Kajian Sosiologi Sastra dan Resepsi Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer samsuri

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunian-Nya, tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk menempuh derajat magister pada Program Studi S2 Pendidikan Bahasa Indonesia.

Penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan memberikan apresiasi secara tulus kepada semua pihak, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menyelesaikan studi di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Dr. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidkan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin penulisan tesis;

3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd., Selaku Ketua Program Studi S2 Program Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan ijin penulisan dan memberikan kesempatan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan lancar;

4. Prof. Dr. Andayani, M. Pd. Selaku Sekretaris Program Studi S2 Program Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan kesempatan sehngga selesai dengan lancar;

5. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku pembimbing I, atas segala bimbingan, arahan, dan motivasi yang telah diberikan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik;

6. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd., selaku pembimbing II, bimbingan dan bantuannya sehngga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik;

7. Istriku tercinta, Sri Hastuti, yang dengan setia dan penuh kesabaran membantu setiap langkah yang ditempuh sehingga semua berjalan dengan baik;


(7)

8. Anak-anakku tersayang: Ilham, Hafidh, Hafish dan Al-Kautsar, yang selalu menjadi kekuatan untuk menyelesaikan tesis ini;

Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi karya yang lebi baik.

Surakarta, September 2014

Penulis


(8)

Samsuri, NIM S840908029. Kajian Sosiologi Sastra dan Resepsi Novel Arok

Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer. Tesis. Program Pascasarjana, Fakultas

Pendidikan Bahasa Indonesia. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2014.

ABSTRAK

Sastra merupakan salah satu disiplin ilmu yang memiliki berbagai genre dan dapat dinilai dengan berbagai pendekatan. Sosiologi sastra salah satu pendekatan yang akan memberikan gambaran tentang pengaruh latar belakang sosial budaya pengarang, dan kondisi pengarang saat menciptakan novel Arok Dedes, serta penerimaan pembaca terhadap novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan latar belakang sosial budaya pengarang dari Arok Dedes; (2) mendeskripsikan korelasi antara novel Arok Dedes dengan kenyataan dalam sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada zaman Singosari; (3) mendeskripsikan resepsi pembaca; mahasiswa dan guru bahasa Indonesia; (4) mendiskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Arok Dedes.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif diskriftif dengan pendekatan sosiologi sastra dan resepsi. Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa dan kalimat dalam novel Arok Dedes. Sumber data adalah novel Arok Dedes karya Pramudya Ananta Toer, kitab Pararaton dan informan. Dalam penelitian ini digunakan metode analisis dokumen berupa data teks novel Arok Dedes, kitab Pararaton dan komentar pembaca. Teknk pengumpulan data menggunakan metode pustaka. Analisis data dilakukan secara analisis interaktif. Validitas data dilakukan dengan Trianggulasi data atau sumber

Kesimpulan dalam penelitian ini, yaitu; (1) Latar belakang sosial budaya pengarang novel Arok Dedes, yaitu Pramudya Ananta Toer merupakan sastrawan yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan budaya, (2) Ada relevansi antara novel Arok Dedes dan kenyataan sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada zaman Singosari, yaitu dari segi pelaku (tokoh cerita) dan peristiwa yang digambarkan.(3) Resepsi pembaca mengenai Pramudya Ananta Toer yang mempunyai pemikiran cerdas sehingga dalam novel Arok Dedes dapat mempengaruhi pembaca mengenai sosok Ken Arok, (4) Novel Arok Dedes sarat akan nilai pendidikan untuk pembacanya terdiri dari nilai moral yang menggambarkan sifat manusia; murah hati, menghormati orang tua, dan melaksanakan kewajiban, nilai agama yang menyerahkan semua kejadian berasal dari ketentuan Tuhan, nilai kepahlawanan yang memegang janji dalam melindungi seorang pemimpin, nilai kebudayaan yang masih mengerjakan tradisi leluhur atau nenek moyang.

Kata Kunci : novel, sosiologi sastra, resepsi pembaca, nilai pendidikan commit to user


(9)

Samsuri, NIM S840908029 Literature and Sociology Study Novel reception Arok Dedes work Pramoedya Ananta Toer. Thesis. Graduate Program, Faculty of Education Indonesian. University March Surakarta. , 2014.

ABSTRACT

Literature is one of the disciplines that have a variety of genres and can be assessed with a variety of approaches. Sociology of literature one of the approaches that will give you an idea of the influence of socio-cultural background of the author, and the author of the current conditions create novel Arok Dedes, as well as acceptance of the readers of the novel Arok Dedes works of Pramoedya Ananta Toer.

The aims of this research to (1) describe the socio-cultural background of the author of Arok Dedes; (2) describe the correlation between the novel Arok Dedes by the fact in the history of Ken Arok and Ken Dedes at times Singosari; (3) describe the reception readers; Indonesian students and teachers; (4) describe the educational values inherent in the novel Arok Dedes

This research is a qualitative descriptive approach with sociology of literature and receptions. Methode data in this study in the form of words, phrases and sentences in the novel Arok Dedes. The data source is a novel Arok Dedes works Pramoedya Ananta Toer.Dalam this study used the method of data analysis in the form of text documents novel Arok Dedes, and reader comments. Teknik data collection using libraries. Data analysis was conducted in an interactive analysis.

The conclusion of this study, namely; (1) socio-cultural background Arok Dedes novelist, Pramoedya Ananta Toer is a writer who still uphold the customs and culture, (2) There is a relevance between the novel Arok Dedes and Ken Arok historical fact and Ken Dedes Singosari era, ie from in terms of actors (characters) and the events described. (3) reception on Pramoedya Ananta Toer readers who have thought that in a novel intelligent Arok Dedes can affect the reader about the figure of Ken Arok, (4) novel Arok Dedes will be full of educational value to readers consist of moral values which describe human nature; generous, respect for parents, and obligations, religious values are handed all the events coming from provisions of God, the value of heroism that holds promise in protecting a leader, cultural values are still working on the ancestral tradition or ancestors.

Keywords: novel, literary sociology, reader reception, the value of education commit to user


(10)

MOTTO

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain

(Q.S. Al-Insyiroh 5-7)


(11)

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk: Istriku, permaisuri hatiku Anak-anakku, semangat hidupku


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN HAK PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

MOTTO ... x

PERSEMBAHAN ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR ... 6

A. Tinjauan Pustaka ... 6

1. Novel ... 6

a. Pengertian dan Karakteristik ... 6

b. Unsur Instrinsik ... 8

c. Unsur Ekstrinsik ... 17

2. Sosiologi Sastra ... 21

3. Resepsi Sastra ... 24

4. Sosiologi Pengarang Pramudya Ananta Toer ... 30

5. Nilai Pendidikan Karya Sastra ... 34 a. Nilai Religius (Agama) ... commit to user 37


(13)

b. Nilai Estetis ... 37

c. Nilai Moral (Etika) ... 38

d. Nilai Kepahlawanan (Heroik) ... 38

e. Nilai Sosial ... 39

B. Penelitian Sebelumnya yang Relevan ... 41

C. Kerangka Berpikir ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 46

C. Sumber Data ... 46

D. Teknik Pengumpulan Data ... 46

E. Teknik Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Hasil Penelitian ... 49

1. Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang ... 49

2. Relevansi Antara Novel Arok Dedes dengan Kenyataan Sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada Zaman Singosari.. 54

3. Resepsi Pembaca Mengenai Novel Arok Dedes ... 63

4. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Novel Arok Dedes ... 67

B. Pembahasan ... 71

1. Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang ... 71

2. Relevansi Antara Novel Arok Dedes dengan Kenyataan Sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada Zaman Singosari.. 73

3. Resepsi Pembaca Mengenai Novel Arok Dedes ... 74

4. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Novel Arok Dedes ... 77

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 81

A. Simpulan ... 81

B. Implikasi ... 83 C. Saran ... commit to user 86


(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN ... 90


(15)

DAFTAR LAMPIRAN 1. Catatan Lapangan Reseptor 1

2. Tanggapan Peneliti

3. Catatan Lapangan Reseptor 2 4. Tanggapan Peneliti

5. Sinopsisi


(16)

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Karya sastra tidak dapat dilihat dengan hanya sebagai suatu sistem norma saja, karena karya sastra merupakan suatu sistem yang terdiri dari struktur yang saling mengisi. Dengan demikian, menganalisis karya sastra secara mendetil haruslah melihat struktur dari karya itu (Seniwati: 2003: 1). Karya sastra juga merupakan respon pada karya yang terbit sebelumnya. Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel merupakan karya sastra hasil imajinasi dan penghayatan pengarang terhadap masyarakat. Novel sebagai karya sastra lebih mengemukakan sesuatu yang bebas, menyajikan sesuatu yang lebih banyak, lebih rinci dan melibatkan permasalahan yang kompleks (Nurgiyantoro, 1995:10-11).

