Model produksi surplus untuk pengelolaan sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

(1)

iv

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN,

KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

NURALIM PASISINGI C24070022

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

iii

Nuralim Pasisingi. C24070022. Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus)di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Dibawah bimbingan Mennofatria Boer dan Zairion.

Rajungan merupakan salah satu komoditi perikanan yang bernilai ekonomis tinggi, karena komoditi ini sangat diminati oleh masyarakat dalam bahkan luar negeri. Selain rasanya yang lezat, juga karena kandungan gizinya yang cukup tinggi. Seluruh kebutuhan ekspor rajungan di Indonesia banyak yang masih mengandalkan hasil tangkapan nelayan di laut. Oleh karena itu, salah satu hal yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tetap menjamin tersedianya stok rajungan sepanjang tahun. Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu adalah salah satu pelabuhan perikanan yang terletak dekat dengan Teluk Banten yang merupakan salah satu lokasi penyebaran rajungan. Nelayan yang mendaratkan rajungan di Karangantu melakukan penangkapan rajungan di Teluk Banten.

Penelitian mengenai model produksi surplus rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten bertujuan untuk mengetahui model produksi surplus yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan melalui penerapan tujuh model. Selanjutnya dapat menentukan tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya optimum (Fopt) untuk menjaga kelestarian sumberdaya.

Model produksi surplus merupakan salah satu model yang umum digunakan dalam penilaian-penilaian stok ikan, karena kelompok model ini dapat diaplikasikan dengan tersedianya data hasil tangkapan dan upaya tangkapan runut waktu yang umumnya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan. Model produksi surplus yang digunakan untuk menentukan tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) dan upaya penangkapan optimum (Optimum effort) ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari sediaan ikan sebagai massa yang homogen dan tidak berhubungan dengan komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tua atau ikan besar.

Model produksi surplus yang dicobakan adalah model Schaefer, Gulland, Pella&Tomlimson, Fox, Walter&Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP). Melalui perbandingan hasil tangkapan aktual dan prediksi tangkapan masing-masing model serta nilai R2 diperoleh bahwa model Clarke Yosimoto Pooley adalah model yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten, Nilai R2 model CYP

sebesar 98.97% dengan MSY =30.15 ton yang dapat dicapai dengan Fopt =3562 trip selama setahun. Perikanan rajungan di Teluk Banten telah melebihi tangkapan lestari sehingga pengelolaan yang perlu dilakukan adalah pengendalian masukan dan luaran.


(3)

i

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN,

KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

NURALIM PASISINGI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(4)

ii Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus)di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Nuralim Pasisingi C24070022


(5)

v

Judul : Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

Nama Mahasiswa : Nuralim Pasisingi Nomor Pokok : C24070022

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Tanggal Lulus: 21 Juni 2011

Ir. Zairion, M.Sc NIP 19640703 199103 1 003 Prof. Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA

NIP 19570928 198103 1 006

Dr. Ir. Yusli Wadiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002


(6)

vi

Puji syukur kepada Allah SWT karena penulis telah menyelesaikan penelitian akhir serta menuliskannya dalam skripsi yang berjudul “Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus)di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten”.

Sumberdaya perikanan laut banyak mendapat sorotan saat ini, karena eksistensi dan keberlanjutannya yang semakin terancam. Rajungan di perairan Teluk Banten merupakan salah satu sumber daya ikan laut yang perlu dijaga kelestariannya. Kegiatan penangkapan yang tidak terkontrol dan tidak didasari oleh kajian ilmiah akan sangat menentukan ketersediaan dan keberadaan sumberdaya tersebut di alam sepanjang tahun. Berangkat dari hal ini, penulis merasa perlu melakukan suatu penelitian yang dapat mendukung, menentukan bahkan mencapai optimalisasi dalam pengeksploitasian sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan hal-hal yang perlu diperbaiki dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan masukan yang positif sangat diharapakan untuk dapat menghasilkan tulisan yang jauh lebih baik. Semoga tulisan ini bisa memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan serta mendukung upaya pengelolaan lingkungan perairan dan perikanan.

Bogor, Juli2011


(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer dan Ir. Zairion, M.Sc. sebagai pembimbing skripsi yang telah membimbing, menuntun, mengarahkan serta memberikan masukan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Ir. Rahmat Kurnia, M.Si. sebagai dosen penguji tamu dari program studi dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. sebagai komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat penting dalam penyusunan skripsi ini.

3. Taryono, S.Pi, M.Si. sebagai pembimbing akademik yang telah mendukung dan memberikan arahan selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini

.

4. Keluarga tercinta; Mama, Papa, Kak Sahrul, Kak Nur, Uda, Kak Aten, Om Juba, Om Sudi, Cik Tien atas doa, pengorbanan, kasih sayang, dukungan moril dan sprituil selama perkuliahan hingga penyusuanan skripsi ini. 5. Staf Institut Pertanian Bogor dan Departemen Mananjemen Sumberdaya

Perairan sebagai institusi yang telah memberikan fasilitas dan mewadahi penulis untuk menyalurkan minat serta mengembangkan potensi diri. 6. Staf Kementrian Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten serta Kementrian

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang, Provinsi Banten, terutama untuk Pak Yudi dan Pak Amir sebagai pihak yang telah memfasilitasi serta banyak memberikan kontribusi langsung selama pelaksanaan penelitian. 7. Staf Laboratorium Model dan Simulasi (dosen, asisten MOSI, Ibu Maria

dan Pak Dedi).

8. Teman-teman MSP 44 khususnya kepada Endah Tri Sulistiyawati sebagai rekan seperjuangan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini

9. Rekan-rekan HPMIG (Kak Vicky, Yan, Fipo, Dwi, adik-adik tersayang; Alfat, Hijran, Kurdi, Dika, Anam dan Adlan).

10.Rekan-rekan Wisma Do’i (Desi, Melin, Nuvi, Yuyun, Yeni, Dini, Kipo, Ulfah, Mba Reytha, Mila).


(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gorontalo pada 29 Juli 1989 sebagai putri ketiga dari pasangan bapak H. Pasisingi dan Ibu R. Hulukati. Penulis mempunyai 3 orang saudara kandung, yaitu Sahrul Pasisingi, Nurilma Pasisingi, dan Nurhuda Pasisingi. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis adalah SDN Tumbihe (1995-2001), SMP N 1 Kabila (2001-2004), MAN Insan Cendekia Gorontalo (2004-2007). Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK dan memilih Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Selama masa studi, penulis pernah menjabat sebagai Asisten Praktikum Mata Kuliah Metode Statistika (2008/2009, 2009/2010 dan 2010/2011). Asisten Praktikum Mata Kulaih Limnologi (2009/2010 dan 2010/2011). Asisten Praktikum Mata Kuliah Dasar-dasar Pengkajian Stok Ikan (2010/2011), Koordinator Asisten Bagian Manajemen Sumberdaya Perairan (2010/2011 dan 2011/2012). Penulis juga pernah menjadi anggota organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas, Departemen Kebijakan Publik Perikanan dan Kelautan (2008-2009), anggota organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) (2008-2009), sekretaris umum HIMASPER (2009-2010). Penulis juga pernah magang di Instalasi Pengolahan Air Limbah Bojongsoang, Bandung. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan kepanitiaan yang diselenggarakan oleh fakultas maupun departemen.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus)di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten”.


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Manfaat ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Sumberdaya Rajungan ... 5

2.2. Pengkajian Stok Ikan ... 7

2.3. Model Produksi Surplus ... 9

2.4. Model Schaefer (1954) ... 13

2.5. Model Gulland (1961) ... 17

2.6. Model Pella dan Tomlimson (1969) ... 18

2.7. Model Fox (1970) ... 20

2.8. Model Walter dan Hilborn (1976) ... 22

2.9. Model Schnute (1977) ... 23

2.10. Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) ... 24

2.11. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten... 25

3. METODE PENELITIAN ... 28

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 28

3.2. Variabel dan Parameter Pengukuran ... 28

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 29

3.4. Analisis Data ... 29

3.4.1. Standarisasi upaya penangkapan ... 29

3.4.2. Model produksi surplus ... 30

A. Model Schaefer (1954) ... 31

B. Model Gulland (1961) ... 31

C. Model Pella dan Tomlimson (1969) ... 31

D. Model Fox (1970) ... 31

E. Model Walter dan Hilborn (1976) ... 31

F. Model Schnute (1977) ... 32

G. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992) ... 32

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33


(10)

x

4.1.1. Perikanan di Perairan Teluk Banten ... 33

4.1.2. Model Produksi Surplus ... 37

A. Metode Schaefer (1954) ... 37

B. Metode Gulland (1961) ... 40

C. Metode Pella dan Tomlimson (1969) ... 42

D. Metode Fox (1970) ... 45

E. Metode Walter Hilborn (1967) ... 47

F. Metode Schnute (1977) ... 50

G. Metode Clarke Yoshimoto Pooley (1992) ... 53

4.2. Pembahasan ... 57

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

5.1. Kesimpulan ... 60

5.2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten kurun

waktu 2005-2010 ... 34 2 Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu

2005-2010 ... 35 3 Jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk

Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu 2005-2010... 35 4 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F) dan jumlah

tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten ... 38 5 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan

per satuan upaya (CPUE) serta upaya rata-rata ( ) rajungan di Teluk Banten . 40 6 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan

per satuan upaya (CPUE) dan kuadrat upaya penangkapan (F2) rajungan di Teluk Banten ... 43 7 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan

per satuan upaya (CPUE)dan CPUE t+1/CPUEt rajungan di Teluk Banten ... 48

8 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE), ln(CPUEt+1/CPUEt), jumlah tangkapan per satuan

upaya rata-rata (CPUEt+CPUEt+1)/2 serta jumlah upaya penangkapan

rata-rata (Ft+Ft+1)/2 rajungan di Teluk Banten ... 51

9 Jumlah tangkapan (C) jumlah upaya penangkapan (F), umlah tangkapan per satuan upaya (CPUE), lnCPUEt+1, lnCPUEt dan Ft+Ft+1 rajungan di Teluk

