43
kerusakan mutu simplisia WHO., 1998. Penetapan kadar sari dilakukan menggunakan dua pelarut, yaitu air dan
etanol. Penetapan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui kadar senyawa kimia bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia, sedangkan kadar sari
larut dalam etanol dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa larut dalam etanol, baik senyawa polar maupun non polar. Hasil karakterisasi simplisia daun ingul
menunjukkan kadar sari yang larut dalam air sebesar 24,52, sedangkan kadar sari yang larut dalam etanol sebesar 24,62.
Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan mineral internal abu fisiologis yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri yang
terdapat di dalam sampel Ditjen, POM., 2000; WHO., 1998. Kadar abu tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususnya pasir yang ada pada
simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida WHO., 1998. Penetapan kadar abu pada simplisia daun ingul menunjukkan kadar abu total
sebesar 4,65 dan kadar abu tidak larut dalam asam sebesar 0,59. Monografi simplisia daun ingul tidak terdaftar di buku Materia Medika
Indonesia MMI, sehingga perlu dilakukan pembakuan secara nasional mengenai parameter karakterisasi simplisia daun ingul sehingga perlu dilakukan pembakuan
secara nasional mengenai parameter karakterisasi simplisia daun ingul. Hasil perhitungan karakterisasi simplisia daun ingul meliputi penetapan kadar air, kadar
sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu dan kadar abu tidak larut asam dapat dilihat pada Lampiran 8 halaman 64-66.
4.3 Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi
Hasil ekstraksi 500 g simplisia daun ingul dengan cara maserasi menggun-
Universitas Sumatera Utara
44
akan pelarut etanol 80 diperoleh ekstrak etanol daun ingul sebanyak 117,08 g. Ekstrak etanol kemudian dilakukan fraksinasi ekstraksi cair-cair menggunakan
pelarut n-heksana dan air, dari 40 g ekstrak diperoleh fraksi n-heksana 1,63 g, selanjutnya fraksi air di fraksinasi dengan etilasetat sehingga diperoleh fraksi
etilasetat 12 g Ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan fraksi etilasetat yang diperoleh,
kemudian dilakukan skrining fitokimia dan kemudian diuji kemampuan atau aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli, Salmonella typhi, dan
Bacillus subtilis.
4.4 Hasil Skrining Fitokimia
Penentuan golongan senyawa kimia simplisia, ekstrak etanol, fraksi n- heksana dan fraksi etilasetat dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan
senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalamnya. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, glikosida,
steroidtriterpenoid, flavonoid, tanin dan saponin. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia, ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan etilasetat daun ingul dapat dilihat
pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak daun ingul
No Parameter
Serbuk Simplisia
Ekstrak Etanol
Fraksi n- heksana
Fraksi etilasetat
1 Alkaloida
- -
- -
2 Flavonoid
+ +
- +
3 Glikosida
+ +
- +
4 Saponin
+ +
- +
5 Tanin
+ +
- +
6 SteroidTriterpenoid
+ +
+ -
Keterangan: + positif : mengandung golongan senyawa
- negatif : tidak mengandung golongan senyawa
Universitas Sumatera Utara
45
Menurut Robinson 1995, senyawa metbolit sekunder seperti senyawa flavonoid, saponin dan steroidatriterpenoid merupakan senyawa kimia yang
memiliki potensi sebagai antibakteri dan antivirus.
4.5 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol EEDI, Fraksi n-Heksana FHDI dan Fraksi Etilasetat FEAI Daun Ingul
Penentuan aktivitas antibakteri EEDI, FEAI dan FHDI dilakukan dengan menggunakan metode difusi agar dengan menggunakan pencadang kertas.
Diameter zona hambatan di sekitar pencadang kemudian diukur dan digunakan untuk mengukur kekuatan hambatan obat terhadap bakteri yang diuji. Metode ini
dipilih karena lebih praktis namun tetap dapat memberikan hasil yang diharapkan. Hasil uji aktivitas antibakteri EEDI, FEAI dan FHDI dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Salmonella typhi dan Bacillus subtilis. Aktivitas suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan antimikroba tersebut Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003.
Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-rata Escherichia coli, Salmonella typhi dan Bacillus subtilis dapat dilihat pada Tabel
3.3, 3.4 dan 3.5 terlihat bahwa konsentrasi yang dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Ditjen POM 1995, dengan batas daerah hambatan yang efektif
lebih kurang 14 - 16 mm. Data hasil pengukuran diameter hambat pertumbuhan bakteri rata-rata dapat dilihat pada Lampiran 9-11 halaman 67-73.
4.5.1 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol
Hasil uji aktivitas antibakteri EEDI yang efektif pada bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 20 mgml memberikan diameter hambat 14,80 mm.
Salmonella typhi menunjukan aktivitas antiibakteri pada konsentrasi 25 mgml
Universitas Sumatera Utara
46
dengan diameter hambat 14,07 mm. Sedangkan pada bakteri Bacillus subtilis menunjukkan aktivitas antibakteri pada konsentrasi 50 mgml dengan diameter
hambat 15,53 mm.
Tabel 4.3 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-
rata ekstrak etanol No
Konsentrasi mgml
Diameter Daerah Hambatan mm Eschericia
Coli Salmonella
typhi Bacillus
subtilis 1
500 26,27
22,73 22,07
2 400
24,60 22,37
21,55 3
300 23,20
21,73 20,73
4 200
22,27 20,93
20,17 5
100 19,72
18,00 20,07
6 75
18,35 17,53
16,95 7
50 15,25
16,53 15,53
8 25
14,92 14,07
13,07 9
20 14,80
13,90 11,37
10 15
13,60 13,13
10,07 11
10 10,43
11,53 8,13
12 5
10,00 10,70
7,13 13
0,5 6,95
6,90 -
14 0,25
- -
- 15
0,1 -
- -
16 0,05
- -
- 17
Blanko DMSO -
- -
Keterangan: D
= Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-rata -
= Tidak terdapat daerah hambatan pertumbuhan bakteri DMSO = Dimetilsulfoksida
4.5.2 Hasil uji aktivitas antibakteri fraksi n-heksana
Hasil pengukuran uji aktivitas antibakteri FHDI yang efektif pada bakteri Bacillus subtilis pada konsentrasi 300 mgml dengan diameter hambat 14,77 mm,
dan pada bakteri Salmonella typhi efektifpada konsentrasi 300 mgml dengan diameter daerah hambat 14,50 mm, sedangkan pada bakteri Escherichia coli
menunjukan aktivitas antibakteri yang efektif pada konsentrasi 400 mgml dengan diameter hambat 14,50 mm.
Universitas Sumatera Utara
47
Tabel 4.4 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-
rata fraksi n-heksana
No Konsentrasi
mgml Diameter Daerah Hambatan mm
Eschericia Coli
Salmonella typhi
Bacillus subtilis
1 500
19,03 18,70
18,77 2
400 14,50
18,00 17,13
3 300
13,60 14,40
14,77 4
200 10,13
12,10 13,13
5 100
10,07 9,93
9,30 6
75 9,20
9,19 8,60
7 50
8,77 8,83
7,67 8
25 7,97
8,60 7,57
9 20
7,67 8,33
7,47 10
15 7,00
7,87 6,53
11 10
6,57 7,07
6,23 12
5 -
6.83 -
13 0,5
- -
- 14
0,25 -
- -
15 0,1
- -
- 16
0,05 -
- -
17 Blanko DMSO
- -
- Keterangan:
D = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-rata
- = Tidak terdapat daerah hambatan pertumbuhan bakteri
DMSO = Dimetilsulfoksida
4.5.3 Hasil uji aktivitas antibakteri fraksi etilasetat
Hasil uji aktivitas antibakteri FEAI yang efektif pada bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 5 mgml memberikan diameter hambat 14,03 mm. Bacillus
subtilis menunjukkan aktivitas antibakteri pada konsentrasi 5 mgml dengan diameter hambat 14,37 mm, sedangkan pada bakteri Salmonella typhi menunjukan
aktivitas antibakteri pada konsentrasi 20 mgml dengan diameter hambat 15,60 mm.