Novel merupakan karya sastra yang memiliki cakupan luas dan dengan kedalaman isinya membawa manusia menjelajahi kekayaan yang tidak dimiliki karya sastra lainnya. Melalui novel, manusia dapat menggali lebih dalam sisi kemanusiannya. Novel sebagai karya sastra mengandung banyak makna dan ideologi di dalamnya. Seorang pembaca dapat mengambil makna yang ia perlukan tergantung dari sudut pandang yang digunakan dan dimanfaatkan untuk diterapkan dalam kehidupan. Salah satu yang penting adalah anggapan bahwa novel merupakan cermin kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial. Hal ini berarti pengarang menggunakan pengalaman sosialnya dalam karya yang dibuatnya.

Novel sebagai kreasi manusia yang diangkat dari realitas kehidupan, tetapi realitas yang terdapat didalamnya bukan lagi realitas yang utuh, namun sudah mengalami proses imajinasi dari diri pengarang. Dengan kata lain realitas tersebut adalah gambaran oleh pengarangnya dengan mengunakan daya imajinasi sesuai dengan kenyataan jiwa pengarang, yang berupa pengalaman hidup yang manis, menarik perhatian, menyegarkan perasaan penikmatnya, pengalaman jiwa commit to user


(18)

yang terdapat dalam karya sastra memperkaya kehidupan batin manusia khususnya pembaca.

Keberadaan karya sastra (novel) di tengah masyarakat adalah hasil imajinasi pengarang serta refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (world vision) kepada subjek kolektifnya. Hubungan yang menggabungkan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan bahwa sastra berakar pada kultur dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61).

Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang erat terhadap karya sastra baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut pula mempengaruhi karya yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang dihasilkan pengarang.

Dengan kata lain karya sastra merupakan bagian dari kebudayaan, kelahirannya di tengah-tengah masyarakat tidak luput dari pengaruh sosial dan budaya. Pengaruh tersebut bersifat timbal balik, artinya karya sastra dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat.

Kecenderungan ini didasarkan pada pendapat bahwa tata kemasyarakatan bersifat normatif. Hal ini berarti terdapat paksaan bagi masyarakat mematuhi nilai-nilai yang berada di masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan dan menentukan terhadap jenis tulisan pengarang, objek karya sastra, pasar karya sastra, maksud penulisan, dan tujuan penulisan.

Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya. Latar


(19)

belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.

Karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang melingkupi penciptanya. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa sifat-sifat sastra menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan melihat apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan cermin realitas masyarakat zamannya.

Pramoedya Ananta Toer adalah pengarang fenomenal dan sampai akhir hidupnya, ia merupakan satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat Pemenang Nobel Sastra. Sebagai sastrawan yang juga terlibat di dalam kancah politik di tanah air, dengan afiliasinya ke partai yang berhaluan Marxis dengan fahamnya realisme sosialis, tidak mungkin melepaskan begitu saja karya-karyanya itu dari pandangan dan ideologi yang dianutnya. Akibat yang ditimbulkan dari keberpihakannya secara politis itu, menjadikan dia harus mendekam di penjara selama kekuasaan Orde Baru. Selain itu, karya-karyanya juga dilarang beredar dan dibaca masyarakat. Latar belakang hidup yang demikian tentunya akan sangat mempengaruhi karya-karya yang dihasilkannya, termasuk novel Arok Dedes.

Jika melihat dari sudut pandang ini, maka menganalisis novel Arok Dedes ini tentu tidak cukup secara tekstual, melainkan harus juga mengungkapkan proses produksi teks sastra itu dan konteks sosialnya. Paling tidak, berusaha sampai pada pemikiran dan pandangan pengarang sebagai penghasil novel tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian sosiologi sastra dan resepsi dengan judul “Kajian Sosiologi Sastra dan Resepsi Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer.”

Mengingat masalah yang ditawarkan dunia sastra sangat luas dan kompleks, dalam kesempatan ini penulis membatasi ruang lingkup permasalahannya dengan maksud agar pembahasan tidak melebar. Pembatasan tersebut adalah pemahaman terhadap novel Arok Dedes dengan berdasarkan sosiologi sastra dan resepsi. Sosiologi sastra merupakan satu kajian yang rumit


(20)

aspek sosiologi pengarang, yakni permasalahan status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Resepsi dalam konteks penelitian ini adalah tanggapan dari pembaca (mahasiswa dan guru bahasa Indonesia).

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan pendekatan yang penulis pergunakan dalam penelitian ini, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah latar belakang sosial budaya pengarang dari Arok Dedes dalam novel Arok Dedes ?

2. Bagaimanakah relevansi antara novel Arok Dedes dengan kenyataan sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada zaman Singosari ?

3. Bagaimanakah resepsi pembaca mengenai novel Arok Dedes ?

4. Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Arok Dedes ?

C. Tujuan Penelitian

Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial budaya pengarang dari novel Arok Dedes.

2. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan korelasi antara novel Arok Dedes dengan kenyataan dalam sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada zaman Singosari.

3. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan resepsi pembaca ; mahasiswa dan guru bahasa Indonesia.

4. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Arok Dedes.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi secara teoretis dan praktis.


(21)

1. Manfaat Teoretis

Memperkenalkan kepada pencinta sastra bahwa kajian sosiologi sastra dan resepsi sastra merupakan cabang kritik sastra yang akan membawa pembaca dalam suasana karya itu dibuat juga dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang nilai-nilai ajaran yang baik sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

2. Manfaat Praktis a. Bagi pembaca

Hasil penelitian ini dapat menjadi pelajaran bagi pembaca akan nilai-nilai positif dan negatif dalam kehidupan.

b. Bagi guru

Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan guru dalam mencari alternatif materi ajar yang tepat dalam pengajaran novel.

c. Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi siswa dalam pengetahuan tentang manfaat dan nilai-nilai yang ada dalam novel. d. Bagi Peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sastra.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Novel

a. Pengertian dan Karakteristik

Secara etimologis, novel berasal dari kata latin novella yang berarti kabar atau pemberitahuan. Novella diturunkan menjadi kata inovelis yang berarti baru. Dapat dikatakan baru karena novel hadir sebagai genre sastra setelah puisi dan drama yang terlebih dahulu ada. Bentuk novel dapat dikatakan sama dengan roman karena keduanya sama-sama menceritakan hal-hal yang terjadi pada kehidupan para tokohnya dan perubahan nasib para tokohnya.

Goldmann (dalam Faruk, 2003: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yagn otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia.

Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel tersebut. Waluyo (2002: 37) mengungkapkan bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati.

Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Waluyo (2002: 38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya

Di pihak lain Goldmann (dalam Ratna, 2003: 126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil

6 commit to user


(23)

merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis (Ratna, 2003: 127).

Ratna (2004:314) menyimpulkan bahwa dari segi struktur, sebuah novel sastra maupun novel populer mengandung unsur-unsur yang paling lengkap. Novel menyediakan cerita dengan peristiwa, tokoh, dan latar, sehingga menulis dianggap berdialog dengan orang lain. Novel memanfaatkan bahasa biasa, bahasa sehari-hari, yang juga merupakan faktor penting dalam kaitannya dengan penulis.

Novel juga menyediakan media yang sangat luas, sehingga pengarang memiliki kemungkinan yang seluas-luasnya untuk menyampaikan pesan. Reeve (dalam Wellek dan Warren, 1989:282) mengungkapkan bahwa novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata, dari jaman pada saat novel itu ditulis.

Novel dianggap sebagai dokumen atau kasus sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis dengan sangat meyakinkan), sebagai sebuah cerita yang sebenarnya, sebagai sejarah cerita hidup seseorang pada jamannya (Wellek, 1989:276).

Nurgiyantoro (2007:4) menyebutkan bahwa novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar dan sudut pandang yang bersifat imajinatif. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam sebuah cerita novel kehidupan itu sering terasa benar adanya, seolah-olah terjadi secara kenyataan. Hal ini dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan atau dianalogikan dengan dunia nyata, lengkap dengan peristiwa-peristiwa dan latar


(24)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya fiksi yang memiliki tema, alur, latar, tokoh, dan gagasan pengarang. Selain itu, novel juga menampilkan rangkaian cerita kehidupan seseorang yang dilengkapi dengan peristiwa, permasalahan, dan penonjolan watak setiap tokohnya.

b. Unsur Intrinsik

Baik buruk dan menarik tidaknya sebuah cerita rekaan (roman, cerpen, maupun novel) sangat ditentukan oleh adanya keterkaitan antara unsur-unsur pembentuk cerita. Unsur-unsur pembentuk cerita dalam novel yang berasal dari dalam disebut unsur intrinsik, sedangkan unsur-unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar disebut unsur-unsur ekstrinsik.

Menurut Damono (2000:10), pendekatan intrinsik dilakukan jika peneliti memisahkan karya sastra dari lingkungannya. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap memiliki otonomi dan bisa dipahami tanpa harus mengaitkannya dengan lingkungannya seperti penerbit, pembaca, dan penulisnya. Novel misalnya, merupakan sistem formal yang analisisnya meliputi tema, alur dan pengaluran, latar, tokoh dan penokohan, dan penceritaan. Sedangkan pendekatan ekstrinsik terhadap karya sastra dilakukan jika penelitian ditujukan untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada antara karya sastra dengan lingkungannya, antara lain pengarang, pembaca, dan penerbit.

Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun sebuah karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur tersebut secara otomatis mampu membangun cerita dan membuat novel memiliki roh. Sebaliknya, unsur ekstrinsik yang menitikberatkan karya sastra dan hubungannya dengan pengarang, pembaca, dan lingkungan, akan lebih banyak berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan intrinsik dilakukan jika penelitian menitikberatkan kajian kepada karya sastra dan memisahkannya dari lingkungan tempat karya commit to user


(25)

tersebut dilahirkan. Sedangkan pendekatan ekstrinsik dilakukan jika penelitian lebih menitikberatkan kajian kepada karya sastra dan hubungannya dengan pengarang, pembaca, lingkungan, peristiwa, dan sudut pandang.

Berdasar dari uraian di atas, unsur-unsur intrinsik novel adalah sebagai berikut:

1) Tema

Tema merupakan gagasan, ide, ataupun pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap atau tidak (Sudjiman, 1990:78). Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2007:67) menyatakan bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Sementara itu, menurut Nurgiyantoro (2007:74) tema dalam sebuah karya sastra fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan.

Ada beberapa macam tema yaitu tema yang sifatnya didaktis, pertentangan antara baik dan buruk; tema yang eksplisit dan implisif; cinta, kehidupan keluarga; tema yang biasa dan tidak biasa; dan tema konflik kejiwaan (Sudjiman, 1988:50). Selain itu, Shipley (dalam Nurgiyantoro, 2007:80) mencoba menjelaskan tingkatan tema, diantaranya:

a) Tema tingkat fisik

Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menunjukkan banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan.

b) Tema tingkat organik

Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak mempermasalahkan seksualitas, khususnya kehidupan seks yang menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan suami istri, atau skandal-skandal seksual lainnya


(26)

c) Tema tingkat sosial

Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak mempermasalahkan ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, dan lain sebagainya.

d) Tema tingkat egoik

Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak mempermasalahkan egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.

e) Tema tingkat divine

Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak mempermasalahkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide atau gagasan keseluruhan yang terkandung dalam sebuah cerita.

2) Alur dan Pengaluran

Alur adalah urutan peristiwa yang dihubungkan secara kausal. Peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton dalam Sugihastuti, 2000:46). Nurgiyantoro (2002:10) mengungkapkan alur adalah salah satu unsur yang mendukung terbentuknya sebuah cerita. Kenney (dalam Nurgiyantoro, 2007:113) mendefinisikan alur adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster (dalam Nurgiyantoro, 2007:113) mendefinisikan alur adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.

Nurgiyantoro (dalam Sugihastuti, 2000:46) kembali mengungkapkan bahwa sebuah peristiwa terjadi karena adanya aksi atau aktifitas yang dilakukan oleh tokoh cerita, baik yang bersifat commit to user


(27)

verbal maupun non verbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Alur merupakan cerminan perjalanan tokoh dalam berpikir, bertindak dalam menghadapi berbagai macam masalah kehidupan.

Analisis alur difokuskan pada fungsi utama yang membentuk sebuah alur cerita. Fungsi utama disusun berdasarkan hubungan sebab akibat sebuah peristiwa dalam cerita. Fungsi utama diperoleh berdasarkan sekuen yang memiliki hubungan sebab akibat satu dengan lainnya.

Sementara itu Sumardjo dan Saini (1986:49) menjabarkan struktur atau tahapan alur, yaitu: pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, dan pemecahan soal

Zaimar (1991:32) menjelaskan bahwa pengaluran adalah pemilihan dan pengaturan peristiwa pembentuk cerita tersebut. Cerita diawali dengan peristiwa dan diakhiri juga dengan peristiwa tanpa terikat urutan waktu. Analisis struktur cerita bertujuan untuk mendapatkan susunan teks. Satuan teks biasa disebut sekuen. Menurut Todorov (1985:50), sekuen yaitu satuan motif (kalimat) atau satuan cerita yang memberikan kesan atau suatu keutuhan sempurna.

Syarat satu sekuen diantaranya: satu titik perhatian (fokalisasi), satu kurun waktu tertentu, dan ditandai hal-hal lain seperti lay out.

Jenis pengaluran terbagi atas:

(1) Ingatan atau flashback, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah peristiwa yang dialami tokoh pada masa lalu. Ada dua jenis ingatan, yaitu sorot balik dan kilas balik.

(a) Sorot balik yaitu peristiwa masa lalu yang ditampilkan dalam rangkaian peristiwa.

(b) Kilas balik yaitu peristiwa masa lalu yang ditampilkan hanya dalam satu peristiwa.

(2) Linear atau realitas fiktif, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah peristiwa yang dialami tokoh pada masa kini (dalam teks).


(28)

(3) Bayangan, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah peristiwa yang belum terjadi. Peristiwa itu hanya ada dalam benak tokoh cerita, termasuk di dalamnya adalah mimpi yang dialami tokoh tersebut.

