyakinan yang kuat terhadap agama yang dianutnya. 3 tanggapan pembaca terhadap novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia dinilai positif, sebab novel ini dapat mampu membawa pengaruh positif dalam diri pembacanya.. 4 nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia yaitu nilai pendidikan agama, mengajarkan kepada pembacanya perpustakaan.uns.ac.id commit to user 42 agar selalu meminta pertolongan hanya kepada Allah melalui shalat dan berdoa. Nilai pendidikan sosial, mengajarkan kepada pembacanya agar mengutamakan gotong royong dan kepedulian terhadap sesama. Nilai pendidikan adat istiadat mengajarkan kepada pembacanya, khususnya orang tua akar tidak memaksakan kehendaknya. Nilai pendidikan moral mengajarkan kepada pembacanya agar tidak mengutamakan kepentingan pribadi dan segala perbuatan kita jangan sampai merugikan orang lain. Almiza Dona meneliti “Novel Madogiwa No Totto Chan Karya Tetsuko Kuroyana di Kalangan Pendidik, Tinjauan Resepsi Sastra.” Dalam penelitiannya, Almiza menggunakan pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, kuesionaer dan kepustakaan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa responden menilai novel tersebut sangat bagus dan mendidik. Novel tersebut juga berpengaruh terhadap diri mereka dimana responden menjadi lebih terbuka dan lebih memahami murid serta memperlakukan muridnya dengan lebih baik. Beberapa responden mencoba menerapkan cara yang dilakukan oleh tokoh utama dalam novel dan ternyata hasilnya lebih baik. Pada tahun 2011, Yelmi Andriani juga melakukan penelitian terhadap novel Negeri Perempuan karya Wisran Hadi dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra khususnya sosiologi karya. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perubahan sosial yang terdapat dalam novel Negeri Perempuan. Perubahan sosial yang digambarkan dalam novel ini berkaitan erat dengan persoalan adat dan budaya Minangkabau yang mengalami perubahan karena perubahan zaman dan masuknya budaya asing. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengungkapkan bentuk-bentuk perubahan dan faktor-faktor penyebab perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terjadi dalam karya sastra dengan menjabarkan teks-teks yang terdapat dalam novel. Di samping menghadirkan sebuah tulisan ilmiah yang menghubungkan antara karya sastra dengan pembacanya. Bardasarkan analsis ditemukan bentuk- bentuk perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam novel Negeri Perempuan meliputi: 1 perubahan pola prilaku, 2 perubahan perpustakaan.uns.ac.id commit to user 43 tentang gelar penghulu, 3 perubahan terhadap konsep Rumah Gadang. Faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang terjadi dalam novel Negeri Perempuan adalah: 1 dijadikannya Nagariko sebagai objek pariwisata, 2 lemahnya tingkat ekonomi, rendahnya pendidikan dan dasar agama yang goyah, 3 pengaruh kebudayaan lain, 4 tidak dilaksanakannya fungsi sosial, 5 status sosial seseorang. Efita Sari pada tahun 2012 melakukan penelitian Analisis Sosiologis Pada Novel al-Karnak Karya Najib Mahfudh dan Implikasinya Tehadap Pembelajaran Telaah Prosa. Novel al-Karnak bercerita tentang masyarakat Mesir pasca revolusi 1952. Untuk mengungkapkan keterkaitan novel al- Karnak dengan fakta yang terjadi pada masyarakat Mesir adalah dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Pengkajian sosiologi sastra pada novel al-Karnak berdasarkan pada analisis terhadap sosiologi pengarang yaitu Najib Mahfudz, dan penggambaran masyarakat Mesir pada tahun 1952 pada novel al-Karnak. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi sosiologis pada novel Najib Mahfudz yang ber judul Al-Karnak. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sosiologi pengarang dan gambaran kondisi masyarakat Mesir pada novel Al-Karnak. Hasil penelitian ini adalah 1 dalam novel al-Karnak karya Najib mahfudz terdapat fakta sosial kehidupan Najib Mahfudz yang merupakan bagian dari posisi sosial dan profesionalisme Najib Mahfudz dalam masyarakat Mesir yaitu mencakup tokoh aku sebagai subjek kolektif, integrasi sosial dan ideologi Najib Mahfudz yang mencakup Najib Mahfudz dan perdamaian Palestina Israel, serta Najib Mahfudz dan revolusi 1952. 2 Penggambaran masyarakat Mesir pada novel al-Karnak merupakan refleksi realitas sejarah yang pernah ada dalam masyarakat Mesir pasca revolusi 1952, di antaranya adalah kesesuaian revolusi Mesir 1952 dengan pembuatan novel al-Karnak, masyarakat yang menjujung tinggi revolusi Mesir 1952, masyarakat yang kecewa dengan kekalahan dunia Arab melawan Israel, serta adanya pemberangusan kelompok Ikhwanul Muslimin oleh pemerintah. 3 Analisis sosiologis pada al-Karnak karya Najib mahfudz dapat dikaitkan dan perpustakaan.uns.ac.id commit to user 44 disarankan untuk menjadi contoh kajian sosiologis dalam pembelajaran Telaah Prosa sesuai kajian yang telah dilakukan peneliti.

C. Kerangka Berpikir