4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Geografis dan Administratif
Kabupaten Kolaka berada di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara memanjang dari
utara ke selatan berada di antara 02°45 – 05°00 Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 121°00 – 122°15 Bujur Timur
Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2008. Batas-batas wilayah Kabupaten Kolaka, yaitu :
• Disebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara •
Disebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara
• Disebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana Provinsi
Sulawesi Tenggara •
Disebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah Kabupaten Kolaka mencakup jazirah daratan dan kepulauan yang
memiliki luas wilayah daratan kurang lebih 6 918.38 km
2
, luas wilayah perairan laut diperkirakan seluas 15 000 km
2
dengan panjang garis pantai 295 875 km serta memiliki 13 tiga belas buah pulau-pulau kecil dengan luas secara
keseluruhan pulau-pulau kecil tersebut yaitu 4 384 Ha. Secara administratif Kabupaten Kolaka dibagi dalam 20 Kecamatan yang terdiri dari 45 Kelurahan dan
178 Desa. Dari 20 kecamatan tersebut terdapat 10 kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut atau kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Wolo, Samaturu,
Latambaga, Kolaka, Wundulako, Baula, Pomalaa, Tanggetada, Kecamatan Watubangga dan Kecamatan Toari DKP Kolaka, 2009.
4.2 Keadaan Iklim
Iklim di daerah ini umumnya sama seperti di wilayah lain di Indonesia yang berada disekitar daerah khatulistiwa yakni beriklim tropis. Memiliki dua musim,
yaitu musim hujan yang berlangsung pada bulan November sampai bulan Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut angin barat bertiup dari Asia dan Samudera
Pasifik yang mengandung banyak uap air yang lazim juga disebut musim barat. Musim kemarau atau angin timur umumnya atau biasa terjadi pada bulan Mei
sampai bulan Oktober setiap tahun. Khusus pada bulan April di Kabupaten Kolaka
terjadi tiupan angin dengan arah angin tidak menentu dan diiringi dengan curah hujan yang tidak menentu pula sehingga pada bulan ini dikenal sebagai musim
pancaroba. Sebaran curah hujan di wilayah Kabupaten Kolaka pada umumnya tidak
merata, hal ini menimbulkan adanya wilayah daerah basah dan wilayah daerah kering. Wilayah daerah basah dengan curah hujan lebih dari 2000 mmtahun
berada pada wilayah bagian utara dengan jumlah bulan basah 5 – 9 bulantahun. Wilayah daerah kering memiliki curah hujan kurang dari 2000 mmtahun
ditemukan pada wilayah bagian selatan dan timur yang memiliki bulan basah antara 3 – 4 bulantahun.
Suhu udara rata-rata bulanan di wilayah Kabupaten Kolaka berkisar antara 24
o
C sampai 28
o
C, dengan suhu udara minimum sekitar 10
o
C dan suhu maksimum sekitar 31
o
C. Keadaan suhu tersebut merupakan akumulasi kondisi cuaca secara keseluruhan. Wilayah daratan Kabupaten Kolaka mempunyai
ketinggian umumnya dibawah 1000 meter dari permukaan laut DKP Kolaka, 2009.
4.3 Topografi dan Kondisi Hidro-Oseanografi
Keadaan permukaan bumi di wilayah Kabupaten Kolaka umumnya terdiri dari gunung dan bukit-bukit yang memanjang dari utara ke selatan. Diantara
gunung dan bukit terbentang dataran-dataran yang merupakan daerah potensial untuk pengembangan sektor pertanian dengan tingkat kemiringan yang bervariasi
DKP Sulawesi Tenggara, 2005, sebagai berikut : •
Antara 0 - 2
seluas 102 493 Ha 9.94 dari luas daratan. •
Antara 2 - 15
seluas 88 051 Ha 8.84 dari luas daratan. •
Antara 15 - 40
seluas 206 068 Ha 19.99 dari luas daratan. •
Antara 40 keatas seluas 634 388 Ha 61.23 dari luas daratan.
Berdasarkan data tersebut di atas maka dapat dijelaskan bahwa Kabupaten Kolaka memiliki topografi yang pada umumnya berbukit sampai
bergunung-gunung dan hanya sedikit terdapat daerah yang landai. Pada perkembangannya daerah yang landai terus mengalami peningkatan sebagai
akibat adanya usaha pemerintah dan rakyatmasyarakat setempat untuk melakukan reklamasi pantai. Ditemukan beberapa daerah yang telah mengalami
reklamasi pada daerah pantai termasuk ditemukannya perumahan nelayan di atas perairan pantai, yaitu di Anaiwoi, Hakatutobu, Tambea, Dawi-dawi, Lamokato dan
Kolakaasi.
Kabupaten Kolaka memiliki beberapa sungai yang cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan seperti; irigasi, sumber air bersih, industri, serta pariwisata.
Sungai-sungai tersebut, yaitu : sungai Wolulu; sungai Oko-Oko; sungai Huko- Huko; sungai Baula; sungai Lamekongga; sungai Ladongi, Andowengga; sungai
Tokai; sungai Loea dan sungai Simbune; sungai balandete, Kolaka; sungai Manggolo; sungai Wolo; sungai Tamboli dan Konaweha; sungai Mowewe; sungai
Konawe. Dipandang dari sudut oseanografi, luas wilayah perairan laut Kabupaten
Kolaka diperkirakan mencapai + 15 000 Km
2
dan masuk ke dalam kawasan perairan Teluk Bone. Wagey 2004 mengatakan bahwa kajian daya dukung lahan
laut di perairan Teluk Bone pada tahun 2004 ini, menghasilkan penggambaran fenomena yang terjadi pada periode Monsun Tenggara Bulan Agustus 2004.
Dimana Elevasi permukaan laut pada kondisi Pasang Purnama adalah berkisar 0.0492–2.4140 meter. Sedangkan kecepatan arus permukaan pada kondisi yang
sama berkisar 0.5x10
-3
–12.25x10
-3
mdt, dengan arah dominan menyusur pantai timur yang kemudian menuju ke arah Utara dan Barat. Peristiwa downwelling
terjadi di beberapa lokasi di pantai barat dan upwelling di beberapa lokasi di pantai timur. Dimana kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke atas adalah
0.5x10
3
–3.5 x 10
-3
mdt, sedangkan kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke bawah adalah 0.5x10
-3
–4.6x10
-3
mdt. Kondisi temperatur air di permukaan berkisar 27.083–29.029ºC, sedangkan kisaran temperatur hingga di kedalaman
rata-rata 150 meter adalah 17.677–18.328ºC. Dimana kisaran salinitas di permukaan antara 33–32.32 PSU, dan kisaran salinitas di kedalaman rata-rata
150 meter mencapai 34.388–34.860 PSU. Sedangkan kisaran densitas dari seluruh stasiun pengamatan adalah 20–25 kgm
3
.
4.4 Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Kabupaten Kolaka cukup besar baik potensi sumberdaya perikanan laut, darat maupun perikanan budidaya.
Hal tersebut didukung oleh perairan laut seluas 15 000 km
2
yang sepenuhnya berada di kawasan perairan Teluk Bone dengan panjang garis pantai 295 875 km
serta memiliki 13 tiga belas buah pulau-pulau kecil, yaitu: P.Padamarang; P.Lambasina Kecil; P.Lambasina Besar; P.Buaya; P.Pisang; P.Maniang; P.Lemo;
P.Kukusan; P.Lamburoko; P.Campea; P.Ijo; P.Lima; P.Batu Mandi, dengan luas keseluruhan pulau-pulau tersebut yaitu 4 384 Ha. Kondisi ini sangat mendukung
bagi pengembangan kegiatan disektor perikanan maupun sektor lainnya.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Deskripsi Unit Penangkapan Rajungan
Unit penangkapan ikan termasuk rajungan adalah satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan, terdiri atas kapal atau perahu penangkapan
beserta mesin penggeraknya, alat tangkap dan nelayan. Simbolon et al. 2009 mengatakan bahwa keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan sangat
ditentukan oleh berbagai faktor, diantaranya: 1 nelayan yang mengoperasikan alat tangkap; 2 alat penangkap ikan; 3 kapal ikan dan perlengkapannya.
