Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

(1)

BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

FITRIA NUR INDAH SARI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

Fitria Nur Indah Sari C24080078


(3)

RINGKASAN

Fitria Nur Indah Sari, C24080078. Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Dibawah bimbingan Achmad Fahrudin dan Mennofatria Boer.

Rajungan merupakan salah satu sumberdaya hayati ekonomis penting. Nilai ekspor rajungan pada tahun 2007 menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna yaitu 21.510 ton dengan nilai 170 juta dolar AS. Pada tahun 2011 nilai ekspor rajungan meningkat menjadi 23.661 ton yang mencapai nilai 250 juta dolar AS. Kebutuhan ekspor rajungan di Indonesia banyak mengandalkan hasil tangkapan nelayan di laut salah satunya dari Teluk Banten yang merupakan salah satu lokasi penangkapan rajungan. Nelayan yang melakukan penangkapan rajungan di Teluk Banten mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model surplus produksi yang sesuai dengan karakteristik rajungan di Teluk Banten. Selanjutnya, model yang sesuai dianalisis secara bioekonomi melalui rezim pengelolaan MSY, MEY, dan Open access agar dapat diketahui usulan upaya pengelolaan untuk pemanfaatan sumberdaya rajungan di Teluk Banten secara berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas PPN Karangantu. Lokasi penelitian di PPN Karangantu yang terletak di bagian selatan Teluk Banten.

Model surplus produksi yang dicobakan adalah Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP). Melalui perbandingan hasil tangkapan aktual masing-masing model serta nilai R2 diperoleh bahwa model CYP adalah model yang sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di Teluk Banten. Nilai R2 pada model CYP sebesar 0,9826 dengan hasil tangkapan maksimum lestari sebesar 38.036,41 kg melalui upaya optimum sebesar 70.867 trip. Berdasarkan analisis bioekonomi dalam kurun waktu 2005-2011 menunjukkan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami biologic overfishing

maupun economic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan aktual sebesar 14539 kg/tahun dengan upaya 1.400 trip/tahun menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 416.961.017,00 sehingga kondisi ini tidak melebihi nilai hasil tangkapan pada rezim pengelolaan MSY sebesar 38.036,41 kg/tahun dan upaya pada rezim pengelolaan MEY sebesar 33.535 trip/tahun yang menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 988.018.525,00. Upaya pengelolaan untuk sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten yaitu dengan cara menetapkan TAC (Total Allowable Catch) yang bernilai 80% dari hasil tangkapan maksimum lestari menurut model CYP sebesar 30.429,13 kg/tahun. Selain itu, upaya pengelolaan lain berupa pengaturan effort (alat tangkap) pada ukuran mata jaring berdasarkan umur rajungan dan lebar karapas. Pengaturan effort ini diharapkan dapat mencapai keuntungan maksimum berdasarkan rezim pengelolaan MEY.

Kata kunci : Analisis bioekonomi, Model surplus produksi, Pemanfaatan sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus), Teluk Banten.


(4)

ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN

SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK

BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

FITRIA NUR INDAH SARI C24080078

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul :

Nama Mahasiswa : Fitria Nur Indah Sari Nomor Pokok : C24080078

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Pembimbing 1

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si NIP. 19640327 198903 1 003

Pembimbing 2

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer NIP. 19570928 198103 1 006

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

Tanggal Lulus : 7 Agustus 2012

Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten


(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas begitu besar kasih karunia dan berkat-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi yang berjudul “Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten’’ disusun untuk mengetahui usulan upaya pengelolaan untuk pemanfaatan sumberdaya rajungan di Teluk Banten secara berkelanjutan melalui model surplus produksi dan analisis bioekonomi yang sesuai dengan karakteristik rajungan di Teluk Banten.

Demikianlah skripsi ini disusun, semoga bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca. Saran dan kritik atas skripsi ini sangat diharapkan demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kepada Tuhan karena penulis dapat menyelesaikan penelitian akhir serta menuliskannya dalam skripsi yang berjudul “Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang-Banten’’. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, diantaranya:

1. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA atas arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini;

2. Dr. Ir. Etty Riani, MS. sebagai dosen penguji tamu yang memberi motivasi kepada penulis dan telah memberi saran perbaikan pada skripsi ini;

3. Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si atas saran penyempurnaan skripsi ini;

4. Prof. Dr.Ir. Kadarwan Soewardi sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberi nasehat dan motivasi;

5. Ir. Zairion, M.Si atas bimbingan dan arahannya;

6. Seluruh Dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas ilmu yang telah diberikan selama ini;

7. Seluruh staf Tata Usaha MSP, staf Laboratorium Model dan Simulasi serta seluruh civitas MSP yang telah membantu dan memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini;

8. Keluarga tercinta, Mamah Susilowati, A Wiji, Ade Ita dan Ade Via atas semua doa, nasehat, semangat, serta kasih sayang yang diberikan kepada penulis; 9. Staf PPN Karangantu (Pak Hartoyo, Pak Amir, Mas Ilham dan lainnya) atas

bantuannya selama melakukan penelitian;

10. Keluarga Pink House (Risty dan Memey) serta sahabat-sahabatku selama kuliah (Pinky, Nimas, Pion, Yuli dan Lodi) atas doa, dukungan dan semangatnya selama ini kepada penulis;

11. Teman-teman seperjuangan MSP 45, adik-adik MSP 46 dan 47 atas segala dorongan, inspirasi dan semangat kepada penulis;


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 21 November 1990 dari pasangan Bapak Jumanto dan Ibu Susilowati. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis mengawali pendidikan formal di SDN Sungai Bambu 05 Pagi Jakarta Utara dan lulus di tahun 2002. Pada tahun 2002-2005, penulis meneruskan pendidikan di SMPN 95 Jakarta Utara. Kemudian, pada tahun 2005-2008 menempuh pendidikan di SMA Negeri 80 Jakarta Utara.

Penulis masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima sebagai mahasiswi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himasper) sebagai Divisi Kewirausahaan periode 2011-2012. Selain itu, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian seperti IPB Art Contest, Gebyar Perikanan, serta Festival Air. Penulis juga berkesempatan mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Gagasan Tertulis dan lolos sebagai karya yang didanai oleh pihak DIKTI.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di FPIK, IPB, dengan judul “Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten’’dibawah bimbingan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.


(9)

ix

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 2

1.4 Manfaat ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) ... 4

2.2 Model Surplus Produksi ... 6

2.3 Model Schaefer (1954) ... 9

2.4 Model Fox (1970) ... 14

2.5 Model Walter Hilborn (1976) ... 16

2.6 Model Schnute (1977) ... 17

2.7 Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) ... 18

2.8 Analisis Bioekonomi Perikanan ... 19

2.9 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 23

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 24

3.2 Alat dan Bahan ... 25

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 25

3.4 Teknik Analisis ... 25

3.4.1 Standarisasi Upaya Penangkapan ... 25

3.4.2 Model Surplus Produksi ... 26

3.4.3 Analisis Bioekonomi ... 29

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 31

4.1.1 Kondisi Umum Perairan Teluk Banten ... 31

4.1.2 Perikanan di Teluk Banten ... 32

4.1.3 Daerah dan Musim Penangkapan ... 36

4.1.4 Model Surplus Produksi ... 37

4.1.5 Analisis Bioekonomi ... 44

4.2 Pembahasan ... 47

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 52

5.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(10)

x

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Analisis bioekonomi berbagai rezim pengelolaan ... 30 2. Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten

kurun waktu 2005-2011 ... 33 3. Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu

2005-2011 ... 33 4. Jumlah tangkapan (c) dan jumlah upaya penangkapan (f) rajungan di

Teluk Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu 2005-2011 ... 34 5. Produksi rajungan per bulan di PPN Karangantu tahun 2005-2011 ... 37 6. Jumlah tangkapan (c), jumlah upaya penangkapan (f) dan jumlah

tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten ... 38 7. Perbandingan parameter koefisien penangkapan (q), daya dukung

lingkungan (K), pertumbuhan intrinsik (r), nilai koefisien determinasi (R2), dan Standar error (SE) antara lima model produksi surplus

rajungan di Teluk Banten ... 44 8. Nilai parameter biologi dan ekonomi dalam penentuan MEY dan MSY... 45 9. Hasil Perhitungan bioekonomi sumberdaya rajungan di Teluk Banten... ... 45


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran ... 3 2. Rajungan (Portunus pelagicus) ... 4 3. Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama

biomassa (Sparre dan Venema 1999) ... 7 4. Kurva hubungan kuadratik antara biomassa (Bt) dengan turunan pertama

biomassa terhadap waktu (dBt/dt) ... 11 5. Kurva model Schaefer dan Fox ... 15 6. Keseimbangan Ekonomi Model Gordon-Schaefer ... 21 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan

oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu ... 24 8. Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di Pelabuhan

Perikanan Nusantara Karangantu ... 32 9. Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk

Banten kurun waktu 2005-2011 ... 34 10. Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk

Banten kurun waktu 2005-2011 ... 35 11. Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan

Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011. ... 36 12. Kurva hubungan jumlah tangkapan (c) dan jumlah upaya penangkapan

(f) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer ... 39 13. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten ... 39 14. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Fox perikanan rajungan di Teluk Banten. ... 40 15. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Walter Hiborn perikanan rajungan di Teluk Banten. ... 41 16. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Schnute perikanan rajungan di Teluk Banten ... 42 17. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar pertanyaan/kuisioner untuk nelayan ... 57

2. Jumlah tangkapan total (ctotal), upaya penangkapan total (ftotal), jumlah tangkapan per satuan upaya total (CPUEtotal) dan fishing power index (FPI) rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten dan perhitungan standarisasi upaya penangkapan ... 60

3. Statistik regresi model Schaefer ... 61

4. Statistik regresi model Fox ... 62

5. Statistik regresi model WalterHilborn ... 63

6. Statistik regresi model Schnute ... 64

7. Statistik regresi model CYP... 65

8. Kurva perbandingan antara hasil tangkapan rajungan aktual dengan hasil tangkapan berdasarkan tujuh model produksi surplus selama kurun waktu 2005-2011 ... 66

9. Data hasil wawancara. ... 67

10. Tabel perhitungan analisis bioekonomi. ... 68


(13)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rajungan (Portunus pelagicus) atau Blue Swimming Crab merupakan sumberdaya hayati yang bernilai ekonomis penting karena dapat dikonsumsi dan mengandung protein yang tinggi (Hermanto 2004). Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) mencatat nilai ekspor rajungan pada tahun 2007 menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna yaitu sejumlah 21.510 ton dengan nilai 170 juta dolar AS. Sedangkan untuk tahun 2011 mengalami peningkatan 23.661 ton dan mencapai nilai 250 juta dolar AS.