Dari beberapa pendapat mengenai alur, dapat disimpulkan bahwa alur adalah urutan peristiwa dan konflik-konflik yang tersusun secara logis. Sedangkan pengaluran adalah satuan urutan peristiwa dalam sebuah cerita.

3) Latar

Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Sudjiman, 1990:48). Menurut Wellek dan Warren (1989:290), latar didefinisikan sebagai alam sekitar atau lingkungan, terutama lingkungan dalamnya dapat dipandang sebagai pengekspresian watak secara metonimik dan metaforik.

Latar yaitu ruang dan waktu terjadinya peristiwa, objek-objek, kebiasaan, pola perilaku sosial dan budaya yang ada pada ruang dan waktu terjadinya peristiwa itu (Faruk, 1998:32). Sementara itu Nurgiyantoro (2007:227) mengklasifikasikan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, diantaranya:

a) Latar tempat

Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan dapat berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama jelas. Keberhasilan latar tempat ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga keseluruhannya bersifat saling mengisi.

b) Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. commit to user


(29)

c) Latar sosial

Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Kehidupan masyarakat tersebut berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.

Kenny (dalam Sudjiman, 1988:44) menyebutkan unsur latar secara terperinci meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai kepada perincian perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh; waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya; lingkungan agama, moral, intelektual, sosial dan emosional para tokoh.

Hudgon (dalam Sugihastuti, 2002:54) membedakan latar menjadi dua, yaitu:

1) Latar fisik atau material

Adapun yang termasuk latar fisik atau material adalah tempat, waktu, dan alam fisik di sekitar tokoh cerita.

2) Latar sosial

Yang termasuk latar sosial adalah penggambaran keadaan masyarakat atau kelompok sosial tertentu, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada suatu tempat atau waktu tertentu, pandangan hidup, dan adat istiadat yang melatari sebuah peristiwa.

Aminudin (2002:67) mengungkapkan bahwa ada dua aspek fungsi setting dalam karya fiksi, diantaranya:1) Setting berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis. 2) Setting memiliki fungsi psikologis yaitu nuansa makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi aspek kejiwaan pembacanya.


(30)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar adalah penjelasan mengenai suasana, waktu, tempat, dan perilaku lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang ada dalam sebuah cerita.

4) Tokoh dan Penokohan

Tidak ada cerita yang tidak memiliki tokoh, sekalipun tokoh tersebut tidak berupa manusia. Tokoh cerita dapat berupa hewan dan tumbuhan yang dipersonalisasikan. Contoh personalisasi tokoh hewan dan tumbuhan biasanya muncul dalam sebuah fabel. Tokoh cerita dapat didefinisikan sebagai subjek sekaligus objek peristiwa dan pelaku yang berperan dalam sebuah cerita.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa definisi singkat tokoh merujuk pada pelaku cerita, sedangkan definisi penokohan lebih merujuk pada penggambaran tokoh-tokoh cerita yang mempunyai watak-watak tertentu. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007:165) berpendapat bahwa tokoh cerita (character) orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Menurut Nurgiyantoro (2007:176), tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut: a) Tokoh utama dan tokoh tambahan yaitu tokoh utama (central character atau main character) yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh ini merupakan yang paling banyak diceritakan dan senantiasa hadir dalam setiap kejadian. Tokoh tambahan (peripheral character) yaitu tokoh yang pemunculannya sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama. b) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis.Tokoh protagonis yaitu tokoh yang digambarkan sebagai hero-tokoh yang merupakan pengejewantahan norma-norma, commit to user


(31)

nilai-nilai yang ideal yakni sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Tokoh antagonis yaitu tokoh yang menyebabkan konflik, beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tak langsung dan bersifat fisik ataupun batin. c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana (simple atau flat character) yaitu tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu, sifat dan tingkah lakunya bersifat datar dan monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu, mudah dikenal dan dipahami, lebih familiar, dan cenderung stereotip. Tokoh bulat (complex atau round character) yaitu tokoh yang memiliki watak dan tingkah laku bermacam-macam, perwatakannya sulit dideskripsikan secara tepat, bahkan dapat bertentangan dan sulit diduga. d) Tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis atau biasa disebut tokoh tidak berkembang (static character) yaitu tokoh yang memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang dari awal hingga akhir cerita. Tokoh ini juga kurang terlibat dan tak terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh berkembang (developing character) yaitu tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan watak, sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot. Tokoh ini secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, dan lainnya, yang kesemuanya akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Sikap dan watak dari tokoh berkembang mengalami perkembangan dan perubahan dari awal, tengah, dan akhir cerita. e) Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal (typical character) yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral (neutral character) yaitu tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Tokoh netral merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Tokoh ini dihadirkan


(32)

semata-mata de mi cerita, atau bahkan dialah empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan.

Penokohan tokoh cerita secara tipikal pada hakikatnya dapat dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, dan tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata. Tanggapan itu mungkin bernada negatif seperti terlihat dalam karya yang bersifat menyindir, mengkritik, bahkan mungkin mengecam, karikatural atau setengah karikatural. Namun sebaliknya juga mungkin bernada positif seperti yang terasa dalam nada memuji. Tanggapan juga dapat bersifat netral, artinya pengarang melukiskan seperti apa adanya tanpa disertai sikap subjektivitasnya sendiri yang cenderung memihak (Nurgiyantoro, 2007:191).

Aminudin (2002:80) mengungkapkan bahwa ada sembilan cara untuk memahami watak tokoh dalam cerita, diantaranya: tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, gambaran yang diberikan pengarang melalui gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian, menunjukkan bagaimana perilakunya, melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, memahami bagaimana jalan pikirannya, melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya, melihat bagaimana tokoh-tokoh lain memberikan reaksi terhadapnya, melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh lainnya.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku cerita yang dimunculkan dalam sebuah karya naratif. Sedangkan penokohan adalah cara pengarang memberi gambaran yang sejelas-jelasnya kepada pembaca mengenai tokoh dan perwatakannya dalam sebuah cerita.


(33)

5) Penceritaan

Dalam menganalisis penceritaan, menurut Genete (dalam Todorov, 1985:25) harus mempertimbangkan 2 kategori, yaitu kategori modus dan kategori tutur. Kategori tutur disebut juga penceritaan. Kehadiran pencerita terdiri atas 2 jenis, yaitu: a) Pencerita dalam (intern). Pencerita dalam terlibat secara langsung sebagai tokoh cerita. Ciri-cirinya adalah ditemukannya kosakata “aku” atau “saya” di dalam cerita tersebut.b) Pencerita luar (ekstern). Pencerita luar sama sekali tidak terlibat sebagai tokoh cerita. Ciri-cirinya adalah ditemukannya kosakata “dia”, “ia” atau penunjuk kata ganti orang ketiga lainnya. Tipe penceritaan terbagi atas tiga jenis, diantaranya: 1) Wicara yang dialihkan: pencerita menyajikan pikiran-pikiran dan perasaan yang dialami para tokoh, 2) Wicara yang dinarasikan: pencerita menyajikan peristiwa dan tindakan yang dialami para tokoh. 3) Wicara yang dilaporkan: Pencerita menyajikan dialog-dialog para tokoh cerita.

Sementara itu Todorov (dalam Nurgiyantoro, 2002:94) berpendapat bahwa penceritaan merupakan peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiktif tidak dikemukakan sebagaimana aslinya, akan tetapi menurut penuturan tertentu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penceritaan adalah cara pengarang menyajikan peristiwa yang ada dalam cerita, serta pikiran dan perasaan yang dialami oleh tokoh cerita.

c.. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik novel adalah unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar karya sastra, seperti karya sastra dengan lingkungan, pengarang, pembaca, dan penerbitnya. Selain itu, unsur ekstrinsik juga lebih banyak berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan.