Banten ... 54 10 Perbandingan parameter koefisien penangkapan (q), daya dukung

lingkungan (K), pertumbuhan intrinsik (r), nilai koefisien determinasi (R2), Standar error (SE) dan Variance Infentory Factor (VIF) antara tujuh model produksi surplus rajungan di Teluk Banten ... 57


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Rajungan (Portunus pelagicus) ... 5 2 Tujuan dasar pengkajian stok ... 8 3 Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama

biomassa ( ………. 11

4 Kurva hubungan kuadratik antara biomassa (Bt) dengan turunan pertama

biomassa terhadap waktu (dBt/dt) ... 15

5 Kurva model Schaefer (---) dan Fox (---) ... 21 6 Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan

oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu ... 28 7 Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di Pelabuhan

Perikanan Nusantara Karangantu ... 33 8 Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk

Banten kurun waktu 2005-2010 ... 35 9 Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk

Banten kurun waktu 2005-2010 ... 36 10 Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan

Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2010 ... 37 11 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan

(F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer ... 39 12 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten ... 39 13 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C), dan jumlah upaya penangkapan

rata-rata ( ) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Gulland ... 41 14 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Gulland perikanan rajungan di Teluk Banten ... 42 15 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan

(F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Pella dan Tomlimson ... 44 16 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari


(13)

xiii

17 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dengan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Fox. ... 46 18 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Fox perikanan rajungan di Teluk Banten ... 47 19 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan

(F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Walter dan Hilborn... 49 20 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Walter dan Hilborn perikanan rajungan di Teluk Banten ... 50 21 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan

(F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schnute. ... 52 22 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Schnute perikanan rajungan di Teluk Banten ... 53 23 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan

(F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Clarke Yoshimoto Pooley 55 24 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil tangkapan dan upaya tangkapan bulanan rajungan kurun waktu

2005-2010 ... 65

2 Jumlah tangkapan total (Ctotal), upaya penangkapan total (Ftotal), jumlah tangkapan per satuan upaya total (CPUEtotal) dan Fishing Power Index (FPI) rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten dan perhitungan standarisasi upaya penangkapan ... 71

3 Kurva perbandingan antara hasil tangkapan rajungan aktual dengan hasil tangkapan berdasarkan tujuh model produksi surplus selama kurun waktu 2005-2010 ... 74

4 Regresi statistik Model Schaefer ... 75

5 Regresi statistik Model Gulland ... 76

6 Regresi statistik Model Pella danTomlimson ... 77

7 Regresi statistik Model Fox ... 78

8 Regresi statistik Model Walter-Hilborn ... 79

9 Regresi statistik Model Schnute ... 80

10 Regresi statistik Model Clarke dan Yoshimoto Pooley (CYP) ... 81

11 Algoritma pendugaan nilai koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K) serta pertumbuhan intrinsik (r) untuk perikanan rajungan di Teluk Banten………... 82

12Model-model Produksi Surplus untuk menentukan potensi maksimum lestari ... 83

13 Rajungan Portunus pelagicus yang ditangkap di Teluk Banten oleh nelayan Karangantu ... 90


(15)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rajungan merupakan salah satu komoditi perikanan yang bernilai ekonomis tinggi, karena komoditi ini sangat diminati oleh masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Selain rasanya yang lezat, juga karena kandungan gizinya yang sangat tinggi. Rajungan di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Rajungan yang diekspor dalam bentuk segar maupun olahan mencapai 60% dari total hasil tangkapan rajungan. Negara utama tujuan ekspor yaitu Singapura, Jepang, Belanda dan Amerika (Aminah 2010).

Penyebaran rajungan di perairan Indonesia salah satunya di perairan Teluk Banten. Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu adalah salah satu pelabuhan perikanan yang terletak dekat dengan Teluk Banten. Nelayan yang mendaratkan rajungan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu melakukan penangkapan rajungan di perairan Teluk Banten. Menurut Suadela (2004), kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Banten berkembang ditunjang adanya perusahaan pengolahan rajungan setempat yang terletak di Karangantu. Berdirinya perusahaan pengolahan ini menuntut tersedianya produksi rajungan sepanjang tahun. Oleh karena itu kegiatan penangkapan rajungan pun dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun.

Seluruh kebutuhan ekspor rajungan di Indonesia banyak yang masih mengandalkan hasil tangkapan nelayan di laut. Namun, satu hal yang paling penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tetap menjamin tersedianya stok secara mantap. Bentuk eksploitasi dan degradasi lingkungan perairan laut yang terus mengancam keseimbangan stok dan ekosistem laut Indonesia menjadi hambatan sekaligus tantangan bagi nelayan, masyarakat dan pemerintah. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk menggambarkan kondisi sebenarnya di suatu wilyah perairan melalui pemodelan.

Model adalah contoh sederhana dari sistem dan menyerupai sifat-sifat sistem yang dipertimbangkan, tetapi tidak sama persis dengan sistem. Penyederhanaan dari


(16)

sistem sangat penting agar dapat dipelajari secara seksama. Model dikembangkan dengan tujuan untuk studi tingkah laku sistem melalui analisis rinci akan komponen atau unsur dan proses utama yang menyusun sistem serta interaksinya antara satu dengan yang lain. Dengan demikian pengembangan model adalah suatu pendekatan yang tersedia untuk mendapatkan pengetahuan yang layak akan suatu sistem. Model beperanan penting dalam pengembangan teori karena berfungsi sebagai konsep dasar yang menata rangkaian aturan yang digunakan untuk menggambarkan sistem (Sitompul 2004).

Model produksi surplus dapat digunakan untuk mendukung pengelolaan rajungan di perairan Teluk Banten. Model produksi surplus merupakan salah satu model yang umum digunakan dalam penilaian-penilaian stok ikan, karena kelompok model ini dapat diaplikasikan dengan tersedianya data hasil tangkapan dan upaya tangkapan secara runut waktu (time series)yang umumnya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan. Model yang diterapkan dalam perikanan mungkin berbeda untuk ikan yang berbeda. Artinya ikan yang sama dan hidup di wilayah perairan yang berbeda belum tentu memiliki kecocokan model yang sama. Sama halnya dengan jenis ikan yang berbeda dan hidup di perairan yang sama, model yang cocok diterapkan mungkin saja berbeda.

1.2. Rumusan Masalah

Perairan Teluk Banten terletak di bagian utara Provinsi Banten dan merupakan bagian dari perairan Laut Jawa, dengan luas permukaan totalnya adalah 150 km2. Teluk Banten termasuk perairan dangkal dengan kedalaman maksimum 9 meter dan panjang pantai 22 km serta turbiditasnya tinggi. Dasar perairan pada umumnya lumpur berpasir (Nuraini 2004). Terdapat beberapa pulai kecil di kawasan perairan Teluk Banten, yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Delapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua (Tiwi 2004).

Sumberdaya ikan yang ada di perairan ini sangat beragam, mulai dari jenis ikan sampai krustasea. Salah satu tempat pendaratan ikan yang berada dekat dengan Teluk Banten adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Hasil tangkapan


(17)

dari di Teluk Banten tidak semuanya dilelang di TPI. Ikan ekonomis penting seperti rajungan langsung dibawa ke tempat pengolahan atau tempat pembekuan.

