Rumusan Masalah Stres dan Hipertensi

meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak menurunkan aktivitas tubuh sehingga dapat menurunkan aktivitas metabolik Velkumary dan Madanmohan, 2004. Hal ini yang mendasari penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang Perbedaan Efektivitas Progressive Muscle Relaxation Dengan Slow Deep Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Derajat I.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang disampaikan sebagai berikut: 1. Apakah Progressive Muscle Relaxation efektif menurunkan tekanan darah pada hipertensi derajat I? 2. Apakah Slow Deep Breathing Exercise efektif menurun kan tekanan darah pada hipertensi derajat I? 3. Apakah ada perbedaan Efektivitas Progressive Muscle Relaxation Dengan Slow Deep Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Derajat I?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran umum mengenai Efektivitas Progressive Muscle Relaxation , Slow Deep Breathing Exercise terhadap penurunan tekanan darah.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk membuktikan apakah Progressive Muscle Relaxation efektifmenurunkan tekanan darah pada hipertensi derajat I. 2. Untuk membuktikan apakah Slow Deep Breathing Exercise efektif menurunkan tekanan darah pada hipertensi derajat I. 3. Untuk membuktikan Apakah ada perbedaan efektivitas Progressive Muscle Relaxation Dengan Slow Deep Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Derajat I.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Keilmuan

1. Mengetahui dan memahami tentang proses terjadinya hipertensi dan peranan tindakan fisioterapi dalam penatalaksanaan non- farmakologis hipertensi derajat I. 2. Membuktikan adakah perbedaan efektivitas Progressive Muscle Relaxation Dengan Slow Deep Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Derajat I.

1.4.2 Institusi Pendidikan

1. Digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan membahas hal yang sama. 2. Menambah khasanah ilmu dalam dunia pendidikan pada umumnya dan fisioterapi pada khususnya.

1.4.3 Praktisi

Dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan tindakan fisioterapi dalam menurunkan tekanan darah pada hipertensiderajat I, secara non- farmakologis. BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tekanan Darah

2.1.1 Definisi

Tekanan darah adalah kekuatan darah untuk menekan dinding pembuluh darahAmerican Heart Association, 2012. Tekanan darah juga didefinisikan sebagai kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah yang didorong dengan tekanan dari jantung Potter dan Perry, 2005.Saat jantung berdetak terjadi kontraksi pada otot jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh. Tekanan tertinggi saat ventrikel berkontraksi disebut dengan tekanan darah sistolik dan tekanan darah saat jantung beristirahat disebut dengan tekanan darah diastolik Ariyani, 2011. Tekanan sistolik dan diastolik inilah yang diukur ketika memeriksa tekanan darah.Tekanan sistolik dan diastolik bervariasi untuk tiap individu, namun menurut Divine 2012 tekanan darah orang dewasa diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: Tabel 2. 1 Klasifikasi tekanan darahDivine, 2012 Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik mmHg Tekanan darah sistolik mmHg Optimal 120 80 Normal 130 85 Prahipertensi 130-139 85-89 Hipertensi tahap I 140-159 90-99 Hipertensi tahap II 160-179 100-109 Hipertensi tahap III 180 110

2.1.2 Fisiologi Tekanan Darah

Aliran darah mengalir pada sistem sirkulasi karena perubahan tekanan dari daerah yang tekanannya tinggi ke daerah yang tekanannya rendah. Tekanan darah dinyatakan dalam millimeter air raksa mmHg karena manometer air raksa merupakan rujukan baku untuk pengukuran tekanan darah Guyton Hall, 2008. Tekanan darah menggambarkan interelasi dari curah jantung, tahanan vaskuler perifer, volume darah dan elastisitas arteri Hamarno, 2010. Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa oleh tiap ventrikel per menit dan dipengaruhi oleh volume sekuncup volume darah yang di pompa ventrikel per detik dan frekuensi jantung. Tekanan darah tergantung pada curah jantung dan tahanan vaskuler perifer. Jika curah jantung meningkat, darah yang dipompakan terhadap dinding arteri lebih banyak dan menyebabkan tekanan darah naik. Curah jantung dapat meningkat sebagai akibat dari peningkatan frekuensi jantung, kontraktilitas yang lebih besar dari otot jantung atau peningkatan volume darah Hamarno, 2010. Resistensi merupakan ukuran hambatan terhadap aliran darah melalui suatu pembuluh yang ditimbulkan oleh suatu friksi antara cairan yang mengalir dan dinding pembuluh darah yang stasioner. Sirkulasi darah melalui jalur arteri, arteriol, kapiler, venula dan vena. Ukuran arteri dan arteriol dapat berubah untuk mengatur aliran darah bagi kebutuhan jaringan lokal. Tonus otot vaskuler dan diameter pembuluh darah dapat mempengaruhi tahanan pembuluh darah perifer. Semakin kecil lumen pembuluh darah maka semakin besar tahanan vaskuler terhadap aliran darah.Resistensi tergantung pada tiga faktor yaitu viskositas kekentalan darah, panjang pembuluh dan diameter pembuluh darah Guyton Hall, 2008.