Salah satu lokasi penyebaran rajungan di Indonesia adalah Teluk Banten. Nelayan yang melakukan penangkapan rajungan di Teluk Banten mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Karangantu. Kontribusi ekspor rajungan di Teluk Banten pada tahun 2011 mencapai 64 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 1.898.500.00,-. Rajungan ini kemudian di ekspor ke Negara Jepang dan Uni Eropa (Laporan tahunan PPN Karangantu 2012). Kegiatan penangkapan rajungan yang terdapat di Teluk Banten banyak yang mengandalkan hasil tangkapan nelayan dan semakin berkembang dikarenakan banyaknya pengumpul rajungan yang membuka perusahaan pengolahan di sekitar Desa Karangantu. Rajungan yang diolah tersebut tidak hanya yang berukuran besar namun banyak juga yang berukuran kecil. Rajungan yang berukuran kecil ini ditangkap dikarenakan masih dapat diterima oleh pasar ekspor. Hal inilah yang mengakibatkan kegiatan penangkapan rajungan dilakukan secara terus-menerus setiap tahun.

Guna mengantisipasi kecenderungan peningkatan penangkapan rajungan yang berukuran kecil dan menyebabkan rajungan tidak bisa mencapai usia dewasa untuk berkembang biak, diperlukan suatu pemanfaatan sumberdaya perikanan berupa permodelan dan pengelolaan yang sesuai dengan kondisi suatu wilayah perairan yang sebenarnya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dapat mendukung usaha kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Banten yaitu menggunakan analisis bioekonomi yang didapatkan berdasarkan model surplus produksi yang paling sesuai.


(14)

1.2. Rumusan Masalah

Sumberdaya rajungan di Teluk Banten merupakan spesies yang dominan ditangkap di Teluk Banten. Berdasarkan data produksi tahunan PPN Karangantu, hasil tangkapan rajungan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dari tahun 2005-2011 cenderung mengalami fluktuasi. Pada tahun 2005 produksi rajungan di Teluk Banten sebesar 96 ton kemudian produksi turun pada tahun 2006 yaitu sebesar 19 ton, lalu pada tahun 2007 produksi rajungan meningkat kembali sebsar sebesar 50 ton dilanjutkan pada tahun 2008 yaitu sebesar 88 ton. Produksi mulai menurun kembali dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 yaitu berturut-turut sebesar 79 ton, 71 ton dan 64 ton.

Berangkat dari hal tersebut agar dapat diketahui model surplus produksi yang paling sesuai untuk karakteristik rajungan di Teluk Banten maka dicobakan lima model yaitu model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP). Selanjutnya, model yang sesuai, dianalisis bioekonomi melalui rezim pengelolaan MSY, MEY, dan Open access. Model bioekonomi merupakan perpaduan antara dinamika biologi sumberdaya perikanan dan faktor ekonomi yang mempengaruhi yang mempengaruhi alat tangkap, sedangkan untuk aspek tekniknya berupa penyesuaian ukuran alat tangkap dan teknologi yang digunakan dengan ukuran rajungan yang akan ditangkap, serta metode pengoperasiaannya (Susanto 2006). Apabila hal tersebut berhasil dilakukan, maka kerusakan sumberdaya rajungan dapat dicegah dan mendorong terciptanya operasi penangkapan rajungan dengan keberhasilan yang tinggi tanpa merusak kelestarian sumberdaya rajungan, serta memberikan hasil tangkapan dan keuntungan yang maksimum. Perumusan masalah dalam penelitian disusun dalam kerangka pemikiran (Gambar 1).

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Menentukan model surplus produksi yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di Teluk Banten.

2) Menganalisis bioekonomi rajungan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dengan rezim pengelolaan potensi lestari maksimum (MSY), potensi ekonomi maksimum (MEY) serta sistem terbuka (Open access).


(15)

3) Memberikan usulan upaya pengelolaan untuk pemanfaatan sumberdaya rajungan di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Banten secara berkelanjutan.

1.4. Manfaat

Penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang terkait untuk mendukung penentuan bentuk pengelolaan rajungan Portunus pelagicus secara lestari dan berkelanjutan. Selain itu, diharapkan dapat memperkaya wawasan pembaca mengenai kondisi perikanan secara umum khususnya sumberdaya rajungan Portunus pelagicus.

Gambar 1. Kerangka pemikiran

Sumberdaya Rajungan di Teluk Banten

Fluktuasi Produksi Rajungan di Teluk Banten Tahun 2005-2011

Model Surplus Produksi

Analisis Bioekonomi (MSY, MEY, Open Acces)

Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) Upaya Penangkapan Hasil Tangkapan


(16)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus)

Jenis kepiting dan rajungan diperkirakan sebanyak 234 jenis yang ada di Indo Pasifik Barat, di Indonesia ada sekitar 124 jenis (Moosa et al. 1980 in Firman 2008), lebih lanjut dijelaskan empat jenis di antaranya dapat dimakan (edible crab), yaitu rajungan (Portunus pelagicus), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus), dan rajunganangin (Podopthalmus vigil). Jika dibandingkan dengan tiga spesies rajungan yang lainnya, jenis Portunus pelagicus paling banyak dipasarkan di pasar internasional seperti Asia Tenggara. Harga pasaran rajungan tersebut berkisar antara US$ 3-5/kg untuk rajungan segar, sedangkan rajungan hidup harga jualnya berkisar antara US$ 5-8/kg (Pasisingi 2011).

Berikut adalah klasifikasi rajungan menurut Kangas (2000): Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea Sub kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus (Linnaeus 1766) Nama lokal : Rajungan

Nama FAO : Blue swimmer crab, blue manna crab, sand crab, blue crab

Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012)


(17)

Rajungan termasuk hewan perenang aktif, tetapi saat tidak aktif, hewan tersebut mengubur diri dalam sedimen menyisakan mata, antena dipermukaan dasar laut dan ruang insang terbuka (Fish 2001 in Firman 2008). Menurut Muslim(2000)

in Firman (2008) pada umumnya udang dan kepiting keluar pada waktu malam untuk mencari makan. Binatang ini keluar dari tempat-tempat persembunyiannya danbergerak menuju tempat yang banyak makanan.

Lovett (1981) in Hermanto (2004) mengatakan bahwa morfologi rajungan (Portunus pelgicus) hampir sama dengan kepiting. Perbedaan dicirikan dari duri akhir karapas pada rajungan yang relatif lebih panjang dan lebih runcing. Karapas rajungan berbentuk bulat pipih dengan warna cerah putih kebiruan. Rajungan dapat berjalan sangat baik sepanjang dasar perairan dan daerah interdal berlumpur yang lembab dan juga perenang yang baik.

Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi faktor alami dan buatan. Faktor alami diantaranya perkembangan hidup, kebiasaan makan, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan utama yang mempengaruhi tingkah laku rajungan adalah penggunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab poots (Fish 2000 in Pasisingi 2011). Sumberdaya rajungan banyak ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan perangkap buatan, trawl, pukat pantai dan jaring lingkar. Rajungan ditangkap dalam jumlah yang sangat banyak untuk dijual dalam bentuk segar dan beku di pasaran lokal. Adapula yang diolah di industri pengolahan dan pengalengan rajungan untuk tujuan ekspor (Pasisingi 2011). Negara Singapura, Hongkong, Jepang, Malaysia, Taiwan, dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor rajungan (Adam et al. 2006)

Susilo (1993) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh nyata terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan. Pada fase bulan gelap, rajungan tidak melakukan aktivitas ruaya, dan berkurangnya aktifitas pemangsaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dan bulan terang. Rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat fase bulan terang dibandingkan dengan pada fase bulan gelap. Oleh sebab itu waktu yang paling baik untuk menangkapbinatang tersebut ialah malam hari saat fase bulan terang (Firman 2008).


(18)

Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Perkiraan umur rata-rata rajungan dari lebar karapas tertentu dapat bervariasi. Pada umur 12 bulan, lebar karapas rata-rata rajungan adalah 90mm. Rajungan jantan dan betina umumnya mencapai kematangan seksual padaukuran lebar karapas 7 hingga 9 cm. Rajungan pada ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. (Kumar et al. 2000 in Firman 2008). Adapun yang mempunyai nilai ekonomis setelah mempunyai lebar karapas antara 95-228 mm (Rounsenfell 1975 in Setriana 2011).