Menurut Nuraini (2004) kondisi perikanan di perairan Teluk Banten dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat yang merupakan musim dengan curah hujan tinggi terjadi pada Desember hingga Februari. Musim timur merupakan musim kemarau. Ketersediaan sumberdaya ikan di perairan selain dipengaruhi oleh musim, juga karena kenaikan suhu permukaan air laut. Perubahan kondisi perairan Teluk Banten akan mempengaruhi kegiatan penangkapan rajungan. Hal ini akan berimplikasi pada hasil tangkapan nelayan, terutama nelayan yang ada di PPN Karangantu. Jika tidak ada bentuk pengelolaan yang tepat maka komoditi rajungan di perairan Teluk Banten terancam mengalami lebih tangkap (over fishing). Selain itu, sumberdaya ikan termasuk rajungan bersifat

open access, artinya semua orang berhak untuk melakukan penangkapan dan tidak ada batasan mengenai besarnya upaya penangkapan untuk memanen sumberdaya tersebut di alam. Apabila hal ini berlangsung terus menerus dan tanpa adanya kontrol yang tepat, maka fenomena lebih tangkap bukan tidak mungkin terjadi, sebagaimana fakta yang terlihat di beberapa perairan Indonesia. Menurunnya kualitas dan kuantitas tangkapan rajungan akan menyebabkan menurunnya pula keuntungan yang diperoleh nelayan. Model matematis produksi surplus yang sesuai dengan kondisi rajungan di perairan Teluk Banten merupakan salah satu pendekatan biologi yang dapat digunakan untuk membantu menentukan upaya tangkapan optimal dalam menjamin ketersedian dan kelestarian stok rajungan di perairan Teluk Banten.

Produktivitas stok ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi seperti rekruitmen, pertumbuhan individu, mortalitas alami. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non biologi, misalnya perubahan iklim dan kegiatan manusia. Volume tangkapan, dinamika upaya penangkapan serta bentuk kebijakan perikanan juga akan turut mempengaruhi keberadaan stok rajungan di perairan Teluk Banten. Tinungki (2005) menyatakan bahwa tidaklah mungkin mempertimbangkan semua faktor tersebut untuk memperkirakan perubahan-perubahan dalam produktivitas suatu stok ikan, karena adanya kendala ketersediaan data. Oleh karena itu, model yang paling sederhana dalam dinamika populasi ikan


(18)

adalah model produksi surplus. Model ini memperlakukan ikan sebagai biomasa tunggal yang tak dapat dibagi, yang tunduk pada aturan-aturan sederhana, kenaikan dan penurunan biomasa. Model-model produksi surplus mengabaikan proses biologi dalam suatu stok ikan dengan mengasumsikan bahwa stok tersebut dapat diperlakukan sebagai biomasa agregat. Bila semua faktor lain tetap konstan, biomasa agregat dari suatu stok ikan akan menurun ketika tekanan dilakukan terhadap sumberdaya tersebut melalui kenaikan upaya penagkapan.

Permasalahan dalam studi ini adalah belum adanya kajian stok rajungan menggunakan model produksi surplus yang paling sesuai untuk menentukan tingkat upaya tangkapan optimal sehingga dapat menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten.

1.3. Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:

1) Mengetahui model produksi surplus yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di perairan Teluk Banten

2) Menentukan hasil tangkapan maksimum lestari dan tingkat upaya penangkapan optimum untuk mendukung pengelolaan berkelanjutan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten

1.4. Manfaat

Penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang terkait untuk mendukung penentuan bentuk pengelolaan rajungan

Portunus pelagicus secara lestari dan berkelanjutan. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memperkaya wawasan pembaca mengenai kondisi perikanan secara umum, khususnya sumberdaya rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten.


(19)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumberdaya Rajungan

Rajungan (Gambar 1) merupakan salah satu famili dari seksi kepiting yang banyak diperjualbelikan. Mosa (1980) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa di Indo Pasifik Barat jenis kepiting dan rajungan diperkirakan ada 234 jenis, sedangkan di Indonesia ada sekitar 124 jenis. Empat jenis rajungan diantaranya yang dapat dimakan (edible crab) selain tubuhnya berukuran besar juga tidak menimbulkan keracunan, yaitu jenis Portunus pelagicus (rajungan), Portunus sanguinolentus

(rajungan bintang), Charybdis feriatus (rajungan karang) dan Podopthalmus vigil

(rajungan angin).

Klasifikasi rajungan menurut Kangas (2000) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea Sub kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus (Linnaeus 1766) Nama lokal : Rajungan

Nama FAO : Blue swimmer crab, blue manna crab, sand crab, blue crab

Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi pribadi 2011)


(20)

Rajungan hidup di perairan dangkal (mencapai 50 meter) dengan substrat berpasir sampai berpasir lumpur. Portunus pelagicus banyak berada di area perairan dekat karang, mangrove dan padang lamun. Juvenilnya banyak ditemukan di daerah intertidal. Rajungan dewasa pada umur 1 tahun. Sumberdaya rajungan banyak ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan perangkap buatan, trawl, pukat pantai dan jaring lingkar. Rajungan ditangkap dalam jumlah yang sangat banyak untuk dijual dalam bentuk segar dan beku di pasaran lokal. Adapula yang diolah di industri pengolahan dan pengalengan rajungan. Jika dibandingkan dengan tiga spesies rajungan yang lainnya, jenis Portunus pelagicus paling banyak dipasarkan di pasar internsional seperti Asia Tenggara. Harga pasaran berkisar antara US$3-5/kg untuk rajungan segar, sedangkan rajungan hidup harga jualnya berkisar antara US$5-8/kg. Penyebaran rajungan meliputi wilayah barat pasifik dan hindia. Portunus pelagicus

secara morfologi paling mirip dengan jenis Portunus trituberculatus. Namun, secara spesifk dapat dilihat dari jumlah duri frontal. Jenis P. pelagicus berjumlah empat, sedangkan P. trituberculatus berjumlah tiga buah. Jenis P. pelagicus karapasnya bercorak totol-totol, jantan berwarna biru sedangkan betina berwarna hijau pudar (FAO 1998).

Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi oleh beberapa faktor alami dan buatan. Faktor alami diantaranya adalah perkembangan hidup, kebiasaan makan, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan utama yang mempengaruhi tingkah laku rajungan adalah penggunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab poots. Rajungan adalah perenang aktif, tetapi saat tidak aktif mereka mengubur diri dalam sedimen dengan ruang insang terbuka serta menyisakan mata dan antena di permukaan dasar laut (FishSA 2000 in Suadela 2004).

Susilo (1993) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh nyata terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan. Fase bulan gelap, cahaya bulan yang masuk ke dalam perairan relatif tidak ada, sehingga perairan menjadi gelap. Hal ini mengakibatkan rajungan tidak melakukan ruaya serta aktivitas pemangsaannya berkurang. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dan bulan terang, dimana rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat


(21)

fase bulan terang, sedangkan fase bulan gelap rajungan lebih sedikit tertangkap. Oleh sebab itu, waktu yang paling baik untuk menangkap rajungan adalah malam hari saat fase bulan terang (Kangas 2000).

2.2. Pengkajian Stok Ikan

Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa maksud dari pengkajian stok ikan adalah memberikan saran tentang pemanfaatan optimum sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati bersifat terbatas tetapi dapat memperbaharui dirinya. Pengkajian stok ikan dapat diartikan sebagai upaya pencarian tingkat pemanfaatan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tangkapan maksimum perikanan dalam bentuk bobot. Tujuan dasar dari pengkajian stok ikan dilukiskan pada Gambar 2. Sumbu mendatar adalah upaya penangkapan yang diukur, misalnya jumlah hari kapal penangkap. Sumbu yang lain adalah hasil tangkapan, yakni ikan yang didaratkan dalam satuan bobot. Sampai pada tingkat tertentu akan diperoleh hasil tangkapan yang sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan. Akan tetapi setelah tingkat tersebut, pembaharuan sumberdaya (reproduksi dan pertumbuhan tubuh) tidak dapat mengimbangi penangkapan, sehingga peningkatan tingkat ekspoitasi yang lebih jauh akan mengarah kepada pengurangan hasil tangkapan.

Tingkat upaya penangkapan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tertinggi dicirikan oleh FMSY dan hasil tangkapannya dicirikan oleh MSY (Maximum

Sustainable Yield). Ungkapan dalam jangka panjang digunakan karena seseorang dapat memperoleh hasil yang tinggi dalam tahun tertentu. Namun, jika upaya penangkapan terus ditingkatkan, hasil tangkapan akan makin berkurang pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini karena sumber dayanya telah tertangkap (Sparre dan Venema 1999).