Menurut Nurgiyantoro (2007:24), unsur ekstrinsik novel adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Sementara itu,


(34)

unsur yang dimaksud antara lain adalah subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya.

Pendek kata, unsur sosiologi, biografi pengarang, keadaan lingkungan ekonomi, sosial, dan budaya dapat menentukan ciri karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa (Nurgiyantoro, 2007:24). Dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur ekstrinsik sangat berpengaruh besar terhadap wujud dan roh cerita yang dihasilkan karena melibatkan sudut pandang pengarang yang memiliki perbedaan lingkungan ekonomi, sosial, dan budaya.

d. Pendekatan Sosiologi Pengarang

Dari beberapa macam pendekatan yang ada dalam mengkaji karya sastra, pendekatan sosiologi sastra dan sosiologi pengarang dapat dikatakan sebagai pendekatan yang tidak pernah sepi untuk digunakan. Hal ini terjadi mengingat karya sastra selalu mencerminkan keadaan sosial budaya masyarakatnya.

Ratna (2004:60) menyebutkan bahwa dasar pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang; b) pengarang adalah anggota masyarakat; c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat; d) hasil karya sastra dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

Pengarang adalah anggota masyarakat, memperoleh pengetahuan melalui masyarakat, dan yang terpenting pengarang menyajikan sudut pandang sesuai dengan masyarakat yang mengkondisikannya. Secara faktual, pengarang jelas memegang peranan penting, bahkan menetukan. Tanpa pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Tanpa pengarang fakta-fakta sosial hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan. Melalui daya imajinasinya, pengarang berhasil melihat fakta-fakta secara multidimensional, gejala di balik gejala. Kemampuannya dalam commit to user


(35)

menghasilkan karya sastra disebabkan oleh perbedaan kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas, bukan perbedaan jenis (Ratna, 2004:302-303).

Pandangan dalam masyarakat lama maupun masyarakat modern, pengarang termasuk sebagai kelompok elite, sebagai kelas menengah atas. Dalam masyarakat lama, pengarang dianggap memiliki kemampuan tersendiri dalam mengakumulasikan gejala-gejala sosial. Sedangkan dalam masyarakat modern, pengarang memperoleh posisi terhormat tanpa harus memperoleh gelar akademis. (Ratna, 2004:333)

Pada umumnya para pengarang yang berhasil adalah para pengamat sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Pendek kata, pengarang merupakan indikator penting dalam menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur kebudayaan, sekaligus perkembangan tradisi sastra (Ratna, 2004:334).

Penonjolan paling besar pada pengarang diberikan dalam zaman Romantik. Selain itu, bangsa Yunani Kuno menganggap bahwa pengarang mendapat ilham dari dewa (Luxemburg 1991:7). Sejarah sastra abad ke-19 sudah mulai memperhatikan bagaimana karya sastra lahir dan dapat dijelaskan sedetil-detilnya dengan meneliti riwayat kejadian, peristiwa yang dialami oleh pengarang dan lingkungan geografis serta historis tempat pengarang dibesarkan.

Menurut Luxemburg (1991:8), paling banyak karya sastra merupakan teks yang di dalamnya terjalin fakta biografis. Setiap pengarang akan mengatur kesan dari kehidupan dan pengalamannya sendiri, mengubahnya dan memanfaatkannya untuk menyusun teks.

Untuk memahami suatu teks seutuhnya, kita tidak cuma harus membaca teksnya, tapi juga memahami penulisnya. Selain penulisnya, juga kondisi jaman serta lingkungan dimana ia hidup.


(36)

e. Perspektif Pengarang

Kualitas responsif dan representatif, entitas dan integritas karya sastra di tengah-tengah masyarakat, mengandaikan bahwa karya sastra secara keseluruhan mengambil bahan di dalam dan melalui kehidupan masyarakat. Dengan demikian, karya sastra, seperti juga karya-karya dalam ilmu kemanusiaan yang lain, mengesahkan dan mengevaluasikan bahan-bahan yang sama, tetapi dengan cara pandang dan cara pemahaman yang berbeda. Dengan memanfaatkan kualitas manipulatif medium bahasa, karya sastra bahkan dapat menunjukkan maksud yang sama dengan cara yang sama sekali bertentangan (Ratna, 2003:35).

Menurut Hellwig (2007:62), tidak hanya pengarang novel yang menciptakan bayangan tentang masyarakat, para ahli sejarah, antropologi dan sosiologi juga demikian. Setiap pengarang, ilmuwan ataupun tidak, dikekang oleh prasangka-prasangkanya masing-masing dan membubuhkan nilai-nilai serta ideologi-ideologinya pada materi yang disajikannya.

Masih menurut Hellwig (2007:62), dalam karya fiksi diciptakan dunia khayalan dengan pelaku-pelaku serta kejadian yang dikarang. Sekalipun kejadian-kejadian itu tidak pernah benar-benar terjadi, dan watak atau tokoh-tokohnya bukan tokoh sejarah, namun mereka mewakili nilai-nilai, norma-norma, dan ideologi-ideologi suatu kurun waktu tertentu.

Dalam sebuah tulisannya mengenai novel-novel Charles Dickens, salah satunya Oliver Twist, Raymond Williams (1973) merinci keterkaitan antara novel dengan gagasan sosial. Menurutnya, ada tujuh macam cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukkan gagasan sosialnya ke dalam novel, yaitu mempropagandakannya, menambahkan gagasan ke dalamnya, memperbantahkan gagasan, menyodorkan gagasan sebagai konvensi, dan memunculkan gagasan sebagai tokoh, melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi maupun menampilkannya sebagai super struktur commit to user


(37)

Dapat disimpulkan bahwa perspektif pengarang dalam karya sastra, dalam hal ini novel, selalu dihubungkan dengan pemasukan ideologi-ideologi, nilai-nilai atau norma-norma yang dianut oleh pengarang yang bersangkutan.

2. Sosiologi Sastra

Istilah ”sosiologi sastra” dikenalkan pada tulisan-tulisan kritikus dan ahli sejarah sastra yang perhatian utamanya ditujukan dengan cara-cara seorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju (Abrams, 1981:178). Sosiologi sastra memperlakukan karya sastra sebagai karya yang ditentukan (dipersiapkan) secara tidak terhindarkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya, yaitu dalam pokok masalahnya, penilaian-penilaian kehidupan yang implisit dan eksplisit yang diberikan, bahkan juga dalam bentuknya.

Sosiologi sastra didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antarahubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat. Meskipun demikian sistem produksi karya sastra tidak didasarkan atas komunikasi linier antara pengarang, penerbit, patron, dan masyarakat pembaca pada umumnya, melainkan juga tradisi dan konvensi literer.

Sosiologi sastra memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam pengertian yang negatif. Artinya, antarhubungan yang terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antarhubungan akan menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing.


(38)

Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.

Sementara itu, Pospelov (1967:354) berpendapat sebagai berikut: What is the relationship between literature and sociology? Literature is an art that develops in human society throughout the ages quite independently of sociology, whereas sociology ias a science whose purpose is to discover the objective laws of social life in all its manifestations including creative art.

Dalam pendapat lain, Rushing (2004) juga berpendapat bahwa : Sociology of literature a brach of literary study that examines the relationship between literary work and their social, modes of publicational dramatic presentation, and the social class position of authors and readers

Metode sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi/cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis. Sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya, politik, keamanan, ekonomi dan alam yang melingkupinya. Selain merupakan suatu eksperimen moral yang dituangkan oleh pengarang melalui bahasa, sastra dalam kenyataannya menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial (Damono, 1978:1). Seperti halnya karya seni yang lain, karya sastra adalah refleksi pengalaman hidup dan kehidupan manusia, baik secara nyata ataupun hanya rekaan semata, yang dipenggal-penggal dan kemudian dirangkai kembali dengan imajinasi, persepsi dan keahlian pengarang serta commit to user


(39)

disajikan melalui sebuah media (bahasa). Bagaimanapun peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan Tuhan, alam semesta, masyarakat, manusia lainnya, dengan dirinya sendiri. Hubungan hakiki itulah yang kemudian melahirkan berbagai masalah yang dihadapi manusia, misalnya : maut, tragedi, cinta, loyalitas, harapan , makna dan tujuan hidup.

Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (1956) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu: a) sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang; b) sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya; c) sosiologi sastra: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (Damono, 1978) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni: a) konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya; b) sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat; c)Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.

Umar Junus (1985) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut: a) karya


(40)

penghasilan dan pemasaran karya sastra; c) penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya; d) pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas; e)pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan f) pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.

Dari beberapa pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa metode sosiologi sastra mempunyai prinsip dasar bahwa karya sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra(kesusastraan) itu ditulis, atau dengan kata lain karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat.

3. Resepsi Sastra

Resepsi sastra, pada dasarnya sudah di mulai oleh Mukarovsky dan Vodicka, dengan konsep karya seni sebagai objek estetik, bukan artefak. Dengan adanya peranan dan aktifitas pembacalah, yang disertai dengan peranan masa lampaunya terjadi pertemuan antara objek dengan subjek, yang dengan sendirinya menimbulkan kualitas estetis. Teeuw (dalam Ratna,2004: 201) menganggap studi resepsi sastra seperti ini sangat tepat untuk sastra Indonesia sebab Indonesia memiliki khazanah sastra, khususnya sastra lama yang sangat beragam.

Resepsi sastra berasal dari kata latin “recipare” yang berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Jika pembaca merasa nikmat dalam memahami karya sastra berarti karya sastra tersebut dipandang sukses. Resepsi sastra adalah pendekatan penelitian sastra yang tidak berpusat pada teks. Karena teks bukan satu-satunya objek penelitian, pendekatan ini tidak murni meneliti sastra. Resepsi sastra justru meneliti teks sastra dalam kaitannya tertentu. Teks sastra di teliti dalam kaitannya dengan pengaruh yakni keberterimaan pembaca (Ratna, 2004: 169), karena itu. Dasar pemikirannya adalah teks sastra ditulis dengan segala struktur estetik yang commit to user


(41)

ada untuk disajikan kepada pembaca, maka dalam hal ini seorang pembaca mempunyai peranan penting dalam memahami makna teks sastra tersebut (Endraswara, 2003: 118)

Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial (Sastriyani 2001:253).

Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna dalam Walidin 2007).

Sementara itu, Jurt (2005:1) menyatakan bahwa reception theory, despite its influence, has been criticised for its lack of attention to the social contexts of reception. It has also mainly been applied within one national context.

Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai.

Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah


(42)

resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.

Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya (Jauss 1983:21).

Metode resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya (Pradopo 2007:209). Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya.

Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.

Menurut Ratna (2009:167-168), resepsi sinkronis merupakan penelitian resepsi sastra yang berhubungan dengan pembaca sezaman. Dalam hal ini, sekelompok pembaca dalam satu kurun waktu yang sama, memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra secara psikologis commit to user


(43)

maupun sosiologis. Resepsi diakronis merupakan bentuk penelitian resepsi yang melibatkan pembaca sepanjang zaman. Penelitian resepsi diakronis ini membutuhkan data dokumenter yang sangat relevan dan memadai.

Pada penelitian resepsi sinkronis, umumnya terdapat norma-norma yang sama dalam memahami karya sastra. Tetapi dengan adanya perbedaan horizon harapan pada setiap pembaca, maka pembaca akan menanggapi sebuah karya sastra dengan cara yang berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan, pengalaman, bahkan ideologi dari pembaca itu sendiri. (Pradopo 2007:211).

Penelitian resepsi sinkronis ini menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berada dalam satu kurun waktu. Penelitian ini dapat menggunakan tanggapan pembaca yang berupa artikel, penelitian, ataupun dengan mengedarkan angket-angket penelitian pada pembaca. Resepsi diakronis umumnya menggunakan pembaca ahli sebagai wakil dari pembaca pada tiap periode. Pada penelitian diakronis ini mempunyai kelebihan dalam menunjukkan nilai senia sebuah karya sastra, sepanjang waktu yang telah dialuinya (Pradopo 2009:211).

Menurut Endraswara (2008:126) proses kerja penelitian resepsi sastra secara sinkronis atau penelitian secara eksperimental, minimal menempuh dua langkah sebagai berikut: a) setiap pembaca perorangan maupun kelompok yang telah ditentukan, disajikan sebuah karya sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan baik lisan maupun tertulis. Jawaban yang diperoleh dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut bentuk pertanyaan yang diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara tertulis dapat dibulasikan. Sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan metode wawancara, dapat dianalisis secara kualitatif; b) Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca tersebut diminta untuk menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya. Hasil interpretasi pembaca ini dianalisis menggunakan metode kualitatif.

Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah commit to user


(44)

Hasil kupasan tersebut yang nantinya akan dikaji oleh peneliti (Endraswara 2008:127).

Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119), penelitian resepsi secara sinkronis dan diakronis, dimasukan ke dalam kelompok penelitian resepsi menggunakan kritik teks sastra. Dalam penelitian resepsi sastra, Abdullah membagi tiga pendekatan, yaitu (1) penelitian resepsi sastra secara eksperimental, (2) penelitian resepsi lewat kritik sastra, dan (3) penelitian resepsi intertekstualitas. Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian sinkronis dan diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui kritik sastra saja.

Penelitian eksperimental dapat dimasukan ke dalam peneitian sinkronis, karena dalam penelitian eksperimental ini mengunakan subjek penelitian yang berada dalam satu kurun waktu. Sedangkan penelitian dengan pendekatan yang ketiga, yaitu melalui intertekstualitas, dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis. Karena dapat diteliti hasil konkretisasi melalui teks-teks sastra yang muncul pada setiap periodenya. Tetapi penelitian ini dapat digunakan pada teks sastra yang memiliki hubungan intertekstual dengan teks sastra yang menjadi acuan penelitian.

Abrams (dalam Pradopo, 2005) membagi kritik sastra kedalam empat tipe yaitu kritik mimetik, kritik ekspresif, kritik objektif, dan kritik pragmatik. Kritik mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan atau penggambaran dunia kehidupan manusia. Kritik ekspresif memandang karya sastra terutama dalam hubunganya dengan penulis sendiri. Kritik objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia yang mengelilinginya. Kritik pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada pembaca. Kritik pragmatik disebut juga dengan resepsi sastra.

Resepsi sastra dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi teks reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu dapat bersifat pasif atau aktif. commit to user


(45)

Tanggapan yang bersifat pasif adalah bagaimana seorang pembaca dapat memaknai karya itu atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif yaitu bagaimana pembaca mereaksinya (Junus, 1985: 1).

Tanggapan pembaca terhadap karya sastra yang dibacanya sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuannya (Ratna, 2004: 170). Pembaca mengharapkan sesuatu terhadap karya sastra. Harapan pembaca tersebut, disebut dengan cakrawala harapan. Cakrawala harapan pertama kali diperkenalkan oleh Jauss. Jauss (dalam Pradopo, 1995: 207) berawal dari penelitiannya tentang sejarah sastra yang tidak lagi memaparkan nama pengarang dan jenis sastra melainkan bagaimana suatu karya sastra dapat diterima oleh pembacanya. Di mulai dari karya sastra itu terbit pertama kali sampai masa berikutnya. Dari suatu masa ke masa lain tersebut terdapat jarak yang akan dijembatani oleh cakrawala harapan dari pembaca terhadap karya sastra dalam arti pembaca sudah mempunyai konsep atau pengertian dan pemahaman tentang suatu karya sastra sebelum ia membaca karya sastra tersebut pemahaman antara pembaca satu dengan yang lain tentang karya sastra pasti berbeda, hal itulah yang menimbulkan cakrawala harapan pembaca yang ditentukan oleh tiga kriteria yaitu: a) pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap karya sastra sebelumnya; b) norma-norma dalam karya sastra yang telah dibaca pembaca; dan c) perbedaan fiksi dan kenyataan.