2.2. Model Surplus Produksi

Model sangat penting untuk menduga konsekuensi dari bentuk pengelolaan dan dapat digunakan untuk membentuk dan memantau kebijakan (Beattie, et al. 2002). Produksi surplus dihitung sebagai jumlah dari pertumbuhan dalam berat dari individu-individu dalam populasi, dikurangi penurunan biomassa dari binatang yang mati karena mortalitas alami (Widodo dan Suadi 2008). Fungsi surplus produksi dapat dituliskan sebagai berikut:

...………...(2.2.1) merupakan biomassa pada tahun tertentu, adalah biomassa tahun sebelumnya ditambahkan dengan ( ) produksi surplus tahun sebelumnya dikurangi ( ) dengan tangkapan tahun sebelumnya (Masters 2007).

Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan bahwa pertambahan netto dalam ukuran populasi akan kecil, baik pada tingkat populasi tinggi maupun rendah. Karena itu sebagai konsekuensinya pertambahan tersebut akan mencapai maksimum pada tingkat populasi intermediate. Hukum umum dari pertumbuhan populasi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan deferensial sebagai berikut :

………...(2.2.2)

dimana B merupakan biomassa populasi. Hukum pertumbuhan populasi ini dipergunakan untuk menggambarkan banyak organisme. Suatu fungsi yang telah terbukti sangat cocok untuk berbagai data eksperimen yaitu:

………...(2.2.3)

dimana r dan K adalah konstanta. Ini dikenal dengan persamaan pertumbuhan logistik Verhultst-Pearl. Paramter r adalah laju pertumbuhan intrinsik, karena untuk


(19)

B kecil, maka laju pertumbuhan kira-kira sama dengan r. Adapun K adalah daya dukung lingkungan dan mewakili populasi maksimum yang dapat ditopang oleh lingkungan. Fungsi ini bersifat parabolik yang simetrik dengan laju pertumbuhan maksimum pada tingkat K. Kurva selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama biomassa (Widodo dan Suadi 2008)

Beberapa asumsi yang mendasari hukum umum pertumbuhan populasi pada Gambar 3 dapat dikemukakan sebagai berikut:

a) Setiap populasi dan ekosistem tertentu akan tumbuh dalam berat sampai mendekati daya dukung maskimum dari ekosistem (terutama dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan). Kenaikan dalam berat total perlahan-lahan berhenti manakala ukuran stok semakin mendekati, secara asimtotik, daya dukung dari lingkungan K secara asimtotik.

b) Nilai K kira-kira berkaitan erat dengan nilai biomassa dari stok perawan atau yang belum dimanfaatkan (virgin stock).

c) Pertumbuhan menurut waktu dari biomassa populasi dapat dilukiskan dengan suatu kurva logistik, turunan pertama dari kurva ini mencapai maksimum. d) Upaya penangkapan yang menurunkan K sampai dengan setengah dari nilai

originalnya akan menghasilkan pertumbuhan netto yang tertinggi dari stok, yakni produksi surplus maksimum (maximum surplus yield) yang tersedia dalam suatu populasi

e) Surplus produksi maksimum pada butir (d) akan dipertahankan secara lestari (di sinilah berawal yang disebut maximum sustainable yield, MSY) manakala biomassa dari stok yang dieksploitasi dipertahankan pada tingkat K/2

dB/dt = f(B)

Maksimum


(20)

Terdapat beberapa alasan biologi yang membuat beberapa asumsi tersebut masuk akal. Beberapa alasan tentang rendahnya produksi surplus pada tingkat ukuran stok lebih besar antara lain dikemukakan oleh Ricker (1975) in Widodo dan Suadi (2008) sebagai berikut:

a) Dekat densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi dan kadang-kadang jumlah aktual dari rekrut, lebih rendah dari pada densitas stok ikan yang lebih kecil. Meningkatkan rekruitmen dapat dicapai melalui pengurangan penangkapan stok ikan.

b) Bila suplai makanan terbatas, makanan kurang dikonversikan ke dalam bentuk daging ikan oleh stok yang besar dibandingkan dengan stok yang kecil. Masing-masing individu pada stok ikan besar akan mengkonversi makanan untuk biomassa dalam jumlah sedikit karena makanan akan digunakan untuk bertahan hidup, sedangkan stok ikan kecil memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan.

c) Suatu stok yang belum dieksploitasi secara relatif akan terdiri dari individu-individu berumur tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi. Hal ini akan menyebabkan produksi menurun, paling tidak melalui dua cara. Pertama, ikan yang lebih besar cenderung makan banyak, konsekuensinya adalah menurunnya efisiensi pemanfaatan dari produsen dasar makanan dalam piramida makanan. Kedua, ikan yang lebih tua akan mengkonversikan makanan yang mereka makan ke dalam bentuk daging baru (berat badan yang lebih tinggi) dalam jumlah yang lebih kecil, sebab ikan yang matang gonad akan memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan telur dan sperma.

Konsep surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Schaefer (1954) in Widodo dan Suadi (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model surplus produksi logistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa peningkatan (increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedang penurunan dari populasi tersebut (decrement) merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam (predasi, penyakit dan lain lain) maupun mortalitas yang disebabkan eksploitasi oleh manusia. Oleh karena itu, populasi akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila increment sama dengan decrement .


(21)

Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa model surplus produksi berkaitan dengan suatu stok secara keseluruhan, upaya total dan hasil tangkapan total yang diperoleh dari stok tanpa memasukkan secara rinci beberapa hal seperti parameter pertumbuhan dan mortalitas atau pengaruh ukuran mata jaring terhadap umur ikan yang tertangkap. Model-model holistik lebih sederhana bila dibandingkan dengan model analitik, karena data yang diperlukan juga menjadi lebih sedikit. Sebagai contoh, model-model ini tidak perlu menentukan kelas umur, sehingga dengan demikian tidak perlu melakukan perhitungan penentuan umur. Hal ini merupakan salah satu alasan model surplus produksi banyak digunakan di dalam mengkaji stok ikan di perairan tropis. Model surplus produksi dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total dan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) berdasarkan spesies serta upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup.

2.3. Model Schaefer (1954)

Model Schaefer merupakan formulasi matematika sederhana yang mampu menangkap banyak dari elemen-elemen dinamika populasi stok ikan nyata di dunia (Anderson dan Juan, 2010). Model Schaefer juga menyatakan bahwa pertumbuhan dari suatu stok merupakan suatu fungsi dari besarnya stok tersebut. Jelas bahwa asumsi suatu stok bereaksi seketika terhadap perubahan besarnya stok tidaklah realistik. Oleh karena itu dipergunakan konsep ekuilibrium, dan ini mengacu pada keadaan yang timbul bila suatu mortalitas penangkapan tertentu telah ditanamkan cukup lama ke dalam suatu stok, sehingga memungkinkan stok tersebut menyesuaikan ukuran serta laju pertumbuhannya sedemikian rupa sehingga persamaan yang dikemukakan oleh Schaefer terpenuhi (Suadi dan Widodo 2006). Tinungki (2005) menyatakan pula bahwa perluasan pertama penggunaan model yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) didasarkan pada pekerjaan terdahulu Graham (1935). Model Schaefer dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Misalkan B menyatakan biomassa stok (ukuran berat dari populasi ikan dalam ton), r dinyatakan sebagai laju pertumbuhan alami dari populasi (intrinsic growth rate) dan K adalah daya dukung lingkungan (environmental carrying


(22)

capacity) atau keseimbangan alamiah dari ukuran stok. Ini didefenisikan sebagai tingkat stok maksimum dari perairan dan lingkungan yang dapat didukung”

Schaefer (1954) in Anderson dan Juan (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan (dalam berat biomassa) dari suatu populasi (Bt) dari waktu ke waktu merupakan fungsi dari populasi awal. Schaefer dalam mengembangkan konsepnya mengasumsikan bahwa stok perikanan bersifat homogeni, fungsi pertumbuhannya adalah fungsi logistik dengan area terbatas. Menurut Widodo dan Suadi (2008), asumsi-asumsi model Schaefer adalah:

a) Terdapat batas tertinggi dari biomassa (K)

b) Laju pertumbuhan adalah relatif dan merupakan fungsi linear dari biomassa c) Stok dalam keadaan seimbang (equilibrium condition)

d) Kematian akibat penangkapan (Ct) sebanding dengan upaya (ft) dan koefisien

penangkapan (q)

e) Meramalkan MSY adalah 50% dari tingkat populasi maksimum

Metode keseimbangan sebagai dasar analisis model Schaefer dalam keseimbangan atau steady state. Metode keseimbangan berdasarkan pada asumsi perubahan upaya sedikit demi sedikit sehingga ukuran stok selalu menuju keseimbangan. Itu merupakan kondisi ekologis yang stabil dan hubungan biologi. Dengan asumsi ini, laju pertumbuhan populasi akan menuju nol. Dalam hal ini perlu memperoleh bentuk yang paling sederhana untuk model hasil surplus dari prinsip-prinsip awal. Tingkat perubahan biomassa dalam populasi yang terkait, diberikan oleh f(B), fungsi biomassa apapun yang sesuai. Dalam keadaan tidak ada aktivitas penangkapan laju perubahan stok sepanjang waktu dimodelkan sebagai:

………..………..….………...…... (2.3.1)

f(B) adalah fungsi pertumbuhan dan kematian. Laju pertumbuhan populasi ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena keterbatasan daya dukung lingkungan terdapat titik maksimum sehingga laju pertumbuhan akan menurun bahkan berhenti. Adapun dalam model kuadratik (logistik), dapat diasumsikan bahwa laju pertumbuhan populasi ikan adalah proporsi perbedaan antara daya dukung lingkungan dan populasi. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik. Menangkap ikan di populasi tertentu


(23)

akan mengurangi f(B) dengan fungsi usaha penangkapan ikan, yang akan dinyatakan pada persamaan berikut:

...………..…….…... (2.3.2)

Apabila jumlah populasi relatif kecil dibandingkan dengan luas wilayahnya maka dapat diasumsikan bahwa populasi ikan tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi asal, atau secara matematis mengacu dalam Anderson dan Juan, 2010 dapat ditulis sebagai:

………... (2.3.3)

Persamaan secara grafik persamaan (2.3.3) dapat dilihat pada Gambar 4:

Gambar 4. Kurva hubungan kuadratik antara biomassa (Bt) dengan turunan pertama biomassa terhadap waktu (dBt/dt = f(B))

(Widodo dan Suadi 2008)

Wu, et al. (2010) menyatakan bahwa tangkapan maksimum lestari (MSY), upaya penangkapan untuk mencapai MSY (FMSY) dan biomassa MSY dapat diduga

dengan mengasumsikan laju perubahan biomassa adalah nol sepanjang tahun. Gambar 3 di atas memperlihatkan pada saat pertumbuhan f(B) = 0, saat mengakibatkan Bt = K, namun pada saat K cukup besar maka . Laju

pertumbuhan alami merupakan pertumbuhan alamiah, atau biasa juga disebut sebagai laju pertumbuhan tercepat yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Pertumbuhan biomassa ikan di atas diasumsikan berlaku tanpa adanya gangguan atau penangkapan oleh manusia. Jika kemudian produksi perikanan diasumsikan tergantung dari input (upaya, Ft) dan jumlah biomassa ikan yang tersedia Bt serta

dBt/dt = f(B)


(24)

kemampuan teknologi yang digunakan q (yang disebut koefisian penangkapan), maka hasil tangkapan adalah sebagai berikut:

………....…....………...…...……….…. (2.3.4)

Persamaan (2.3.4) umumnya digunakan sebagai fungsi produksi panen ikan. Menyelesaikan model produksi surplus, diperlukan bentuk yang layak untuk dua fungsi yang cocok dengan data yang tersedia. Jika penangkapan Ct dimasukkan ke

dalam model, dan diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linear terhadap biomassa (Bt) dan input atau effort (Ft), maka laju pertumbuhan biomassa menjadi

………...….…...….. (2.3.5)

Asumsi keseimbangan dimana laju pertumbuhan mendekati nol, dalam hal ini masalah yang dihadapi oleh pengelola perikanan adanya peubah biomassa yang teramati, dimana hanya data produksi Ct dan jumlah input Ft yang digunakan seperti

jumlah kapal, jumlah trip atau hari melaut. Sehingga persamaan (2.3.5) dapat dipecahkan untuk mencari nilai biomassa B diperoleh hubungan antara hasil tangkapan lestari dan input digunakan sebagai berikut:

………...…..….. (2.3.6)

dengan mensubsitusi persamaan (6) ke dalam persamaan (4) diperoleh:

………..…...….…... (2.3.7)

Persamaan (2.3.7) dengan q sebuah konstanta, disebut sebagai koefisien penangkapan. Bagaimana ukuran penangkapannya (atau peluang tertangkap satu unit dari stok) per unit dari stok akan berubah jika upaya berubah satu satuan. Ft

adalah variabel upaya penangkapan. Persamaan (2.3.7) dapat juga digunakan untuk menyatakan hubungan antara penangkapan per satuan upaya (CPUE) dan level stok. Persamaan (2.4.7) akan menjadi linear jika dibagi dengan Ft:

………..………...……...….. (2.3.8)


(25)

Jika , maka …..……...…. (2.3.10)

Persamaan (2.3.10) merupakan asumsi model Schaefer, pada hubungan keseimbangan antara CPUEt (catcth per unit effort) dan Ft (effort) adalah linear.

Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

……….………...……...…... (2.3.11)

Sehingga hubungan antara effort ( ) dan catch ( ) dapat dinyatakan sebagai berikut:

………...………..……...…….…. (2.3.12)

Upaya optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama

tangkapan per satuan upaya (CPUE) sama dengan nol:

………...…(2.3.13)

.….………...……….……..……...……... (2.3.14)

Nilai tangkapan optimum atau jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusi nilai upaya optimum perasamaan (2.3.14) ke dalam persamaan (2.3.12):

………...… (2.3.15)

Penggunaan satu persamaan ini dapat menduga parameter-parameter fungsi produksi surplus dengan meregresikan data runtun waktu (time series) jumlah tangkapan (catch) dan upaya (effort). Tinungki (2005) menyebutkan bahwa salah satu keuntungan model Schaefer adalah dapat digunakan dengan tidak tergantung pada adanya data kelimpahan stok. Jika data runtun waktu untuk data penangkapan dan upaya tersedia, maka pendugaan parameter-parameter dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dapat dilakukan.

Model Schaefer mengasumsikan populasi pertumbuhan logistik yakni tangkapan meningkat secara cepat di awal, namun kemudian laju perubahannya


(26)

melambat dengan peningkatan upaya (Coppola dan Pascoe 1998). Model ini menetapkan dua hasil dasar, yaitu:

a) Upaya penangkapan adalah suatu fungsi linear dari ukuran populasi (atau tangkapan per satuan upaya)

b) Jumlah tangkapan adalah suatu fungsi parabola dari upaya penangkapan (Widodo 1986 in Pasisingi 2011)

2.4. Model Fox (1970)

Model Fox (1970) in Pasisingi (2011) memiliki karakter bahwa pertumbuhan biomassa mengikuti model pertumbuhan Gompertz, dan penurunan tangkapan per satuan upaya (CPUEt) terhadap upaya penangkapan (Ft) mengikuti pola

eksponensial negatif, yang lebih masuk akal dibandingkan dengan pola regresi linier. Asumsi yang digunakan dalam model Fox (1970) adalah:

a) Populasi dianggap tidak akan punah b) Populasi sebagai jumlah dari individu ikan

Model ini memperlihatkan grafik lengkung bila secara langsung diplot terhadap upaya ft akan tetapi bila diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya, maka akan menghasilkan garis lurus:

... (2.4.1)

Model tersebut mengikuti asumsi bahwa menurun dengan meningkatnya upaya. Model Fox dan Schaefer berbeda dalam hal dimana model Schaefer

menyatakan satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai = 0 yaitu bila

sedangkan pada model Fox, adalah selalu lebih besar dari nol untuk seluruh nilai .

Bila diplotkan terhadap ft akan menghasilkan garis lurus, pada model


(27)

upaya yang tinggi, tanpa pernah menyentuh sumbu pada model Fox. Gambar 5 memperlihatkan perbandingan antara kurva model Schaefer dan model Fox.

Gambar 5. Kurva model Schaefer (---) dan Fox (---)

Fox menyatakan bahwa hubungan antara effort (ft) dan catch (Ct) adalah

bentuk eksponensial dengan kurva yang tidak simetris, dan dinyatakan bahwa hubungan antara effort (ft) dan catch per unit effort (CPUEt) adalah sebagai berikut:

... (2.4.2)

Hubungan antara effort dan catch adalah:

... (2.4.3) Upaya optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama

catch (Ct) terhadap effort (ft) sama dengan nol:

... (2.4.4)

sehingga:

... (2.4.5) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusikan nilai upaya optimum ke dalam persamaan (2.4.3) sehingga:

...(2.4.6) besarnya parameter a dan b secara sistematis dapat dicari dengan mempergunakan persamaan regresi. Rumus-rumus untuk model produksi surplus ini hanya berlaku bila parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan jumlah effort akan


(28)

menyebabkan penurunan CPUE. Bila dalam perhitungan diperoleh nilai b positif maka tidak dapat dilakukan pendugaan stok maksimum maupun besarnya effort

minimum, tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah effort masih menambah hasil tangkapan. Penelitian komponen-komponen sumberdaya perikanan dan potensinya dilakukan terhadap kondisi perikanan yang sekarang ada. Informasi ini diperlukan untuk perencanaan pengembangan perikanan masa yang akan datang (Tinungki 2005).