Konsep dasar dalam mendeskripsikan dinamika suatu sumber daya perairan yang dieksploitasi adalah stok. Suatu stok adalah sub gugus suatu spesies yang umumnya dianggap sebagai unit taksonomi dasar. Prasarat untuk identifikasi stok adalah kemampuan untuk memisahkan spesies yang berbeda. Banyaknya spesies ikan yang ditemukan di perairan tropis dan seiring mirip satu sama lain, menimbulkan masalah dalam identifikasinya. Karena itu, ilmuwan perikanan harus


(22)

menguasai teknik-teknik identifikasi spesies jika harus menghasilkan pengkajian stok yang bermanfaat dari data yang dikumpulkan. Dalam konteks pengkajian stok ikan, sekelompok hewan dimana batas-batas sebaran geografisnya dapat ditentukan bisa dianggap sebagai suatu stok. Kelompok hewan tersebut terdiri dari ras yang sama dari satu spesies, yakni memiliki kumpulan gen yang sama. Lebih mudah untuk menentukan spesies yang kebiasaan ruayanya dekat sebagai satu stok daripada spesies yang beruaya jauh seperti tuna. Bagaimanapun, tidak ada bukti untuk menerima atau menolak hipotesis ini. Klarifikasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan studi identifikasi menggunakan teknik molekular, misalnya analisis DNA (Wu et al. 2010).

Gambar 2 Tujuan dasar pengkajian stok (Sparre dan Venema 1999)

Pengkajian stok ikan harus dilakukan secara terpisah bagi setiap unit stok. Oleh karena itu, data masukan untuk tiap stok dari spesies yang dikaji harus tersedia. Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan. Parameter ini dapat diprediksi melalui ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian hewan, yakni jumlah kematian per satuan waktu. Mortalitas penangkapan mencerminkan kematian yang dikarenakan oleh penangkapan. Adapun mortalitas alami merupakan kematian


(23)

karena pemangsaan, penyakit, predator dan faktor alam lain (Sparre dan Venema 1999).

Pengkajian stok ikan bertujuan untuk mendeskripsikan proses-proses, hubungan antara masukan dan luaran serta alat yang digunakan. Hubungan tersebut disebut model-model. Suatu model adalah deskripsi yang disederhanakan dari hubungan antara data masukan dan data luaran. Model terdiri atas sederetan instruksi tentang bagaimana melakukan perhitungan dan bagaimana model-model tersebut dirancang berdasarkan hasil amatan atau hasil pengukuran (Sparre dan Venema 1999).

Memproses data masukan dengan bantuan model-model dapat meramalkan luarannya secara sederhana adalah:

Suatu model dikatakan baik jika model tersebut dapat meramalkan luaran dengan ketepatan yang masuk akal. Tetapi, karena model tersebut merupakan penyederhanaan dari keadaan sebenarnya, maka akan jarang memperoleh luaran yang tepat. Instruksi untuk perhitungan-perhitungan yang membentuk model diberikan dalam bentuk persamaan matematik, yaitu peubah, parameter dan

operator (Sparre dan Venema 1999).

Suadi dan Widodo (2008) menyatakan bahwa pengakajian stok mencakup suatu estimasi tentang jumlah atau kelimpahan dari sumber daya. Selain itu, mencakup pula pendugaan terhadap laju penurunan sumberdaya yang diakibatkan oleh penangkapan serta tingkat kelimpahan dimana stok dapat menjaga dirinya dalam jangka panjang.

2.3. Model Produksi Surplus

Model sangat penting untuk menduga konsekuensi dari bentuk pengelolaan dan dapat digunakan untuk membentuk dan memantau kebijakan (Beattie et al.


(24)

pertumbuhan) dengan kematian alami. Produksi surplus dapat dituliskan sebagai berikut:

artinya biomassa pada tahun tertentu , adalah biomassa tahun sebelumnya ditambahkan dengan produksi surplus tahun sebelumnya dikurangi dengan tangkapan tahun sebelumnya (Masters 2007).

Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan bahwa pertambahan netto dalam ukuran populasi akan kecil, baik pada tingkat populasi tinggi maupun rendah. Karena itu sebagai konsekuensinya pertambahan tersebut akan mencapai maksimum pada tingkat populasi intermediate. Hukum umum dari pertumbuhan populasi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan deferensial sebagai berikut :

dimana B merupakan biomassa populasi. Hukum pertumbuhan populasi ini dipergunakan untuk menggambarkan banyak organisme. Suatu fungsi yang telah terbukti sangat cocok untuk berbagai data eksperimen yaitu:

dimana r dan K adalah konstanta. Ini dikenal dengan persamaan pertumbuhan logistik Verhultst-Pearl. Paramter r adalah laju pertumbuhan intrinsik, karena untuk B kecil, maka laju pertumbuhan kira-kira sama dengan r. Adapun K adalah daya dukung lingkungan dan mewakili populasi maksimum yang dapat ditopang oleh lingkungan. Fungsi ini bersifat parabolik yang simetrik dengan laju pertumbuhan maksimum pada tingkat K. Kurva selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Beberapa asumsi yang mendasari hukum umum pertumbuhan populasi pada Gambar 3 dapat dikemukakan sebagai berikut:

a) Setiap populasi dan ekosistem tertentu akan tumbuh dalam berat sampai mendekati daya dukung maskimum dari ekosistem (terutama dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan). Kenaikan dalam berat total perlahan-lahan berhenti manakala ukuran stok semakin mendekati, secara asimtotik, daya dukung dari lingkungan K secara asimtotik.

b) Nilai K kira-kira berkaitan erat dengan nilai biomassa dari stok perawan atau yang belum dimanfaatkan (virgin stock).


(25)

c) Pertumbuhan menurut waktu dari biomassa populasi dapat dilukiskan dengan suatu kurva logistik, turunan pertama dari kurva ini ( ) mencapai maksimum pada dan bernilai 0 pada B=0 dan B=K.

d) Upaya penangkapan yang menurunkan K sampai dengan setengah dari nilai originalnya akan menghasilkan pertumbuhan netto yang tertinggi dari stok, yakni produksi surplus maksimum (Maximum Surplus Yield) yang tersedia dalam suatu populasi

e) Produksi surplus maksimum pada butir (d) akan dipertahankan secara lestari (di sinilah berawal yang disebut Maximum Sustainable Yield, MSY) manakala biomassa dari stok yang dieksploitasi dipertahankan pada tingkat

Gambar 3 Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama biomassa (

(Sparre dan Venema 1999)

Terdapat beberapa alasan biologi yang membuat beberapa asumsi tersebut masuk akal. Beberapa alasan tentang rendahnya produksi surplus pada tingkat ukuran stok lebih besar dari antara lain dikemukakan oleh Ricker (1975) in

Widodo dan Suadi (2008) sebagai berikut:

a) Dekat densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi dan kadang-kadang jumlah aktual dari rekrut, lebih rendah dari pada densitas stok ikan yang lebih kecil. Meningkatkan rekruitmen dapat dicapai melalui pengurangan penangkapan stok ikan.


(26)

b) Bila suplai makanan terbatas, makanan kurang dikonversikan ke dalam bentuk daging ikan oleh stok yang besar dibandingkan dengan stok yang kecil. Masing-masing individu pada stok ikan besar akan mengkonversi makanan untuk biomassa dalam jumlah sedikit karena makanan akan digunakan untuk bertahan hidup, sedangkan stok ikan kecil memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan. c) Suatu stok yang belum dieksploitasi secara relatif akan terdiri dari

individu-individu berumur tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi. Hal ini akan menyebabkan produksi menurun, paling tidak melalui dua cara. Pertama, ikan yang lebih besar cenderung makan banyak, konsekuensinya adalah menurunnya efisiensi pemanfaatan dari produsen dasar makanan dalam piramida makanan. Kedua, ikan yang lebih tua akan mengkonversikan makanan yang mereka makan ke dalam bentuk daging baru (berat badan yang lebih tinggi) dalam jumlah yang lebih kecil, sebab ikan yang matang gonad akan memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan telur dan sperma.

Konsep produksi surplus merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Konsep ini berawal dari beberapa karya, antara lain dalam karya-karya Russell dan Schaefer. Schaefer (1954) in Tserpes (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model produksi surplus logistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa peningkatan (increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedang penurunan dari populasi tersebut (decrement) merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam (predasi, penyakit dan lain lain) maupun mortalitas yang disebabkan eksploitasi oleh manusia. Oleh karena itu, populasi akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila increment sama dengan decrement.

Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa model produksi surplus berkaitan dengan suatu stok secara keseluruhan, upaya total dan hasil tangkapan total yang diperoleh dari stok tanpa memasukkan secara rinci beberapa hal seperti parameter pertumbuhan dan mortalitas atau pengaruh ukuran mata jaring terhadap umur ikan yang tertangkap. Model-model holistik lebih sederhana bila dibandingkan dengan model analitik, karena data yang diperlukan juga menjadi lebih sedikit. Sebagai contoh, model-model ini tidak perlu menentukan kelas umur, sehingga dengan demikian tidak perlu melakukan perhitungan penentuan umur. Hal ini


(27)

merupakan salah satu alasan model produksi surplus banyak digunakan di dalam mengkaji stok ikan di perairan tropis. Model produksi surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total dan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) berdasarkan spesies serta upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup.

