Amerika 8-9 juta pon. Komoditas ini merupakan komoditas ekspor urutan ketiga dalam arti jumlah setelah ikan dan udang Susanto et al., 2004. Sihombing 2004
menyatakan bahwa produksi rajungan Indonesia yang diekspor pada tahun 1993 sebanyak 442 724 ton dengan nilai US 1 042 miliar dalam bentuk tanpa kepala
dan kulit. Diperkirakan total produksi rajungan di Kolaka mengalami penurunan
karena terjadinya peningkatan kegiatan penangkapan. Sementara itu peningkatan penangkapan dipicu oleh tingginya nilai jual yang mencapai minimal Rp. 25.000,-
per kilogram dengan kulit atau Rp. 250.000,- per kilogram khusus daging. Faktor lain adalah permintaan pasar yang terus meningkat, Surjadi 2009
mengungkapkan bahwa salah satu tujuan pasar ekspor rajungan Indonesia yaitu Amerika terus mengalami peningkatan permintaan, pada tahun 2005
sebesar 21 114 ton, pada tahun 2006 sebesar 21 530 ton dan 21 678 ton pada tahun 2007.
Faktor harga komoditi yang tinggi dan pasar yang jelas telah mendorong terjadinya peningkatan penangkapan rajungan di Kabupaten Kolaka yang
berakibatkan penurunan produksi. Upaya peningkatan produksi banyak dilakukan melalui penambahan unit usaha effort. Penambahan jumlah effort tersebut
secara langsung akan memberikan tekanan terhadap sumberdaya dan ekosistem. Dampak nyata yang ditimbulkan terhadap sumberdaya dalam kurun waktu tertentu
akan menurunkan tingkat biomassa atau terjadi penurunan stok, sementara bagi ekosistem akan terganggu yang juga akan berdampak terhadap pertumbuhan
sumberdaya rajungan. Kangas 2000 menyatakan bahwa sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut,
sehingga dikuatirkan akan mempengaruhi populasinya di alam. Penurunan jumlah hasil tangkapan dan ukuran rajungan serta perubahan fishing ground
merupakan bukti terjadinya tekanan terhadap sumberdaya tersebut. Berdasarkan uraian di atas, diperlukan kehati-hatian dan kajian
komprehensif dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya kegiatan penangkapan sumberdaya rajungan Portunus pelagicus di kawasan Teluk Bone
khususnya perairan Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara yang nantinya dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan rajungan secara berkelanjutan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan
Menurut Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumberdaya ikan adalah potensi semua jenis ikan, sedangkan pengertian ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh
atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Perairan tempat kehidupan sumberdaya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya
merupakan maksud atau pengertian dari lingkungan sumberdaya ikan. Pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan
berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Pengelolaan sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus
menerus, baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya. Penangkapan ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, manangani, mengolah, danatau mengawetkannya. Pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Murdiyanto 2004 adalah
rangkaian tindakan yang terorganisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terutama untuk memanfaatkan dan memelihara sumberdaya perikanan
secara berkelanjutan. Pengelolaan perikanan menyangkut berbagai tugas yang kompleks yang bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam
yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara, yang diperoleh dari memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Keberhasilan pengelolaan
perlu ditunjang dengan pengetahuan para pengelolanya dan perangkat yang cukup memadai menyangkut ketersediaan informasi, personil pengelola, dana
serta kesadaran dan partisipasi masyarakat yang berhubungan dengan kegiatan usaha perikanan tersebut.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan dalam pengelolaan sumberdaya tersebut, maka setiap orang dapat memanfaatkan dan masuk dalam industri
perikanan. Setidaknya ada dua rejim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu rejim akses terbuka open access regime dan rejim pengelolaan secara terpusat
centrally planned management. Perbedaan kedua rejim ini terletak pada terkontrol-tidaknya pengelolaan sumberdaya dan bebas-tidaknya nelayan
melakukan ekspansi penangkapan ikan baik secara teknologi, hari menangkap ikan maupun daerah penangkapan. Walaupun akses terbuka seringkali
disamakan dengan milik bersama common property namun pada dasarnya keduanya memiliki arti yang sangat berbeda Fox, 1992 in Ishak, 2006.
Pelaksanaan pengelolaan perikanan menurut Murdiyanto 2004, dapat dilakukan dengan menetapkan dua langkah berikut ini: 1. Merancang dan
merumuskan rencana pengelolaan perikanan yang meliputi rangkaian kebijakan dan tujuan yang akan dicapai menyangkut kelestarian stok ikan dan kegiatan
perikanan yang bersangkutan. Dalam menetapkan kebijakan senantiasa mempertimbangkan karakteristik biologi dari stok ikan, potensi yang tersedia
secara alami serta dampak aktifitas perikanan yang ada terhadap stok ikan dan aspek ekonomi dan sosial bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat, 2.