2.5. Model Walter Hilborn (1976)

Model Walter Hilborn (1976) merupakan model yang dapat memberikan dugaan masing-masing untuk parameter fungsi produksi surplus r, q dan K dari tiga koefisien regresi. Persamaan model ini sebagai berikut:

………... (2.5.1) Prosedur model Walter-Hilborn adalah sebagai berikut:

Jika ... (2.5.2) maka:

yang menyatakan CPUE (catch per unit effort)

Persamaan dasar model produksi surplus dapat diformlasikan kembali sebagai berikut:

... (2.5.3)

Penyusunan kembali persamaan (2.5.3) dengan memindahkan ke sisi kiri dan mengalikan persamaan dengan sehingga diperoleh persamaan:

... (2.5.4)

Persamaan di atas diregresikan dengan laju perubahan biomassa sebagai peubah tidak bebas dan upaya penangkapan sebagai peubah bebas. Persamaan regresinya menjadi:


(29)

... (2.5.5)

Keterangan rumus (2.5.5):

2.6. Model Schnute (1977)

Schnute mengetengahkan versi lain dari model surplus produksi yang bersifat dinamik, discrete in time, serta deterministik dari cara Graham-Schaefer. Di sisi lain, memberikan model waktu dinamis, stokastik, dan khusus untuk model produksi surplus yang bertentangan dengan model statis, deterministik, dan kontinyu dari model Graham-Schaefer yang lain. Model Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskrit (Roff 1983 in Tinungki 2005). Dasar dari model Schnute adalah:

... (2.6.1) Pada rumus (2.6.1), sehingga:

... (2.6.2)

jika persamaan (2.6.2) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh:

... (2.6.3)

pada rumus (2.6.3), dan

Persamaan (2.6.3), selanjutnya disederhanakan dimana CPUE dan f masing-masing adalah rata-rata catch per unit effort dan rata-rata upaya penangkapan per tahun. Ini memberikan persamaan:


(30)

Beberapa manipulasi aljabar persamaan (2.6.4) dimodifikasi, sehingga Schnute

(1977) in Masters (2007) menunjukkan bahwa persamaan produksi surplus Schaefer

dapat ditransformasi ke dalam bentuk linear berganda sebagai berikut:

...(2.6.5)

Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter q, K dan r sebagai berikut:

Keuntungan dari model Schnute disamping secara teori lebih masuk akal. Model ini juga mempunyai beberapa keuntungan praktis. Salah satu keuntungan adalah untuk data tangkapan dan upaya yang nilainya dimulai dari periode tahun tertentu dapat digunakan untuk memprediksi tangkapan dan upaya optimum periode tahun yang akan datang dari data yang periode sebelumnya.

2.7. Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992)

Mengestimasi parameter biologi dari model produksi surplus adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley. Parameter-parameter r (laju pertumbuhan alami), q (koefisien kemampuan penangkapan), dan K (daya dukung lingkungan) yang dapat menggunakan model

Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) menurut Tinungki, et al.(2005) dinyatakan sebagai berikut:

... (2.7.1) sehingga persamaan (2.7.1) dapat ditulis dalam bentuk persamaan linear berganda sebagai berikut:

... (2.7.2) dengan:


(31)

Perhitungan parameter r, q, dan K akan didapatkan kesulitan sehingga dibuat algoritma (Fauzi 2002 in Pasisingi 2011). Koefisien regresi a, b, c diperlukan dalam menentukan:

... (2.7.3)

... (2.7.4)

... (2.7.5)

nilai Q diperlukan dalam menghitung nilai K

... (2.7.6)

2.8. Analisis Bioekonomi Perikanan

Menurut Fauzi dan Anna (2005) dasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Terkandung dua makna dari pernyataan tersebut yaitu makna ekonomi dan makna konservasi atau biologi. Dengan demikian pemanfaatan optimal sumberdaya ikan harus mengakomodasi kedua ilmu tersebut. Oleh karena itu, pendekatan bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.

Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh Scott Gordon, seorang ahli ekonomi dari Kanada yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal (Fauzi dan Anna 2005). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena selama ini permasalahan perikanan hanya terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Dengan permasalahan tersebut maka Gordon melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer (Nabunome 2007). Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal.


(32)

Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Schaefer yang paling sederhana (Widodo dan Suadi 2008).

Konsep MSY ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya konsep MSY ini dapat ditentukan dengan ukuran fisik yang sederhana yaitu berat atau jumah ikan yang tertangkap sehingga tentunya dapat menghindarkan perbedaan-perbedaaan dalam wilayah suatu negara bila dibandingkan dengan kriteria lainnya, misalnya: harga hasil tangkapan atau penurunan biaya operasi (Widodo dan Suadi 2008). Selain terdapat beberapa keuntungan, konsep MSY juga memilki beberapa kelemahan diantaranya banyak stok ikan yang dinamikanya tidak dapat dilukiskan hanya dengan gambaran yang sesederhana itu sehingga akan sulit menentukan letak MSY dari sumberdaya tersebut. Konsep MSY juga tidak dapat menampung berbagai interaksi populasi dengan populasi lainnya, adanya struktur umur dalam populasi, dan adanya recruitment (Widodo dan Suadi 2008). Menurut Conrad dan Clark (1987) in Fauzi 2010 kelemahan pendekatan MSY antara lain : (1) bersifat tidak stabil karena perkiraan stok yang meleset dapat mengakibatkan pada pengurasan stok; (2) hanya didasarkan pada kondisi steady state (keseimbangan); (3) tidak dapat diterapkan pada perikanan yang multispesies; (4) tidak memperhitungkan nilai ekonomis jika stok ikan tidak dipanen; dan (5) mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya.

Menyadari kelemahan dari kurva MSY, Gordon (1954) in Fauzi 2010 mengembangkan aspek ekonomi pengelolaan perikanan yang dikenal dengan istilah model biologi Gordon-Schaefer. Adapun asumsi yang mendasari adanya model ini ialah sebagai berikut :

1. Harga persatuan output (P) (Rp/kg) diasumsikan konstan 2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan

3. Bersifat single species

4. Struktur pasar bersifat kompetitif

5. Nelayan bersifat price taker yang artinya tidak dapat menentukan harga

6. Hanya faktor penangkapan yang dihitung sedangkan faktor lainnya seperti pasca panen tidak ikut diperhitungkan


(33)

Pada asumsi model Gordon-Schaefer, manfaat ekonomi (economic rent) dapat diperoleh dari selisih antara penerimaan total (total revenue) atau biasa disebut TR dengan biaya yang dikeluarkan. Nilai TR diperoleh dari perkalian antara harga per satuan ikan yang dijual (Rp/kg) dengan produksi lestari sebagaimana ditulis pada persamaan berikut :

TR = ph (E) = pqKE ……...……….(2.8.1) Persamaan (2.8.1) merupakan persamaan kuadratik terhadap effort dengan konstanta p, q, r, dan K. Persamaan di atas bisa ditulis menjadi lebih sederhana dalam bentuk TR = dimana =pqK sementara = (p K)/r sehingga plot kurva TR akan berbentuk parabolik. Gordon (1954) mengasumsikan bahwa TC (total cost) bersifat linier terhadap input (effort) atau dapat ditulis :

TC = cE………...(2.8.2) Konstanta c selain menggambarkan biaya per unit input juga menggambarkan biaya yang dikorbankan dari input (effort) yang digunakan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, manfaat ekonomi dapat digabungkan antara persamaan (2.8.1) dan (2.8.2) sehingga manfaat atau rente ekonomi dari penangkapan ikan dapat ditulis menjadi :

= pqKE –cE………...………(2.8.3) Dapat dilihat bahwa terdapat dua kesimbangan utama yang mendasari efisiensi pengelolaan perikanan yaitu manakala kurva TR dengan kurva TC bersinggungan pada titik A. Adapun titik ini terjadi pada tingkat input (effort) sebesar E (Gambar 6).


(34)

Pada kondisi perikanan yang terbuka, rente ekonomi yang positif akan menimbulkan daya tarik dari armada lain untuk ikut berpartisipasi dalam perikanan diantarnya adanya penambahan input seperti peningkatan ukuran kapal, penambahan tenaga kerja. Secara agregart input (effort) akan bertambah ditunjukkan oleh arah panah ke kanan yang dapat dikatakan sebagai proses entry dalam akses terbuka. Hal ini terus berlangsung sampai rente ekonomi terkuras. Sebaliknya, jika terjadi defisit rente ekonomi dimana biaya lebih besar dari penerimaan (TC TR) akan terjadi pengurangan input (exit yang ditunjukkan oleh arah panah ke kiri. Hal ini akan berlangsung secara terus menerus sampai rente ekonomi tekuras habis dengan

sendirinya. Hanya pada titik E = E∞, proses exit dan entry akan berhenti dan titik ini

disebut sebagai titik keseimbangan terbuka. Gordon juga melihat jika ditarik garis sejajar antara total biaya dan slope kurva penerimaan atau kurva TR akan diperoleh jarak tertinggi (rent) antara penerimaan dan biaya. Jarak tersebut merupakan manfaat ekonomi yang maksimum. Tingkat input pada keseimbangan ini terjadi pada E0. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa input yang dibutuhkan pada

kondisi akses terbuka dengan rente ekonomi yang nol jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan yang maksimum sehingga Gordon menyebutkan bahwa keseimbangan akses terbuka tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Pengelolaan yang optimal dan efisien dalam perspektif model Gordon-Schaefer ini secara sosial ada pada titik E0 yang dikenal dengan titik

MEY (maximum economic yield). Titik MEY ini bisa diperoleh jika perikanan

dikendalikan dengan kepemilikan yang jelas atau disebut dengan istilah “sole

owner” (Fauzi 2010).

Menurut Anderson (2010) bahwa maxsimum economic yield (MEY) dapat dicapai apabila kurva penerimaan marginal memotong kurva biaya marginal, sedangkan produksi open access terjadi bila penerimaan total seimbang dengan biaya total sehingga laba upaya penangkapan sama dengan nol. Effort yang dibutuhkan pada kondisi open access dengan rente ekonomi nol, jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan maksimum yaitu pada kondisi rezim

MEY. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Oleh karena itu untuk memperoleh keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian


(35)

sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik MEY.

Titik keseimbangan yang ketiga yakni ketika kurva TR mencapai titik maksimum yang berhubungan dengan titk input sebesar Emsy. Meskipun kurva TR

mencapai titik maksimum, namun jarak dengan kurva TC bukanlah jarak terbesar atau dapat dikatakan tidak dihasilkan rente ekonomi yang maksimum, sehingga

input pada Emsy tidak dapat dikatakan sebagai input yang optimal secara sosial

(Fauzi 2010).