2.1.3 Mekanisme Reflex Untuk Mempertahankan Tekanan Arteri Normal

Sistem saraf mengontrol tekanan darah dengan mempengaruhi tahanan pembuluh darah. Kontrol ini bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang spesifik, dan mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat dengan mempengaruhi diameter pembuluh darah. Umumnya kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah melibatkan baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat otak tertinggi hipotalamus dan serebrum Mayuni, 2013. Sistem pengaturan tekanan arteri oleh baroreseptor dimulai oleh reseptor regang yang disebut baroreseptor presoreseptor yang terletak secara spesifik pada dinding beberapa arteri sistemik besar. Hampir semua arteri besar di daerah toraks dan leher terdapat sejumlah kecil baroreseptor. Baroreseptor sangat banyak terdapat di dalam dinding arkus aorta dan dinding setiap arteri karotis interna yang terletak sedikit diatas bifurkasio karotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotis. Sinyal dari baroreseptor karotis dijalarkan melalui saraf hering menuju saraf glosovaringeus dan kemudian ke traktus solitarius di daerah batang otak. Sinyal dari baroreseptor aorta, di arkus aorta dijalarkan melalui saraf vagus menuju traktus solitarius yang sama di medula. Baroreseptor lebih banyak merespon terhadap tekanan yang berubah cepat daripada tekanan yang menetap Guyton Hall, 2008. Gambar 2. 1 Sistem baroreseptor untuk mengendalikan tekanan arteri Sumber: Guyton Hall, 2008 Setelah sinyal baroreseptor memasuki traktus solitarius medula, sinyal sekunder menghambat vasokonstriktor di medula dan merangsang pusat parasimpatis vagus dengan efek vasodilatasi vena dan arteriol di seluruh sistem sirkulasi perifer serta berkurangnya frekuensi denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung. Jadi perangsangan baroreseptor akibat tekanan tinggi di dalam arteri secara refleks menyebabkan penurunan tekanan arteri akibat penurunan tahanan perifer dan penurunan curah jantung Guyton Hall, 2008. Sistem pengaturan tekanan arteri oleh vasomotor, bagian lateral dari pusat vasomotor mengirimkan impuls eksitasi melalui serabut saraf simpatis ke jantung bila tubuh perlu untuk menaikkan frekuensi serta kontraktilitas jantung. Sedangkan bila tubuh perlu untuk menurunkan pompa jantung, maka medial pusat vasomotor mengirimkan sinyal ke nucleus motoric dorsalis nervus vagus yang kemudian mengirimkan impuls parasimpatis melalui nervus vagus ke jantung untuk menurunkan frekuensi dan kontraktiltas jantung. Oleh karena itu pusat vasomotor dapat meningkatkan atau menurunkan aktivitas jantung. Frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung biasanya meningkat saat terjadi vasikontriksi dan biasanya menurun pada saat vasokontriksi dihambat Guyton Hall, 2008. Gambar 2. 2 Area di otak yang berperan penting dalam pengaturan sirkulasi oleh saraf. Sumber: Guyton Hall, 2008