Hasil pengukuran uji aktivitas menunjukkan FEAI lebih besar dibandingkan EEDI dan FHDI, karena FEAI mengandung senyawa metabolit
sekunder yang lebih banyak. Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder turunan fenol yang dapat membentuk kompleks dengan protein dari dinding sel
Universitas Sumatera Utara
48
bakteri melalui ikatan hidrogen, yang bila berinteraksi dengan membran akan menyebabkan kerusakan pada membran Harbone, 1987.
Tabel 4.5 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-
rata
No Konsentrasi
mgml Diameter Daerah Hambatan mm
Eschericia coli
Salmonella typhi
Bacillus subtilis
1 500
25,17 24,33
24,60 2
400 24,27
23,63 23,17
3 300
22,87 22,00
21,63 4
200 22,47
20,93 20,17
5 100
21,20 20,57
17,8 6
75 20,37
19,47 17,30
7 50
19,60 17,93
17,20 8
25 17,17
16,50 16,83
9 20
15,77 15,60
16,13 10
15 14,97
13,47 15,50
11 10
14,43 11,93
14,80 12
5 14,03
10,90 14,37
13 0,5
7,83 7,93
7,43 14
0,25 7,40
6,72 6,98
15 0,1
7,12 -
- 16
0,05 -
- -
17 Blanko DMSO
- -
- Keterangan:
D = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-rata
- = Tidak terdapat daerah hambatan pertumbuhan bakteri
DMSO = Dimetilsulfoksida Ekstrak etanol dan fraksi n- heksana memberikan diameter daerah hambat
yang lebih kecil bila dibandingkan dengan fraksi etilasetat. Dilihat dari hasil skrining fitokimia menunjukkan senyawa metabolit sekunder yang terkandung
pada ekstrak etanol lebih banyak dibandingkan fraksi etilasetat namun diameter zona bening yang dihasilkan lebih kecil daripada fraksi etilasetat, hal ini mungkin
disebabkan karena adanya senyawa lain selain metabolit sekunder asam lemak, karbohidrat dan lain-lain yang bekerja tidak sinergis dengan senyawa metabolit
sekunder dalam ekstrak etanol dalam peranannya sebagai antibakteri.
Universitas Sumatera Utara
49
Menurut Wang dan Yang 2013 daun Ingul Toona sinensis Juss. M. Roem memiliki kandungan asamlemak baik asam lemak jenuh maupun asam
lemak tak jenuh, dan menurut Chen, et al. 2014 daun ingul juga memiliki 63 kandungan minyak atsiri. Lemak dan minyak lainnya yang mempunyai ukuran
besar tidak dapat masuk kedalam dinding sel dan menjadi penghalang masuknya minyak atsiri maupunsenyawa fenolik ke dalam sel. Selain itu kemungkinan
lemak dan minyakberinteraksi dengan minyak atsiri atau senyawa fenolik sehingga menurunkanaktivitas antibakteri, proses pengurangan kandungan lemak
dan minyakdefatting dalam serbuk tanaman dapat dilakukan dengan proses ekstraksimenggunakan petroleum eter dan heksana, sehingga senyawa lilin
tanaman, lemakdan minyak nabati dapat terekstrak Naufalian, 2005. Hasil uji aktivitas antibakteri FHDI merupakan aktivitas antibakteri yang
terlemah bila dibandingkan dengan ekstrak etanol dan fraksi etilasetat. Ini disebabkan karena dari hasil skrining fitokimia, fraksi n-heksana hanya
mengandung senyawa metabolit sekunder steroidtriterpenoid sebagai senyawa antibakteri. Senyawa steroidtriterpenoid juga memiliki potensi sebagai senyawa
antibakteri, yaitu dengan mekanisme penghambatan terhadap sintesis protein karena terakumulasi dan menyebabkan perubahan komponen-komponen
penyusun sel bakteri itu sendiri. Senyawa terpenoid mudah larut dalam lipid sifat inilah yang mengakibatkan senyawa ini lebih mudah menembus dinding sel
bakteri Siregar, 2012.
Universitas Sumatera Utara
50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN