9
3. Pembatasan pembahasan kasus force majeure yang terjadi dalam produk pembiayaan di bank syariah dibatasi pada produk pembiayaan yang
berbasis jual beli dengan akad murabahah dan yang berbasis bagi hasil dengan akad mudharabah.
D. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan bentuk-bentuk force majeure yang terjadi dalam pembiayaan perbankan syariah
2. Menjelaskan model-model penyelesaian kasus force majeure dan prosedur yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah
3. Menjelaskan kesesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force majeure yang digunakan oleh bank syariah berdasarkan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip syariah
E. Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu: 1. Secara teoritis
Manfaat hasil penelitian ini dari segi teoritis, diharapkan dapat berguna untuk dijadikan bahan acuan penelitian berikutnya, kemudian untuk
menambah wawasan masyarakat, akademisi, organisasi masyarakat mengenai badan hukum khususnya terhadap praktek penerapan
penyelasaian force majeure tersebut dalam produk pembiayaan pada perbankan syariah.
10
2. Aspek praktis Dari segi praktis, untuk dijadikan pemahaman bagi para kaum muslimin
khususnya yang ingin melibatkan diri dalam transaksi yang berhubungan langsung dengan akad-akad berisi klausul tentang force majeure, baik
yang bersifat lembaga keuangan bank.
F. Review Studi Terdahulu
1. Jurnal ilmiah Jurnal ilmiah yang terkait dengan penelitian saat ini adalah jurnal
dengan judul “Akibat Hukum Terhadap Debitur Atas Terjadinya force majeure
keadaan Memaksa” oleh Putu Parama Adhi Wibawa dalam Jurnal Kertha Semaya
15
. Kesimpulan dari jurnal ini bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar pihak yang satu memiliki hak kreditur dan pihak lain memiliki kewajiban debitur atas sesuatu prestasi. Pada
perikatan, jika debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela dengan itikad yang baik dan sebagaimana mestinya maka kreditur dapat
meminta bantuan hukum agar ada tekanan kepada debitur supaya ia memenuhi kewajibannya. Untuk menentukan bahwa suatu hubungan
hukum itu merupakan perikatan pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran dapat “dinilai dengan uang”.Suatu hubungan dianggap dapat
15
Putu Parama Adhi Wibawa,“Akibat Hukum Terhadap Debitur Atas Terjadinya Force Majeure Keadaan Memaksa”. Jurnal Kertha Semaya. Vol 02, No. 06, Oktober 2014. diakses dari
http:id.portalgaruda.orgindex.php?ref=browsemod=viewarticlearticle=195720 , pada tanggal
8 November 2015 pukul 23 : 16 WIB.
11
dinilai dengan uang jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang.
Pada perikatan yang berupa memberikan sesuatu prestasi melalui penyerahan suatu barang misalnya penjual berkewajiban menyerahkan
barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan.Keadaan yang menimbulkan
force majeureharus terjadi setelah dibuatnya persetujuan karena jika pelaksanaan prestasinya sudah tidak mungkin sejak dibuatnya
persetujuan, maka persetujuan tersebut batal demi hukum. Hal-hal tentangforce majeure terdapat di dalam ketentuan-ketentuan yang
mengatur ganti rugi yaitu pada pasal 1244 KUH Perdata dan pasal 1245 KUHPerdata. Mengenai force majeure terdapat dua teori yaitu teori
absolut dan teori relatif. Menurut teori absolut, debitur berada dalam keadaan memaksa, apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin ada
unsur impossibilitas dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang, sedangkan menurut teori relatif keadaan memaksa itu ada, apabila
debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar. Terjadinya force majeure tidak menutup
kemungkinan disebabkan karena kelalaian dari debitur. Akibat dari kelalaiannya yang menyebabkanforce majeure terjadi maka debitur tidak
dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dan debitur harus mengganti kerugian yang terjadi.
12
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam fokus kajian pada jurnal, hanya dijelaskan bagaimana pemahaman teori-teori dalam
keadaan memaksa atau force majeure dan akibat hukum terhadap debitur atas terjadinya force majeure, sedangkan pada penelitian sekarang tidak
hanya membahas pemahaman teori tetapi juga membahas mengenai bagaimana implementasi, akibat dan penyelesaian dari force majeure.
Jurnal kedua adalah jurnal oleh Merilatika dengan judul “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada
Perjanjian Ke rjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan” dalam Jurnal Kertha
Semaya yang pada kesimpulannya mengulik kasus antara Syahrini penyanyi dengan promotor acara di Bali yang telah mendapat kekuatan
hukum tetap yang dituangkan dalam putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor: 05Pdt.G2012PN.Bgr
16
. Syahrini dituntut ganti rugi akibat dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan
prestasinya untuk menyanyi.Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur “karenakesalahannya” tidak melaksanakan apa
yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata “karenakesalahanya” sangat penting, oleh karena itu debitur tidak
melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.