2.1.4 Pengukuran Tekanan Darah

Alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah adalah sphygmomanometer . Sphygmomanometer ada tiga jenis, ada yang jenis air raksa, aneroid dan jenis digital. Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter air raksa mmHg Palmer, 2007. Tekanan darah diukur dan dicatat dengan menggunakan tekanan sistolik dan diastolik dari pasien. Mengukur tekanan darah sangat penting dilakukan sebelum, pada saat latihan dan sesudah memberikan latihan kepada pasien untuk melihat adanya respon dari latihan yang diberikan Lippincott Wilkins, 2009. Posisi saat melakukan pengukuran tekanan darah adalah punggung dan kaki pasien harus didukung, kaki tidak menyilang, dan kaki bertumpu pada permukaan yang keras. Lengan yang akan diukur harus dibebaskan dari pakaian atau dilonggarkan agar tidak mengganggu aliran darah dan posisi manset sejajar dengan jantung. Manometer ditaruh sejajar di tingkat mata praktisi kesehatan yang melakukan pengukuran. Penempatan manset harus ditempatkan pada lengan yang bebas dari pakaian dan kira-kira 2 cm diatas lipatan siku, dengan garis tengah kantong diatas arteri brakialis. Pemasangan harus pas tetapi tetap memungkinkan 2 jari untuk masuk di bawah manset Adhitya, 2014. Untuk menghindari suara asing selama deflasi manset, pastikan bahwa stetoskop tidak bersentuhan dengan pakaian pasien atau dengan manset tekanan darah dan tempatkan bel stetoskop di atas arteri brakialis, menggunakan tekanan yang cukup untuk menyediakan transmisi suara yang bagus tanpa terlalu mengompresi arteri. Setelah tekanan nadi-obliterasi ditentukan, memulai auskultasi pengukuran tekanan darah dengan cepat menggembungkan manset ke tingkat 20 sampai 30 mmHg di atas tekanan nadi-obliterasi. Kemudian menurunkan manset pada tingkat 2 mmHg per detik dibarengi mendengarkan suara korotkoff. Saat manset mengempis, aliran darah bergejolak melalui arteri brakialis menghasilkan serangkaian suaraLippincott Wilkins, 2009. Ada 5 fase untuk menentukan dan mencatat tekanan darah, tahap pertama ditandai dengan jelas, suara ketukan yang berulang, bertepatan dengan kemunculan denyut nadi yang diraba. Kemunculan awal suara fase pertama sama dengan tekanan darah sistolik. Selama fase kedua, murmur terdengar dalam sadapan yang telah terdengar. Fase ketiga dan keempat, perubahan diredam saat ketukan suara sedang berlangsung biasanya dalam 10 mmHg dari tekanan diastolik yang sebenarnya sebagai pengukuran tekanan mendekati tekanan diastolik. Fase kelima benar-benar tidak ada sebuah suara, ini menunjukkan hilangnya suara dan sama dengan tekanan darah diastolik. Untuk memastikan diastole yang telah tercapai, kempiskan tekanan manset dengan tambahan 10 mmHg melampaui korotkoff suara kelima. Lakukan minimal dua pengukuran tekanan darah pada interval minimal 1 menit. Catat rata-rata pengukuran sebagai tekanan darah Lippincott Wilkins, 2009. Ada 5 fase untuk menentukan dan mencatat tekanan darah, tahap pertama ditandai dengan jelas, suara ketukan yang berulang, bertepatan dengan kemunculan denyut nadi yang diraba. Kemunculan awal suara fase pertama sama dengan tekanan darah sistolik. Selama fase kedua, murmur terdengar dalam sadapan yang telah terdengar. Fase ketiga dan keempat, perubahan diredam saat ketukan suara sedang berlangsung biasanya dalam 10 mmHg dari tekanan diastolik yang sebenarnya sebagai pengukuran tekanan mendekati tekanan diastolik. Fase kelima benar-benar tidak ada sebuah suara, ini menunjukkan hilangnya suara dan sama dengan tekanan darah diastolik. Untuk memastikan diastole yang telah tercapai, kempiskan tekanan manset dengan tambahan 10 mmHg melampaui korotkoff suara kelima. Lakukan minimal dua pengukuran tekanan darah pada interval minimal 1 menit. Catat rata-rata pengukuran sebagai tekanan darah Lippincott Wilkins, 2009.

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi

Hipertensi lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi. Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik pada tingkat 140 mmHg atau lebih tinggi dan tekanan darah diastolik pada tingkat 90 mmHg atau lebih tinggi yang didasarkan dari rata-rata 2 atau lebih pengukuran dalam waktu yang berkalaLeMone Burke, 2008. Tekanan darah orang dewasa di klasifikasikan kedalam beberapa tingkatan, yaitu : 1 optimal dengan tekanan darah sistolik 120 dan diastolik 80, 2 normal dengan tekanan darah sistolik 130 dan diastolik 85, 3 prahipertensi dengan tekanan darah sistolik 130-139 dan diastolik 85-89, 4 hipertensi tahap I dengan tekanan darah sistolik 140-159 dan diastolik 90-99, 5 hipertensi tahap II dengan tekanan darah sistolik 160-179 dan diastolik 100-109, 6 hipertensi tahap III dengan tekanan darah sistolik 180 dan diastolik 110 Divine, 2012.