2.4. Model Schaefer (1954)

Model Schaefer menyatakan bahwa pertumbuhan dari suatu stok merupakan suatu fungsi dari besarnya stok tersebut. Jelas bahwa asumsi suatu stok bereaksi seketika terhadap perubahan besarnya stok tidaklah realistik. Oleh karena itu dipergunakan konsep ekuilibrium, dan ini mengacu pada keadaan yang timbul bila suatu mortalitas penangkapan tertentu telah ditanamkan cukup lama ke dalam suatu stok, sehingga memungkinkan stok tersebut menyesuaikan ukuran serta laju pertumbuhannya sedemikian rupa sehingga persamaan yang dikemukakan oleh

Schaefer terpenuhi (Suadi dan Widodo 2008). Tinungki (2005) menyatakan pula bahwa perluasan pertama penggunaan model yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) didasarkan pada pekerjaan terdahulu Graham (1935). Model Schaefer dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Dimisalkan B menyatakan biomassa stok (ukuran berat dari populasi ikan dalam ton), r dapat dinyatakan sebagai laju pertumbuhan alami dari populasi (intrinsic growth rate) dan K adalah daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity) atau keseimbangan alamiah dari ukuran stok. Ini didefenisikan sebagai tingkat stok maksimum dari perairan dan lingkungan yang dapat didukung”

Schaefer (1954) in Tinungki (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan (dalam berat biomassa) dari suatu populasi (Bt) dari waktu ke waktu merupakan fungsi dari

populasi awal. Schaefer dalam mengembangkan konsepnya mengasumsikan bahwa stok perikanan bersifat homogeni, fungsi pertumbuhannya adalah fungsi logistik dengan area terbatas. Asumsi-asumsi model Schaefer adalah:

a) Terdapat batas tertinggi dari biomassa (K)

b) Laju pertumbuhan adalah relatif dan merupakan fungsi linear dari biomassa c) Stok dalam keadaan seimbang (equilibrium condition)


(28)

d) Kematian akibat penangkapan (Ct) sebanding dengan upaya (ft) dan koefisien

penangkapan (q)

e) Meramalkan MSY adalah 50% dari tingkat populasi maksimum

Metode keseimbangan sebagai dasar analisis model Schaefer dalam keseimbangan atau steady state. Metode keseimbangan berdasarkan pada asumsi perubahan upaya sedikit demi sedikit sehingga ukuran stok selalu menuju keseimbangan. Itu merupakan kondisi ekologis yang stabil dan hubungan biologi. Dengan asumsi ini, laju pertumbuhan populasi akan menuju nol. Dalam hal ini perlu memperoleh bentuk yang paling sederhana untuk model hasil surplus dari prinsip-prinsip awal. Tingkat perubahan biomassa dalam populasi yang terkait, diberikan oleh f(B), fungsi biomassa apapun yang sesuai. Dalam keadaan tidak ada aktivitas penangkapan laju perubahan stok sepanjang waktu dimodelkan sebagai:

………...………..….…………..(2.4.1)

dimana f(B) dalah fungsi pertumbuhan dan kematian. Laju pertumbuhan populasi ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena keterbatasan daya dukung lingkungan terdapat titik maksimum sehingga laju pertumbuhan akan menurun bahkan berhenti. Adapun dalam model kuadratik (logistik), dapat diasumsikan bahwa laju pertumbuhan populasi ikan adalah proporsi perbedaan antara daya dukung lingkungan dan populasi. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik. Menangkap ikan di populasi tertentu akan mengurangi f(B) dengan fungsi usaha penangkapan ikan, yang akan dinyatakan pada persamaan berikut:

………..……….………….…. (2.4.2)

Apabila jumlah populasi relatif kecil dibandingkan dengan luas wilayahnya maka dapat diasumsikan bahwa populasi ikan tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi asal, atau secara matematis dapat ditulis sebagai:

………..……….. (2.4.3)


(29)

Gambar 4 Kurva hubungan kuadratik antara biomassa (Bt) dengan turunan pertama biomassa

terhadap waktu (dBt/dt)

Wu et. al. (2010) menyatakan bahwa tangkapan maksimum lestari (MSY), upaya penangkapan untuk mencapai MSY (FMSY) dan biomassa MSY dapat diduga

dengan mengasumsikan laju perubahan biomassa adalah nol sepanjang tahun. Gambar 4 di atas memperlihatkan pada saat pertumbuhan f(B)=0, maka pada titik

sehingga mengakibatkan Bt=K, namun pada saat K cukup besar maka

maka . Laju pertumbuhan alami merupakan pertumbuhan alamiah, atau biasa juga disebut sebagai laju pertumbuhan tercepat yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Pertumbuhan biomassa ikan di atas diasumsikan berlaku tanpa adanya gangguan atau penangkapan oleh manusia. Jika kemudian produksi perikanan diasumsikan tergantung dari input (upaya, Ft) dan jumlah biomassa ikan yang

tersedia Bt serta kemampuan teknologi yang digunakan q (yang disebut koefisian

penangkapan), maka hasil tangkapan adalah sebagai berikut:

………....………...…..……….…. (2.4.4)

Persamaan (2.4.4) umumnya digunakan sebagai fungsi produksi panen ikan. Menyelesaikan model produksi surplus, diperlukan bentuk yang layak untuk dua fungsi yang cocok dengan data yang tersedia. Jika penangkapan Ct dimasukkan ke

dalam model, dan diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linear terhadap biomassa (Bt) dan input atau effort (Ft), maka laju pertumbuhan biomassa menjadi:


(30)

………...………...…….. (2.4.5) Asumsi keseimbangan dimana laju pertumbuhan mendekati nol, dalam hal ini masalah yang dihadapi oleh pengelola perikanan adanya peubah biomassa yang teramati, dimana hanya data produksi Ct dan jumlah input Ft yang digunakan seperti

jumlah kapal, jumlah trip atau hari melaut. Sehingga persamaan (2.4.5) dapat dipecahkan untuk mencari nilai biomassa B diperoleh hubungan antara hasil tangkapan lestari dan input digunakan sebagai berikut:

………...……….…….. (2.4.6)

dengan mensubsitusi persamaan (2.4.6) ke dalam persamaan (2.4.4) diperoleh:

………..…...……….…...………..(2.4.7) Persamaan (2.4.7) dengan q sebuah konstanta, disebut sebagai koefisien penangkapan. Bagaimana ukuran penangkapannya (atau peluang tertangkap satu unit dari stok) per unit dari stok akan berubah jika upaya berubah satu satuan. Ft

adalah variabel upaya penangkapan. Persamaan (2.4.7) dapat juga digunakan untuk menyatakan hubungan antara penangkapan per satuan upaya (CPUE) dan level stok. Persamaan (2.4.7) akan menjadi linear jika dibagi dengan Ft :

………..……….….….. (2.4.8)

………..…….………….…..….…….. (2.4.9)

Jika , maka ……...….…..….…..…. (2.4.10)

Persamaan (2.4.10) dikatakan dibawah asumsi model Schaefer, pada hubungan keseimbangan antara CPUEt (catcth per unit effort) dan Ft (effort)adalah linear.

Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

……….……….…….………. (2.4.11)

Sehingga hubungan antara effort ( ) dan catch ( ) dapat dinyatakan sebagai berikut:

………...………..………..……...……… (2.4.12)

Upaya optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama


(31)

….….………...….…………...……….. (2.4.13)

……….….……….……..……...………... (2.4.14)

Nilai tangkapan optimum atau jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusi nilai upaya optimum perasamaan (2.4.14) ke dalam persamaan (2.4.12):

………...…………...………….. (2.4.15)

Penggunaan satu persamaan ini dapat menduga parameter-parameter fungsi produksi surplus dengan meregresikan data runtun waktu (time series) jumlah tangkapan (catch) dan upaya (effort).

Tinungki (2005) menyebutkan bahwa salah satu keuntungan model Schaefer

adalah dapat digunakan dengan tidak tergantung pada adanya data kelimpahan stok. Jika data runtun waktu untuk data penangkapan dan upaya tersedia, maka pendugaan parameter-parameter dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dapat dilakukan.

Model Schaefer mengasumsikan populasi pertumbuhan logistik yakni tangkapan meningkat secara cepat di awal, namun kemudian laju perubahannya melambat dengan peningkatan upaya (Coppola dan Pascoe 1998 in Tinungki 2005). Model ini menetapkan dua hasil dasar, yaitu:

a) Upaya penangkapan adalah suatu fungsi linear dari ukuran populasi (atau tangkapan per satuan upaya)

b) Jumlah tangkapan adalah suatu fungsi parabola dari upaya penangkapan (Widodo 1986 in Tinungki 2005)

2.5. Model Gulland (1961)

Model Gulland digunakan untuk meneliti hubungan antara kondisi-kondisi stok pada saat ini dan peristiwa-peristiwa masa lalu. Metode ini bukan hanya lebih layak namun juga pada prinsipnya mengatasi kehadiran upaya penangkapan sebagai peubah bebas pada kedua sumbu analisis regresi yang membuat penyimpangan pada plot ke arah suatu korelasi terbalik, dengan mengganti upaya dengan rata-rata


(32)

bergerak dari nilai yang diamati sebelumnya dan nilai saat ini. Metode ini mengasumsikan bahwa terdapat suatu hubungan antara kelimpahan stok dan upaya masa lalu. Bila rekruitmen tetap stabil dengan berkembangnya penangkapan besar-besaran, ukuran rata-rata individu yang ditangkap akan menurun. Sebaliknya bila ukuran rata-rata ikan ditangkap tetap tidak berubah sedangkan kelimpahan atau CPUEt menurun, terdapat beberapa indikasi bahwa rekruitmen berpengaruh

(Gulland 1961 in Tinungki 2005).

