30
Makna sebuah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatikal dan leksikal saja, tetapi berjantung kepada kaidah wacana. Makna sebuah
kalimat yang baik pilihan kata diksi dan susunan gramatikalnya, sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam
sebuah wacana. Filosofi dan linguis mencoba menjelaskan tiga hal yang berhubungan
dengan makna, seperti:
33
a. Makna kata secara alamiah inheren inherent – bahasa inggris.
b. Mendeskripsikan makna kalimat secara alamiah termasuk makna
kategorial. c.
Menjelaskan proses komunikasi. Sesungguhnya persoalan makna memang sangat sulit dan ruwet
karena, walaupun makna ini adalah persoalan bahasa, tetapi keterkaitan dan keterikatannya dengan segala segi kehidupan manusia sangat erat.
34
2. Relasi Makna al-„al t al-dil liyyah
Hubungan atau relasi makna Cruse adalah hubungan yang tidak kontroversi atau tidak berlawanan, tetapi mengacu pada hubungan apa yang
akan terjadi antara unit-unit mereka.
35
Dengan kata lain relasi makna merupakan satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. Satuan
bahasa di sini dapat berupa kata, frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu
33
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal Bandung: PT Refika Aditama, 2009, h. 9.
34
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, h. 27.
35
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig- Derivasional Bandung: PT Refika Aditama, 2013, h. 111.
31
dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna atau juga kelebihan makna.
36
Relasi ini merupakan akibat dari kandungan komponen makna yang kompleks dalam berbagai bentuk.
37
Berikut ini akan dibicarakan masalah relasi makna satu per satu, yakni: a.
Sinonim al-tar duf Secara semantik Verhaar mendefinisikan sinonim sebagai ungkapan bisa
berupa kata, frase atau kalimat yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
38
Umpamanya kata pandai dan cerdas adalah dua kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua kata yang bersinonim
bersifat dua arah. Cruse membagi sinonim atas tiga perangkat: absolut, proposisional dan near-sinonim. Sinonim terjadi bila kata dalam konteks
dapat disubtitusikan dengan kata kain dan makna konteks tidak berubah Ullmann, Lyons, Palmer.
39
Selanjutnya Lyons mengemukakan bahwa sinonim dapat ditentukan dengan cara:
1. Subtitusi penyulihan
2. Pertentangan
3. Penentuan konotasi
36
Abdul Chaer, Linguistik Umum Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007, h. 297.
37
Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab: Klasik Modern Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, h. 122.
38
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, h. 83.
39
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig- Derivasional Bandung: PT Refika Aditama, 2013, h. 125.
32
Cruse membagi sinonim menjadi:
40
1. Sinonim Absolut mutlak, yang mengacu pada identitas makna
merupakan spesifikasi makna. Pendekatan kontekstual digunakan dalam berdasarkan makna adalah sesuatu yang mempengaruhi teks normal dari
unsur leksikal di dalam konteks kalimat apik. 2.
Sinonim Proposisional, terjadi bila dua unsur leksikal di dalam suatu ekspresi dapat disulih dengan unsur benar secara kondisional tanpa ada
dampak terhadap wujud secara keseluruhan. 3.
Sinonim Berdekatan, batas antara sinonim proposisional dengan sinonim berdekatan dapat dijelaskan secara prinsip. Dalam hal ini pengguna
bahasa benar-benar memiliki intuisi untuk perangkat pasangan kata yang bersinonim atau yang tidak, secara sederhana ada skala jarak semantis
dan kata-kata yang bersinonim adalah kata-kata yang maknanya relatif dekat memiliki batas lebih rendah dari sinonim dekat.
b. Antonimi al-adhdha:d
Antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu
dengan yang lain.
41
Misalnya kata guru berantonim dengan kata murid. Antonimi dapat berupa:
42
40
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig- Derivasional Bandung: PT Refika Aditama, 2013, h. 126.
41
Abdul Chaer, Linguistik Umum Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007, h. 299.