16
Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September
2015. diakses dari http:id.portalgaruda.org?ref=browsemod=viewarticlearticle=348782
, pada tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB
13
Syahrini mendalilkan hal itu bukan sebagai wanprestasi melainkan force majeure dengan alasan ia harus menemani ayahnya yang sedang
sakit di Rumah Sakit. Pihak promotor tidak setuju terhadap dalil tersebut karena menurut kuasa hukumnya haltersebut tidak tercantum dalam
klausul force majeure di perjanjian yang telah mereka sepakati.Penulis berasumsi bahwa kemungkinan besar tidak pernah terlintas dalam pikiran
Syahrini maupun promotornya untuk memasukkan alasan sakit ataumeninggalnya ayah Syahrini sebagai suatu keadaan memaksa atau
force majeure dalam kontrak mereka. Batal menyanyinya Syahrini pada acara tersebut tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian
nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan didapat bila Syahrini melaksanakan prestasinya.Promotor mungkin telah mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit baik untuk promosi, reservasi tempat, waktu, tenaga dan lain-lain, belum lagi ditambah dengan kontrak-kontrak terkait lain
yang telah dibuat oleh promotor acara tersebut dan reputasi promotor yang tentunya sulit dinilai dengan uang.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut
17
: a Debitur tidak perlu membayar ganti rugi Pasal 1244 KUHPerdata.
b Dalam perjanjian timbal balik bilateral, wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat hakim;
17
Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September
2015. diakses dari http:id.portalgaruda.org?ref=browsemod=viewarticlearticle=348782
, pada tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB
14
c Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim Menurut I Kadek Suardana, PPAT di Kabupaten Klungkung,
menyatakan bahwa force majeure atau keadaan memaksa adalah klausul dalam kontrak yang biasadigunakan untuk melindungi para pihak dalam
hal ketentuan dalam kontrak tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya keadaan-keadaan diluar kontrol para pihak. Dengan terjadinya force
majeure, risiko tidak dapat ditimpakan kepada pihak yang
mengalaminya. Jika debitur dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat melaksanakan kontrak karena force majeure tersebut, maka hakim akan
menolak tuntutan kreditur yang meminta agar debitur memenuhi kontrak atau ganti rugi. Risiko debitur terhadap terjadinya wanprestasi karena
force majeure yaitu
18
: a Risiko pada perjanjian sepihak yaitu risiko ditanggung oleh kreditur,
debitur tidak wajib memenuhi prestasinya b Risiko pada perjanjian timbal balik yaitu dimana salah satu pihak
tidak dapat memenuhi prestasi karena force majeure maka seolah- oleh perjanjian itu tidak pernah ada.
Dalam sengketa yang dialami oleh Rudy Hartono Iskandar, selaku Direktur untuk dan atas nama serta sah mewakili mewakili PT Embrio
Penggugat melawan Aisyah Zaelani, selaku Manager artis Penyanyi Syahrini Tergugat I dan Syahrini selaku Artis penyanyi Tergugat II,
18
Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian Kerjasama
Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September 2015. diakses dari
http:id.portalgaruda.org?ref=browsemod=viewarticlearticle=348782 , pada
tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB
15
sengketa ini terlihat sederhana akan tetapi ternyata efek dari sengketa ini jauh dari kata sederhana.Batal menyanyinya Syahrini dikarenakan force
majeure yaitu sakitnya ayah Syahrini yang berujung dengan kematian tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian nyata dan
kehilangan keuntungan yang diharapkan bilaSyahrini melaksanakan prestasinya. Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam penyelesaian
sengketawanprestasi karena force majeure dalam bidang jasa hiburan yaitu dapat dilakukan melalui proses di luar pengadilan dengan cara
musyawarah dan melalui prosespengadilan terkait pada hukum acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling beragumentasi, mengajukan
alat bukti, pihak ketiga hakim tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannyabersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan,
hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim.
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam fokus kajian pada jurnal, hanya dijelaskan bagaimanamengetahui akibat hukum pada
perjanjiankerjasama dalam bidang jasa hiburan sebagai dampak adanya wanprestasi force majeure dan upaya hukum pihak yang dirugikan
dalamhal terjadinya force majeure yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi terhadap perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan,
sedangkan pada penelitian sekarang membahas bagaimana mengetahui akibat hukum pada kontrak pembiayaan sebagai dampak adanya
permasalahan atau force majeure dalam sektor perbankan syariah.