Hubungan yang diperoleh antara CPUEt dan upaya rata-rata bergerak

kadang-kadang lurus, kadang-kadang melengkung. Apapun hubungannya, Gulland (1961) in Tinungki (2005) menyebutkan bahwa perikanan dalam keadaan tetap. Garisnya akan sangat dekat dengan hubungan antara CPUEt sebagai indeks dari

kelimpahan relatif dan upaya penangkapan.

Hubungan linear model Gulland dapat dinyatakan sebagai berikut:

……….………...…….………..….. (2.5.1)

adalah upaya rata-rata tahun sebelumnya ke t-1 dengan tahun ke t yang merupakan rentang hidup rata-rata individu dalam stok yang dieksploitasi; a adalah perkiraan rentang hidup untuk q, parameter daya dukung lingkungan (K) dan pertumbuhan alami (r), serta nilai koefisien regresi b menjadi atau adalah perkiraan untuk hasil ekuilibrium maksimum (MSY).

Beberapa asumsi model produksi surplus Gulland (1983) in Aminah (2010) adalah kelimpahan populasi merupakan faktor yang hanya menyebabkan perbedaan dalam laju pertumbuhan populasi alami, keseluruhan parameter populasi yang pokok dapat dikombinasikan untuk menghasilkan fungsi sederhana yang ada hubungannya dengan laju pertumbuhan stok, laju mortaliatas penangkapan seketika sama dengan upaya penangkapan, hasil tangkapan per upaya sepadan dengan ukuran stok ikan, lama antara pemijahan dengan rektuitmen tidak berpengaruh terhadap populasi, ada hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan.

2.6. Model Pella dan Tomlimson (1969)

Model Pella dan Tomlimson (1969) digunakan secara luas dan praktis. Program-program komputer dapat ditambahkan untuk menduga


(33)

parameter-parameternya. Empat parameter yang harus diduga dalam model ini adalah pertumbuhan intrinsik r,daya dukung lingkungan K, koefisien penangkapan q, dan parameter m. Keistimewaan dari model iniadalah serupa dengan model Schaefer namun sedikit modifikasi. Model Pella dan Tomlimson (1969) dapat dituliskan sebagai berikut:

………....………. (2.6.1)

dimana nilai m>1 adalah ukuran parameter tambahan. Jika m=2 maka model ini sama dengan model Schaefer. Pengenalan dari parameter m tidak hanya merubah kecekungan dari fungsi produksi. Kondisi kurva hubungan produksi akan cenderung miring ke sebelah kanan, bilamana m>2 atau miring ke arah kiri bilamana m<2.

Hasil ekuilibrium sebagai suatu fungsi dari biomassa dalam model Graham-Schaefer dapat dinyatakan sebagai:

….……….………...…… (2.6.2)

yang merupakan suatu parabola simetris. Pella dan Tomlimson (1969) dinyatakan dalam bentuk yang lebih umum, dimana eksponen 2 pada persamaan (2.6.2) digantikan oleh peubah m (Ricker 1975 in Tinungki 2005) sebagai berikut:

………...……….………..(2.6.3)

Model Pella dan Tomlimson (1969) sebagaimana diperlihatkan pada persamaan (2.6.3) memberikan hasil bahwa MSY atau Ct dapat menyertai setiap

nilai Bt yang dibatasai dengan sebagaimana halnya dengan model

Graham-Schaefer.

Bila m=2maka akan diperoleh model Graham-Schaefer, yaitu plot hasil pada biomassa dengan parabola simetris. Bila m<2, kurva hasil semacam itu merupakan parabola asimetris dengan maksimum dipindahkan ke arah asalnya, bila m>2 maksimum dari kurva asimetris dipindahkan dari asalnya (Widodo 1986 in Tinungki 2005). Dengan kata lain, memplotkan baik hasil dan biomassa ataupun hasil dan upaya penangkapan akan menghasilkan parabola, dengan letak titik maksimumnya bergantung pada nilai m.

MSY dan fopt akan ditetapkan dalam kaitannya dengan K. Sehingga

satu-satunya hal umum mengenaii model Pella dan Tomlimson (1969) adalah bahwa fungsi regenerasi biomassa dapat mengasumsikan berbagai bentuk, namun bukan


(34)

semua bentuk yang mungkin, dengan mempertimbangkan misalnya ukuran stok aktif minimum dan kendala-kendala internal lain pada nilai-nilai parameter (Pitcher dan Hart 1982 in Tinungki 2005).

Sehingga jika CPUE= pada kondisi setimbang diperoleh persamaan Pella

dan Tomlimson (1969) sebagai berikut:

(untuk m=2 merupakan model Schaefer) (untuk m=3)

(untuk m=4) ……… (2.6.4)

dan seterusnya untuk berbagai nilai m.

2.7. Model Fox (1970)

Model Fox (1970) memiliki karakter bahwa pertumbuhan biomassa mengikuti model pertumbuhan Gompertz, dan penurunan tangkapan per satuan upaya (CPUEt)

terhadap upaya penangkapan (Ft) mengikuti pola eksponensial negatif, yang lebih

masuk akal dibandingkan dengan pola regresi linier. Asumsi yang digunakan dalam model Fox (1970) adalah:

a) Populasi dianggap tidak akan punah b) Populasi sebagai jumlah dari individu ikan

Model ini memperlihatkan grafik lengkung bila secara langsung diplot terhadap upaya ft akan tetapi bila diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya,

maka akan menghasilkan garis lurus:

……….…..…….….………. (2.7.1) Model tersebut mengikuti asumsi bahwa menurun dengan meningkatnya upaya. Model Fox dan Schaefer berbeda dalam hal dimana model Schaefer menyatakan satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai yaitu bila , sedangkan pada model Fox, adalah selalu lebih besar dari nol untuk seluruh nilai .


(35)

Bila diplotkan terhadap ft akan menghasilkan garis lurus, pada model

Schaefer, namun menghasilkan lengkung yang mendekati nol hanya pada tingkatan upaya yang tinggi, tanpa pernah menyentuh sumbu pada model Fox. Gambar 5 memperlihatkan perbandingan antara kurva model Schaefer dan model Fox.

Gambar 5 Kurva model Schaefer (---) dan Fox (---)

Fox menyatakan bahwa hubungan antara effort (ft) dan catch (Ct) adalah

bentuk eksponensial dengan kurva yang tidak simetris, dan dinyatakan bahwa hubungan antara effort (ft) dan catch per unit effort (CPUEt) adalah sebagai berikut:

………...…….……….. (2.7.2)

hubungan antara effort dan catch adalah:

…..……….………...…. (2.7.3) Upaya optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama

catch (Ct) terhadap effort (ft)sama dengan nol:

………..….…………. (2.7.4) sehingga:

……….………. (2.7.5)

Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusikan nilai upaya optimum ke dalam persamaan (2.7.3) sehingga:


(36)

besarnya parameter a dan b secara sistematis dapat dicari dengan mempergunakan persamaan regresi. Rumus-rumus untuk model produksi surplus ini hanya berlaku bila parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan jumlah

effort akan menyebabkan penurunan CPUE. Bila dalam perhitungan diperoleh nilai b positif maka tidak dapat dilakukan pendugaan stok maksimum maupun besarnya

effort minimum, tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah effort

masih menambah hasil tangkapan. Penelitian komponen-komponen sumberdaya perikanan dan potensinya dilakukan terhadap kondisi perikanan yang sekarang ada. Informasi ini diperlukan untuk perencanaan pengembangan perikanan masa yang akan datang (Tinungki 2005).

2.8. Model Walter dan Hilborn (1976)

Model ini dikenal sebagai suatu model yang berbeda dari model Schaefer. Perbedaannya adalah, model ini dapat memberikan dugaan masing-masing untuk parameter fungsi produksi surplus r, q dan K dari tiga koefisien regresi. Persamaannya sebagai berikut:

………..….………….. (2.8.1)

Prosedur model Walter-Hilborn adalah sebagai berikut: ,

jika ………...………… (2.8.2) maka diperoleh:

yang menyatakan CPUE (catch per unit effort)

Persamaan dasar model produksi surplus dapat diformulasikan kembali sebagai berikut:

.…..……...…….… (2.8.3) Penyusunan kembali persamaan (2.8.3) dengan memindahkan ke sisi kiri dan mengalikan persamaan dengan sehingga diperoleh persamaan:


(37)

………….……...………… (2.8.4) Persamaan di atas diregresikan dengan laju perubahan biomassa sebagai peubah tidak bebas dan upaya penangkapan sebagai peubah bebas.