2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan perikanan meliputi banyak aspek termasuk dalam aspek sumberdaya ikan, habitat. manusia, serta berbagai faktor eksternal lainnya. Seperti yang telah diuraikan oleh FAO (1997), pengelolaan peikanan merupakan proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuat keputusan, alokasi sumberdaya,dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin keberlangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (Widodo dan Suadi 2008).

Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan perikanan membutuhkan bukti-bukti ilmiah terbaik, proses diskusi melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), dan penetapan berbagai tujuan dan strategi pengelolaan melalui pembuat keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi aturan mainnya (Widodo dan Suadi 2008). Pengelolaan perikanan saat ini harus diperhatikan dikarenakan (1) semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan, dan (2) meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungan secara bijaksana dan berbagai upaya yang berkelanjutan (Widodo dan Suadi 2008).


(36)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas PPN Karangantu. Lokasi penelitian bertempat di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu yang terletak di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. PPN Karangantu merupakan pelabuhan perikanan yang paling dekat dengan Teluk Banten tepatnya berada di sebelah Selatan Teluk Banten. Gambar 7 merupakan kawasan perairan Teluk Banten yang digunakan untuk melakukan penangkapan rajungan. Lingkaran merah pada Gambar 7 merupakan daerah penangkapan rajungan (fishing ground) oleh nelayan PPN Karangantu.

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu


(37)

3.2. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat tulis, peta wilayah Karangantu, daftar pertanyaan (kuesioner), dan alat dokumentasi (kamera).

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara para nelayan di Pelabuhan PPN Karangantu dengan mengguunakan media kuisioner (Lampiran 1) antara lain untuk mengetahui:

1. Rata-rata produksi hasil tangkapan per trip 2. Rata-rata biaya operasi penangkapan per trip 3. Rata-rata pendapatan per trip

4. Jumlah trip selama satu tahun 5. Musim dan daerah penangkapan

6. Dokumentasi. Metode ini digunakan untuk mendokumentasikan keadaan lokasi penelitian dan deskripsi profil.

Sedangkan, data sekunder terdiri dari kondisi umum perairan Teluk Banten, upaya penangkapan dan data produksi rajungan selama tujuh tahun terakhir (2005-2011). Data sekunder tersebut diperoleh dari studi literatur, laporan statistik dan tahunan PPN Karangantu, Serang, Banten.

3.4. Teknik Analisis

3.4.1.Standarisasi Upaya Penangkapan

Standarisasi terhadap alat tangkap bertujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan upaya yang berbeda sehingga dapat dianggap upaya penangkapan suatu jenis alat tangkap diasumsikan menghasilkan tangkapan yang sama dengan alat tangkap standar. Pada umumnya pemilihan suatu alat tangkap standar didasarkan pada dominan tidaknya alat tangkap tersebut digunakan di suatu daerah serta besarnya upaya penangkapan yang dilakukan. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks (FPI) = 1 (Tampubolon dan Sutedjo 1983 in Tinungki 2005). Adapun nilai fishing power indeks (FPI) jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung dengan membagi nilai catch


(38)

per unit effort (CPUE alat tangkap lain) dengan CPUE alat tangkap standar. Nilai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya penangkapan standar alat tersebut.

...(3.4.1.1)

...(3.4.1.2)

...(3.4.1.3)

Upaya standar = FPI * fi

dengan CPUEs merupakan hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar, CPUEi adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i, Cs merupakan jumlah tangkapan jenis alat tangkap standar, Ci adalah jumlah tangkapan jenis alat tangkap i, fs adalah jumlah upaya jenis alat tangkap standar, fi adalah jumlah upaya jenis alat tangkap i, FPIs adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar, sedangkan FPIi adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap i.

3.4.2.Model Surplus Produksi

Model surplus produksi bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Struktur umum model surplus produksi adalah hubungan yang dinyatakan sebagai berikut:

Biomasat+1 = Biomasat + produksi – kematian alamiah

Ketika produksi lebih besar dibandingkan kematian alamiah, maka stok akan bertambah, sedangkan stok akan berkurang bilamana kematian alami meningkat. Model surplus produksi digunakan untuk menyatakan perbedaan antara produksi dan kematian alamiah (Tinungki 2005). Lima model yang akan digunakan dan dicobakan dalam penelitian ini adalah model Schaefer, Fox, Walter & Hilborn, Schnute, serta model Clarke Yoshimoto Pooley. Model surplus produksi yang telah dikenalkan oleh para ahli akan diterapkan ke dalam data runut waktu tahunan tangkapan dan upaya tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang dilakukan oleh nelayan di perairan Teluk Banten yang kemudian didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Berikut adalah


(39)

persamaan matematik masing-masing model surplus produksi yang digunakan untuk menduga tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya optimum penangkapan dengan menggunakan bantuan program Microsoft Excel:

A. Model Schaefer (1954)

Model linear Schaefer seperti pada (2.3.10) adalah . Sedangkan MSY dan upaya optimum diperoleh dengan:

Pada model Schaefer, regresi pertama yang dilakukan adalah:

Y = ct X1 = ft X2 = ft2

Sedangkan regresi kedua:

Y = CPUE X = ft

Parameter K, q, dan r diperoleh dari hasil yang dilakukan pada regresi kedua, yaitu:

Keterangan:

ct : Tangkapan tahun ke-t

ft : Upaya penangkapan tahun ke-t

CPUEt : Hasil tangkapan per satuan upaya tahun ke-t (ct/ft)

r : Parameter pertumbuhan

K : Daya dukung lingkungan

q : Koefisien penangkapan

MSY : Tangkapan Maksimum Lestari (Maximum Sustainable Yield) fopt : Upaya tangkapan optimal

B. Model Fox (1970)

Persamaan model Fox seperti pada (2.4.1) adalah . Sedangkan MSY dan upaya optimum diperoleh dengan:


(40)

Pada model Fox, regresi pertama yang dilakukan sama dengan regresi yang dilakukan oleh model Schaefer, begitu pula untuk memperoleh parameter K, q, dan r. Pada model ini, yang membedakan adalah regresi kedua, berikut ialah regresi kedua pada model Fox:

Y = lnCPUEt X = ft

C. Model Walter Hilborn (1976)

Persamaan model Walter Hilborn seperti pada (2.5.4) adalah

. Untuk memperoleh persamaan a,b, dan c diperoleh dengan

meregresikan koefisien berikut:

Nilai MSY dan upaya optimum diperoleh dengan:

Sedangkan untuk memperoleh parameter K, q, dan r adalah:

D. Model Schnute (1977)

Persamaan model Schnute seperti pada (2.6.4) adalah

. Untuk memperoleh persamaan a,b, dan c diperoleh dengan meregresikan koefisien berikut:

Nilai MSY dan upaya optimum diperoleh dengan:

Sedangkan untuk memperoleh parameter K, q, dan r adalah:


(41)

E. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992) Persamaan model CYP seperti pada (2.7.1) adalah:

untuk memperoleh persamaan a,b, dan c diperoleh dengan meregresikan koefisien berikut:

Nilai MSY dan upaya optimum diperoleh dengan:

Sedangkan untuk memperoleh parameter K, q, dan r adalah:

3.4.3. Analisis Bioekonomi

Dalam penelitian ini data dianalisis dengan pendekatan analisis bioekonomi Gordon-Shaefer. Analisis bioekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan optimum bagi pelaku eksploitasi sumberdaya perikanan (Susanto 2006). Analisis bioekonomi juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan nelayan dan tingkat pemanfaatan stok pada kondisi perikanan lestari (MSY) serta potensi ekonomi yang dikenal maximum economic yield (MEY), sehingga diketahui apakah terjadi perubahan profitability atau rente ekonomi dari aktivitas penangkapan rajungan yang menerapkan kebijakan minimum legal size. Secara umum analisis bioekonomi dapat menggunakan rumus pada Tabel 1.

Untuk menghitung persamaan dalam Tabel 1 diperlukan data sebagai berikut: c = Rata-rata biaya per satuan upaya (Rp/trip)

E = Jumlah upaya dari seluruh alat tangkap rajungan (trip/tahun)

K = Daya dukung lingkungan

p = Rata-rata harga rajungan (Rp/kg)


(42)

TR = p * c TC = c * E

Tabel 1. Analisis bioekonomi berbagai rezim pengelolaan

Variabel

Rezim Pengelolaan

MEY MSY OA

Hasil Tangkapan

(H)

Tingkat Upaya (E)

Rente Sumberdaya

( )


(43)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1.Kondisi Umum Perairan Teluk Banten

Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05o49’45’’- 06o

02’00’’LS dan 106o03’20’’

- 106o16’00’’BT. Teluk Banten berbentuk setengah lingkaran (Suadela, 2004). Teluk Banten terletak di Pantai Utara Jawa pada jarak 60km di sebelah barat kota Jakarta, termasuk wilayah administrasi Kabupaten Serang di Provinsi Banten yang sebelumnya mejadi bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dengaan variasi kedalaman 0,2 - 9 meter. Sebagian besar kawasan teluk bagian barat dimanfaatkan untuk kawasan industri dan pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan dimanfaatkan untuk industri, perumahan nelayan, pertambakan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Bagian timur meliputi kawasan pertambakan serta bagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi, 2004).