2.2.2 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua jenis yaitu Cahyani, 2014: 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer, merupakan hipertensi yang penyebabnya tidak jelas. Sekitar 90 penderita hipertensi termasuk kedalam hipertensi esensial. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebabnya bersifat multi faktor, yang terdiri dari genetik dan lingkungan. Faktor genetik sangat mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan yaitu diet, kebiasaan merokok, stres emosi, obesitas dan lain-lain. 2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi dengan penyebab yang diketahui. Sekitar 5-10 penderita hipertensi mengalami hipertensi sekunder yang penyebabnya adalah penyakit ginjal dan sekitar 1-2 penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu. Penyebab hipertensi sekunder lainnya adalah feokromositoma yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin dan noreprinefrin, namun kasus ini jarang ditemukan.

2.2.3 Patofisiologi

Curah jantung dan resisten perifer total merupakan penentu utama tekanan darah arteri rata-rata. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa tiap-tiap ventrikel per menit. Curah jantung dipengaruhi oleh dua faktor penentu yaitu kecepatan denyut jantung denyut per menit dan volume sekuncup volume darah yang dipompa per denyutHaryati, 2011. Mekanisme yang mengontrol kontraksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor pada medula batang otak. Bermula dari jaras saraf simpatis di pusat vasomotor ini, kemudian berlanjut ke bawah ke medula spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Serat saraf simpatis mempersarafi otot polos arteriol di seluruh tubuh, kecuali di otak. Noradrenalin yang dikeluarkan dari ujung-ujung saraf simpatis berikatan dengan reseptor adrenergik α di otot polos vaskuler sehingga menimbulkan vasokonstriksi. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan juga dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor. Saat bersamaan sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi dan kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi beberapa hormon seperti adrenalin dan noradrenalin yg secara ekstrinsik juga turut mempengaruhi diameter arteriol dengan memperkuat sistem saraf simpatis di sebagian besar jaringanCahyani, 2014. Gambar 2. 3 Persarafan simpatis pada sirkulasi sistemik Sumber: Guyton Hall, 2008 Secara khusus, adrenalin selain berikatan dengan reseptor α, juga berikatan dengan reseptor β2 yang terdapat di arteriol jantung dan otot rangka. Pengaktifan reseptor β2 menimbulkan vasodilatasi. Selama aktivitas simpatis, adrenalin yang dikeluarkan berikatan dengan reseptor β2 di jantung dan otot rangka untuk memperkuat mekanisme vasodilator lokal di jaringan-jaringan ini, sementara arteriol di tempat lain seperti saluran pencernaan dan ginjal yang hanya dilengkapi oleh reseptor α, tidak berespons terhadap adrenalin. Dengan demikian, arteriol di organ-organ ini, yang hanya dipengaruhi oleh noradrenalin dari sistem saraf simpatis, mengalami vasokonstriksi yang lebih kuat daripada pembuluh di jantung dan otot rangkaHaryati, 2011.Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensis I yang kemudian diubah menjadi angiotensis II, suatu vasokonstriktor kuat yang pada akhirnya akan merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini yang menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan volume intavaskular. Semua faktor tersebut cenderung nyebabkan keadaan hipertensi Cahyani, 2014.

