Daya bahasa dalam gaya bahasa pada novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

(1)

i

DAYA BAHASA DALAM GAYA BAHASA

PADA NOVEL AROK DEDES

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Disusun oleh:

Angelina Mellissa Yuliyanto 091224014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(2)

ii


(3)

iii


(4)

iv

Persembahan

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

 Tuhan Yesus Kristus yang selalu setia menjadi sahabat

setiaku.

 Kedua orangtuaku: Yuliana Haryati dan Paulus Soejanto atas

segala doa, semangat, dan kasih sayang yang tiada henti-hentinya.

 Kedua adikku: Kevin dan Metta yang selalu memberi semangat

dan keceriaan.

 Fajar Nugroho yang setia menemani dan memberiku motivasi.

 Seluruh keluarga besar dan teman-teman yang turut serta


(5)

v

MOTTO

Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari besok karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah

untuk sehari.(Matius 6: 34)

Hidupku adalah perjuanganku Hidupku untuk hidup yang lebih baik Dan hidup yang menghidupkan (Penulis)


(6)

vi "

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA


(7)

vii

.

.

,


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas rahmat kehidupan, penyertaan serta cinta kasihNya yang begitu besar sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Daya Bahasa

dalam Gaya Bahasa pada Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer” yang telah selesai disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat dukungan, nasihat, bimbingan, dan bantuan baik secara moril dan materi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing yang sangat sabar membimbing dan mengarahkan penulis selama menyusun skripsi ini hingga selesai.

4. Tim penguji yang telah memberi kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh dosen program studi PBSID yang telah mendidik dan mendampingi penulis selama belajar di program studi PBSID.

6. Bapak Robertus Marsidiq, karyawan sekretariat program studi PBSID yang memberikan pelayanan selama penulis berproses belajar di program studi PBSID.

7. Karyawan perpustakaan USD yang telah banyak membantu dalam memberikan pinjaman buku bagi penulis.


(9)

(10)

x

ABSTRAK

Yuliyanto, Angelina Mellissa. 2013. Daya Bahasa dalam Gaya Bahasa pada

Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi. Yogyakarta:

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan yang berusaha mendeskripsikan data yang berupa kata-kata dalam suatu dokumen. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca dan catat. Sumber data penelitian adalah novel

Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan data penelitian ini adalah

kalimat dan tuturan yang terdapat dalam novel yang menggunakan gaya bahasa yang diduga mengandung daya bahasa.

Penelitian ini menggunakan dasar teori Pragmatik yang menekankan pada fungsi komunikatif bahasa, terutama daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa. Hasil penelitian ini adalah (1) daya bahasa yang terdapat dalam novel

Arok Dedes yaitu daya bahasa yang terungkap dari data berupa kalimat meliputi

daya jelas, daya rangsang, daya simbol, daya seremoni. Sedangkan, daya bahasa yang terungkap dari data yang berupa tuturan meliputi daya puji, daya optimis, daya ancam, daya protes, daya cemooh, daya nasihat, daya saran, daya klaim, daya deklarasi, daya sesal, daya keluh, daya pinta, daya harap, daya perintah, daya dogma, daya magi, daya provokasi, daya persuasi,daya sumpah, daya janji; (2) majas yang terdapat dalam novel kebanyakan adalah majas pertentangan yang terungkap melalui berbagai bentuk gaya bahasa, seperti gaya bahasa hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, zeugma, silepsis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, apofasis, sarkasme, dan sinisme; majas perbandingan meliputi gaya bahasa simile, metafora, personifikasi, alegori, antitesis, dan perifrasis; majas pertautan meliputi gaya bahasa metonimia, sinekdok, alusi, eufemisme, eponim, epitet, erotesis, asidenton, dan polisidenton; majas perulangan meliputi gaya bahasa asonansi, kiasmus, epizeukis, anafora, epistofora, epanalepsis, dan anadiplosis.

Berdasarkan temuan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa daya bahasa dapat muncul dalam berbagai jenis gaya bahasa. Hal ini karena pengarang ingin mengungkapkan imajinasi agar seakan-akan dunia fiksi itu benar-benar nyata.


(11)

xi

ABSTRACT

Yuliyanto, Angelina Mellissa. 2013. The Power of Languages Seen from

Figurative Languages in Pramoedya Ananta Toer’s Arok Dedes.

Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Education of Indonesian Language and Literature Study Programme, Faculty of Education, Sanata Dharma University.

The purpose of this study is to describe the power of language that is revealed through the figurative languages in Pramoedya Ananta Toer’s Arok Dedes. This study is a library research that describes the data in the form of words

in one document. The collection of the data is done by read and write technique. The source of the data is the novel of Arok Dedes written by Pramoedya Ananta Toer. While the data itself consists of the sentences and utterances containing the power of language found in the novel.

This study applies the basic theory of Pragmatics that is stressed on the communicative function of language, especially the power of language that is revealed through figurative language. The result of the study are (1) the power of languages that can be found in Arok Dedes are the power of language that are conveyed through the data in the form of setences consist of the power of explanation, the power of stimulation, the power of symbol, the power of ceremony. Meanwhile, the power of language that are conveyed through the data in the form of speech consist of the power of complimentary, the power of optimism, the power of threat, the power of protest, the power of mockery, the power of advice, the power of suggestion, the power of claiming, the power of declaration, the power of regret, the power of complain, the power of vowing, the power of request, the power of hope, the power of command, the power of dogma, the power of magi, the power of provocative, the power of persuasion, and the power of promis; (2) the figurative languages that are contained in the novel are contradictory figurative language that is represented by various kind of figurative languages such as hyperbole, litotes, irony, oxymoron, zeugma, syllepsis, paradox, climax, anticlimax, apostrophe, apophasis, sarcasm, and cynicism; comparing figurative languages such as simile, metaphor, personification, allegory, antithesis, pleonasm, and periphrasis; attaching figurative language covers metonymy, synecdoche, allusion, euphemism, eponymy, antonymy, eroticism, asyndeton, and polysyndeton; reiterative figurative languages such as assonance, chiasmus, epizeuxis, anaphora, episthopora, epanalepsis, and anadiplosis.

Based on the findings of the research above, it can be concluded that the power of language can be found in various figurative languages. This happens because the author wants to deliver the imaginations so that the world of fiction will be seems like a real world.


(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

F. Sistematika Penyajian ... 7

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN ... 9

A. Kajian Teori... 9

1. Fungsi Komunikatif Bahasa ... 9

2. Konteks Tuturan ... 12

3. Teori Tindak Tutur ... 20

4. Daya Bahasa ... 25

5. Gaya Bahasa ... 36

6. Novel ... 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 57

A. Jenis Penelitian ... 57


(13)

C. Teknik Pengumpulan Data ... 58

D. Instrumen Penelitian ... 58

E. Teknik Analisis Data ... 58

F. Trianggulasi Hasil Analisis Data... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Deskripsi Data Penelitian ... 61

B. Analisis Data ... 62

1. Deskripsi Gaya Bahasa yang Berdaya Bahasa ... 62

a. Daya ‘Jelas’ Informasi, Daya Rangsang, Daya Simbol, Daya Seremoni ... 62

b. Daya Puji ... 73

c. Daya Optimis ... 78

d. Daya Ancam ... 80

e. Daya Protes ... 84

f. Daya Cemooh ... 86

g. Daya Nasihat ... 90

h. Daya Saran ... 94

i. Daya Klaim ... 95

j. Daya Deklarasi ... 97

k. Daya Sesal ... 99

l. Daya Keluh ... 102

m. Daya Pinta ... 105

n. Daya Harap ... 108

o. Daya Perintah ... 111

p. Daya Dogma ... 114

q. Daya Magi ... 115

r. Daya Provokasi ... 117

s. Daya Persuasi ... 119

t. Daya Sumpah ... 121

u. Daya Janji ... 123


(14)

BAB V PENUTUP ... 139

A. Kesimpulan... 139

B. Saran ... 140

DAFTAR PUSTAKA ... 142

LAMPIRAN ... 145


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Sastra merupakan wadah komunikasi kreatif dan imajinatif. Sastra bukan hanya cerita khayal semata tetapi salah satu media menjembatani hubungan realita dan fiksi, hal ini mendukung kecenderungan manusia yang menyukai realita dan fiksi. Dalam kenyataannya, karya sastra bukan hanya berdasarkan imajinasi saja. Karya sastra terinspirasi dari kenyataan dan imajinasi. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali melalui sarana fiksi menurut pandangannya. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri dan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Selain itu, fiksi juga merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni (Nurgiyantoro, 2007: 2-3).

Novel sebagai salah satu bentuk karya fiksi yang memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik dan imajinatif. Persoalan yang dibicarakan dalam novel ialah persoalan tentang manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Sayuti (2000: 6) jika novel biasanya


(16)

memungkinkan adanya penyajian secara meluas tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu menjadi topik utama.

Bukti dari pendapat di atas ada dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer ini, ia buat selama di penjara di Pulau Buru dan selesai pada tanggal 24 Desember 1976. Novel ini menceritakan kisah kudeta pertama ala Jawa dalam sejarah Indonesia. Dalam novel ini, ia tidak memotret fakta sejarah melainkan berkeinginan menghidupkan sejarah dengan pendapat dan pengalaman pribadi yang ia alami. Selain itu, Pram hendak mempersoalkan keabsahan perpindahan kekuasaan pemerintahan dari Orde Soekarno ke Orde Soeharto selepas peristiwa yang terjadi tahun 1965. Ia menceritakan kudeta Arok yang berbelit-belit terhadap Akuwu Tumapel (Hun, 2011: 304).

Selain itu, Kisah Arok Dedes yang merupakan sejarah abad 13 ini yang diceritakan Pramoedya jauh dari versi asli yang diceritakan dalam Kitab Pararaton ataupun Nagarakertagama karena menolak seluruh dongeng, aroma mistik, dan hal yang irasional. Joesoef Ishak melalui Hun (2011: 304) mengatakan bahwa “tidak mengherankan bila pembaca setelah mengikuti kisah

Arok Dedes walau tidak disuruh asosiasi mereka dengan sendirinya pindah dari

abad 13 langsung ke abad 20 di tahun 1965-an.