Persamaan regresinya menjadi:

……….….…….…………. (2.8.5) dimana:

error dari persamaan regresi

2.9. Model Schnute (1977)

Schnute mengetengahkan versi lain dari model surplus produksi yang bersifat dinamik, discrete in time, serta deterministik dari cara Graham-Schaefer. Di sisi lain, memberikan model waktu dinamis, stokastik, dan khusus untuk model produksi surplus yang bertentangan dengan model statis, deterministik, dan kontinyu dari model Graham-Schaefer yang lain.

Model Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskrit (Roff 1983 in Tinungki 2005).

Dasar dari model Schnute adalah:

………..…….……….. (2.9.1)

dimana sehingga:

………...……….…..……… (2.9.2) jika persamaan (2.9.2) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh:

………….…………...……….…. (2.9.3)


(38)

Persamaan (2.9.3), selanjutnya disederhanakan dimana dan masing-masing adalah rata-rata catch per unit effort dan rata-rata upaya penangkapan per tahun. Ini memberikan persamaan:

………..….……….…..… (2.9.4) Beberapa manipulasi aljabar persamaan (2.9.4) dimodifikasi, sehingga Schnute

(1977) in Masters (2007) menunjukkan bahwa persamaan produksi surplus Schaefer

dapat ditransformasi ke dalam bentuk linear berganda sebagai berikut: dimana:

;

Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter q, K dan r sebagai berikut:

Keuntungan dari model Schnute disamping secara teori lebih masuk akal. Model ini juga mempunyai beberapa keuntungan praktis. Salah satu keuntungan adalah untuk data tangkapan dan upaya yang nilainya dimulai dari periode tahun tertentu dapat digunakan untuk memprediksi tangkapan dan upaya optimum periode tahun yang akan datang dari data yang periode sebelumnya.

2.10. Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992)

Mengestimasi parameter biologi dari model produksi surplus adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley. Parameter-parameter r (laju pertumbuhan alami), q (koefisien kemampuan penangkapan), dan K (daya dukung lingkungan) yang dapat menggunakan model

Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) yang dinyatakan sebagai berikut:

…..(2.10.1) Sehingga persamaan (2.10.1) dapat ditulis dalam bentuk persamaan linear berganda sebagai berikut:

…...…...…..(2.10.2)


(39)

Perhitungan parameter r, q, dan K akan didapatkan kesulitan sehingga dibuat algoritma (Fauzi 2002 in Tinungki 2005). Koefisien regresi a, b, c diperlukan dalam menentukan:

………..….. (2.10.3)

……….……..…...……..…….… (2.10.4)

………...…………. (2.10.5)

nilai Q diperlukan dalam menghitung nilai K

……….…….…...…….(2.10.6)

2.11. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten

Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05o49’45’’-06o

02’00’’LS dan 106o03’20’’–106o16’00’’BT. Teluk Banten berbentuk setengah

lingkaran (Suadela 2004). Teluk Banten terletak di Pantai Utara Jawa pada jarak 60 km di sebelah barat kota Jakarta, termasuk wilayah administrasi Kabupaten Serang di Provinsi Banten yang sebelumnya mejadi bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dengaan variasi kedalaman 0.2 sampai 9 meter. Sebagian besar kawasan teluk bagian barat dimanfaatkan untuk kawasan industri dan pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan dimanfaatkan untuk industri, perumahan nelayan, pertambakan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Bagian timur meliputi kawasan pertambakan serta bagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi 2004).

Pasang surut perairan Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh kondisi peraian Selat Sunda, dengan tinggi air pasangnya mencapai 90 cm. Berg juga menyatakan bahwa endapan yang membentuk dasar perairan Teluk Banten berasal dari berbagai proses alam. Lapisan paling atas terutama berasal dari proses erosi Sungai Ciujung Lama yang dibawa ke barat oleh arus dari Laut Jawa. Sebagian kecil endapan berasal dari Sungai Cibanten, dimana endapan inilah yang menyebabkan proses pendangkalan di Pulau Dua mulai tahun 1970an. Lapisan di bawahnya berupa


(40)

endapan yang berasal dari tsunami sebagai akibat dari letusan Gunung Karakatau tahun 1883 (Tiwi 2004).

Teluk Banten mempunyai kawasan perairan seluas sekitar 150 km2 yang termasuk perairan dangkal dengan turbiditas tinggi. Terdapat beberapa pulau di kawasan ini yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Dadapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua.

Kawasan perairan terutama di sekitar pulau kecil mempunyai kekayaan ekosistem dan biodiversitas yang bernilai tinggi. Padang lamun, terumbu karang, hutan bakau dan kawasan konservasi burung Pulau Dua yang ada di kawasan ini terkenal sampai tingkat internasional. Kawasan padang lamun mempunyai luasan 365 hektar, dimana 100 hektar diantaranya berada di kawasan barat Teluk Banten yang merupakan kawasan padang lamun terbesar di Indonesia. Kawasan terumbu karang diperkirakan meliputi luasan 2.5 km2, dimana 22% nya merupakan karang hidup. Ekosistem bakau lebih mendominasi kawasan teluk bagian timur selatan terutama di sekitar Pulau Dua.

Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk Banten secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Salinitas menurun pada musim hujan, kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya. Pengamatan pada tahun 1998-1999 menunjukkan bahwa suhu air berkisar 28-31.5 0C. Salinitas di daerah penangkapan ikan sekitar 28 – 33.8 ppm. Salinitas rendah (< 20 ppm) di perairan dekat muara sungai terjadi pada musim hujan. Rendahnya salinitas karena masukan air hujan dari sungai yang bermuara di Teluk Banten. Kecerahan di sekitar pulau-pulau karang di tengah Teluk Banten hingga utara Pulau Panjang bervariasi berkisar 2-10 meter. Kecerahan pada musim hujan di kawasan pantai dapat mencapai 10 cm (Nuraini 2004).

Hamparan lumpur di Teluk Banten terdapat di pantai timur dan selatan. Terbentuknya lahan ini sebagai akibat tingginya sedimentasi yang berasal dari penggundulan hutan dan penambangan batu. Lahan timbul ini terbentuk di kawasan pantai sekitar muara Sungai Cibanten dan Ciujung, Pontang. Selain itu, kawasan pantai dan sungai menjadi dangkal akibat dari proses sedimentasi yang tinggi. Tanah


(41)

timbul banyak dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan sebagai tambak ikan atau udang.


(42)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu yang terletak di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. PPN Karangantu merupakan pelabuhan perikanan yang paling dekat dengan Teluk Banten tepatnya berada di sebelah Selatan Teluk Banten. Gambar 6 merupakan kawasan perairan Teluk Banten yang digunakan untuk melakukan penangkapan rajungan beserta lineasi daerah penangkapan rajungan (fishing ground) oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu.

KOTA CILEGON SERANG 106°15'0"E 106°15'0"E 106°10'0"E 106°10'0"E 106°5'0"E 106°5'0"E 5 °5 0 '0 "S 5 °5 5 '0 "S 6 °0 '0 "S 107°0'0"E 107°0'0"E 106°0'0"E 106°0'0"E 105°0'0"E 105°0'0"E 6 °0 '0 "S 6 °0 '0 "S

PETA LOKASI PENELITIAN

©

3 1.5 0 3 6 9 12

km Skala 1:250.000 LEGENDA DAERAH PENANGKAPAN SUNGAI JALAN DARAT LAUT

- PETA ADMINISTRASI BAKOSURTANAL TAHUN 2006

- SURVEI LAPANG 2010

SUMBER DATA :

TAHUN PEMBUATAN : 2011

Gambar 6 Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

3.2. Variabel dan Parameter Pengukuran

Model produksi surplus membutuhkan data hasil tangkapan (C) dalam ton, upaya penangkapan (f) dalam satuan trip/tahun, serta data tangkapan per satuan upaya (CPUE)dalam satuan ton/trip kapal. Data runut waktu tahunan sumberdaya


(43)

rajungan diperoleh dari statistik perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Parameter laju pertumbuhan alami r, daya dukung lingkungan K, dan kemampuan penangkapan q secara sistematis diperoleh melalui perhitungan menggunakan algoritma (Fauzi 2010).

