Biografi Syeikh Ibn Atha’illah al-Iskandari

40

BAB III SEKILAS TENTANG PENULIS DAN PENERJEMAH KITAB AL-HIKAM

A. Biografi Syeikh Ibn Atha’illah al-Iskandari

Syeikh Ibn Atha‘illah al-Iskandari w.1309 M hidup di Mesir pada masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria Iskandariyah, lalu pindah ke Kairo. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fiqh mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas di bidang tasawuf sebagai seorang ―master‖ syeikh besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini. Ibn Atha ‘illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Kitab ini sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar-Rundi, Syeikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba. Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‗Unwan at-Taufiq fi‘dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibn Atha ‘illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari‘at. 41 Ibn Atha ‘illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat. Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn Ath a‘illah inilah yang pertama menghimpun ajaran- ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara. Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibn Atha ‘illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab al-Hikam yang melegenda ini. Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atha‘illah al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya‘rib bin Qohton, yang terkenal dengan Arab al-Aa‘ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR.Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H. 42 Ayahnya termasuk semasa dengan Syeikh Abu al-Hasan al-Syadili - pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibn Atha‘illah dalam kitabnya ―Lathaiful Minan‖ : ―Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: ―Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan din ding‖. Keluarga Ibn Atha‘illah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqh pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al- Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibn Atha‘illah memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqh, hadits, ushul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawuf dan para Auliya‘ Sholihin. Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibn Atha‘illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal ini membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya. Ibn Atha‘illah menceritakan dalam kitabnya ―Lathaiful minan‖: ―Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibn Atha‘illah yaitu Abul Abbas al- Mursy mengatakan: ―Kalau anak dari seorang alim fiqh Iskandariah Ibn 43 Atha‘illah datang ke sini, tolong beritahu aku‖, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: ―Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu m enyalami Nabi dan mengatakan: ―Wahai Muhammad... kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka‖. Dengan bijak Nabi mengatakan: ―Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka‖. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqh kakek Ibn Atha‘illah demi orang yang alim fiqh ini‖. Pada akhirnya Ibn Atha‘illah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Sebagai seorang sufi yang alim Ibn Atha‘illah meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah. Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-ath a‘illah untuk membedakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam. Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Atha‘illah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas‘aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah 44 sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-tem annya menjawab ―Tidak‖. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : ―Siapa saja yang kamu temui ?‖ lalu si murid menjawab: ―Tuanku… saya melihat tuanku di sana‖. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan: ―Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya‖. Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al- Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qarrafah al-Kubra. 53

B. Biografi Penerjemah