Untuk menyampaikan seluruh ide dalam novel, pengarang juga tidak bisa lepas dari penggunaan dan pengolahan bahasa untuk menghasilkan novel yang bagus. Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya


(17)

sastra. Bahasa dalam karya mengandung unsur keindahan. Keindahan dalam novel dibangun oleh pengarang melalui seni kata. Seni bahasa berupa kata-kata yang indah terwujud dalam ekspresi jiwa. Hal tersebut senada dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 272), yaitu bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat warna. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, dan sarana yang mengandung nilai lebih baik untuk dijadikan sebuah karya. Sebagai salah satu unsur terpenting, maka bahasa berperan sebagai sarana pengungkapan dan penyampaian pesan dalam sastra. Dengan demikian, sebuah novel dikatakan menarik apabila informasi yang diungkapkan, disajikan, dengan bahasa yang menarik dan mengandung nilai estetik.

Begitu pula dengan gaya bahasa yang merupakan salah satu unsur menarik dalam sebuah bacaan. Pengarang memiliki gaya yang berbeda-beda dalam menuangkan setiap ide tulisannya. Setiap tulisan yang dihasilkan nantinya mempunyai gaya yang dipengaruhi oleh penulisnya, sehingga dapat dikatakan, watak seorang penulis sangat mempengaruhi sebuah karya yang dihasilkan. Bahasa sastra memiliki pesan keindahan dan sekaligus pembawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan karya sastra, hampir sebagian besar dipengaruhi oleh pengarang dalam memainkan bahasa.

Gaya berbahasa dan cara pandang pengarang satu dengan pengarang lainnya berbeda. Sebab gaya bahasa merupakan bagian dari ciri khas seorang pengarang. Sesuai dengan pendapat Keraf (2010: 113) yang menyatakan gaya


(18)

bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa.

Begitu pula dengan Pramoedya Toer salah satu sastrawan terbaik Indonesia yang berhasil mengisahkan keadaan Indonesia yang berlatar belakang sejarah dalam bentuk fiksi. Pram termasuk sastrawan yang menganut paham realisme sosialis di mana pada setiap kreativitas karya berdasar kenyataan (Riffai, 2010). Ia tetap menggunakan media bahasa sebagai kekuatan dengan tetap berada di wilayah sastra, meski kisah yang dibawakannya sarat muatan politik. Dari cara pandang dan paham yang ia anut, pastinya setiap karya yang ia hasilkan menunjukkan jiwa dan kepribadiannya. Tentu saja hal tersebut berpengaruh terhadap pemilihan kata dan penggunaan gaya bahasa dalam setiap karyanya.

Setiap penggunaan gaya bahasa tak bisa lepas dari makna apa yang terkandung di dalamnya karena makna yang terkandung di dalam gaya bahasa memiliki kekuatan atau daya tersendiri yang mampu menghipnotis pembacanya. Ciri khas yang dimiliki Pramodya Ananta Toer dalam setiap karyanya melalui untaian kata yang ia rangkai memiliki daya pikat tersendiri bagi penikmat karyanya sehingga dapat mempengaruhi dan menginspirasi bagi pembacanya. Kekuatan seorang pengarang ada di dalam bahasa yang digunakan. Setiap bahasa yang digunakan pengarang memiliki daya tersendiri. Daya yang dimiliki oleh bahasa atau yang biasa disebut dengan daya bahasa merupakan bagian dari ilmu pragmatik. Pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh


(19)

pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006: 3). Dalam hal ini pragmatik mengkaji mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.

Menurut Rahardi (2006: 20) konteks tuturan dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur. Konteks memiliki fungsi yang penting dan memang harus ada untuk membuat sebuah tuturan benar-benar bermakna. Lebih dari itu, salah satu kajian pragmatik adalah mengupas mengenai daya bahasa. Oleh karena itu, daya bahasa itu sendiri merupakan kekuatan bagi sastrawan untuk menyampaikan makna, informasi, maksud melalui fungsi komunikatif bahasa sehingga pendengar atau pembaca mampu menangkap segala informasi yang ingin disampaikan (Yuni, 2009).

Dengan memanfaatkan segala daya atau kekuatan yang dimiliki oleh bahasa serta mengambil sesuatu atau nilai yang dapat dipetik dari kekuatan yang terdapat di dalam bahasa yang digunakan oleh para pengarang maupun sastrawan khususnya novel pasti terkandung kekuatan di dalamnya di mana kekuatan daya bahasa itu bisa mempengaruhi pembacanya. Dengan adanya penggunaan gaya bahasa, diharapkan dapat memperkuat daya bahasa dalam sastra, serta memperindah sastra itu sendiri.


(20)

Penelitian mengenai daya bahasa ini tergolong jenis penelitian baru di bidang pragmatik. Peneliti memilih jenis penelitian tentang daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa pada novel karena penelitian mengenai daya bahasa yang sudah ada sampai sejauh ini baru meneliti tentang daya bahasa yang terungkap pada seni retorika di panggung politik. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Anderson (1990), Quanita (2009), Baryadi (2012) tentang

Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan, serta Ari Subagyo (2012) tentang Bahasa dan Kepempimpinan Soegija Pranata dan Abdulrahman Wahid. Di dalam

penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan daya bahasa apa saja yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Peneliti memilih novel ini karena novel ini sangat menarik dan gaya bahasa yang dituliskan Pram lebih kurang sesuai dengan keadaan masyarakat zaman tersebut dan novel ini sangat kental dengan budaya Hindu. Dengan demikian, dengan adanya penelitian ini akan dapat diketahui daya bahasa apa saja yang terdapat dalam novel tersebut melalui gaya bahasa.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah “Daya bahasa apa sajakah yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer?”


(21)

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan daya bahasa apa saja yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

D.Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberi masukan pada kajian pragmatik terutama mengenai pengaruh daya bahasa dalam gaya bahasa khususnya pada bidang kesastraan (novel).

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberi pengetahuan kepada pembaca karya sastra khususnya tentang pengaruh kekuatan daya bahasa sebuah novel untuk mempengaruhi pembacanya.

E.Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah penggunaan daya bahasa dalam gaya bahasa pada novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

F. Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan enam hal , yaitu: (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) ruang lingkup penelitian, (6) sistematika penyajian. Bab II studi kepustakaan berisi: (1) tinjauan pustaka dan kajian teori. Bab III adalah


(22)

metodologi penelitian berisi (1) jenis penelitian, (2) sumber data, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data, (6) Trianggulasi hasil analisis data. Pada bab IV berisi (1) hasil analisis data, (2) pembahasan. Bab V berisi (1) kesimpulan, (2) implikasi, dan (3) saran untuk peneliti selanjutnya.


(23)

9

BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

A.Kajian Teori

1. Fungsi Komunikatif Bahasa

Manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan kehadiran orang lain. Dengan adanya kehadiran orang lain timbullah sebuah komunikasi. Di mana komunikasi adalah wujud dari penggunaan bahasa. Dari interaksi inilah, muncul berbagai fungsi komunikatif bahasa. Menurut Austin dan Searle (Pranowo, 1996: 92) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi lima, yaitu (1) fungsi direktif (bahasa digunakan untuk memerintah secara halus,

misalnya menggunakan kata tolong ketika memerintah seseorang “Tolong buatkan kopi untuk saya!”), (2) fungsi komisif (bahasa digunakan untuk

membuat janji atau penolakan untuk berbuat sesuatu, misalnya “Saya

berjanji setia padamu sampai akhir hidupku”, “Maaf, saya tidak

membantumu kali ini”), (3) fungsi representasional (bahasa digunakan

untuk menyatakan kebenaran, misalnya “Menunjuk dia sebagai ketua panitia ada benarnya juga”), (4) fungsi deklaratif atau performatif (bahasa

digunakan untuk mendeklarasikan atau menyatakan sesuatu, misalnya

“Dengan ini saya nyatakan Raffi Ahmad tidak bersalah dan bebas dari

penyalahgunaan narkoba”), (5) fungsi ekspresif (bahasa digunakan untuk

mengungkapkan perasaan kecewa, senang, sedih, puas, dan lain-lain secara


(24)

Klasifikasi fungsi bahasa menurut Leech (Pranowo, 2012: 8) ada lima, yaitu (1) fungsi informasional (bahasa digunakan untuk mengungkapkan informasi berupa makna konseptual), (2) fungsi ekspresif (bahasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur terhadap suatu objek), (3) fungsi direktif (bahasa dipergunakan untuk mempengaruhi perilaku penutur), (4) fungsi estetik (bahasa digunakan untuk mengungkapkan rasa keindahan seperti dalam karya sastra), (5) fungsi fatis (bahasa digunakan untuk menjaga komunikasi tetap terbuka dan menjalin relasi sosial secara baik).

Menurut Halliday (dalam Pranowo, 1996: 93), membagi fungsi komunikatif bahasa menjadi tujuh, yaitu (1) fungsi instrumental (bahasa digunakan untuk memanipulasi lingkungan sehingga menimbulkan keadaan tertentu, misalnya seorang bayi menangis meminta makan, susu, atau mainan kesukaannya), (2) fungsi regulatori (bahasa digunakan untuk mengontrol sebuah peristiwa, memberikan persetujuan, penolakan,

menyuruh, dan sebagainya, contohnya “Keluar dari kelas sekarang!”), (3)

fungsi representasional (bahasa digunakan untuk membuat pernyataan,

menyajikan fakta, misalnya “Bumi itu bulat, itulah faktanya”), (4) fungsi interaksional (bahasa digunakan untuk menjaga hubungan agar komunikasi

tetap berjalan lancar, seperti menggunakan lelucon, idiom khusus, jargon), (5) fungsi heuristik (bahasa digunakan untuk memperoleh pengetahuan agar dapat mengenal lingkungan, seperti bertanya tentang sesuatu), (6) fungsi


(25)

kepribadian, dll.), (7) fungsi imajinatif (bahasa digunakan untuk menciptakan sistem atau ide yang bersifat imajinatif, menulis puisi, atau karya sastra yang lain).