Secara umum unit penangkapan rajungan di Kabupaten Kolaka masih tergolong tradisional, hal ini dapat terlihat dari konstruksi alat yang sederhana dan belum
mengalami perkembangan teknologi.
5.1.1 Alat Tangkap Rajungan
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Kolaka untuk menangkap rajungan di laut yaitu “pukat rajungan”, alat tangkap ini dibuat khusus
untuk menangkap rajungan. Pukat rajungan merupakan alat tangkap pasif yang bersifat statis dan cukup efektif untuk menangkap rajungan. Pembuatan pukat
rajungan tidaklah begitu sulit karena konstruksinya yang sederhana serta bahan pembuat pukat rajungan mudah didapat dipasaran Muslim, 2000; Susanto, 2006.
Pukat rajungan pada prinsipnya dapat diklasifikasikan ke dalam bottom gillnet karena merupakan jaring insang yang cara pengoperasiannya dipasang di
dasar perairan. Secara umum, pukat rajungan terdiri dari badan jaring webbing, tali pelampung float line, pelampung float, tali pemberat sinker line dan
pemberat sinker. Menurut Martasuganda 2002, jaring insang gillnet yang digunakan berlaku di Indonesia adalah satu jenis alat penangkap ikan dari bahan
jaring yang bentuknya empat persegi panjang. Jumlah mata jaring ke arah horizontal mesh length jauh lebih banyak daripada jumlah mata jaring ke arah
vertikal atau kearah dalam mesh depth. Pada bagian atas gillnet dilengkapi dengan beberapa pelampung floats dan di bagian bawah dilengkapi dengan
beberapa pemberat sinkers, sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan
dalam keadaan tegak. Penamaan dari jenis jaring ini bisa berbeda menurut daerah atau penamaannya disesuaikan dengan nama ikan yang akan dijadikan
target tangkapan.
Badan jaring webbing terbuat dari bahan nylon PA monofilament tasi berwarna putih transparan dan memiliki ukuran mata jaring mesh size 3.5 – 4
inchi. Setiap nelayan memiliki 4 – 9 pis pukat rajungan, satu pis terdiri atas 6 – 10 tinting potong. Panjang satu tinting adalah ± 25 meter, sehingga panjang satu pis
pukat rajungan berkisar antara 150 – 250 meter. Untuk membuat atau merangkai satu pis pukat rajungan, yang bahannya terdiri dari badan jaring, tali ris atas, tali
ris bawah, pelampung, tali pengikat pelampung dan pemberat berupa timah plat dibutuhkan biaya sebesar Rp750 000, sehingga setiap nelayan membutuhkan
biaya investasi untuk alat tangkap ini berkisar antara Rp3 000 000 sampai Rp 6 750 000. Secara berkala nelayan melakukan perawatan alat tangkap yang
umumnya sebanyak dua kali dalam satu tahun atau dengan melihat kondisi kerusakan badan jaring. Biaya yang dibutuhkan dalam perbaikan alat tangkap
untuk setiap satu pis berkisar antara Rp125 000 sampai Rp140 000, sehingga nelayan membutuhkan dana sebesar Rp1 000 000 sampai Rp2 520 000 per tahun
untuk perawatan alat tangkap. Cara operasi penangkapan dimulai dari proses penurunan alat tangkap
setting yang diawali dengan penurunan pelampung tanda pertama disusul dengan pemberat, kemudian badan jaring diturunkan secara perlahan-lahan
dengan cara mengulur sambil kapalperahu didayung mengarah ke depan dan kadang juga mesin dalam keadaan hidup kapal bergerak dengan kecepatan yang
rendah. Setelah semua badan jaring diturunkan diteruskan dengan penurunan pemberat kedua dan pelampung tanda yang kedua dan seterusnya sampai semua
jaring telah diturunkan secara keseluruhan. Waktu yang dibutuhkan nelayan untuk proses pemasangan alat tangkap setting sekitar 30 – 60 menit. Pemasangan
pukat rajungan umumnya dilakukan sejajar dengan garis pantai atau dipasang terentang menghadap ke laut. Pemasangan alat ini umumnya dilakukan pada pagi
hari yaitu pada pukul 07.30 – 11.00 waktu setempat dan membiarkan pukat rajungan tersebut terpasang di dalam air selama + 24 jam.