Pasang surut perairan Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh kondisi peraian Selat Sunda, dengan tinggi air pasangnya mencapai 90 cm. Berg (1999) in Pasisingi (2011) juga menyatakan bahwa endapan yang membentuk dasar perairan Teluk Banten berasal dari berbagai proses alam. Sebagian kecil endapan berasal dari Sungai Cibanten, dimana endapan inilah yang menyebabkan proses pendangkalan di Pulau Dua mulai tahun 1970. Lapisan di bawahnya berupa endapan yang berasal dari tsunami sebagai akibat dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (Tiwi, 2004). Teluk Banten mempunyai kawasan perairan seluas sekitar 150 km2 yang termasuk perairan dangkal dengan turbiditas tinggi. Terdapat beberapa pulau di kawasan ini yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Dadapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua. Kawasan perairan terutama di sekitar pulau kecil mempunyai kekayaan ekosistem dan biodiversitas yang bernilai tinggi. Padang lamun, terumbu karang, hutan bakau dan kawasan konservasi burung Pulau Dua yang ada di kawasan ini terkenal sampai tingkat internasional. Kawasan padang lamun mempunyai luasan 365 hektar, 100 hektar diantaranya berada di kawasan barat Teluk Banten yang merupakan kawasan padang lamun terbesar di Indonesia.


(44)

Kawasan terumbu karang diperkirakan meliputi luasan 2,5 km2, 22%nya merupakan karang hidup. Ekosistem bakau lebih mendominasi kawasan teluk bagian timur selatan terutama di sekitar Pulau Dua. Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk Banten secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Salinitas menurun pada musim hujan, kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya. Pengamatan pada tahun 1998-1999 menunjukkan bahwa suhu air berkisar 28-31,50C. Salinitas di daerah penangkapan ikan sekitar 28 – 33,8 ppm. Salinitas rendah (< 20 ppm) di perairan dekat muara sungai. Kecerahan di sekitar pulau-pulau karang di tengah Teluk Banten hingga utara Pulau Panjang bervariasi berkisar 2-10 meter. Kecerahan pada musim hujan di kawasan pantai dapat mencapai 10 cm (Nuraini 2004).

4.1.2.Perikanan di Teluk Banten

Teluk Banten merupakan bagian dari perairan Laut Jawa. Sumberdaya ikan yang berada di Teluk Banten sangat bervariasi, mulai dari ikan demersal, pelagis sampai ikan karang. Jenis-jenis ikan yang ditangkap di perairan Teluk Banten disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di PPN Karangantu

(laporan Statistik PPN Karangantu 2012)

Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa hasil tangkapan rajungan yang didaratkan di PPN Karangantu masih tergolong rendah yaitu sebesar 3% dari jumlah keseluruhan. Hal ini didasari karena secara umum alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan tergolong alat tangkap yang bersifat tradisional yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu.

7% 6% 15% 10% 3% 2% 14% 3% 3% 7% 10% 6%

11% 1% 2%

Teri Tembang Kembung Peperek Selar Kuwe Cumi-cumi Beloso Rajungan Kurisi Sotong Gulamah Kuniran Udang


(45)

Pada Tabel 2 menunjukkan hasil tangkapan dengan satuan ton yang diperoleh oleh nelayan di Teluk Banten yang mendaratkan rajungannya di PPN Karangantu selama tahun 2005-2011. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan rajungan tersebut yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu. Hasil tangkapan yang diperoleh per tahun masing-masing alat tangkap sangat berfluktuasi.

Tabel 2. Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011

Tahun Jaring Insang Tetap Jaring Dogol Jaring Payang Jaring Tiga Lapis Bagan Perahu

2005 17,126 23,498 22,494 8,824 1,025

2006 4,141 4,060 3,522 1,100 2,037

2007 13,159 9,887 4,127 1,508 9,638

2008 11,586 7,450 1,491 3,920 1,141

2009 12,890 8,475 1,567 1,426 3,032

2010 11,720 5,693 0,852 0,382 3,774

2011 9,483 1,217 0,193 0,387 3,259

(laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012)

Tabel 3 menunjukkan upaya tangkapan tahunan dalam satuan trip rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten yang menggunakan lima jenis alat tangkap yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu.

Tabel 3 Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011

Tahun Jaring Insang Tetap Jaring Dogol Jaring Payang Jaring Tiga Lapis Bagan Perahu

2005 820 1.162 822 1.562 705

2006 601 569 502 543 510

2007 1.100 882 668 336 678

2008 1.864 1.351 270 567 854

2009 1.899 1.804 186 167 508

2010 4.390 2.449 258 129 449

2011 1.478 183 102 139 808


(46)

Berdasarkan hasil perhitungan standarisasi upaya pada Lampiran 2 maka diperoleh data runut waktu total tangkapan rajungan serta jumlah upaya penangkapan dalam satuan trip dari lima jenis alat tangkap, dimana yang menjadi upaya standar adalah trip menggunakan alat tangkap dogol sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Fluktuasi tangkapan dari tahun 2005 sampai tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 9, secara visual.

Tabel 4. Jumlah tangkapan (c) dan jumlah upaya penangkapan (f) rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu 2005-2011

Tahun c (kg) f (trip)

2005 122.967 3.228

2006 14.860 1.754

2007 38.319 2.459

2008 25.588 3.102

2009 27.390 3.200

2010 22.421 5.124

2011 14.539 1.400

(Laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012)

Pada Tabel 4, terlihat bahwa hasil tangkapan dari standarisasi kurun waktu 2005-2011, hasil tangkapan tertinggi diperoleh di tahun 2005 sebesar 122.967 kg dan upaya tertinggi diperoleh pada tahun 2010 yaitu sebesar 5.124 trip. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian terdahulu oleh Pasisingi (2011) dengan standarisasi kurun waktu 2005-2010 bahwa hasil tangkapan tertinggi diperoleh tahun 2005 sebesar 112.328 kg dan upaya tertinggi pun diperoleh pada tahun 2010 sebesar 7.349 trip.

Gambar 9. Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011

96,227 19,225 50,358 87,501 79,203 70,998 63,554 0 20 40 60 80 100 120

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

H a sil T a ng k a pa n (T o n) Tahun


(47)

Produksi rajungan di Teluk Banten selama tujuh tahun ditunjukan oleh Gambar 9. Selama tujuh tahun kurun waktu tersebut, terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2005, sedangkan tangkapan terendah pada tahun 2006. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala PPN Karangantu, hasil tangkapan 2006 yang menurun secara drastis diduga karena kenaikan bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar yang digunakan oleh nelayan untuk melaut. Hal ini berakibat nelayan menurunkan effort sehingga hasil tangkapan yang didapatkan menurun pada tahun tersebut. Namun, secara keseluruhan, hasil tangkapan rajungan di Teluk Banten cukup fluktuatif.

Pada Gambar 10 menunjukkan fluktuasi tahunan upaya penangkapan rajungan dalam satuan trip di Teluk Banten oleh nelayan PPN Karangantu. Upaya tangkapan tertinggi pada tahun 2010, sedangkan upaya tangkapan terendah pada tahun 2006. Upaya tangkapan mulai menurun lagi pada tahun 2011 namun secara keseluruhan terlihat adanya peningkatan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu dari tahun 2006 sampai tahun 2010.

Gambar 10. Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011

Gambar 11 menunjukkan tangkapan per satuan upaya (Catch per unit Effort/CPUE) rajungan di Teluk Banten. Selama tujuh tahun CPUE cukup berfluktuasi. CPUE tertinggi pada tahun 2011, sedangkan terendah pada tahun 2006. Pada tahun 2008 hingga 2010, CPUE di Teluk Banten menurun namun meningkat kembali pada tahun 2011.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Upa

y

a

(

trip)


(48)

Gambar 11. Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011

4.1.3.Daerah dan Musim Penangkapan

Daerah penangkapan atau fishing ground nelayan rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan rajungan berada di Pulau Tunda, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, dan Pulau Panjang. Hasil tangkapannya didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Lama waktu tempuh nelayan untuk mencapai fishing ground Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, dan Pulau Panjang adalah sekitar 30 menit dengan jarak tempuh 1,5 mil sedangkan untuk Pulau Tunda adalah sekitar 1 jam hingga 1 jam 30 menit dengan jarak tempuh sekitar 4 mil. Usaha penangkapan rajungan dengan skala kecil operasi penangkapannya adalah one day fishing. Spesies rajungan yang umumnya ditangkap oleh nelayan adalah Portunus pelagicus. Penentuan fishing ground dilakukan hanya dari pengalaman nelayan dan perkiraan cuaca. Perkiraan cuaca diperoleh dengan pengamatan sendiri berdasarkan berbagai gejala alam, seperti angin besar dan gelombang tinggi.

Musim penangkapan rajungan di perairan Teluk Banten berdasarkan hasil wawancara terdiri atas tiga musim yaitu musim puncak, sedang, dan musim paceklik. Musim puncak terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. Musim sedang terjadi pada bulan September – November. Musim paceklik terjadi pada bulan Maret – Agustus. Hasil wawancara tersebut didukung oleh data produksi rajungan per bulan oleh nelayan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dengan kurun waktu 2005-2011 pada Tabel 5.

0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

CP

UE

(

to

n/tr

ip)


(49)

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa produksi terbanyak diperoleh di bulan Desember, Januari dan Februari, hal ini membuktikan bahwa musim puncak diperoleh pada bulan tersebut. Musim sedang penangkapan rajungan terlihat pada data tersebut di bulan September – November. Pada bulan Maret – Agustus produksi rajungan berjumlah sedikit dan hal ini dapat membuktikan pada bulan tersebut merupakan musim paceklik.