Guy Cook (Pranowo, 2012: 7) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi 2, yaitu fungsi mikro dan fungsi makro. Fungsi makro dibagi menjadi tujuh, yaitu (1) fungsi emotif (bahasa digunakan untuk menyatakan

perasaan secara spontan, misalnya “Asem ik!”), (2) fungsi direktif (untuk

memerintah, seperti “Maju jalan!”), (3) fungsi phatic (bahasa digunakan

untuk memulai pembicaraan, misalnya “Selamat pagi!”), (4) fungsi referensial (bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi, misalnya

“Warung ayam gepuk Bu Made enak lho.”), (5) fungsi metalinguitik (bahasa

digunakan untuk memfokuskan diri pada kode itu sendiri. Sayangnya fungsi ini tidak memiliki penjelasan beserta contohnya), (6) fungsi poetik (bahasa digunakan untuk mengungkapkan esensi pesan, misalnya:

Tino : “Bu, kenapa rokok tidak baik untuk kesehatan?”

Ibu : “Karena rokok bisa menyebabkan banyak penyakit. Misalnya kanker paru-paru.”

(7) fungsi kontekstual (bahasa digunakan untuk menciptakan konteks

pembicaraan, misalnya “Sepertinya hujan akan turun, mari kita bergegas

pulang). Sedangkan fungsi mikro sendiri merupakan rincian dari kategori fungsi makro, seperti fungsi direktif memiliki subfungsi (a) untuk mengajukan pertanyaan, (b) untuk menanyakan urutan, (c) untuk berdoa, (d) untuk mempersilakan, (e) untuk mengajukan permintaan, dan sebagainya.


(26)

Dari berbagai pendapat beberapa ahli yang telah dipaparkan di atas tentang klasifikasi fungsi-fungsi komunikatif bahasa dapat disimpulkan ada persamaan fungsi komunikatif, yaitu sama-sama untuk mengungkapkan perasaan dan memberi perintah. Fungsi-fungsi yang lain , yaitu untuk mengagumi keindahan, menyatakan kebenaran, memulai sebuah pembicaraan, menciptakan konteks pembicaraan, mengusahakan komunikasi tetap terbuka, menolak, menyampaikan informasi, dan memperoleh pengetahuan.

2. Konteks Tuturan

Pada dasarnya di dalam penggunaan bahasa sehari-hari terdapat unsur penting yang memengaruhi pemakaian bahasa itu. Unsur penting yang dimaksud adalah konteks. Konteks sangat memengaruhi bentuk bahasa yang digunakan oleh seorang penutur. Adanya teori mengenai konteks merupakan angin segar bagi para peneliti bahasa karena konteks dapat menjawab sebuah fenomena yang berhubungan dengan mengapa dan bagaimana sebuah tuturan atau kalimat itu muncul. Seperti yang diketahui, dahulu konteks belum terlalu diperhatikan oleh ahli bahasa sehingga penelitian mereka hanya mengkaji bahasa dari segi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Hasil penelitian tersebut lazimnya berupa sistem bahasa yang bentuknya gramatikal saja. Oleh karena itu, sejak permulaan tahun 1970-an para ahli linguistik menyadari pentingnya konteks dalam penafsirkan kalimat atau tuturan itu.


(27)

Konteks situasi tuturan menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun mitra tutur, serta aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan. Maka dengan mendasarkan pada gagasan Leech tersebut, Wijana (1996) dengan tegas menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut juga konteks situasi pertuturan (speech situasional context) (Rahardi, 2003: 18).

Pemaparan berikutnya terkait konteks, dipaparkan secara lebih mendalam oleh Leech (1983). Leech menyebut konteks tuturan dengan sebutan aspek-aspek situasi ujar. Berikut pemaparan Leech (1993:19) mengenai aspek-aspek situasi ujar yang meliputi lima hal.

2.1 Penutur dan Lawan Tutur

Leech memberikan simbol bahwa orang yang menyapa atau

‘penutur’ dengan n dan orang yang disapa atau ‘petutur’ dengan t.

Simbol-simbol ini merupakan singkatan untuk ‘penutur/penulis’ dan

‘petutur/pembaca’. Jadi, penggunaan n dan t tidak membatasi

pragmatik pada bahasa lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis. Wijana (melalui Rahardi, 2007: 19) menekankan bahwa aspek-aspek yang mesti dicermati pada diri penutur maupun mitra tutur di antaranya ialah jenis kelamin, umur, daerah asal, dan latar belakang keluarga serta latar belakang sosial-budaya lainnya


(28)

yang dimungkinkan akan menjadi penentu hadirnya makna sebuah pertuturan.

Aspek situasi ujar yang dipaparkan Leech (1983) mengenai penutur dan lawan tutur sejalan dengan pendapat Verschueren yang

disebut dengan ‘speaker’ and hearer’ atau ada yang menyebutnya ‘speaker and interlocutor’, atau dalam istilah Verschueren (dalam

Kunjana 1998) disebutkan ‘utterer and interpreter’, akan sangat

berdekatan pula dengan dimensi usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang kultur, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi, dan juga latar belakang fisik, psikis atau mentalnya, atau

yang juga diistilahkan dalam Verschueren (1998) sebagai ‘physical world’, ‘social world’, dan ‘mental world’. Selain hadirnya ‘penutur’ dan ‘mitra tutur’ atau ‘lawan tutur’ dalam aspek konteks,

sesungguhnya masih dimungkinkan hadirnya sebuah pertuturan itu bisa lebih dari semuanya itu.

Selanjutnya Verschueren (1998: 85) menggambarkan secara

skematik sebagai ‘interpreter’, atau yang banyak dipahami sebagai ‘hearer’ atau ‘interlocutor’ atau ‘mitra tutur’ atau ‘lawan tutur’. Dalam

pandangannya, ‘hearer’ atau ‘interlocutor’ masih dapat dibedakan menjadi ‘interpreter’ yang berperan sebagai ‘participant’ dan ‘non

-participant’. Selanjutnya ‘participant’ dalam pandangan Verschueren dibedakan menjadi ‘adressee’ dan ‘side-participant’, sedangkan untuk


(29)

orang yang semata-mata hadir, dan tidak mengambil peran apapun,

dan yang terakhir sebagai ‘overhearer’. Peran ‘overhearer’ masih dapat dibedakan lagi menjadi ‘listener-in’ dan‘eavesdropper’. Dengan demikian, apabila semuanya itu diperhitungkan sebagai salah satu

dimensi dalam konteks situasi, tentu saja dimensi ‘hearer’ itu akan menjadi kompleks karena jatidiri ‘hearer’ sesungguhnya tidaklah

sesederhana yang selama ini banyak dipahami oleh sejumlah kalangan.

Lebih lanjut dijelaskan di dalam Verschueren (1998: 76) bahwa

bagi sebuah pesan (message), untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’ (I) dari seorang ‘utterer’ (U), selain akan ditentukan oleh keberadaan

konteks linguistiknya (linguistic context), juga oleh konteks dalam pengertian yang sangat luas, yang mencakup latar belakang fisik tuturan (physical world of the utterance), latar belakang sosial dari tuturan (social world of the utterance), dan latar belakang mental penuturnya (mental world of the utterance). Jadi setidaknya, Verschueren menyebut empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan. Berikut akan dijelaskan secara lebih rinci.

2.2 Konteks Sebuah Tuturan

Sejauh ini, setidaknya telah terdapat tiga macam konteks yang telah dibahas yaitu mencakup dimensi-dimensi linguistik atau yang sifatnya tekstual, atau yang sering pula disebut sebagai co-text,


(30)

konteks yang sifatnya sosial-kultural, dan konteks pragmatik. Konteks linguistik lazimnya berdimensi fisik, sedangkan konteks sosiolinguistik lazimnya berupa seting sebuah sosio-kultural yang mewadahi kehadiran sebuah tuturan. Adapun konteks dalam pragmatic dijelaskan oleh Leech.

Leech (1993: 20) mengatakan bahwa konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh n (penutur) dan t (mitra tutur) yang membantu t menafsirkan makna tuturan. Penjelasan yang agak panjang terkait dengan konteks dikemukakan

Leech adalah mengenai‘setting’, yang dapat mencakup setting waktu

dan setting tempat (spatio-temporal settings) bagi terjadinya sebuah pertuturan. Aspek waktu dan tempat di dalam setting itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek fisik dan aspek sosial-kultural lainnya, yang menjadi penentu makna bagi sebuah tuturan.

Pada prinsipnya, di dalam pragmatik sesungguhnya titik berat dari konteks itu lebih mengarah pada fakta adanya kesamaan latar belakang pengetahuan (the same background knowledge) yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena sebuah proses komunikasi akan berhasil apabila hal-hal yang dibicarakan sama-sama dipahami oleh penutur dan mitra tutur, begitu pula sebaliknya. Pemikiran ini sejalan dengan pendapat Pranowo (2009: 12) bahwa komunikasi akan berhasil apabila


(31)

didukung oleh beberapa faktor seperti ada kesepahaman topik yang dibicarakan antara penutur dengan mitra tutur.

2.3 Tujuan Sebuah Tuturan

Leech memiliki preferensi untuk menggunakan istilah tujuan tutur, bukan istilah maksud tutur. Tujuan tutur lebih netral dan lebih umum sifatnya, tidak berkait dengan kemauan atau motivasi tertentu yang sering kali dicuatkan secara sadar oleh penuturnya. Tujuan itu memang lebih konkret, lebih nyata, karena memang keluar berbarengan dengan tuturan yang dilafalkan atau diungkapkannya itu. Akan tetapi, maksud, tidak serta merta sama dengan tujuan karena cenderung hadir sebelum tujuan itu dinyatakan. Artinya maksud itu belum berupa tindakan, masih berada dalam pikiran dan angan-angan, sedangkan tujuan itu sudah berupa tindakan, karena memang tujuan hadir bersama-sama dengan keluarnya sebuah tuturan dari mulut seseorang.

Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk-bentuk tuturan yang digunakan seseorang. Pada dasarnya, tuturan dari seseorang akan dapat muncul karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang sudah jelas dan amat tertentu sifatnya. Oleh karena itu, harus ditegaskan bahwa dalam pragmatik, bertutur itu selalu berorientasi

pada tujuan, pada maksud, maka dikatakan sebagai ‘goal-oriented

activity’. Bentuk kebahasaan itu, secara pragmatik selalu didasarkan pada fungsi (function), bukan semata-mata bentuk (forms), karena


(32)

setiap bentuk kebahasaan sesungguhnya sekaligus merupakan bentuk tindak verbal, yang secara fungsional selalu memiliki maksud dan tujuan. Jadi, dalam pragmatik pandangan yang dijadikan dasar selalu

berfokus pada ‘fungsi’ pada ‘kegunaan’ atau ‘use’, dan semuanya

selalu harus didasarkan pada maksud atau tujuan.

Contohnya, ketika kita masuk gang-gang tertentu di Yogyakarta atau mungkin daerah lainnya di Jawa, Anda akan mendapati

peringatan seperti, ‘NGEBUT, BENJUT. Secara fungsional pula, bentuk kebahasaan ‘NGEBUT, BENJUT’ digunakan untuk

memberikan peringatan pada semua saja, khususnya para pengendara motor yang melewati gang atau lorong tertentu tersebut untuk

‘ekstrahati-hati’, kalau misalnya saja sampai terjadi kecelakaan dan semacamnya di tempat itu. Dengan demikian, jelas bahwa setiap tuturan—bukan kalimat karena kalau sebutannya kalimat pasti berdimensi nonpragmatik—pasti berorientasi pada fungsi, bukan pada bentuk. Oleh karena itu, terlihat sekali pragmatik itu menggunakan paradigma fungsionalisme yang menitikberatkan pada fungsi, bukan paradigma formalisme seperti yang lazimnya dianut dalam gramatika. Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa ahli seperti Mathesius (1975), Danes (1974), Halliday (1994), dan Givon (1995) yang mengemukakan bahwa pragmatik berorientasi pada teori linguistik fungsional (Baryadi, 2007:61).


(33)

2.4 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan atau Kegiatan: Tindak Ujar

Tuturan sebagai bentuk tindakan atau wujud dari sebuah aktivitas linguistik, merupakan bidang pokok yang dikaji di dalam pragmatik karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang sungguh-sungguh terdapat dalam situasi dan suasana pertuturan tertentu. Lebih lanjut, tuturan sebagai bentuk tindakan ialah maujud-maujud atau entitas-entitas kebahasaan yang sifatnya tidak dinamis dan selalu tetap saja keberadaannya. Leech (1983) menegaskan bahwa tuturan itu harus selalu dianggap sebagai tindak verbal. Tindak-tindak verbal (verbal acts) inilah yang menjadi titik fokus kajian pragmatik. Hal ini juga yang membedakan antara pragmatik yang memfokuskan kajiannya pada tindak-tindak verbal (verbal acts) dengan semantik

yang berorientasi pokok pada proposisi atau ‘proposisition’, dan entitas-entitas kebahasaan, khususnya frasa dan kalimat dalam sintaksis.

2.5 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal

Tuturan dapat dikatakan sebagai produk dari tindak verbal di dalam aktivitas bertutur sapa karena pada dasarnya tuturan yang muncul di dalam sebuah proses pertuturan itu adalah hasil atau produk dari tindakan verbal dari para pelibat tuturnya, dengan segala macam pertimbangan konteks situasi sosio-kultural dan aneka macam kendala konteks yang melingkupi dan mewadahinya. Jadi jelas, bahwa sebenarnya tuturan atau ujaran itu tidak dapat disamakan dengan


(34)

kalimat. Kalimat pada hakikatnya adalah entitas produk struktural atau produk gramatikal, sedangkan tuturan atau ujaran itu merupakan hasil atau produk dari tindakan verbal yang hadir dalam proses pertuturan. Berkaitan dengan kenyataan ini maka sesungguhnya sebuah tuturan dapat dianggap sebagai maujud tindak tutur, atau sebagai manifestasi dari tindak ujar, tetapi pada sisi lain dapat juga dianggap sebagai produk dari tindak ujar itu sendiri (Rahardi, 2007: 22).

Sebagai contoh saja sebagai seorang dosen di dalam kelas Anda

mengatakan, ‘Papan tulisnya kotor!’ kepada para mahasiswa, maka

sesungguhnya produk tindak verbal yang diharapkan dari tuturan itu adalah supaya ada tindakan membersihkan papan tulis itu oleh salah seorang mahasiswa. Sebenarnya itulah sesungguhnya tuturan yang berdimensi produk tindak verbal.

3. Teori Tindak Tutur

Dari sudut pandang pragmatik, bahasa merupakan tindakan, yang disebut tindakan verbal (Wijana 1996: 12). Tindakan verbal adalah tindakan yang khas menggunakan bahasa. Searle (1969) menyebut tindakan verbal dengan istilah tindak tutur atau tindak ujar (speech act). Tuturan dapat berupa tuturan lisan dan tuturan tulis. Dalam tuturan lisan, kita dapat menemukannya dalam kehidupan sehari-hari saat kita berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan tuturan tulis adalah tuturan yang berupa tulisan. Khusus dalam penelitian ini, tuturan yang akan dianalisis adalah


(35)

tuturan tulisan. Teori ini berfungsi untuk menunjukkan apakah tuturan tulisan yang berupa dialog antar tokoh yang terdapat dalam novel Arok

Dedes mengandung unsur tindakan bahasa atau tidak.

Tindak tutur menurut Yule (2006: 82) adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Istilah deskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Penutur berharap maksud komunikatifnya dimengerti oleh pendengarnya. Keadaan semacam ini disebut dengan peristiwa tutur.

Teori tindak tutur atau speech act yang dikemukakan oleh Austin (1978 dalam Pranowo, 2009: 34) dalam bukunya yang berjudul “How to do

things with words” melihat setiap ujaran dalam tindak komunikasi selalu

mengandung tiga unsur, yaitu (1) tindak lokusi (berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (2) tindak ilokusi (berupa maksud yang terkandung dalam ujaran, (3) tindak perlokusi (efek yang ditimbulkan oleh ujaran). Tindak tutur ilokusi sering menjadi kajian utama dalam bidang pragmatik (Rahardi, 2009: 17). Searle (1983, dalam Rahardi: Ibid. dan Rahardi: 2005: 36-37) menggolongkan tindak tutur ilokusi dalam lima macam bentuk tuturan, yakni

(1) Asertif (assertives) atau representatif, yaitu bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggeting), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).


(36)

(2) Direktif (direcitives) yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati (advising), dan merokomendasi (recommeding).

(3) Ekspresif (expressives) yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thinking), memberi selamat (congrangtulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling).

(4) Komisif (cummissives) yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promosing), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

(5) Deklarasi (declarations) yaitu bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membaptis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommuningcating), dan menghukum (sentencing).

Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya ini terangkum dalam tabel berikut.


(37)

Tabel : Lima Fungsi umum tindak tutur (menurut Searle, dalam Yule, 2006: 95)

Tipe tindak tutur Arah penyesuaian P = penutur; X = situasi

Deklarasi Kata mengubah dunia P menyebabkan X Representatif Kata disesuaikan dengan dunia P meyakini X Ekspresif Kata disesuaikan dengan dunia P merasakan X Direktif Dunia disesuaikan dengan kata P menginginkan X Komisif Dunia disesuaikan dengan kata P memaksudkan X

Contoh: “Bu, uang saya sudah menipis, kemarin uangnya saya

pakai untuk membeli buku” merupakan tuturan lokusi. Tujuan dari kalimat

tersebut adalah si penutur ingin menyampaikan kepada ibunya kalau uangnya menipis dan meminta kiriman uang. Pengaruh dari kalimat tersebut adalah si Ibu penutur akan mengirimkan uang untuk anaknya.

Sejalan dengan pendapat Austin, Searle (1979 dalam Pranowo, 2009: 35) menyatakan dalam satu tindak tutur terkandung tiga macam tindakan, yaitu (1) pengujaran yang berupa kata atau kalimat, (2) tindak proposisional yang berupa acuan dan prediksi, (3) tindak ilokusi dapat berupa pernyataan, janji, dan sebagainya. Efek komunikatif (perlokusi atau tindak proposisional) yang terkadang memiliki dampak terhadap perilaku masyarakat. Hal-hal yang bersifat perlokutif inilah biasanya muncul dari maksud yang berada di balik tuturan atau implikatur. Implikatur bisa dikatakan makna tersirat yang berada di dalam tuturan. Misalnya, “Dek,


(38)

minum secangkir cokelat lebih enak ya” maksud dari tuturan tersebut adalah si pacar minta dibuatkan secangkir cokelat.

Dalam berkomunikasi juga diperlukan sebuah kesantunan dalam berbahasa. Bahasa yang santun adalah bahasa yang diterima mitra tutur dengan baik. Ada tujuh prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1983 dalam Pranowo, 2009: 35) yang dikenal dengan istilah maksim, yaitu (1) maksim kebijaksanaan (memberi keuntungan bagi mitra tutur), (2) maksim kedermawanan (memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri), (3) maksim pujian (memaksimalkan pujian kepada mitra tutur), (4) maksim kerendahan hati (meminimalkan pujian terhadap diri sendiri), (5) maksim kesetujuan (memaksimalkan kesetujuan terhadap mitra tutur), (6) maksim simpati (memaksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur) , (7) maksim pertimbangan (meminimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan memaksimalkan rasa senang pada mitra tutur).

