35
a debitur tidak perlu membayar ganti rugi Pasal 1244 KUH Perdata; b beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa
sementara; c kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi
hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
Ketiga akibat tersebut lebih lanjut dibedakan menjadi dua macam, yaitu pada akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat butir a dan c,dan
akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat butir b. Namun, Perlu digarisbawahi bahwa hak kreditur dalam force majeure sama sekali tidak
dihilangkan, hanya saja jangka waktu pemenuhan hak tersebut diperpanjang untuk memberi kolonggaran bagi pihak debitur.
B. Force Majeure dalam Hutang Piutang
Dalam sektor keuangan, pemecahan kasus force majeure sendiri telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, salah satunya ketentuan-
ketentuan yang mengatur penyelesaian kasus force majeure dalam dunia perbankan, yaitu :
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
a Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1244 Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum
mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang
tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan suatu hal yang
36
tak terduga, pun tak dapat dipertanggungkan kepadanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada
pihaknya. b Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245
Tidaklah biaya, rugi dan bunga, harus digantinya, apabila dikarenakan keadaan memaksa atau karena suatu kejadian tak
disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau dikarenakan hal - hal yang sama
telah melakukan perbuatan yang dilarang. c Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444
i. Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga
sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau
hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
ii. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap
kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di
tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.
37
iii. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu.
iv. Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri,
musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali -kali membebaskan
orang yang
mencuri barang
dari kewajibannya mengganti harganya
d Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445 Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang
musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan
ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang
mengutangkan kepadanya.
2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
a Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor
48DSN-MUIII2005 tentang
Penjadualan Kembali
Tagihan Murabahah
Menetapkan : FATWA TENTANG
PENJADWALAN KEMBALI
TAGIHAN MURABAHAH Pertama
: Ketentuan Penyelesaian
LKS boleh melakukan penjadwalan kembali rescheduling tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa
38
menyelesaikanmelunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa; 2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali
adalah biaya riil; 3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. dua
: Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak
terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan,
akan diubah
dan disempurnakan
sebagaimana mestinya .
b Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor
07DSN-MUIIV2000 tentang Pembiayaan Mudharabah Qiradh Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH
QIRADH
39
Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu
usaha yang produktif. 2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal
pemilik dana membiayai 100 kebutuhan suatu proyek usaha, sedangkan pengusaha nasabah
bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha. 3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan
pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan
kesepakatan kedua
belah pihak
LKS dengan
pengusaha. 4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang
telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau
proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib
nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
40
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat
dicairkan apabila
mudharib terbukti
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati
bersama dalam akad. 8. Kriteria
pengusaha, prosedur
pembiayaan, dan
mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib. 10. Dalam hal penyandang dana LKS tidak melakukan
kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau
biaya yang telah dikeluarkan. Kedua
: Rukun dan Syarat Pembiayaan: 1. Penyedia
dana shahibul
maal dan
pengelola mudharib harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak akad, dengan memperhatikan hal- hal berikut:
41
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak akad.
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan
secara tertulis,
melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-
cara komunikasi modern. 3. Modal ialah sejumlah uang danatau aset yang diberikan
oleh penyedia dana kepada mudharibuntuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya. b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang
dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap
maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabahadalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut
ini harus dipenuhi: a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak
boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
42
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak
disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi nisbah dari keun-tungan sesuai kesepakatan.
Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat
dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan
dari kesalahan
disengaja, kelalaian,
atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola mudharib, sebagai perimbangan muqabil modal yang disediakan oleh
penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut: a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib,
tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola
sedemikian rupa
yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan
dengan mudharabah, dan
harus mematuhi
43
kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. Ketiga
: Ketentuan lain: 1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan muallaq dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah yad al-
amanah, kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah. c
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 17DSN-MUIIX2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang
Menunda-nunda Pembayaran Menetapkan : FATWA
TENTANG SANKSI
ATAS NASABAH
MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN Pertama
: Ketentuan Umum: 1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang
dikenakan LKS kepada nasabah
yang mampu
44
membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
2. Nasabah yang
tidakbelum mampu
membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran danatau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik
untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. 4. Sanksi didasarkan pada prinsip tazir, yaitu bertujuan
agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat
saat akad ditandatangani. 6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai
dana sosial. Kedua
: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyele-saiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah. Ketiga
: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan
diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
45
BAB III MODEL-MODEL PENYELESAIAN KASUS
FORCE MAJEURE
A. Standar Force majeure