Memutuskan dan melaksanakan peraturan yang ditetapkan dengan langkah- langkah action yang diperlukan, yang memungkinkan pihak pengelola, nelayan
dan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat bersama-sama bekerja bahu-membahu mencapai
tujuan yang ditetapkan. Tujuan pengelolaan ini seyogyanya disusun dan disepakati bersama oleh pengelola dan komponen masyarakat yang berkaitan dan
berkepentingan. Tindakan yang diperlukan akan melingkupi: mengembangkan dan melaksanakan rencana pengelolaan untuk semua stok ikan yang dikelola,
menjamin terpeliharanya stok ikan dan ekosistem sumberdayanya, mengumpulkan dan menganalisis data biologi dan perikanan yang diperlukan
untuk pengelolaan, memonitor, mengawasi dan melakukan penegakan hukum sehingga peraturan dapat berjalan secara efektif dan mengupayakan agar nelayan
dapat menerima dan mematuhi peraturan yang dikeluarkan. Masalah-masalah pengelolaan perikanan menurut Kusumastanto 2002,
antara lain meliputi; masalah biologi maupun masalah ekonomi. Masalah biologi seperti ancaman berkurangnya stok, dan masalah ekonomi seperti borosnya
tenaga kerja dan modal. Dalam kapasitas penangkapan yang berlebih serta pendapatan yang menurun, dapat diatasi dengan sistem individual tranferable
quota ITQ, namun sistem ini, dirasakan kurang sesuai untuk diterapkan di Indonesia, sehingga disarankan kepada pemerintah, agar mempertimbangkan
model territorial use right, yang dipandang lebih realistis bagi Indonesia dalam memasuki era otonomi daerah. Aturan pengelolaannya dapat dilakukan melalui
pendekatan community based management, state based management dan perpadauan keduanya yakni Coo-Management.
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan
pembangunan umum perikanan. Monintja dan Zulkarnain 1995 menyatakan bahwa apabila
pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit
penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja dengan pendapatan nelayan yang memadai. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan penyediaan
protein untuk masyarakat, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktifitas unit serta produktifitas nelayan per tahun yang tinggi namun masih
dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Menurut Martasuganda 2003, beberapa permasalahan yang dihadapi
dalam upaya untuk terus meningkatkan hasil tangkapan produksi baik untuk perikanan tangkap ataupun perikanan budidaya laut, dikarenakan belum
optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada antara lain: 1. Pemanfaatan sumberdaya banyak yang masih belum menggunakan teknologi
yang ramah lingkungan, 2. Penentuan daerah penangkapan ikan yang masih dilakukan dengan cara dikira-kira dan umumnya masih disekitar perairan pantai,
3. Pembuatan alat yang masih dilakukan secara turun temurun tanpa memperhitungkan target tangkapan, daerah penangkapan, waktu penangkapan
dan aspek lainnya yang terkait, 4. Alat tangkap dan perahu yang digunakan sebagian besar masih berskala kecil sedangkan yang berskala besar masih
sangat sedikit, 5 Kwalitas sumberdaya manusia yang masih rendah, 6. Teknologi penanganan hasil perikanan yang masih rendah dan tidak ramah lingkungan, 7.
Rantai pemasaran yang masih belum tertata dengan baik, 8. Kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana yang masih kurang, 9. Pengelolaan informasi
data masih belum dilakukan secara profesional, 10. Pembinaan dan penyuluhan usaha masih kurang, 11. Minimnya permodalan yang dimiliki, 12.
Penanggulangan pencurian ikan di wilayah ZEEI masih belum dilakukan secara terkoordinasi dan berkelanjutan, serta 13. Aspek lainnya yang berhubungan
dengan usaha perikanan.
Menurut Fauzi 2004, penerapan kebijakan konvensional yang sering digunakan antara lain pajak, baik pajak terhadap input maupun output perikanan,
pembatasan entry limited entry, maupun kuota, untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang rasional dan bertanggung jawab, sering menemui
kegagalan. User fee atau fishing fee sebagai salah satu alternatif alat pengelolaan sumberdaya perikanan yang didasarkan pada cost-effective
management, diharapkan menjadi stimulus bagi pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih efektif, disamping tersedianya dana untuk pemeliharaan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan. Tujuan utama pengelolaan sumberdaya berkelanjutan adalah pencapaian
keuntungan secara maksimum, dengan tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan sumberdaya, sebagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhannya WCED, 1987 in Dahuri, 2002. Selanjutnya bahwa atas dasar definisi dari tujuan tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung tiga
unsur dimensi utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologis dan sosial Harris et al., 2001 in Dahuri, 2002.
Pendekatan kelestarian ekologis dapat digunakan dalam pengelolaan perikanan dengan cara memperkuat, mengembangkan sistem budaya lokal yang
ramah lingkungan. Pada umumnya budaya tradisional memiliki pengakuan bahwa manusia bagian dari alam. Pemerintah sebagai decession maker perikanan perlu
melibatkan masyarakat lokal dalam merumuskan kebijakan Sujastani, 1982. Peran langsung masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan di perkuat sesuai
budaya setempat. Setiap daerah memiliki budaya yang khas. Sifat khas ini menyebabkan kebijakan pengelolaan perikanan akan menjadi sulit bersifat global
sama untuk setiap daerah, sehingga setiap daerah dapat memiliki sistem pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-masing daerah.
Gambar 2 Indikator Pengelolaan Berkelanjutan. Ekologi
Ekonomi Sosial