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa suatu tindak tutur memiliki makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Berdasarkan substansi linguistik, tindak tutur memiliki komponen dasar, yaitu

a. tindak bertutur: penutur mengutarakan tuturan dari bahasa kepada mitra tutur di dalam konteks,

b. tindak lokusi: penutur mengatakan kepada mitra tutur adanya informasi,


(39)

d. tindak perlokusi: penutur mempengaruhi mitra tutur dalam cara tertentu sesuai konteks.

4. Daya Bahasa

Meminjam istilah Van Peursen (1998, melalui Baryadi 2012: 17), dapat dikatakan bahwa tuturan itu seperti manusia, yaitu memiliki tubuh, jiwa, dan roh. Tubuh tuturan adalah bentuk, jiwa tuturan adalah makna dan informasi, sedangkan roh tuturan adalah maksud. Di samping itu, tuturan juga memiliki roh. Roh yang dimaksud adalah roh budaya, roh budaya, roh politik, roh jahat, roh halus, roh kebenaran, dan sebagainya. Karena mengandung roh, tuturan memiliki daya sehingga mampu berperan dalam berbagai bidang dan berbagai konteks. Dengan demikian, tuturan adalah bahasa yang tidak hanya hidup karena memiliki tubuh dan jiwa, tetapi juga berkarya karena memiliki roh atau daya.

Perjumpaan antara manusia dalam komunikasi dapat menimbulkan efek positif seperti kerja sama, suasana penuh cinta kasih, kerja sama, saling tenggang rasa dan dapat mengakibatkan efek negatif, seperti konflik psikologis maupun fisik seperti salah paham, bertengkar, mengumpat, dll. Jika perjumpaan melalui bahasa dapat tersampaikan secara santun, maka dapat meminimalisir dampak negatif dan apabila terjadi gesekan psikologis masing-masing penutur akan mengendalikan diri dan tidak emosional sehingga suasana tetap kondusif. Munculnya berbagai efek komunikatif yang bersifat positif ataupun negatif bukan sekedar karena pemakaian


(40)

bahasa biasa melainkan disebabkan oleh kekuatan yang terkandung di dalam bahasa. Inilah yang disebut daya bahasa (Pranowo, 2009: 128).

Daya bahasa dalam Pranowo (2009: 128) adalah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada mitra tutur. Penyampaian pesan dengan menggunakan daya bahasa dapat meningkatkan efektivitas komunikasi. Efektivitas komunikasi dapat bersifat positif maupun negatif. Jika daya bahasa dimanfaatkan secara positif komunikasi dapat berjalan secara santun. Sebaliknya, jika daya bahasa dimanfaatkan secara negatif, komunikasi dapat menimbulkan ketidaksantunan.

Adapun penelitian yang berhubungan dengan daya bahasa yang dilakukan oleh Quanita Fitri Yuni (2009) yang berjudul Pemanfaatan Daya

Bahasa pada Diksi Pidato Politik. Tujuan dari penelitian ini adalah

memaparkan jenis-jenis, manfaat, dan ciri-ciri jenis daya bahasa dari segi diksi sebagai alat untuk menyampaikan ide atau gagasan dalam berpidato politik, memaparkan jenis daya bahasa yang ditemukan pada pidato politik ketiga politisi, dan mendeskripsikan ciri-ciri diksi yang berdaya bahasa. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan secara sistematis fakta-fakta berupa daya bahasa dalam pidato para tokoh politik Megawati S.P., Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid.

Hasil penelitian ini adalah ditemukannya daya bahasa dalam pidato politik ketiga politisi, jenis daya bahasa yang ditemukan, yaitu daya bujuk, daya kritik meliputi daya kritik destruktif, daya kritik konstruktif, dan kritik


(41)

gempur, daya egosentrisme meliputi egosentrisme membela diri dan

menonjolkan diri, daya ‘jelas’ informatif, daya bangkit bagi diri sendiri

maupun orang lain, daya perintah meliputi perintah larangan, bersyarat, permintaan, dan ajakan, dan daya provokasi secara eksplisit maupun implisit. Selain itu, memanfaatkan daya bahasa dapat membantu mengungkapkan maksud yang terkadang tak dapat dikatakan.

Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Baryadi (2012: 28) dalam bukunya yang berjudul Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Dalam penelitian tersebut meneliti tentang aspek-aspek bahasa yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mewujudkan kekuasaan antara lain adalah unsur bahasa, ragam bahasa, tindak tutur, dan gaya bahasa. Dalam pembahasan ini hanya akan dipaparkan mengenai representasi kekuasaan dalam gaya bahasa. Gaya bahasa yang dimanfaatkan untuk mewujudkan salah satu aspek kekuasaan, yaitu membangun kekuasaan. Empat gaya bahasa yang pernah dibahas oleh Baryadi (2005: 21-22), yaitu gaya bahasa orientasi dua nilai, gaya bahasa eufemisme, gaya bahasa hiperbola, gaya bahasa represif. Misalnya, pada penggunaan gaya bahasa eufemisme adalah gaya bahasa penghalusan atau gaya yang melembutkan sesuatu yang kasar atau jelek. Dalam hal ini ungkapan yang halus atau lembut digunakan untuk menutupi hal yang sebenarnya kasar. Sebagai contoh kenyataan yang

sebenarnya adalah “ditangkap” atau “dipenjarakan”, tetapi diungkapkan dengan kata “diamankan”. Contoh lainnya adalah penduduk suatu daerah kelaparan tetapi hanya dikatakan “kekurangan gizi”. Gaya eufemisme ini,


(42)

terutama, untuk menyembunyikan kesalahan atau ketidakmampuan penguasa atau menyembunyikan keadaan jelek yang tidak terjangkau atau tidak mampu ditangani oleh penguasa.

Daya bahasa adalah kadar kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk menyampaikan makna, informasi, atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar atau pembaca mampu memahami dan menangkap segala makna, informasi, atau maksud yang disampaikan penutur atau penulis (Quanita Fitri Yuni, 2009). Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi adalah menyampaikan pesan berupa menyampaikan informasi, menolak, membujuk, mengkritik, memberi tanggapan, menyindir, negosiasi, membantah, dll. Oleh karena itu, agar pesan dapat disampaikan secara efektif, penulis dapat memanfaatkan daya bahasa seefektif mungkin. Namun, penggunaan daya bahasa tidaklah mudah, daya bahasa hanya dapat muncul jika pemakainya dapat menggali dan memanfaatkan dalam konteks pemakaian secara tepat.

Sudaryanto (1989, dalam Pranowo, 2009: 132) telah menggali daya bahasa dari aspek linguistik. Hasilnya, hampir seluruh tataran bahasa mampu memunculkan daya bahasa. Daya bahasa secara linguistik, dapat diidentifikasi melalui berbagai aspek kebahasaan, , yaitu (1) tataran bunyi (pada tataran bunyi, bunyi bahasa dapat menunjukkan daya bahasa yang berbeda-beda. Kata yang mengandung bunyi /o/ mengandung daya bahasa yang berkadar makna kata relatif besar, seperti kata dalam bahasa Jawa


(43)

majemuk, dan sinonim kata. Kata yang tidak berafiks kadang memiliki daya

bahasa yang kuat, contohnya kata “babat” lebih kuat daya bahasanya dibandingkan kata “membabat” dalam konteks kalimat “Perambah hutan

itu babat habis semua pohon yang berdiameter 10 cm ke atas”. Daya

bahasa yang digali melalui sinonim kata juga memiliki daya yang berbeda,

seperti kata ‘mantan’ dan ‘bekas’. Kata mantan memiliki daya bahasa yang bersifat netral, sedangkan kata bekas memiliki daya bahasa yang negatif karena cenderung merendahkan seseorang. Misalnya, seorang dosen sudah berhenti dari mengajar, orang akan menyebutnya mantan dosen karena status sosialnya lebih tinggi, sedangkan tanpa dosa dan tanpa beban kita dapat dengan mudah menyebut bekas tukang sampah, bekas becak, bekas maling karena status sosialnya rendah, (3) struktur kalimat atau tuturan (daya bahasa memiliki kadar pesan yang berbeda antara struktur kalimat satu dengan struktur kalimat yang lain. Perhatikan contoh berikut ini.

a. Aku memberi sepotong kue untuk pengemis yang kelaparan.

b. Sepotong kue aku berikan untuk pengemis yang kelaparan.

Daya bahasa pada kalimat di atas terletak pada penempatan klausa

pada awal kalimat. Kalimat (a) dengan menempatkan klausa “aku memberi” memiliki daya bahasa yang berbeda dengan struktur kalimat (b) yang menempatkan frasa “sepotong kue” pada awal kalimat. Kalimat (a) daya

bahasa muncul pada kata “pemberian”, kalimat (b) muncul pada frasa

“sepotong kue”), (4) leksikon, (5) pemakaian majas (daya bahasa juga dapat


(44)

c. Tunggul Ametung bermandi keringat, meringis dan merongos, mengerutkan gigi dan kening, dan kemudian jatuh pingsan. (Arok Dedes, 2006: 156)

d. Angin meniup dan kainnya tersingkap memperlihatkan

pahanya yang seperti pualam. (Arok Dedes, 2006: 330)

Contoh (a) daya jelas yang muncul karena pemakaian gaya bahasa

klimaks pada kata “bermandi keringat, meringis dan merongos,

mengerutkan gigi dan kening, dan kemudian jatuh pingsan.” yang

menggambarkan runtutan kronologis yang ekspresi yang dirasakan Tunggul Ametung ketika Dalung mengobati Akuwu karena kakinya patah. Contoh (b) daya jelas muncul karena gaya bahasa simile dengan menggunakan kata

seperti” yang menggambarkan pengarang mencoba menggambarkan paha

Ken Dedes seperti batu pualam putih, bersih, dan halus.), (6) wacana (daya bahasa pada wacana muncul ketika kesatuan makna mengungkapkan kesatuan pesan. Pesan yang terungkap dari kesatuan makna tersebut muncul dalam bentuk wacana. Perhatikan kutipan di bawah ini.

e. Yen isih gelem apik karo aku, mbok coba kowe

ameng-ameng nyang ngomahe diajak omong-omong kanthi alus. Nek pancen isih angel coba amang-amangen ben duwe rasa wedi. Dene nek wis disabarke nganggo cara ngono isih tetep mbeguguk, kondhoa nek aku (ng)amuk bisa tak tumpes kelor. (Pranowo, 2009: 137)

Wacana di atas memiliki daya yang sangat kuat untuk menyampaikan pesan. Wacana di atas dengan pilihan kata yang tepat di

setiap kalimatnya, seperti “ameng-ameng”, disusul “omong-omong”,

amang-amang ”, dan “(ng)amuk ” memiliki daya bahasa yang sangat kuat

bagi pendengarnya. Daya bahasa muncul karena perbedaan vokal dalam setiap kata. Lebih terasa kuat lagi ketika masing-masing kata memiliki


(45)

makna yang berbeda dan memperlihatkan gradasi dari kata yang sangat biasa ke kata yang memiliki afeksi yang sangat kuat, yaitu (ng)amuk).

