BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Sampel
Karakteristik sampel penelitian ini pada kelompok I sampel yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah enam orang 54,5 dan sampel yang berjenis
kelamin perempuan berjumlah lima orang 45,5, dengan total jumlah sampel sebanyak 11 orang 100. Pada kelompok II terdapat 7 sampel yang berjenis
kelamin laki-laki 63,6 dan empat sampel yang berjenis kelamin perempuan 36,4 dengan jumlah keseluruhan sampel 11 orang 100, dengan
keseluruhan sampel berjumlah 22 orang. Jumlah sampel yang berjenis kelamin laki-laki lebih sedikit pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok
perlakuan, namun sebaliknya jumlah sampel yang bejenis kelamin perempuan lebih banyak pada kelompok kontrol dibandingan dengan kelompok perlakuan.
Perbedaan tersebut tidaklah bermakna karena setelah dilakukan uji
Chi Square
didapatkan nilai p = 0,863 p 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada karakteristik jenis kelamin laki-laki dan perempuan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dewi 2014 menyatakan bahwa laki- laki dan perempuan memiliki resiko untuk menderita hipertensi. Pada usia 45-55
tahun resiko menderita hipertensi pada pria dan wanita relatif sama. Karakteristik usia sampel pada penelitian ini, pada kelompok I memiliki
rerata umur 49,75 dengan standar deviasi 1,765. Usia termuda pada kelompok I adalah 47 tahun dan usia tertua adalah 53 tahun. Pada kelompok II memiliki rerata
usia 49,83 dengan standar deviasi 1,267. Usia termuda pada kelompok II adalah 48 tahun dan usia tertua adalah 52 tahun. Usia sampel pada penelitian ini sudah
sesuai dengan kriteria inklusi yaitu sampel berusia kurang dari 60 tahun. Hasil uji
Mann-Whitney U Test
didapatkan nilai p = 0,814 p 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada karakteristik usia antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Black Hawk 2005 bahwa hipertensi primer muncul antara usia 30-50 tahun.
Karakteristik sampel berdasarkan obat antihipertensi yang dikonsumsi oleh sampel dibagi ke dalam dua golongan. Pada kelompok I, sampel yang
mengkonsumsi obat antihipertensi golongan
Calcium Channel Blocker
berjumlah enam orang 54,5 dan sampel yang mengkonsumsi obat antihipertensi
golongan
ACE inhibitor
berjumlah enam orang 45,5, dengan total jumlah sampel sebanyak 11 orang 100. Pada kelompok II, sampel yang
mengkonsumsi obat antihipertensi golongan
Calcium Channel Blocker
berjumlah enam orang 45,5 dan sampel yang mengkonsumsi obat antihipertensi
golongan
ACE inhibitor
berjumlah enam orang 54,5, dengan total jumlah sampel sebanyak 11 orang 100, sehingga jumlah keseluruhan sampel pada
kelompok I dan kelompok II berjumlah 22 orang. Hasil uji
Chi Square
didapatkan nilai p = 1,000 p 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada
karakteristik obat antihipertensi yang dikonsumsi sampel antara kelompok I dan kelompok II. Berdasarkan pernyataan yang dicantumkan oleh Hamarno tahun
2010 dalam penelitiannya yaitu sebagian besar sampel hipertensi derajat I dan tidak disertai dengan penyakit penyerta seperti diabetes militus, gagal jantung dan
gagal ginjal mendapatkan terapi obat-obatan antihipertensi tunggal. Obat hipertensi golongan ACE
Inhibitor
menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga mengganggu sistem
renin angiotensin aldosteron
RAA. Aktivitas renin plasma meningkat, kadar angiotensin II dan aldosteron menurun,
volume cairan menurun dan terjadi vasodilatasi. Obat hipertensi golongan
Calcium Channel Blocker
CCB menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel melalui
channel-L.
CCN dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu non- dihidropiridin dan dihidropiridin. Golongan non-dihidropiridin mempengaruhi
sistem konduksi jantung dan cenderung melambatkan denyut jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan penurunan resistensi perifer
sedangkan golongan dihidropiridin terutama bekerja pada arteri Aziza, 2008. Karakteristik tekanan darah sebelum
pre test
, diperoleh rata-rata tekanan darah sistolik pada kelompok I adalah
143,14 dengan standar deviasi 1,37 dan diastolik
92,47 dengan standar deviasi 0,79, sedangkan rata-rata tekanan darah sistolik pada kelompok II adalah 142,82 dengan standar deviasi 1,65 dan diastolik
91,58 dengan standar deviasi 0,96. Hal ini sesuai dengan kriteria inklusi penelitian dan sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tekanan darah tinggi memiliki
tekanan darah sistolik mulai dari 140 mmHg keatas dan tekanan darah diastolik mulai dari 90 mmHg keatas
American Heart Association, 2012
. Devine 2012 menyatakan bahwa seseorang yang termasuk dalam hipertensi derajat I jika nilai
tekanan darah sistilok 140-159 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-99mmHg.
6.2
Progressive Muscle Relaxation
efektif menurunkan tekanan darah pada hipertensi derajat I
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan perlakuan
progressive muscle relaxation
pada kelompok I, diketahui
mean
sebelum perlakuan pada tekanan darah sistolik adalah 143,14 dengan standar deviasi adalah 1,37 dan
mean
sesudah perlakuan adalah 132,36 dengan standar deviasi adalah 1,14.