16
2. Penelitian Lain Penelitian pertama yang dijadikan review studi terdahulu adalah
penelitian yang dilakukan oleh Chalidah Hanum dengan judul “Strategi Bank BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR Bermasalah Studi Kasus
Pada BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta”
19
. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini bahwa KPR BTN Syariah menawarkan jasa
pengelolaan dana secara syariah sesuai dengan tuntutan agama. Selama Sembilan bulan pertama tahun 2005, BTN telah menyalurkan dana
sebesar Rp. 3,356 triliun untuk sektor konstruksi, termasuk di dalamnya kredit kepemilikan rumah. Tapi, jumlah yang dikelola secara syariah
masih dibawa 10 persen. Target penyaluran KPR BTN Syariah pada tahun 2005, adalah 3.000 unit rumah dengan rata-rata nilai Rp. 50 juta
atau nilai total Rp. 151 miliar. Target BTN Syariah tahun ini memiliki 7kantor cabang dan meningkat menjadi 12 kantor cabangpada 2006 dan
20 kantor cabang syariah pada 2007. Rasio penyaluran perumahan masih di 1,4 atau jauh lebih rendah dibanding Thailand yang mencapai angka
7,4 dan Malaysia 27,7. Sementara NPF untuk KPR Syariah hingga bulan juli tahun 2008 mencapai angka 1,15 dari pembiayaan yang
disalurkan BTN Syariah Cabang Jakarta. Kegiatan penyaluran kredit pembiayaan mempunyai peranan penting bagi kegiatan perbankan,
karena kredit atau pembiayaan merupakan bagian terbesar sumber penghasilan bank. Namun, penyaluran pembiayaan tersebut harus melalui
19
Chalidah Hanum, “Strategi Bnak BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR Bermasalah
Studi Kasus Pada BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta”, Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarata, 2009.
17
proses analisi kredit. Karena pemberian pembiayaan tanpa dianalisis terlebih dahulu akan sangat membahayakan bank. Terlebih halnya akan
menyebabkan pembiayaan bermasalah macet atau biasa disebut dengan NPF Non Performing Financing.Untuk menghindari dan meminimalisir
pembiayaan bermasalah NPF pihak perbankan dalam memberikan pembiayaan KPR pada nasabahnya menggunakan strategi dalam
memberikan pembiayaan KPR.Penulis dalam penelitiannya membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan menjadi
bermasalah serta penerapan strategi Bank BTN Syariah dalam menangani pembiayaan KPR bermasalah.
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam bidang yang dikaji, penelitian terdahulu mengkaji mengenai KPR bermasalah,
sedangkan penelitian sekarang mengkaji mengenai Kontrak Pembiayaan bermasalah yang mana objek pada penelitian pertama hanya berpusat
pada pembiayaan KPR, sedangkan pada penelitian sekarang objek pembiayaan ditujukan untuk kegunaan lainnya.
Penelitian sel anjutnya adalah penelitian dengan judul “Analisis
Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan Bank Syariah Pasca Gempa Padang 2009 Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri
Cabang Padang, SUMBAR” yang ditulis oleh Tri Ertina Panjaitan
20
. Kesimpulan pada penulisan penelitian ini bahwa setelah terjadinya
20
Tri Ertina Panjaitan, “Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan
Bank Syariah Pasca Gempa Padang 2009 Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Padang, SUMBAR”, Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2011.
18
bencana gempa di tanah Padang pada tahun 2009 menyebabkan banyaknya kerugian yang cukup besar. Akibat gempa bumi tersebut 1195
orang meninggal dunia, 2 orang hilang, 1795 orang luka-luka, 119.005 unit rumah rubuh, 73.733 unit rumah rusak sedang, 78.802 unit rumah
rusak ringan. Fasilias pendidikan yang hancur mencapai 2.114 unit, rusak sedang 1.364 unit, dan rusak ringan 1.147 unit. Sedangkan jumlah
saranan kesehatan yang mengalami rusak berat 235 unit, rusak sedang 94 unit, dan 66 rusak ringan. Gempa juga meluluhlantakan 246 perkantoran
milik pemerintah, dimana 103 unit mengalami rusak sedang dan 74 unit rusak ringan. Total seluruh kerugian 21,5 triliun.
Bencana yang terjadi juga mengakibatkan pembiayaan bermasalah pada Bank Syariah Mandiri yang berada di kota Padang. Sampai pada
tahun 2009 jumlah pembiayaan yang disalurkan Rp. 112.086.128.949,62, akibat dari gempa yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 ± 20
dari seluruh pembiayaan yang disalurkan masuk kedalam pembiayaan bermasalah dan pembiayaan yang terkena bencana hampir semuanya
berpotensi bermasalah jika tidak diberikan keringanan. Keadaan force majeure pada kasus ini menitikberatkan pada kasus
bencana alam masal.Sehingga perlu adanya kebijakan bank untuk menyikapi nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah akibat
gempa Padang.Fokus yang diambil oleh penulis adalah penyelesaian pembiayaan Mudharabah dan Murabahah pada Bank Syariah Mandiri
Cabang Padang pasca gempa Padang tahun 2009.
19
Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam bidang yang dikaji, pada penelitian pertama membahas mengenai penyelesaian
pembiayaan bermasalah yang difokuskan hanya pada force majeure dalam kasus bencana alam masal, sedangkan pada penelitian sekarang
mengkaji mengenai penyelesaian pembiayaan bermasalah yang terjadi karena force majeure dalam kasus perseorangan serta sebab menurut
jenisnya.
G. Metode Penelitian 1. Jenis metode penelitian