Secara pragmatik, daya bahasa dapat diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang sengaja dikonstruk oleh penutur atau penulis untuk tujuan tertentu seperti praanggapan, tindak tutur, dieksis, dan implikatur (Pranowo, 2008 dalam Quanita Fitri Yuni, 2009) selain itu juga bisa digali melalui maksim-maksim kesantunan berbahasa Leech (1983 dalam Pranowo, 2009: 141). Dari aspek nonlinguistik, daya bahasa dapat digali berupa nilai-nilai budaya suatu bangsa yang diyakini sebagai nilai luhur, seperti nilai rendah hati, mampu menjaga perasaan mitra tutur, hormat kepada orang lain, dsb.

Dalam praktiknya, kekuasaan lewat bahasa tidak hanya terjadi dalam ruang publik saja, tetapi dalam lingkup keluarga, misalnya cara orang tua berbicara kepada anak menunjukkan secara jelas hubungan kekuasaan antara orang tua dengan anak. Cara orang tua berbicara kepada anak menciptakan dinamika kekuasaan di antara mereka sehingga menguatkan perbedaan kekuasaan lain dan anak akan patuh dan nurut melaksanakan semua perintah orang tua.

Kekuatan atau daya yang dibuat oleh bahasa juga dimanfaatkan oleh kelompok sosial yang dominan, hal ini terjadi karena orang dalam kelompok sosial itu memegang kendali terhadap dunia politik dan hukum serta memiliki perusahaan media berskala internasional atau yang memiliki pengaruh besar lainnya. Sering kita melihat iklan yang mengasumsikan


(46)

sejumlah nilai tertentu yang menurut kita adalah mengandung nilai negatif, misalnya seperti iklan kondom, tetapi produk yang diiklankan sukses terjual di seluruh dunia (Wearing, 2007).

Dalam buku Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di

Indonesia (Language and Power) pada salah satu artikel hasil penelitian

Anderson (1990: 298), dikatakan fungsi publik utama bahasa Indonesia terletak pada dalam perannya sebagai bahasa pemersatu. Pada masa pendudukan Jepang, bahasa Indonesia secara formal menjadi bahasa negara untuk diajarkan di sekolah-sekolah dan di kantor digunakan sebagai bahasa resmi. Selama revolusi 1945-1949 bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa perlawanan untuk menolak kehadiran Belanda dan juga bahasa pengharapan akan masa depan. Revolusi juga mempercepat pengisian bahasa Indonesia dengan kata-kata yang menggetarkan secara emosional yang memberikan identitas kultural dan aura pada suatu bangsa, dan mengekspresikan pengalaman paling penting. Kata-kata seperti rakyat,

merdeka, perjuangan, pergerakan, semangat, merdeka, dan revolusi

semuanya tumbuh pada saat kesadaran terdalam sebagai ungkapan solidaritas dan enterprise baru yang penuh harapan. Hampir semua kata-kata yang mengandung makna perjuangan, kekerasan fisik revolusi, yang memiliki makna heroik politis, hidup dan dan bergetar karena bagian dari kenangan historis generasi yang masih hidup yang terbentuk dalam pengalaman terpenting kehidupan Indonesia modern.


(47)

Bahasa Indonesia tidak melulu mendapat kosakata baru sehingga kata-kata tua yang mendapat makna “jahat” menjadi kebalikannya yang mencerminkan transisi dari tahun revolusi penuh harapan ke tahun-tahun keras yang mengikutinya. Contoh yang paling terkenal dari pembalikan

tersebut adalah penggunaan kata “bung” (saudara). Selama revolusi, kata tersebut mengekspresikan rasa persaudaraan sejati perjuangan nasional dan bebas dipakai oleh semua aktivis perjuangan. Kini, dengan pengecualian segelintir tokoh nasional seperti Sukarno, Hatta, dan Sutomo (dalam kasus mereka bung ditulis Bung) bisa dikatakan tak satu orang pentingpun yang disebut dengan cara itu. Sementara Bung ditempatkan di atas dan sebagai sebutan kehormatan, bung didudukkan semakin rendah dan umumnya sudah pasti diterapkan sebagai sebutan rendahan untuk memanggil tukang becak, pelayan, pedagang rokok asongan pinggir jalan.

Dalam wadah panik peleburan metropolitan Jakarta, bahasa Indonesia berkembang dan menunjukkan kreativitasnya selama bertahun-tahun pasca revolusi. Tenaga perkembangan ini berasal dari kelimpahan orang mencari peruntungan di Jawa tetapi juga membanjiri ibukota tempat yang begitu banyak kekuasaan dan kekayaan terhimpun. Bahasa Indonesia kontemporer juga mencerminkan keunikan kepribadian Jakarta, rasa solidaritasnya dalam berhadapan dengan daerah, karakter kehidupan sehari-harinya yang brutal, komersial, berorientasi pada kekuasaan dan sinis. Aspek yang paling menonjol dari pengaruh Jakarta terhadap Indonesia adalah pinjaman-pinjaman dari bahasa Jakarta. Bahasa Jakarta atau Betawi


(48)

dianggap bahasa kasar, bahasa urban kelas rendah. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, bahasa yang terbelakang ini menjadi bahasa yang

“in” dan populer di kalangan elite muda Jakarta, politisi, wartawan, pelajar. Kepopulerannya berasal dari karakternya yang intim, hidup dan bebas, sinis, yang menjadi tandingan memuaskan berhadapan dengan bahasa Indonesia formal dan resmi dalam komunikasi publik. Bahasa Jakarta mengekspresikan kegentingan, kegairahan, humor, dan kekasaran Jakarta pasca revolusi yang tidak dapat dilakukan bahasa lain. Misalnya, pada Koran metropolitan pada kolom pojok. Pojok adalah tulisan yang menggigit, komentar anonim atau menggambarkan situasi politik ekonomi secara umum yang mengacu kepada peristiwa yang menjadi rahasia umum, contohnya Hasilnye ade juga. Ikan gede ketangkap. Alhamdullilah! Dari ungkapan di atas pembaca akan tanggap bahwa seorang tokoh politik penting telah ditangkap karena korupsi meskipun kasusnya tidak pernah dipublikasikan.

Dengan begitu dapat disimpulkan, daya bahasa yang ditampilkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jakarta memiliki kekuatan yang kontras. Di mana bagian ketika menggunakan bahasa Indonesia tampil sok tinggi, serius, dan mengkotbahi, berisi wejangan presiden, menteri, jenderal, atau editornya. Semua diarahkan pada hierarki sosial-politik dari yang besar kepada yang kecil, dari pemimpin atau tokoh kepada rakyat, wong cilik, atau massa. Berbeda dengan bahasa Jakarta atau Betawi, memiliki daya bahasa yang terkesan jahil, demokratis, jenaka, akrab.


(49)

Berkaitan dengan daya bahasa, sebenarnya setiap orang berkomunikasi dapat menggali dan memanfaatkan daya bahasa. Daya bahasa dapat berguna untuk (a) meningkatkan efek komunikasi, (b) mengurangi kesenjangan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang diungkapkan, (c) memperindah pemakaian bahasa, dsb.

Dalam konteks kesantunan berbahasa, daya bahasa yang bernada negatif hendaknya hendaknya tidak digali semaksimal mungkin agar tidak melukai hati mitra tutur. Sebaliknya, daya bahasa bahasa yang bernada positif hendaknya digali semaksimal mungkin agar menjadikan tuturan semakin santun. Dengan demikian, daya bahasa hanya akan muncul jika pemakainya dapat menggali dan memanfaatkan dalam konteks pemakaian secara tepat.

Banyak orang mampu berbahasa Indonesia, namun ketika berkomunikasi kadang-kadang “apa yang dikatakan atau dituliskan” jauh

lebih sedikit daripada ”apa yang dipikirkan”. Kadang-kadang apa yang akan

dikatakan berbeda dengan “apa yang ingin dikomunikasikan” (Levison,

1985 dalam Pranowo, 2009: 131). Daya bahasa merupakan salah satu cara

untuk memperkecil kesenjangan antara “apa yang dipikirkan” dengan “apa yang diungkapkan” dalam berkomunikasi. Namun, kadang-kadang ketika seseorang telah mahir menggunakan daya bahasa, ketika berkomunikasi apa

yang dikatakan belum tentu sama dengan apa yang dikomunikasikan karena


(50)

dikatakan untuk menjaga kesopanan (Grice, 1987 dalam Pranowo, 2009: 131).