42
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig- Derivasional Bandung: PT Refika Aditama, 2013, h. 135-137.
33
1. Antonimi Berlawanan Polar Antonyms
Ciri-cirinya sebagai berikut: i
Kedua unsur sepenuhnya dapat diukur. ii
Terjadi secara normal dalam komparatif dan superlatif. iii
Antonimi berlawanan menunjukkan derajat dari beberapa unidimensional objektif dalam wujud fisik, secara prototipikal
salah satunya yang dapat diukur dalam unit konvensional. iv
Antonimi berlawanan merupakan ketidaksesuaian tetapi bukan kejangkapan.
v Bentuk komparatif bertahan dalam hubungan kebalikan.
vi Pertanyaan yang menunjukkan relevansi unsur-unsur yang
mengacu pada pertanyaan keseimbangan. 2.
Antonimi Keselarasan Equivollent Antonyms Antonim keselarasan atau keseimbangan dapat ditentukan dengan
keseimbangan atau keterlibatan komparatif. 3.
Overlapping Antonyms Antonim Tumpang Tindih Antonim tumpang tindih menghasilkan keseimbangan komparatif.
c. Oposisi
Oposisi merupakan relasi yang terjadi sehari-hari dalam pengenalan leksikal. Oposisi kemungkinan satu-satunya relasi untuk memperoleh pengenalan
leksikal secara langsung, cara inilah yang dahulu digunakan secara kognitif. Cruse menjelaskan unsur oposisi yang relevan yaitu oposisi biner, unsur
34
inheren dan unsur paten.
43
Lebih jauh, berdasarkan sifatnya oposisi dapat dibedakan menjadi:
44
1. Oposisi mutlak, jadi ada pertentangan mutlak.
2. Oposisi kutub, bersifat gradasi.
3. Oposisi hubungan, bersifat melengkapi.
4. Oposisi hierarkial, menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan.
5. Oposisi majemuk, yang beroposisi lebih dari sebuah kata.
d. Hiponimi
Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ada
kelas kata atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil dan ada sejumlah kelas kata bawah yang merupakan komponen-komponen yang
tercakup dalam kelas atas, maka kata yang berkedudukan sebagai kelas kata disebut superordinat dan kelas bawah yang disebut hiponim.
45
Contohnya kata bunga merupakan suatu superordinat yang membawahi sejumlah
hiponim antara lain: mawar, melati, sedap malam, flamboyan, dan gladiol. Tiap hiponim pada gilirannya dapat menjadi superordinat bagi sejumlah
hiponim yang bernaungan di bawahnya, misalnya ada mawar merah, mawar putih, mawar orange dan sebagainya. Dalam keterbatasan istilah dapat juga
terjadi bahwa istilah yang sama dapat dipakai lebih dari satu kali bagi hirarki yang berbeda.
43
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna Paradigma-Sintagmatig- Derivasional Bandung: PT Refika Aditama, 2013, h. 133-134.
44
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, h. 90-93.
45
Istilaah superordinat dan hiponim adalah istilah dalam semantik. Ilmu biologi mempergunakan istilah genus dan species, ilmu-ilmu sosial mempergunakan istilah kategori dan
sub-kategori. Semuanya mengacu pada hal yang sama yaitu tingkat atas dan tingkat bawah.
35
e. Homonimi
Hominimi adalah relasi antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Misalkan, kata bisa
‗mampu‘ dan kata bisa ‗racun‘. Dalam bahasa Indonesia homonimi masih dapat dibedakan lagi atas
homograf dan homofon, karena kesamaan bentuk dapat dilihat dari sudut ejaan atau ucapan. Homograf adalah dua bentuk bahasa yang sama ejaannya,
tetapi berlainan lafalnya. Contoh kata tahu ‗makanan‘ dan kata tahu
‗paham‘. Sedangkan homofon adalah dua ujaran dalam bentuk kata yang samPa lafalnya, namun berlainan tulisannya. Misalnya, kata masa
‗waktu‘ dan massa
‗kelompok orang dalam jumlah besar yang menjadi satu kesatuan‘.
f. Polisemi
Satu kata mempunyai lebih dari satu arti atau lebih tepat kita katakan satu leksem mempunyai beberapa makna, relasi ini disebut polisemi.
