Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
terjadi pada bulan Juni sampai bulan September dengan hasil tangkapan berkisar antara 1 – 5 kg. Nontji 1993 mengatakan bahwa musim timur terjadi antara bulan
Juni sampai Agustus kadang-kadang sampai bulan September yaitu angin bertiup dari arah timur dan tenggara yang mempunyai karakteristik kering dan
relatif tidak cepat. Musim barat terjadi antara bulan Desember sampai bulan Maret dari arah barat dan barat laut dengan kecepatan relatif tinggi dan merupakan
musim penghujan. Selama musim barat kondisi gelombang dan angin sangat kuat sehingga
nelayan umumnya enggan untuk melaut. Namun, bagi nelayan rajungan kondisi ini sangat menguntungkan. Hal ini dikarenakan dengan adanya gelombang justru
akan menaikkan endapan lumpur yang didalamnya terdapat rajungan. Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada musim timur, tetapi gelombang yang
diakibatkan oleh angin timur tidak sebesar angin barat sehingga di musim ini nelayan mengalami masa paceklik.
Keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan sangat ditentukan oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah daerah penangkapan ikan
Simbolon et aI., 2009. Lebih lanjut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan daerah penangkapan ikan adalah wilayah perairan dimana alat tangkap dapat
dioperasikan secara sempurna untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang terdapat di dalamnya. Nomura dan Yamazaki 1977 mengatakan bahwa kondisi
daerah penangkapan ikan dikatakan catchable area apabila: 1 Perairan sesuai dengan habitat yang disenangi ikan dipengaruhi parameter oseanografi fisik,
biologi dan kimia; 2 Fishing gear mudah dioperasikan; 3 Daerah penangkapan ikan ekonomis dan menguntungkan.
Penentuan daerah penangkapan ikan termasuk rajungan yang potensial saat ini disebagian besar wilayah Indonesia masih menjadi kendala, sehingga
usaha penangkapan yang dilakukan oleh nelayan masih penuh dengan ketidakpastian karena nelayan tidak dapat langsung menangkap tapi mencari
daerah penangkapannya terlebih dahulu. Dengan demikian hasil tangkapannya juga menjadi tidak pasti, disamping itu sebagai akibat ketidakpastian tersebut
mengakibatkan kapal penangkap banyak menghabiskan waktu dan bahan bakar untuk mencari lokasi fishing ground, ini berarti terjadi pemborosan bahan bakar.
Akibatnya hasil tangkapan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Cara menentukan daerah penangkapan fishing ground rajungan yang dilakukan oleh nelayan Kabupaten Kolaka, umumnya berdasarkan pengalaman
nelayan yang telah melakukan trip sebelumnya. Apabila hasil tangkapan yang diperoleh pada operasi penangkapan sebelumnya cukup banyak maka nelayan
akan melakukan kegiatan penangkapan di daerah yang sama. Sebaliknya, jika diperoleh hasilnya sedikit maka nelayan akan mencari daerah penangkapan yang
baru. Simbolon et al. 2009 mengatakan bahwa penentuan atau pendeteksian daerah penangkapan ikan di perairan Indonesia dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya berdasarkan kebiasaan nelayan. Sementara Muslim 2000 menyatakan bahwa pencarian daerah penangkapan rajungan ini umumnya
didasarkan pada kebiasaan dan pengalaman nelayan dalam melakukan operasi penangkapan yaitu berada di sekitar pantai terbuka yang dipengaruhi oleh
gelombang, kecepatan arus yang tidak terlalu kuat dengan dasar perairan berupa pasir, pasir berlumpur dan lumpur.
Daerah penangkapan fishing ground rajungan di wilayah kajian umumnya terdapat di perairan pesisir dengan jarak dari pantai berkisar antara 0.3 – 3.7 km
atau rata-rata 1.6 km. Jarak fishing ground dari tempat berangkat atau tempat pendaratan hasil tangkapan fishing base berkisar antara 1.9 – 48.7 km.
Penyebaran fishing ground tersebut seiring dengan penyebaran domisili nelayan yang terkonsentrasi pada tiga fishing base yaitu LikuSani-sani, Kolaka dan
Tambea. Kualitas lingkungan perairan fishing ground rajungan tersebut memiliki
kisaran suhu antara 27.9
o
C – 32.7
o
C dengan kisaran salinitas antara 30
o oo
– 37
o oo
. Kedalaman berkisar antara 4 – 16.3 meter dengan tingkat kecerahan berkisar antara 3 – 8.5 meter. Memiliki substrat dasar perairan yang berpasir,
lumpur, lumpur berpasir, lamun dan karang mati Lampiran 3. Karakteristik lingkungan perairan fishing ground rajungan seperti yang ada
di perairan pesisir Kabupaten Kolaka tersebut, merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan rajungan. Hal ini sesuai dengan beberapa pernyataan yang
menyebutkan bahwa marga Portunus hidup di beraneka ragam habitat yaitu: perairan dasar berpasir, pasir berlumpur, lumpur berpasir, pasir kasar dengan
pecahan karang mati, terutama di rumput laut dari jenis Thalassia sp. Rajungan hidup di wilayah yang luas di pinggir pantai dan wilayah continental shelf,
termasuk berpasir, berlumpur atau berhabitat algae dan padang lamun dari zona intertidal wilayah pasang surut sampai perairan dengan kedalaman 50 meter
Moosa et al., 1980; CIESM, 2000; Sea-ex, 2001; Chande dan Mgaya, 2003; de Lestang et al., 2003; Susanto et al., 2004. Dalam keadaan normal rajungan diam
di dasar perairan sampai kedalaman 65 m, tapi sesekali dapat juga terlihat berada