5. Gaya Bahasa

Dalam membuat sebuah karya, seorang pengarang pasti memiliki gaya bahasa sendiri-sendiri. Gaya bahasa yang dikenal dalam retorika dengan istilah style. Style berasal dari bahasa latin , yaitu stillus yang berarti semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Seiring berjalannya waktu, style yang dimaksudkan di atas berubah pengertian menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis. Dengan perubahan pengertian, istilah style atau gaya bahasa menjadi bagian dari diksi yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Oleh karena itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan, yaitu pilihan kata, frasa, klausa, kalimat, wacana, nada yang tersirat di balik wacana. Jadi, jangkauan gaya bahasa sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak tertentu (Keraf, 2010: 112).

Menurut Keraf (2012: 113), gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Dengan penggunaan gaya bahasa yang baik dan tepat memungkinkan kita sebagai pembaca untuk menilai pribadi, watak, dan kemampuan pribadi penulis yang menggunakan bahasa tersebut.


(51)

Semakin baik gaya bahasa yang digunakan penulis, semakin baik pula penilaian dari pembaca.

Anton M. Moeliono dalam siaran Pembinaan Bahasa Indonesia melalui TVRI mengatakan bahwa istilah gaya bahasa yang secara salah kaprah itu berasal dari kata dalam bahasa Belanda stylfiguur. Di dalam kata

stylfiguur terdapat kata styl yang berarti gaya bahasa, tetapi kata figuur

terlupakan. Oleh karena itu, stylfiguur atau figure of speech ini dinamakan majas dan figurative language disebut bahasa yang bermajas.

Di sisi lain, masih banyak orang mengidentikkan gaya bahasa dan majas sama saja. Tentu saja hal itu salah kaprah. Majas bukanlah gaya bahasa, melainkan bagian dari gaya bahasa. Dalam buku praktis bahasa Indonesia menjelaskan majas adalah bahasa yang maknanya melampaui batas yang lazim. Hal itu karena penggunaan bahasa yang menyimpang dari rumusannya yang jelas. Pemilihan dan penggunaan diksi yang tepat akan memperkuat gaya bahasa. Jadi, majas juga merupakan alat untuk menunjang gaya. Semakin jelas bahwa majas seperti simile, personifikasi, litotes, dll bukan gaya bahasa melainkan unsur gaya bahasa (Sugono, 2011: 174). Sedangkan gaya bahasa hanya ada empat, , yaitu gaya bahasa pertentangan, perbandingan, pertautan, dan perulangan.

Untuk memperkuat teori mengenai gaya bahasa, ada penelitian yang dilakukan oleh Mukhamat Khusnin dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang berjudul Gaya Bahasa Novel Ayat-Ayat Cinta Karya


(52)

Sastra di SMA. Penelitian tersebut mengkaji gaya bahasa yang terdapat

dalam novel AAC karya Habiburrahman El shirazy dan gaya bahasa yang mendominasi serta implementasinya dalam pengajaran sastra di SMA. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika yang menganalisis penggunaan sistem tanda yang mengandung ide, gagasan, dan nilai estetis tertentu sekaligus untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Data penelitian berupa penggalan teks dalam novel AAC yang diduga berisi kalimat-kalimat bergaya bahasa tertentu. Hasil dari penelitian ini ialah ditemukan jenis-jenis gaya bahasa dalam novel AAC meliputi gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi, hiperbola, silepsis, aliterasi, litotes, asonansi, eufemisme, pleonasme, paradoks, retoris, personifikasi, ironi, sarkasme, metafora, simile, dan metonimia. Gaya bahasa yang dominan dalam novel AAC , yaitu gaya bahasa hiperbola. Implikasi gaya bahasa dalam novel AAC terhadap pengajaran sastra di SMA menitikberatkan pada sumber bahan ajar.

5.1. Jenis-Jenis Gaya Bahasa

Menurut Tarigan (1985: 6) gaya bahasa dibagi menjadi empat, yaitu (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa perulangan, (3) gaya bahasa pertautan, (4) gaya bahasa pertentangan. Berikut akan dipaparkan jenis-jenis majas yang terdapat dalam gaya bahasa.

1. Gaya bahasa perbandingan

Gaya bahasa perbandingan membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain dan mencoba menemukan ciri-ciri yang


(53)

menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Beberapa contoh gaya bahasa yang termasuk majas perbandingan adalah sebagai berikut.

a. Perumpamaan atau simile

Perumpamaan adalah gaya bahasa yang membandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan sengaja dianggap sama. Contoh:

Pasukan Tumapel itu berbaris laju ke selatan seakan hendak menggempur Kediri (Arok Dedes,

2006: 391).

b. Metafora

Metafora semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat: bunga bangsa,

buaya darat, dll. Metafora sebagai perbandingan langsung

tidak menggunakan kata seperti, bak, bagai, dan sebagainya sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Misalnya:

Ia menjadi kecil hati tanpa Belakangka, apalagi catak dan saga sudah mendekati habisnya (Arok Dedes, 2006: 504).

c. Alegori

Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang. Biasanya mengandung sifat moral atau spiritual manusia. Contoh: kisah Hyang Pancagina (Arok Dedes, 2006: 384).


(54)

d. Personifikasi

Gaya bahasa yang melekatkan sifat manusia kepada barang atau benda yang tidak bernyawa. Contoh:

Mereka maju lagi dan matari pun hilang ditelan oleh pegunungan dan puncak rimba (Arok Dedes, 2006: 517).

e. Pleonasme dan tautologi

Pleonasme adalah gaya bahasa yang pemakaian katanya berlebihan. Tautologi adalah gaya bahasa yang mengandung kata yang berlebihan yang pada dasarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya:

“Husy. Tak aku benarkan kau ulangi pendapat

busuk seperti itu. Salah. Keliru. Tidak benar. Menyesatkan (Arok Dedes, 2006: 175).

f. Depersonifikasi

Gaya bahasa depersonifikasi atau pembendaan, adalah kebalikan dari gaya bahasa personifikasi atau penginsanan. Misalnya:

Kalau dikau menjadi samodra, maka daku menjadi bahtera (Tarigan, 1985: 22).

g. Antitesis

Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim. Misalnya:

Kemudian datanglah bencana itu-bencana yang berisi karunia para dewa (Arok Dedes, 2006:94).


(55)

h. Perifrasis

Perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang agak mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Misalnya:

Ia sendiri meningkat ke atas melalui cara yang demikian juga. (Arok Dedes, 2006: 41).

2. Gaya bahasa perulangan

Gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengandung perulangan bunyi, suku kata, kata, frase, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberikan sebuah tekanan dalam sebuah konteks. Berikut beberapa contoh majas yang termasuk dalam gaya bahasa perulangan.

a. Asonansi

Asonansi adalah gaya bahasa yang berwujud pengulangan vokal yang sama. Contoh:

Dua orang pengawal, mendengar gerincing giring-giring, ...( Arok Dedes, 2006:4).

b. Antanaklasis

Antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama tetapi berbeda makna. Contoh:

Buah bajunya terlepas membuat buah dadanya

hampir kelihatan (Tarigan, 1985: 185).

c. Tautotes

Tautotes adalah gaya bahasa yang berupa perulangan atas sebuah kata berulang-ulang. Misalnya:


(56)

Kakanda mencintai adinda, adinda mencintai

kakanda, kakanda dan adinda saling mencintai (Tarigan, 1985: 190).

d. Kiasmus

Kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan. Misalnya:

Yang kaya merasa dirinya miskin, yang miskin

merasa dirinya kaya (Tarigan, 1985: 187).

e. Aliterasi

Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan purwakanti atau pemakaian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Misalnya:

Dara damba daku, datang dari danau. Duga dua duka, diam di diriku (Tarigan, 1985: 181).

f. Epizeukis

Epizeukis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, , yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Misalnya:

“Seluas pandang ditebarkan, hanya sawah, sawah,

dan sawah-sawah hanya untuk musim kering seperti

sekarang ini.”( Arok Dedes, 2006: 61).

g. Anafora

Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat. Misalnya:

Ia mengherani adanya raksasa dan ia tak dapat membayangkannya. Ia mengherani adanya satria yang mendapatkan kelebihan-kelebihan dan para dewa (Arok Dedes, 2006: 31).


(57)

h. Epistrofa

Epistrofa adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat berurutan. Misalnya:

Dedes tak tahu harus berbuat apa. Melawan ia tak mampu. Lari ia pun tak mampu. (Arok Dedes, 2006:13)

i. Simploke

Simploke adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Misalnya:

Ibu bilang saya pemalas. Saya bilang biar saja. Ibu bilang saya lamban. Saya bilang biar saja. Ibu bilang saya lengah. Saya bilang biar saja. Ibu bilang saya manja. Saya bilang biar saja. (Tarigan, 1985: 196).

j. Mesodiplopsis

Mesodiplopsis adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Misalnya:

Para pendidik harus meningkatkan kecerdasan bangsa. Para dokter harus meningkatkan kesehatan masyarakat. Para petani harus meningkatkan hasil sawah-ladang. (Tarigan, 1985: 198)

k. Epanalepsis

Epanalepsis adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama dari baris, klausa atau kali menjadi kata yang terakhir. Misalnya:


(1)

jajar sampai ke pelataran, pendopo pekuwuan. (520)

32 Tetapi sorak perang dari sebelah utara dan barat mulai mendesak, menggelombang seperti laut pasang. (521)

Prajurit Tumapel yang terdesak dari arah selatan berlarian menuju ke pusat ibukota.

Simile ‘Jelas’

informasi 33 Tapi tak mungkin, juga di situ

tombak-tombak menyeringai dan luar. (523)

Kebo Ijo tak bisa melarikan diri setelah membunuh Tunggul Ametung lalu melihat Arok datang dengan regu bersenjata, lari ke pintu Taman Larangan juga tidak mungkin.

Personifikasi ‘Jelas’ informasi

34 “Mati, Arok, Sang Akuwu mati,” tangis Dedes. (525)

Dituturkan oleh Ken Dedes yang menyadari jika suaminya telah mati.

Epanalepsis Sesal 35 “Mengerti kalian semua? Kawula Tumapel

tak pernah berhutang sebutir beras pun pada

Kediri.” (535)

Dituturkan oleh Lohgawe di hadapan seluruh kawula Tumapel jika runtuhnya Tumapel tidak ada sangkut pautnya dengan Kediri.

Hiperbola Protes

36 “Tumapel adalah bagian dan Kediri,

Tumapel harus menghormati wakil Kediri,”

pekik Belakangka. (535)

Dituturkan oleh Belakangka yang menegaskan bahwa Tumapel bagian dari Kediri.

Sinekdok Deklarasi

37 Suara percakapan di dalam pendopo tersapu oleh hujan, guruh, dan petir. (536)

Percakapan di dalam pendopo tidak terdengar sampai keluar.

Personifikasi Rangsang 38 “Itulah Yang Suci Belakangka, mengaku

wakil dari Kediri. Sebelum kedatangannya, Tunggul Ametung hanya penjahat biasa, perampok, perampas, penculik dan pembunuh. Setelah kedatangannya orang

Syiwa mulai dianiaya. ...” (537)

Dituturkan oleh Belakangka kepada Lohgawe saat ia bertanya apakah pantas menuduh wakil Kediri seperti itu.

Klimaks Provokasi


(2)

bersorak gegap gempita menenggelamkan derai hujan. (540)

perintah kepada pasukannya untuk membinasakan Belakangka, Kebo Ijo, tamtama, dan prajurit Tumapel.

40 Pasukan Mundrayana bersorak-sorai mengarak Belakangka dan menghujaninya dengan maki dan kutukan. (540)

Ketika hujan berhenti, pasukan Mundrayana mengarak Belakangka.

Hiperbola ‘Jelas’ informasi 41 “Nyatakan sesuatu pada kami, Arok!

“Nyatakan!Nyatakan!” (543) Dituturkan oleh pasukan dari luar kota kepada Arok memintanya menyatakan sesuatu.

Epizeukis Pinta

42 Airmatanya mengalir menyeberangi pipinya. (544)

Dedes kawatir tempatnya sebagai brahmani dan Paramesywari terdesak.

Personifikasi Rangsang 43 “Dengarkan kalian semua yang telah

memenangkan perang. … Para dewa telah

membenarkan kejahatan Tunggul Ametung dan kemenangan kita. Akuwu itu mati di bawah pedang Kebo Ijo atau kita, sama saja,

karena itulah kehendak para dewa.” (545)

Dituturkan oleh Dang Hyang Lohgawe di depan seluruh rakyat Tumapel yang mulai berseru-seru kehilangan kesabaran.

Apostrof Klaim

44 Ia merasa sebatang kara di tengah keriuhan ini, seorang yatim piatu di tengah-tengah padang batu. (546)

Dedes menangis lagi di belakang Lohgawe mengetahui tak ada seorangpun

yang memperhatikan dan

menghormatinya.

Paradoks ‘Jelas’ informasi

45 “bahwa kemenangan bukan satu-satunya buah usaha. Maka jangan ulangi kejahatan Tunggul Ametung dan balatentaranya. Jangan ada seorangpun yang merampok, mencuri, merampas, menganiaya, memperkosa seperti mereka. Dalam hal ini aturan dari Sri Baginda Erlangga masih

Dituturkan Arok setelah diangkat menjadi orang pertama di Tumapel di hadapan seluruh rakyatnya.


(3)

tetap berlaku: hukuman mati terhadap

mereka itu. …” (546)

46 “… Dia mendapat pancaran sepenuhnya dari Hyang Bathara Guru. Dia adalah orang terbaik di antara kalian. Dia adalah titisan Hyang Wisynu, karena dialah yang memelihara kalian dari bencana Tunggul Ametung dan bala tentaranya. Dia adalah Akuwu-mu, Akuwu Tumapel!” (548)

Dituturkan oleh Lohgawe di hadapan seluruh kawula Tumapel yang menegaskan status Arok.

Anafora Deklarasi

47 “… Dia mendapat pancaran sepenuhnya

dari Hyang Bathara Guru. … Dia adalah

titisan Hyang Wisynu, karena dialah yang memelihara kalian dari bencana Tunggul

Ametung dan bala tentaranya. …” (548)

Dituturkan oleh Lohgawe di hadapan seluruh kawula Tumapel yang menegaskan status Arok.

Apostrof Klaim

48 Hanya ia sendiri kehilangan tempat di samping suami yang dicintainya, kehilangan balatentara yang dapat diperintahnya, kehilangan kepercayaan dari orangtua yang dicintai dan dipujanya setulus hati. (553)

Ken Dedes kehilangan kedamaiannya saat menuju pura bersama Arok, Umang, Bana, dan Ki Bango Samparan.

Epizeukis ‘Jelas’ informasi


(4)

248

BIODATA PENULIS

Angelina Mellissa Yuliyanto lahir di Semarang pada tanggal 26 Juni 1991. Ia menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-Kanak Sinar Matahari tahun 1997. Ia masuk jenjang pendidikan sekolah dasar didua tempat yaitu dari kelas I-III di SD Kebon Dalem Semarang dan kelas IV-VI di SD Cahaya Nur Kudus dan tamat jenjang sekolah dasar tahun 2003. Melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Kudus tahun 2003. Pendidikan SMA diselesaikan tahun 2009 di SMA Keluarga Kudus. Pada tahun 2009 ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Sanata Dharma dan tercatat sebagai mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia. Masa pendidikan di Universitas Sanata Dharma, di akhiri di bulan Juli 2013 dengan menulis skripsi sebagai tugas akhir dengan judul Daya Bahasa dalam Gaya Bahasa pada Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.


(5)

x ABSTRAK

Yuliyanto, Angelina Mellissa. 2013. Daya Bahasa dalam Gaya Bahasa pada Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan yang berusaha mendeskripsikan data yang berupa kata-kata dalam suatu dokumen. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca dan catat. Sumber data penelitian adalah novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan data penelitian ini adalah kalimat dan tuturan yang terdapat dalam novel yang menggunakan gaya bahasa yang diduga mengandung daya bahasa.

Penelitian ini menggunakan dasar teori Pragmatik yang menekankan pada fungsi komunikatif bahasa, terutama daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa. Hasil penelitian ini adalah (1) daya bahasa yang terdapat dalam novel Arok Dedes yaitu daya bahasa yang terungkap dari data berupa kalimat meliputi daya jelas, daya rangsang, daya simbol, daya seremoni. Sedangkan, daya bahasa yang terungkap dari data yang berupa tuturan meliputi daya puji, daya optimis, daya ancam, daya protes, daya cemooh, daya nasihat, daya saran, daya klaim, daya deklarasi, daya sesal, daya keluh, daya pinta, daya harap, daya perintah, daya dogma, daya magi, daya provokasi, daya persuasi,daya sumpah, daya janji; (2) majas yang terdapat dalam novel kebanyakan adalah majas pertentangan yang terungkap melalui berbagai bentuk gaya bahasa, seperti gaya bahasa hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, zeugma, silepsis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, apofasis, sarkasme, dan sinisme; majas perbandingan meliputi gaya bahasa simile, metafora, personifikasi, alegori, antitesis, dan perifrasis; majas pertautan meliputi gaya bahasa metonimia, sinekdok, alusi, eufemisme, eponim, epitet, erotesis, asidenton, dan polisidenton; majas perulangan meliputi gaya bahasa asonansi, kiasmus, epizeukis, anafora, epistofora, epanalepsis, dan anadiplosis.

Berdasarkan temuan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa daya bahasa dapat muncul dalam berbagai jenis gaya bahasa. Hal ini karena pengarang ingin mengungkapkan imajinasi agar seakan-akan dunia fiksi itu benar-benar nyata.


(6)

xi ABSTRACT

Yuliyanto, Angelina Mellissa. 2013. The Power of Languages Seen from Figurative Languages in Pramoedya Ananta Toer’s Arok Dedes. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Education of Indonesian Language and Literature Study Programme, Faculty of Education, Sanata Dharma University.

The purpose of this study is to describe the power of language that is revealed through the figurative languages in Pramoedya Ananta Toer’s Arok Dedes. This study is a library research that describes the data in the form of words in one document. The collection of the data is done by read and write technique. The source of the data is the novel of Arok Dedes written by Pramoedya Ananta Toer. While the data itself consists of the sentences and utterances containing the power of language found in the novel.

This study applies the basic theory of Pragmatics that is stressed on the communicative function of language, especially the power of language that is revealed through figurative language. The result of the study are (1) the power of languages that can be found in Arok Dedes are the power of language that are conveyed through the data in the form of setences consist of the power of explanation, the power of stimulation, the power of symbol, the power of ceremony. Meanwhile, the power of language that are conveyed through the data in the form of speech consist of the power of complimentary, the power of optimism, the power of threat, the power of protest, the power of mockery, the power of advice, the power of suggestion, the power of claiming, the power of declaration, the power of regret, the power of complain, the power of vowing, the power of request, the power of hope, the power of command, the power of dogma, the power of magi, the power of provocative, the power of persuasion, and the power of promis; (2) the figurative languages that are contained in the novel are contradictory figurative language that is represented by various kind of figurative languages such as hyperbole, litotes, irony, oxymoron, zeugma, syllepsis, paradox, climax, anticlimax, apostrophe, apophasis, sarcasm, and cynicism; comparing figurative languages such as simile, metaphor, personification, allegory, antithesis, pleonasm, and periphrasis; attaching figurative language covers metonymy, synecdoche, allusion, euphemism, eponymy, antonymy, eroticism, asyndeton, and polysyndeton; reiterative figurative languages such as assonance, chiasmus, epizeuxis, anaphora, episthopora, epanalepsis, and anadiplosis.

Based on the findings of the research above, it can be concluded that the power of language can be found in various figurative languages. This happens because the author wants to deliver the imaginations so that the world of fiction will be seems like a real world.