2.2.4 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi LeMone Burke, 2008 a. Riwayat Keluarga Hipertensi dihasilkan dari banyak gen dan faktor dalam seseorang dalam suatu keluarga yang menderita hipertensi. Faktor genetik membuat keluarga menderita hipertensi berkaitan dengan peningkatan jumlah sodium di intraseluler dan penurunan rasio potasium dan sodium. Pasien dengan kedua orangtuanya menderita hipertensi lebih besar risikonya terjadi pada usia muda. b. Usia Hipertensi pada umumnya muncul antara usia 30-50 tahun. Angka kejadian meningkat pada usia 50-60 tahun. Studi epidemiologi menyatakan prognosis lebih buruk apabila pasien menderita hipertensi pada usia muda. c. Jenis Kelamin Secara umum, angka kejadian hipertensi lebih tinggi pada laki-laki dari pada wanita sampai usia 55 tahun, namun perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan risiko wanita untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi Miller, 2010. Risiko kejadian hipertensi antara usia 55-74 tahun hampir sama, setelah usia 74 tahun wanita lebih besar resikonya. d. Etnik Angka kematian pada hipertensi orang dewasa, berturut-turut terjadi paling rendah pada wanita kulit putih yaitu 4,7, pria kulit putih 6,3, pria kulit hitam 22,5, dan yang paling tinggi adalah wanita kulit hitam yaitu 29,3. Alasan peningkatan pada wanita berkulit hitam itu tidak jelas, tetapi peningkatan ini didukung oleh tanda jumlah rennin yang lebih rendah, sensitivitas vasopresin lebih tinggi, pemasukan garam lebih tinggi dan stres lingkungan yang lebih tinggi. 2. Faktor yang dapat dimodifikasi LeMone Burke, 2008: a. Stres Faktor lingkungan, tipe personal dan fenomena fisik dapat menyebabkan stres. Stres meningkatkan tahanan vaskuler perifer, cardiac output dan merangsang aktivitas sistem saraf simpatis, selanjutnya hipertensi dapat terjadi. Bila stres sering terjadi dan berkelanjutan dapat menyebabkan hipertropi otot polos vaskuler dan mempengaruhi koordinasi pusat di otak. b. Kegemukan Hipertensi dan obesitas memiliki hubungan yang erat. 50 individu dengan obesitas mengalami peningkatan tekanan darah. Mekanisme terjadinya hipertensi pada kasus obesitas belum sepenuhnya dipahami, tetapi telah diketahui bahwa pada orang yang mengalami obesitas terdapat peningkatan volume plasma dan curah jantung yang akan meningkatkan tekanan darah Angraini, 2014.Indeks masa tubuh IMT yang normal adalah 18,5-24,9 kgm 2 . Penurunan berat badan 10 kg dapat menurunkan tekanan darah sistolik 5-20 mmHg. c. Zat Makanan Mengkonsumsi asupan tinggi sodium dapat menjadi fakrot penting terjadinya hipertensi. Diet tinggi garam mungkin merangsang pengeluaran hormon natriuretik yang secara tidak langsung meningkatkan tekanan darah. Muatan sodium juga merangsang mekanisme vasopresor dalam sistem saraf pusat. d. Penyalahgunaan Zat Merokok, mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, penggunaan obat terlarang merupakan faktor terjadinya hipertensi. Nikotin dan obat- obatan seperti kokain dapat menyebabkan tekanan darah meningkat segera dan menjadi ketergantungan sehingga dapat menyebabkan hipertensi dilain waktu. Angka kejadian hipertensi lebih tinggi pada pasien yang minum lebih dari 30 cc etanol setiap hari.

2.2.5 Manifestasi Klinik

Tidak ada manifestasi klinik yang dirasakan oleh pasien pada tahap awal perkembangan hipertensi. Kadang-kadang tekanan darah akan naik dan jika tidak dilakukan pemeriksaan dengan rutin, maka pasien tidak sadar tekanan darahnya meningkat. Jika hal tersebut tidak terdiagnosa maka tekanan darah akan meningkat terus menerus dan muncul manifestasi klinik. Pasien akan melaporkan keluhan seperti nyeri kepala yang menetap, kelelahan, pusing, berdebar-debar dan penglihatan kabrur Black Hawk, 2005. Dapat pula terjadi perubahan retina akibat perdarahan dan eksudat, penyempitan arteri dan infark kecil sampai terjadi edema pupil pada hipertensi yang berat. Penyakit arteri koronaria seperti angina pectoris dan infark myokard juga dapat terjadi sebagai konsekuensi adanya hipertensi. Hopertropi ventrikel kiri juga dapat terjadi sebagai akibat peningkatan kerja ventrikel melawan tekanan sistemik yang meningkat, gagal jantung, kerusakan ginjal dan gangguan vaskuler di otak juga dapat terjadi Hamarno, 2010.