Mean
sebelum perlakuan pada tekanan darah diastolik adalah 92,47 dengan standar deviasi adalah 0,79 dan
mean
sesudah perlakuan adalah 85,25 dengan standar deviasi adalah 0,81.
Berdasarkan hasil uji statistik
Wilcoxon Signed Rank Test
untuk data tekanan darah sistolik dan diastolik pada kelompok I yang diberikan
progressive muscle relaxation
, didapatkan nilai p = 0,002 p 0,05 untuk tekanan darah sistolik dan nilai p = 0,002 p 0,05 untuk tekanan darah diastolik. Hal tersebut
menunjukkan terdapat penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang bermakna antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan
progressive muscle relaxation
. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara
stres dengan peningkatan tekanan darah. Seperti yang dikatakan oleh
British Heart Foundation 2013
,” Tekanan darah juga bisa menjadi tinggi sementara jika cemas atau di bawah tekanan”. Stres merupakan keadaan internal yang tertekan
baik secara fisik maupun psikologis terhadap tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan yang membahayakan. Stres, secara fisiologis akan mengendalikan
sistem neuroendrokrin yaitu sistem simpatis dan sistem kosteks adrenal melalui
aktifasi hipotalamus. Sistem saraf simpatis memberikan respon terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos
yang berada di bawah pengendaliannya, salah satunya adalah meningkatkan kecepatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula
adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah Sherwood, 2010. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Dewi 2014 yang menyatakan
bahwa stimulasi aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan mempengaruhi perubahan tekanan
darah menjadi meningkat secara tidak menentu. Shinde,
et al
., 2013 dalam penelitiannya yang berjudul
“ Immediate Effect of Jacobson’s Progressive Muscle Relaxation in Hypertension”
menyatakan bahwa teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan
total peripheral resistance
dengan cara menghambat respon stres saraf simpatis. Terjadinya relaksasi berpengaruh terhadap penurunan kadar norepinefrin dalam
tubuh. Menurut Black Hawk 2005 juga berpendapat bahwa relaksasi juga akan mengakibatkan regangan pada arteri akibatnya terjadi vasodilatasi pada arteri
vena difasilitasi oleh pusat vasomotor, ada beberapa macam vasomotor yang salah satunya adalah reflek baroreseptor. Reflek baroreseptor saat relaksasi akan
menurunkan aktifitas saraf simpatis dan epinefrin serta peningkatan saraf
parasimpatis sehingga kecepatan denyut jantung menurun, volume sekuncup menurun, serta terjadi vasodilatasi arteriol dan venula. Selain itu curah jantung,
resistensi perifer total juga menurun sehingga tekanan darah turun.
6.3
Slow Deep Breathing Exercise
efektif menurunkan tekanan darah pada hipertensi derajat I
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada awal
pre-test
dan akhir
post-test
penelitian pada kelompok II yang diberikan perlakuan
slow deep breathing.
Pertama-tama dilakukan pengukuran tekanan darah awal
pre-test
, yang diikuti oleh pengukuran tekanan darah akhir
post-test
dua puluh menit kemudian. Diketahui
mean
awal pada tekanan darah sistolik adalah 142,82 dengan standar deviasi 1,65 dan
mean
pengukuran akhir adalah 137,19 dengan standar deviasi 1,60.
Mean
awal pada tekanan darah diastolik adalah 91,58 dengan standar deviasi 0,96 dan
mean
akhir adalah 86,70 dengan standar deviasi 0,87. Berdasarkan hasil uji statistik
Paired Sample T-test
untuk data tekanan darah sistolik dan uji statistik
Wilcoxon Sign Rank Test
untuk data tekanan darah diastolik, diperoleh nilai p = 0,005 untuk tekanan darah sistolik dan nilai p =
0,002 untuk tekanan darah diastolik, yang berarti ada penurunan tekanan darah yang bermakna pada kelompok II yang diberikan perlakuan
slow deep breathing.
Pada penelitian ini terjadi penurunan tekanan darah yang bermakna pada kelompok II. Pengaruh ini karena pemberian
slow deep breathing exercise
mampu meningkatkan sensitivitas refleks baroreseptor dengan menurunkan aktivitas
sistem saraf simpatis, meningkatkan aktivitas sistem saraf parasimpatis, dan mengaktivasi k
emoreseptor
sebagai reseptor saraf kimia khusus yang sangat peka terhadap perubahan kadar oksigen, berperan mendeteksi perubahan oksigen dalam
darah dengan mentransmisikan sinyal saraf ke pusat pernapasan di medula oblongata. Reseptor ini juga berfungsi menyampaikan impuls eksitatorik ke pusat
kardiovaskuler yang memberikan sinyal menurunkan kerja saraf simpatis dan meningkatkan kerja saraf parasimpatis sehingga berdampak pada penurunan curah
jantung dan penurunan tahanan perifer dan mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan darah.
Slow deep breathing exercise
juga memberikan efek rileksasi bagi tubuh sehingga mengaktivasi kerja sistem saraf otonom untuk mengeluarkan
neurotransmitter berupa endorphin yang berdampak terhadap penurunan tekanan darah melalui penurunan kerja saraf simpatis dan peningkatan kerja saraf
parasimpatis. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sepdianto 2008,
didapatkan bahwa
slow deep breathing exercise
dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 18,18 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 8,89 mmHg.
Penelitian ini serupa dengan penelitian Manzoni,
et al.
2008 yang menunjukkan rata-rata penurunan tekanan darah sistolik 18,178±7,32 mmHg
dan penurunan tekanan darah diastolik 8,892±2,80 mmHg.
6.4 Efektivitas