Pada keesokan harinya di waktu yang sama baru dilakukan pengambilan hasil tangkapan hauling. Proses pengambilan hasil tangkapan dimulai dengan
penarikan alat tangkap pukat rajungan, yang diawali dengan pengangkatan pelampung tanda dan pemberat. Saat hauling, posisi nelayan berada disisi haluan
perahu dan menarik pukat secara perlahan dengan memegang tali ris atas sambil melakukan pengambilan hasil tangkapan yang terdapat di badan jaring, hingga
dipastikan semua rangkaian alat tangkap pukat rajungan telah terangkat. Waktu yang dibutuhkan untuk proses hauling berkisar antara 60 – 90 menit. Setelah
proses hauling selesai, maka selanjutnya alat tangkap pukat rajungan siap untuk dipasang setting kembali di lokasi penangkapan yang lain. Pengoperasian pukat
rajungan dilakukan berdasarkan keterampilan nelayan yang didapat dari kebiasaan dan pengalaman nelayan itu sendiri.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari nelayan dan pengusaha rajungan, diketahui bahwa pada tahun 2005 dan 2006 pernah dilakukan
pengembangan alat tangkap rajungan jenis lain berupa bubu lipat yang terbuat dari rangka besi dan bubu yang terbuat dari anyaman bambu, serta alat tangkap
berupa pancing. Namun ketiga jenis alat tangkap tersebut tidak seproduktif pukat rajungan sehingga nelayan tidak melanjutkan penggunaan alat tangkap tersebut.
Selain itu, ketiga alat tangkap tersebut juga membutuhkan umpan sehingga menambah biaya operasional nelayan dan pada akhirnya mengurangi
keuntungan. Nelayan menduga bahwa kurangnya hasil tangkapan dari ketiga alat tangkap tersebut karena kualitas perairan di pesisir Kabupaten Kolaka yang
sangat jernih sehingga alat tangkap dianggap tidak cocok. Namun sejauh mana pengaruh tingkat kecerahan perairan terhadap hasil tangkapan dari ketiga alat
tangkap tersebut di perairan pesisir Kabupaten Kolaka perlu dikaji lebih lanjut.
5.1.2 Kapal Perahu dan Mesin Penggerak
Kapal perikanan menurut UU No. 31 Tahun 2004 adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan,
mendukung operasi penangkapan ikan, dan lain-lain. Kapalperahu yang digunakan oleh nelayan rajungan di Kabupaten Kolaka adalah perahu yang
terbuat dari kayu dan berukuran kurang dari 10 GT. Umumnya kapal-kapal tersebut menggunakan motor dalam inboard bermesin diesel dengan kekuatan
atau daya antara 16 – 24 PK merk: Jiang dong, Dong feng, Chang pa, disamping ada yang menggunakan motor tempel outboard berbahan bakar premiumbensin
dengan kekuatan atau daya antara 5.5 – 13 PK merk: Honda kodok, Matari sebagai tenaga penggeraknya. Dimensi ukuran P x L x T perahukapal yang
digunakan adalah 5–12 m x 0.75–1.6 m x 0.7–1.25 m. Tahun pembelian perahu antara tahun 2004 – 2008 dan untuk mesin antara tahun 2004 – 2009.
Biaya yang dibutuhkan oleh setiap nelayan untuk investasi perahukapal adalah sebesar Rp2 200 000 sampai Rp6 100 000, sedangkan untuk investasi
mesin penggerak sebesar Rp2 000 000 sampai Rp5 925 000. Secara berkala nelayan melakukan perawatan terhadap perahukapal dan mesin penggerak
sebanyak 2 – 4 kali dalam satu tahun atau dengan melihat kondisi