46
Di dalam penyusunan kamus, seperti kata-kata yang berhomonim muncul sebagai
lema entri yang terpisahkan, sedangkan kata yang berpolisemi muncul sebagai satu lema namun dengan beberapa penjelasan. Misalkan saja, kata
sumber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat pada halaman 1353 muncul sebagai satu lema, namun dengan beberapa penjelasan seperti:
Sum.ber n 1 tempat keluar air atau zat cair; mata air: ia
mengambilkan air di --; di laut sekitar pulau itu ditemukan –
minyak; 2 asal dl berbagai arti: ia berusaha mendekati dan menemukan
– bunyi yang memesonanya; kabar itu didapatnya dari
– yang boleh dipercaya;
Perbedaan antara polisemi dan homonim dapat dilihat dari analisis komponen. Pada hakikatnya bertumpu pada derajat kesamaan. Ada
46
A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar Bandung: Penerbit Angkasa,1993, h. 164.
36
perangkat bentuk yang sama sekali tidak mengandung kesamaan salah satu makna pun, dan ada perangkat bentuk yang mengandung sebagian
komponen makna yang sama. Perbedaan makna pada bentuk polisemi menurut Nida 1974 umunya meliputi perbedaan komponen makna proses,
objek, hasil atau keadaan.
47
Para ahli bahasa mempunyai pendapat yang sejalan bahwa polisemi ini adalah satu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena makna ganda
itulah maka pendengar atau pembaca ragu akan makna kata kalimat. g.
Taksonimi Taksonimi mengacu pada relasi semantik antara beberapa kata yang
serumpun.
48
mengenai taksonimi, Lahrer menggunakan cara para ahli etnigrafi yang secara umum bertanya pada informan yang ditemuinya untuk
mengklasifikasikan ranah kumpulan leksem yang dilanjutkan dengan menentukan hierarki yang ada pada struktur leksikalnya. Lehrer 1974
berpendapat bahwa masalah yang umum dihadapi pada taksonimi adalah adanya sejumlah prinsip yang dilibatkan dalam klasifikasi hierarkis.
49
Wienriech 1980 menyebutkan ada dua kriteria dalam membuat hierarkisasi: 1 pengisolasian konotasi dan pengisolasian tujuan untuk pengkajian secara
linguistik, meskipun terjadi pemindahan pengacuan dan denotasi pada medan yang lain.; 2 direpresentasikan sebagai taksonimi.
47
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal Bandung: PT Refika Aditama, 2009, h. 67.
48
A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar Bandung: Penerbit Angkasa,1993, h. 165.
49
Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab: Klasik Modern Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, h. 127.
37
h. Ambiguitas atau Ketaksaan
Ketaksaan ambiguitas dapat timbul dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan. Sehubungan dengan ketaksaan ini Kempson 1977 yang dikutip
oleh Ullman 1976 menyebutkan tiga bentuk utama ketaksaan, seperti:
50
1. Ketaksaan Fonetik
Ketaksaan pada tataran fonologi fonetik muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat
bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan maknanya.
2. Ketaksaan Gramatikal
Ketaksaan gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Dengan demikian, ketaksaan pada tataran ini dapat dilihat dua alternatif.
Alternatif pertama adalah ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukkan kata secara gramatikal. Alternatif kedua adalah ketaksaan
pada frase yang mirip. Tipa kata membentuk frase sebenarnya jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari
satu pengertian. 3.
Ketaksaan Leksikal Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda
yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannnya. i.
Redundansi Istilah redundasi sering diartikan sebagai ‗berlebih-lebihan pemakaian unsur
segmental dam suatu bentuk ujaran‘. Secara semantik masalah redundansi
50
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal Bandung: PT Refika Aditama, 2009, h. 98-100.
38
sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda.
51
4. Makna Kontekstual