Resepsi sastra berpandangan bahwa sastra dipelajari dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Menurut Jabrohim (2001: 119-120) dalam meneliti karya sastra berdasarkan resepsi dapat dilakukan dengan tiga cara yang akan dipaparkan sebagai berikut: a) intertektualitas yaitu penelitian resepsi intertektualitas dapat dilakukan melalui suatu karya sastra tertentu. Penelitian ini meneliti tanggapan pembaca karya sastra tertentu yang mempunyai hubungan dengan karya sastra yang diteliti, misalnya: Novel layar terkembang mempunyai hubungan dengan dengan


(46)

Layar Terkembang; b) Eksperimental yaitu penelitian resepsi sastra diperkenalkan terhadap karya sastra pada satu periode yaitu masa kini. Penelitian ini dapat dilakukan dengan cara menyebarkan angket atau kuesioner dengan meminjam metodologi penelitian sosial; c) kritik sastra yaitu penelitan resepsi sastra dalam metode kritik sastra dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara metode sinkronik dan diakronik, metode sinkronik dilakukan dalam satu kurun waktu atau periode tertentu. Kritik atau tanggapan pembaca dapat diambil dari penerbitan periode yang diteliti. Metode diakronik dilakukan melalui kritik pembaca dari satu periode ke periode berikutnya. Penelitian ini dapat dilakukan dengan cara menyimpulkan tanggapan pembaca ahli sehingga wakil pembaca dari setiap periode dapat diwakili.

Berdasar dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan resepsi sastra adalah satu metode kritik sastra yang menitik beratkan pada pendapat atau tanggapan pembaca dalam menilai karya sastra.

4. Sosiologi Pengarang Pramudya Ananta Toer

Pramoedya dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. commit to user


(47)

a. Hoakiau di Indonesia

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.

Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga


(48)

wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

b. Kontroversi

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan hadiah Magsasay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi commit to user


(49)

kreativitas' pada jaman demokrasi terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

c. Multikulturalis

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan


(50)

Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

5. Nilai Pendidikan Karya Sastra

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memiliki nilai, termasuk di dalamnya nilai edukatif atau pendidikan. Nilai yang terkandung di dalam karya sastra dapat dijadikan pedoman bagi penikmatnya, terutama bagi anak-anak atau generasi muda. Ada beberapa nilai yang harus dimiliki sebuah karya sastra yang baik, yaitu: nilai estetika, nilai moral, nilai konsepsional, nilai sosial budaya, dan nilai-nilai lainnya. Sebuah karya sastra yang baik pada dasarnya mengandung nilai-nilai yang perlu ditanamkan pada anak atau generasi muda.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ahmadi dan Uhbiyati (1991: 69) bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Sutrisno (1997: 63) juga menyatakan bahwa nilai-nilai dari sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema-tema besar mengenai commit to user


(51)

siapa manusia, keberadaannya di dunia dan didalam masyarakat; apa itu kebudayaannya dan proses pendidikannya; semua ini dipigurakan dalam refleksi konkret fenomenal- berdasar fenomena eksistensi manusia- dan direfleksi sebagai rentangan perjalanan bereksistensi.

Nilai edukatif disebut juga nilai pendidikan. Nilai pendidikan dapat diperoleh pembaca setelah membaca karya sastra. Dengan membaca, memahami, dan merenungkannya pembaca akan memperoleh pengetahuan dan pendidikan.

Semi (1993: 20) mengungkapkan bahwa nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagaian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi masalah. Nilai pendidikan dalam karya sastra tidak akan terlepas dari karya sastra itu sendiri. Karya sastra dapat memberikan pengalaman yang tidak diberikan media lain (Suyitno, 2000:3). Bertolak dari pendapat Suyitno tersebut, nilai pendidikan dalam karya sastra tidak selalu berupa nasihat atau petuah bagi pembaca, namun juga dapat berupa kritikan pedas bagi seseorang, kelompok atau sebuah struktur sosial yang sesuai dengan harapan pengarang dalam kehidupan nyata.

Semi (1993: 20) mengungkapkan bahwa nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagaian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi masalah. Sugono (2003: 111) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah sebagai berikut: a) nilai hedonik, yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca; b) nilai artistik, yaitu nilai yang dapat dimanifestasikan sebagai suatu seni atau ketrampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; c) nilai kultural, yaitu nilai


(1)

TANGGAPAN PENELITI (TP)

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Ponco Nugroho pada hari Senin, 17 Maret 2014, dapat diketahui bahwa tema dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer yaitu menggambarkan politik yang ada di Indoensia dari orde lama ke orde baru dan orde reformasi. Pendapatnya tersebut tidaklah berlebihan karena baginya hal-hal yang diungkapkan Pramudya dalam Arok Dedes sangat menyoroti pergantian pemerintahan dari Tunggul Ametung yang direbut oleh Ken Arok hal ini dikaitan dengan pergantian pemerintahan dari presiden Soekarno ke tangan presiden Soeharto.

Sedangkan untuk nilai pendidikan, Ponco Nugroho berpendapat ada beberapa hal antara lain: kepedulian dengan ketidakadilan di lingkungannya, setia pada kawan, saling menghormati, tegas, menghilangkan perbudakan, berjiwa satria. Balas budi .

Secara umum, Ponco Nugroho menilai bahwa novel Arok Dedes merupakan karya sastra yang penuh pembelajaran dalam arti luas. Pembaca tidak hanya sekedar diajak membaca karya sastra, tetapi juga diajak menengok sejarah bangsa Indonesia mengenai perpindahan dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto. Bagi Suwito, novel Arok Dedes banyak memuat amanat yang layak dijadikan bahan refleksi bagi pembaca.


(2)

Sinopsis

Arok Dedes

Karya Pramoedya Ananta Toer

Dikisahkan, berita tentang kecantikan seorang perempuan yang juga putri seorang Brahmana bernama Mpu Purwa, sampai ke telinga Tunggul Ametung. Tunggul Ametung lalu memerintahkan untuk menculiknya dan kemudian dinikahinya secara paksa. Perempuan itu adalah Dedes. Mpu Purwa yang tidak pernah mengakui kekuasaan Tunggul Ametung mengetahui anak gadisnya diculik marah dan bersumpah, bahwa Tungul Ametung akan mati terbunuh sedangkan dari rahim Dedes akan lahir orang-orang besar (raja).

Ametung berkuasa hanya karena keberanian dan kekejamannya, sesungguhnya ia adalah orang bodoh, tidak bisa membaca ataupun menulis. Ia seorang dari kelas sudra. Ia mewajibkan upeti kepada rakyatnya untuk kemudian sebagian ia serahkan pada Kediri. Dengan begitu kekuasaannya tetap terlindungi.

Pemerintahan Tunggul Ametung tidak membawa kemakmuran bagi rakyatnya, tetapi justru sebaliknya membawa penderitaan. Salah satu penyebabnya adalah tindakan para aparat pemerintahnya yang sewenang-wenang merampas tanah milik rakyat. Tindakan semena-mena seperti ini telah menimbulkan keresahan dan perlawanan rakyat di Tumapel.