2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hipertensi bertujuan untuk mengembalikan tekanan darah agar mendekati normal dan meningkatkan kualitas hidup penderita hipertensi. Penatalaksanaan hipertensi meliputi terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. 1. Terapi farmakologis Terapi farmakologi yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretik, beta blocker , calcium channel blocker , Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor ACEI, Angiotensin II Receptor Blocker ARB Aziza, 2008. a. Diuretik Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorpsi Natrium Chlorida NaCl di tubulus ginjal. Penurunan awal curah jantung karena penurunan volume plasma dan volume cairan ekstra seluler. b. Penghambat Adrenergic Penghambat adrenergic merupakan sekelompok obat yang terdiri dari alfa-blocker, beta blocker, dan alfa-beta-blocker . Beta-blocker bekerja dengan menurunkan denyut jantungdengan menurunkan curah jantung dan kontraktilitas otot jantung, menghambat pelepasan renin ginjal dan meningkatkan sensitifitas barorefleks. Sedangkan alfa-blocker bekerja menurunkan aliran balik vena tetapi tidak menyebabkan takikardi. Curah jantung tetap atau meningkat dan volume plasma biasanya tidak berubah. Karena efek antihipertensi alfa-blocker didasarkan pada vasodilatasi arteriol perifer maka lebih efektif pada pasien dengan aktivitas simpatis kuat. c. ACE Inhibitor Obat ini menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga mengganggu sistem renin angiotensin aldosteron RAA. Aktivitas renin plasma meningkat, kadar angiotensin II dan aldosteron menurun, volume cairan menurun dan terjadi vasodilatasi. d. Calcium Channel Blocker CCB CCB menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel melalui channel-L. CCN dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu non- dihidropiridin dan dihidropiridin. Golongan non-dihidropiridin mempengaruhi sistem konduksi jantung dan cenderung melambatkan denyut jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan penurunan resistensi perifer sedangkan golongan dihidropiridin terutama bekerja pada arteri. e. Angiotensin Receptor Blocker ARB ARB bekerja seperti ACE-I, yaitu mengganggu sistem RAA. Golongan ini menghambat ikatan angiotensin II pada salah satu reseptornya. ARB lebih aman dan tolerable dibandingkan ACE-I. 2. Terapi nonfarmakologis Dengan pola hidup yang sehat penting untuk mencegah dan mengembalikan tekanan darah agar tetap normal yang merupakan bagian dari tatalaksana hipertensi. Beberapa modifikasi pola hidup yang disarankan untuk dijadikan terapi secara definitif digaris pertama sekurang-kurangnya 6-12 bulan setelah diagnosis awal adalahLeMone Burke, 2008: a. Penurunan berat badan Hipertensi dan obesitas memiliki hubungan yang erat. 50 individu dengan obesitas mengalami peningkatan tekanan darah. Indeks masa tubuh IMT yang normal adalah 18,5-24,9 kgm2. Penurunan berat badan 10 kg daapt menurunkan tekanan darah sistolik 5-20 mmHg. Maka dari itu manajemen berat badan sangat penting dalam mengontrol tekanan darah. b. Modifikasi diet lemak dan sodium Diet lemak dapat menurunkan lemak jenuh dan meningkatkan lemak tak jenuh sehingga memberikan dampak penurunan tekanan darah tetapi juga menurunkan tingkat kolesterol. Rekomendari DASH Dietary Approaches to Stop Hypertentsion bahwa diet yang dianjurkan adalah kaya buah-buahan, sayur-sayuran, kacang- kacangan dan makanan rendah lemak. Hampir 40 orang dengan hipertensi peka terhadap sodium. Diet garam 2,4gram atau 6 gram bisa menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg. Pembatasan sedang pemasukan sodium 6 gram dapat menurunkan tekanan darah pada beberapa kasus hipertensi tingkat 1. c. Aktivitas fisik Seseorang dengan aktivitas fisik yang rendah beresiko terkena hipertensi 30-50. Rutin olahraga minimal 30 menit per hari bisa menurunkan tekanan darah sistolok 4-9 mmHg. Tekanan darah dapat diturunkan dengan aktifitas sedang seperti aerobik dan jalan cepat. d. Pembatasan alkohol dan kafein Konsumsi lebih dari 30 cc perhari meningkatkan risiko hipertensi. Menghindari konsumsi alkohol dapat menurunkan teknan darah sistolik 2-4 mmHg. Kafein dapat memacu jantung untuk bekerja lebih cepat sehingga lebih banyak mengalirkan cairan pada setiap detiknya. e. Berhenti merokok Nikotin yang terdapat dalam rokok dapat meningkatkan jumlah nadi dan menghasilkan vasokontriksi perifer yang mana tekanan darah dapat meningkat dalam waktu pendek atau setelah merokok. Dengan tidak merokok maka hal tersebut dapat di cegah. f. Teknik relaksasi Berbagai terapi relaksasi seperti relaksasi otot progresif, meditasi transcendental , yoga, biofeedback dan psikoterapi dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi.