Tabel 5. Produksi rajungan per bulan di PPN Karangantu tahun 2005-2011

BULAN HASIL TANGKAPAN (KG) TAHUN KE-

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Januari 26.070 2.765 668 19.761 8.211 22.536 3.456 Februari 29.300 1.950 427 13.403 23.408 4.523 4.385 Maret 16.200 3.700 88 4.703 2.573 4.577 3.095 April 9.321 2.220 488 5.325 2.511 683 4.812 Mei 1.810 2.890 595 3.928 2.739 14.724 4.530

Juni 803 2.225 351 1.624 942 300 4.518

Juli 845 700 393 3.328 3.368 2.562 2.867 Agustus 786 532 67 4.144 1.312 4.566 5.093 September 12.400 363 40 4.710 3.516 3.200 3.328 Oktober 10.600 560 183 3.359 8.287 4.512 10.031 November 5.000 440 16.615 15.519 12.141 4.840 12.783 Desember 218 880 30.443 7.669 10.195 3.975 4.656

4.1.4.Model Surplus Produksi A. Model Schaefer (1954)

Model Schaefer mengikuti model pertumbuhan logistik. Penurunan hasil tangkapan per satuan upaya CPUE terhadap upaya penangkapan F mengikuti pola regresi linear. Hasil tangkapan rajungan C dalam satuan ton, upaya penangkapan F dalam satuan trip serta tangkapan per satuan upaya CPUE dalam satuan ton/trip disajikan pada Tabel 6. Kolom 2 menunjukkan hasil tangkapan, sedangkan kolom 3 menunjukkan upaya trip yang dilakukan oleh nelayan. Hubungan parabolik antara hasil keseimbangan dan upaya penangkapan optimum akan memberikan informasi mengenai hasil tangkapan maksimum lestari MSY dan tingkat penangkapan optimum FMSY yang akan menghasilkan MSY. Adapun tangkapan per satuan upaya CPUE (kolom 4) diperoleh dari hasil bagi antara tangkapan C (kolom 2) dengan upaya tangkapan F (kolom 3) setiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2011.


(50)

Tabel 6. Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F) dan jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten

Tahun C (kg) F (trip) CPUE(kg/trip)

2005 122967 3228 38,0915

2006 14860 1754 8,4735

2007 38319 2459 15,5837

2008 25588 3102 8,2475

2009 27390 3200 8,5590

2010 22421 5124 4,3755

2011 14539 1400 10,3857

(Laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012)

Regresi antara CPUE (kolom 4) dan upaya penangkapan (kolom 3) pada Tabel 6, menghasilkan persamaan regresi linear sebagai berikut:

Upaya optimum model Schaefer dapat diperoleh dari hasil perhitungan pada Lampiran 3 dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a= 1,5090 dan b = -0,0006, sehingga diperoleh hasil sebesar 1.283 trip/tahun dan R2 sebesar 0,0397.

Berdasarkan model Schaefer, selama satu tahun jumlah trip upaya tangkapan tidak boleh melebihi 1.283 trip. Adapun hasil tangkapan maksmum lestari MSY dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a dan b sehingga diperoleh hasil sebesar 968 kg/tahun. Artinya, untuk dapat memanfaatkan sumberdaya rajungan secara lestari di Teluk Banten, maka potensi ikan yang boleh ditangkap selama satu tahun maksimal 968 kg. Artinya hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY rajungan di Teluk Banten sebesar 968 kg/tahun, dengan dugaan upaya penangkapan optimum 1.283 trip selama satu tahun.

Gambar 12 menunjukkan grafik hubungan antara jumlah tangkapan maksimum lestari dengan upaya penangkapan rajungan di Teluk Banten. MSY yang dihasilkan pada model Schaefer sebesar 968 kg diperoleh dengan upaya optimum 1.283 trip selama setahun.


(51)

Gambar 12. Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer

Hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan dengan model Schaefer dari tahun 2005 sampai tahun 2011 diperlihatkan pada Gambar 13. Pola perubahan hasil tahunan aktual cenderung berbeda dengan perubahan produksi tahunan model

Schaefer. Hasil tangkapan dengan model Schaefer pada tahun 2005jauh lebih tinggi dibandingkan hasil tangkapan aktual nelayan Karangantu sedangkan di tahun 2006-2010 hasil tangkapan dengan model Schaefer jauh lebih rendah kemudian naik lagi pada tahun 2011.

Gambar 13. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

0 500 1000 1500 2000 2500

H a sil T a ng k a pa n (k g ) Upaya (trip) 0 50 100 150 200

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

H a sil T a ng k a pa n (t o n) Tahun Produksi Aktual Schaefer


(1)

Lampiran 8. Kurva perbandingan antara hasil tangkapan rajungan aktual dengan hasil tangkapan berdasarkan tujuh model produksi surplus selama kurun waktu 2005-2011

0 200 400 600 800 1000 1200

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Hasi

l

T

an

gk

ap

an

(t

on

)

Tahun

CYP WH Schnute Fox Schaefer Produksi Aktual


(2)

Lampiran 9. Data hasil wawancara

Alat Tangkap Biaya Operasional

Jaring Insang Tetap Rp 89.500,00

Jaring Dogol Rp 83.125,00

Jaring Payang Rp 94.450,00

Jaring Tiga Lapis Rp 85.625,00

Bagan Perahu Rp 75.000,00

10 4 10 4 2 0 2 4 6 8 10 12 Jaring Insang Tetap Jaring Tiga Lapis

Jaring Payang Jaring Dogol Bagan Perahu

B a ny a k ny a Nela y a n Alat Tangkap


(3)

Lampiran 10. Tabel perhitungan analisis bioekonomi

q 0,00005344 Slope 2 reg 2 rk/4 38.036,41

K 40.170,46 a/q 1+(c/pqk) 1,0606

r 3,7875 Slope 1 reg 2 1-(c/pqk) 0,9394

Kq (a) 4,7443 intercept reg 1 r/2q 35.433,75

b -0,3089 Slope 1 reg 1 rc/pq 9.219,73

p 29.000,00 r/q 70.867,50

c 3.773,00

Variabel MEY MSY Aktual OA

Yield (kg) 37.896,74 38.036,41 14.539,00 8.661,03

Effort (trip) 33.287,00 35.434,00 1.400,00 66.573

TR (Rp) 1.099.005.373,00 1.103.055.930,00 421.631.000,00 251.169.894 TC (Rp) 125.584.947,00 133.686.061,00 5.281.641,00 251.169.894 Rente ekonomi


(4)

Lampiran 11. Foto hasil penelitian

Wawancara dengan nelayan


(5)

Kapal penangkap rajungan


(6)

RINGKASAN

Fitria Nur Indah Sari, C24080078. Analisis Bioekonomi untuk Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Dibawah bimbingan Achmad Fahrudin dan Mennofatria Boer.

Rajungan merupakan salah satu sumberdaya hayati ekonomis penting. Nilai ekspor rajungan pada tahun 2007 menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna yaitu 21.510 ton dengan nilai 170 juta dolar AS. Pada tahun 2011 nilai ekspor rajungan meningkat menjadi 23.661 ton yang mencapai nilai 250 juta dolar AS. Kebutuhan ekspor rajungan di Indonesia banyak mengandalkan hasil tangkapan nelayan di laut salah satunya dari Teluk Banten yang merupakan salah satu lokasi penangkapan rajungan. Nelayan yang melakukan penangkapan rajungan di Teluk Banten mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model surplus produksi yang sesuai dengan karakteristik rajungan di Teluk Banten. Selanjutnya, model yang sesuai dianalisis secara bioekonomi melalui rezim pengelolaan MSY, MEY, dan Open access agar dapat diketahui usulan upaya pengelolaan untuk pemanfaatan sumberdaya rajungan di Teluk Banten secara berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas PPN Karangantu. Lokasi penelitian di PPN Karangantu yang terletak di bagian selatan Teluk Banten.

Model surplus produksi yang dicobakan adalah Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP). Melalui perbandingan hasil tangkapan aktual masing-masing model serta nilai R2 diperoleh bahwa model CYP adalah model yang sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di Teluk Banten. Nilai R2 pada model CYP sebesar 0,9826 dengan hasil tangkapan maksimum lestari sebesar 38.036,41 kg melalui upaya optimum sebesar 70.867 trip. Berdasarkan analisis bioekonomi dalam kurun waktu 2005-2011 menunjukkan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami biologic overfishing

maupun economic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan aktual sebesar 14539 kg/tahun dengan upaya 1.400 trip/tahun menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 416.961.017,00 sehingga kondisi ini tidak melebihi nilai hasil tangkapan pada rezim pengelolaan MSY sebesar 38.036,41 kg/tahun dan upaya pada rezim pengelolaan MEY sebesar 33.535 trip/tahun yang menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 988.018.525,00. Upaya pengelolaan untuk sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten yaitu dengan cara menetapkan TAC (Total Allowable Catch) yang bernilai 80% dari hasil tangkapan maksimum lestari menurut model CYP sebesar 30.429,13 kg/tahun. Selain itu, upaya pengelolaan lain berupa pengaturan effort (alat tangkap) pada ukuran mata jaring berdasarkan umur rajungan dan lebar karapas. Pengaturan effort ini diharapkan dapat mencapai keuntungan maksimum berdasarkan rezim pengelolaan MEY.

Kata kunci : Analisis bioekonomi, Model surplus produksi, Pemanfaatan sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus), Teluk Banten.