Di tempat terpisah, hidup seorang pemuda bernama Arok. Dikisahkan, saat masih bayi Arok dibuang ibu kandungnya kemudian ditemukan dan dijadikan anak pungut oleh Ki Lembung. Suatu hari sepulang menggembala, Ki Lembung mendapati satu kambingnya hilang, ia marah dan Arok pun diusirnya. Arok tidak mengakui jika kambingnya itu ia berikan pada penduduk desa yang harta bendanya habis dirampok prajurit Tunggul Ametung. Kejadian itu pula yang membuatnya menyadari kekejaman penguasa Tumapel dan mulai tumbuhnya benih kebenciaan terhadap Tunggul Ametung. Arok kemudian bertemu dengan Bango Samparan dan dijadikan anak angkatnya, yang kemudian mengantarkannya untuk berguru pada seorang brahmana yatu Mpu Trantipala. Kecerdasan dan ketangkasanya telah memikat hati para brahmana. Mereka mempunyai satu

97


(3)

kesamaan: menginginkan Tunggul Ametung turun dari kekuasaannya. Arok pun

di nobatkan sebagai;’garuda harapan kaum brahmana.’

Dengan kepandaian yang dimiliki Arok berhasil menyatukan semua pemberontak yang menginginkan Tunggul Ametung turun dari kekuasaannya. Strategi pun dimulai untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Dengan koneksi yang dimiliki seorang brahmana bernama Lohgawe, Arok masuk dalam lingkungan kekuasaan Tunggul Ametung sebagai seorang prajurit. Karirnya dalam jajaran prajurit Tunggul Ametung melesat karena Arok selalu berhasil memadamkan setiap pemberontakkan. Padahal tak pernah ada pertempuran antara prajurit Arok dan pemberontak karena Arok lah yang mengatur dan membawahi pemberontakkan itu.

Kehadiran Arok dilingkungan penguasa Tumapel, dengan kepandaiannya dalam membaca dan menulis sansekerta menarik perhatiaan Dedes. Terlintas dipikirannya bahwa Arok (seorang brahmana muda cerdas) yang lebih pantas menjadi pendampingnya dan menjadi penguasa Tumapel,

Pada waktu yang bersamaan, Mpu Gandring, seorang pandai besi pembuat dan pemilik pabrik senjata di Tumapel, menyusun strategi lain untuk melakukan kudeta. Ia menghasut beberapa prajurit dibawah komando Kebo Ijo untuk berada dipihaknya dengan imbalan emas dan sebagian kekuasaan.

Rencana kudeta Arok yang didukung para Brahmana bukan semata menginginkan penguasa yang dinilai bijak dan baik, para brahmana menginginkan Arok mengembalikan kebesaran dewa Syiwa karena selama di bawah kekuasaan Tunggul Ametung, dewa Wisnu yang di agung-agungkan, dewa yang dianut kebanyakan kelas sudra. Jadi di sini ada kepentingan agama yang dipertaruhkan.

Mpu Purwa, Ayah Dedes, salah satu brahmana yang mendukung kudeta ini. Arok menyusup ke dalam pekuwuan Tumapel dengan menjadi prajurit atas bantuan dang Hyang Lohgawe dan bertemu dengan Dedes. Dalam pertemuan ini mereka memutuskan untuk bekerja sama menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Hal ini membuat Dedes, mau tidak mau, terlibat secara langsung dalam pembunuhan suaminya sendiri. Untuk menjatuhkan Tunggul Ametung. Kesadaran, bahwa ia sedang menempa maker, dirasakannya suatu hal yang sangat commit to user


(4)

besar dan tubuhnya kurang kuat menampung. Melintas wajah Mpu Parwa di hadapannya, ayah tercintanya ini mengangguk membenarkan. Kemudian melintas wajah Dang Hyang Lohgawe. Brahmana itu dilihatnya mengangguk membenarkan. Selama perencanaan kudeta Ken Dedes mulai terlibat secara langsung pada urusan istana. Sebelumnya ia mengurung diri sebagai bentuk rasa bencinya pada suaminya, Tunggul Ametung. Namun hatinya mulai bergejolak, bagaimana pun Tunggul Ametung adalah ayah dari bayi yang baru di kandungnya 2 bulan. Ia tidak menginginkan anaknya lahir tanpa seorang ayah. Di lain pihak, dukungannya terhadap pembunuhan suaminya berarti baktinya terhadap orang tua dan dewa Syiwa.

Ada Kelompok lain akan menggulingkan Tunggul Ametung adalah kelompok yang dipimpin oleh Yang Suci Belakangka. Kelompok ini ingin menempatkan kekuasaan Kediri langsung di Tumapel. Caranya dengan menggulingka kekuasaan Tunggul Ametung dan mengangkat keluarga Sri Baginda sebagai penguasa di Tumapel.

“Belakangka merasa puas dapat menggengam pasukan kuda Tumapel di

dalam kekuasaan Kediri. Dalam waktu belakangan ini utusan-utusanya tak pernah mengalami gangguan atau hilang di tengah jalan. Ia selalu perintahakan utusan menempuh jalan utara yang bercabang-cabang , sehingga pencegatan dan penyusulan lebih mudah dapat dihindari, kecuali bila benar-benar kepergok.

Ia telah berhasil melumpuhkan sag pati dan para menteri. Mereka tinggal menjadi boneka-boneka yang patuh.

Ia telah mengisyaratkan pada Kediri agar sudra terkuat yang seorang satria dan bahwa waktu untuk itu telah hamper selesai. Bila kerusuhan-kerusuhan telah dapat dipadamkan, Tunggul Ametung sudah akan sangat lelah, dan keluarga sri Baginda dengan mudah akan dapatdi tempatkan di Tumapel

Runtuhnya kekuasaan Tunggul Ametung di Tumapel akibat perlawanan rakyat yang diwujudkan dengan mobilisasi kekuatan rakyat bersenjata ke pusat pemerintahan Tumapel di Kutaraja. Perlawanan ini di pimpin oleh seorang lelaki bernama Arok.


(5)

Kini mereka mulai mengetahui, benar-benar pasukan besar Arok sudah datang menerjang kota dari tiga jurusan. Tak ada tempat yang mereka gunakan untuk berlindung. Asrama yang pada mula mereka gunakan untuk berkumpul, kini mereka tinggalkan lagi dalam keadaan bingung tanpa perwira tanpa tamtama. Mereka hanya bisa mengangkuti harta benda paling berharga, membela diri secara perorangan danmelarikan diri ke arah timur. Daerah hutan belantara yang belum terjamah manusia.

Gelombang dari luar kota menguasai Kutaraja setapak demi setapak, meninggalkan prajurit-prajurit Tumapel bergelmpangan, dan mendesak terus Tunggul Ametung di Tumapel. Gedung pekuwuan terkepung rapat dengan tombak. Sorak parau makin menderu-deru, menggetarkan para tamtama yang kebingungan menunggu di pendopo. Kemudian orang melihat Kebo Ijo keluar dari bilik dengan pedang berlumuran darah.

Paramesywari didampingi oleh Arok dan dikawal oleh regu besar bertobak naik dari depan ke pendopo. Orang bersorak menyambut.

Pada akhirnya, ambisi Ken Arok tercapai. Tunggul Ametung dengan sebuah keris buatan Mpu Gandring miliknya yang selama ini ia titipkan pada Kebo Ijo. Istana gempar, kesempatan itu digunakan Arok untuk membunuh Kebo Ijo yang dituduh membunuh Tunggul Ametung. Dengan meninggalnya Tunggul Ametung Arok menjadi penguasa Tumapel beristrikan Ken Dedes. Dan Lohgawe pun memberikan gelar Ken yang digunakan di depan namanya. Sebelumnya Arok telah menikah dengan seorang perempuan bernama Umang.


(6)