2.3 Stres dan Hipertensi

Stres adalah reaksi non spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan baik secara fisik maupun psikologis. Stres merupakan sutu reaksi adaptif yang bersifat sangat individual sehingga bagi seseorang suatu stres belum tentu sama tanggapannya dengan orang lain. Stres diartikan sebagai suatu kondisi dimana kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidak seimbangan. Stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres Mashudi, 2011. Reaksi pertama dari respon stres adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis. Secara simultan hipotalamus bekerja secara langsung pada sistem saraf otonom untuk merangsang respon yang segera terhadap stres. Sistem saraf otonom terbagi dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulus stres yaitu berupa peningkatan denyut jantung, nafas yang cepat dan penurunan aktivitas gastrointestinal. Sedangkan saraf parasimpatis membuat tubuh kembali ke keadaan istirahat melalui penurunan denyut jantung, perlambatan nafas dan peningkatan aktivitas gastrointestinal Smeltzer, et al ., 2008. Secara fisiologi, keadaan stres akan mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatis memberikan respon terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, salah satunya meningkatkan kecepatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darahSherwood, 2010. Stimulasi aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan berdampak pada perubahan tekanan darah yaitu peningkatan tekanan darah secara intermiten atau tidak menentuNasution, 2011. Dr. Shigeo Haruyama, dalam bukunya “ The Miracle of Endorphin ”,menyatakan, ketika kita teramat stres munculah hormon noradrenalin. Jika hormon noradrenalin diproduksi dalam jumlah tepat, maka akan menjalankan fungsi yang bermanfaat bagi tubuh. Namun, saat hormon noradrenalin dirpoduksi secara berlebihan akan mempersempit aliran darah ke jantung dan meningkatkan tekanan darah. Hal ini akan dengan mudah membuat pembuluh darah menjadi tersumbat. Hormon beta-endorfin membantu mengembalikan kondisi pembuluh darah menjadi normal seperti semula dan menjaga agar darah dapat mengalir dengan mudah dan bebas hambatan. Beta-endorfin penangkal stres akan terbentuk jika seseorang merasa nyaman atau rileks Haruyama, 2011.

2.4 Progressive Muscle Relaxation PMR

Dokumen yang terkait

PENDAHULUAN BEDA PENGARUH TERAPI PIJAT REFLEKSI KAKI DAN DEEP BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANJUT USIA PENDERITA HIPERTENSI PRIMER.

0 5 5

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION DENGAN SLOW DEEP BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA HIPERTENSI DERAJAT I DI KOTA DENPASAR.

2 3 12

APLIKASI PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA HIPERTENSI DERAJAT I DI KOTA DENPASAR.

0 0 15

PENURUNAN TEKANAN DARAH DAN KECEMASAN MELALUI LATIHAN SLOW DEEP BREATHING PADA PASIEN HIPERTENSI PRIMER

0 0 5

View of Efektivitas Progressive Muscle Relaxation Therapy Terhadap Penurunan Tekanan Darah Sistolik pada Wanita Lanjut Usia dengan Hipertensi Primer

0 0 8

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION (PMR) DENGAN SLOW DEEP BREATHING EXERCISE (SDBE) TERHADAP TEKANAN DARAH PENDERITA HIPERTENSI

0 0 15

371 EFEKTIVITAS ISOMETRIC HANDGRIP EXERCISE DAN SLOW DEEP BREATHING EXERCISE TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA PENDERITA HIPERTENSI

0 0 14

SKRIPSI PENGARUH TERAPI RELAKSASI: SLOW DEEP BREATHING TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA PENDERITA HIPERTENSI DERAJAT 1

1 2 12

PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION DAN SLOW STROKE BACK MASSAGE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA NASKAH PUBLIKASI - PERBEDAAN PENGARUH PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION DAN SLOW STROKE BACK MASSAGE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA - DIGILIB

0 0 18

Pengaruh Penambahan Deep Breathing Pada Slow Stroke Back Massage Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 13