3.3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode survey lapang untuk mendapatkan gambaran yang dapat mewakili distribusi spasial dan temporal rajungan di perairan Teluk Banten. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan nelayan Pelabuahan Perikanan Nusantara Karangantu. Adapun data sekunder diperoleh dari statistik dan laporan tahunan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Banten dan Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Serang.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Standarisasi upaya penangkapan

Standardisasi terhadap alat tangkap yang lain bertujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan upaya yang berbeda sehingga dapat dianggap upaya penangkapan suatu jenis alat tangkap diasumsikan menghasilkan tangkapan yang sama dengan alat tangkap standar. Pada umumnya pemilihan suatu alat tangkap standar didasarkan pada dominan tidaknya alat tangkap tersebut digunakan di suatu daerah serta besarnya upaya penangkapan yang dilakukan. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks (FPI) = 1 (Tampubolon dan Sutedjo 1983 in Tinungki 2005). Adapun nilai fishing power indeks (FPI) jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung dengan membagi nilai catch per unit effort (CPUE alat tangkap lain) dengan CPUE alat tangkap standar. Nilai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya penangkapan standar alat tersebut


(44)

dengan CPUEs merupakan hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap

standar, CPUEi adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i, Cs

merupakan jumlah tangkapan jenis alat tangkap standar, Ci adalah jumlah tangkapan jenis alat tangkap i, fs adalah jumlah upaya jenis alat tangkap standar, fi adalah

jumlah upaya jenis alat tangkap i, FPIs adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar, sedangkan FPIi adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap i.

3.4.2.Model produksi surplus

Model produksi surplus bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang.

Struktur umum model produksi surplus adalah hubungan yang dinyatakan sebagai berikut:

Ketika produksi lebih besar dibandingkan kematian alamiah, maka stok akan bertambah, sedangkan stok akan berkurang bilamana kematian alami meningkat. Model produksi surplus digunakan untuk menyatakan perbedaan antara produksi dan kematian alamiah.

Tujuh model yang akan digunakan dan dicobakan dalam penelitian ini adalah model Schaefer, Gulland, Pella & Tomlomson, Fox, Walter & Hilborn, Schnute,

serta model Clarke Yoshimoto Pooley.

Model produksi surplus yang telah dikenalkan oleh para ahli akan diterapkan ke dalam data runut waktu tahunan tangkapan dan upaya tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang dilakukan oleh nelayan di perairan Teluk Banten yang kemudian didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.

Berikut adalah persamaan matematik masing-masing model produksi surplus yang digunakan untuk menduga tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya optimum penangkapan dengan menggunakan bantuan program Microsoft Excel:


(45)

A. Model Schaefer (1954)

B. Model Gulland (1961)

C. Model Pella dan Tomlimson (1969)

D. Model Fox (1970)


(46)

F. Model Schnute (1977)

G. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992)

Keterangan:

Ct : Tangkapan tahun ke-t

ft : Upaya penangkapan tahun ke-t

CPUEt : Hasil tangkapan per satuan upaya tahun ke-t

r : Parameter pertumbuhan K : Daya dukung lingkungan q : Koefisien penangkapan m : Parameter tambahan

MSY : Tangkapan Maksimum Lestari (Maximum Sustainable Yield) fopt : Upaya tangkapan optimal


(47)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Perikanan di Perairan Teluk Banten

Teluk Banten merupakan bagian dari perairan Laut Jawa. Sumberdaya ikan yang berada di Teluk Banten sangat bervariasi. Mulai dari ikan demersal, pelagis sampai ikan karang. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan di perairan ini berlangsung terus menerus sepanjang tahun. Nelayan yang menangkap ikan di perairan ini mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu yang terletak di selatan Teluk Banten, tepatnya di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Jenis-jenis ikan yang ditangkap di perairan Teluk Banten disajikan pada Gambar 7:

Gambar 7 Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

(Statistik PPN Karangantu 2011)

Rajungan merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan di PPN Karangantu. Hasil tangkapan rajungan di perairan Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu masih tergolong rendah. Secara umum alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Karangantu masih bersifat tradisional. Usaha


(48)

penangkapan rajungan dengan skala kecil operasi penangkapannya adalah one day fisihing. Daerah penangkapan rajungan berada di Pulau Tunda dan Pulau Pamujan. Hasil tangkapannya didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Lama waktu tempuh nelayan untuk mencapai fishing ground adalah sekitar 30 menit dengan jarak tempuh 5 mil. Spesies rajungan yang umumnya ditangkap oleh nelayan Karangantu adalah Portunus pelagicus.

Tabel 1 Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten kurun waktu 2005-2010

Tahun Jaring Insang Payang Dogol Bagan Sero

2005 17.1260 0.8800 73.4980 20.8240 0

2006 7.9910 1.8200 6.2770 3.1370 0

2007 35.1760 0.6020 4.9420 9.6380 0

2008 20.3090 0.9210 7.4500 11.5490 8.0720

2009 21.4260 0.5370 21.5880 1.9060 3.2880

2010 29.7540 0 0.8000 0.0630 2.2590

(Laporan Statistik PPN Karangantu)

Tabel 1 menunjukkan tangkapan rajungan oleh nelayan PPN Karangantu yang menggunakan lima jenis alat tangkap. Tangkapan nelayan ahun 2005 sampai 2007 diperoleh hanya dari empat alat tangkap yaitu jaring insang, payang, dogol dan bagan. Selanjutnya di tahun berikutnya tangkapan rajungan mulai diperoleh dengan menggunakan alat tangkap sero.

Tabel 2 menunjukkan upaya tangkapan tahunan dalam satuan trip rajungan oleh nelayan PPN Karangantu yang menggunakan lima jenis alat tangkap yaitu jaring insang, payang, dogol, bagan dan sero. Operasi upaya penangkapan rajungan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap sero baru mulai beroperasi pada tahun 2008.

Berdasarkan hasil standarisasi upaya maka diperoleh data runut waktu total tangkapan rajungan serta jumlah upaya penangkapan dalam satuan trip dari lima jenis alat tangkap, dimana yang menjadi upaya standar adalah trip menggunakan alat tangkap dogol sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Secara visual dapat dilihat pada Gambar 8 fluktuasi tangkapan dari tahun 2005 sampai tahun 2010.


(49)

Tabel 2 Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu 2005-2010

Tahun Jaring Insang Payang Dogol Bagan Sero

2005 820 822 1164 1562 0

2006 601 502 569 1106 0

2007 1009 688 882 2035 0

2008 1894 270 1351 2742 1859

2009 2899 186 1804 3992 1717

2010 4390 258 2449 5210 1134

(Laporan Statistik PPN Karangantu 2011)

Tabel 3 Jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu 2005-2010

Tahun C(ton) E(trip)

2005 112.3280 2252

2006 19.2250 1346

2007 50.3580 2203

2008 48.3010 3869

2009 48.7450 5354

2010 32.8760 7349

(diolah dari statistik PPN Karangantu)

Gambar 8 Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2010

Gambar 8 menunjukkan produksi rajungan di Teluk Banten selama enam tahun. Selama enam tahun kurun waktu tersebut, terlihat bahwa hasil tangkapan


(50)

tertinggi pada tahun 2005, sedangkan tangkapan terendah pada tahun 2006. Secara keseluruhan tangkapan rajungan di PPN Karangantu cukup fluktuatif.

Gambar 9 menunjukkan fluktuasi tahunan upaya penangakapan rajungan dalam satuan trip di Teluk Banten oleh nelayan PPN Karangantu. Upaya tangkapan tertinggi pada tahun 2010, sedangkan upaya tangkapan terendah pada tahun 2006. Secara keseluruhan terlihat adanya peningkatan upaya penagkapaan rajungan oleh nelayan Karangantu dari tahun 2006 sampai tahun 2010.

Gambar 9 Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2010

Tangkapan per satuan upaya (Catch per unit Effort/CPUE) rajungan di perairan Teluk Banten selama enam tahun cukup berfluktuasi sebagaimana terlihat pada Gambar 10. CPUE tertinggi pada tahun 2005, sedangkan terendah pada tahun 2010. Secara keseluruhan terlihat bahwa terjadi penurunan nilai tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu dari tahun 2007 sampai tahun 2011.


(51)

Gambar 10 Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2010

4.1.2. Model Produksi Surplus A. Metode Schaefer (1954)

Model Schaefer mengikuti model pertumbuhan logistik. Penurunan hasil tangkapan per satuan upaya CPUE terhadap upaya penangkapan F mengikuti pola regresi linear. Adapun kurva parabola yang simetris menunjukkan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya, dimana titik puncak kurva tersebut menunjukkan tingkat biomassa sebesar .

Hasil tangkapan rajungan C dalam satuan ton, upaya penangkapan F dalam satuan trip serta tangkapan per satuan upaya CPUE dalam satuan ton/trip disajikan pada Tabel 4. Kolom 2 menunjukkan hasil tangkapan, sedangkan kolom 3 menunjukkan upaya trip yang dilakukan oleh nelayan. Hubungan parabolik antara hasil keseimbangan dan upaya penangkapan optimum akan memberikan informasi mengenai hasil tangkapan maksimum lestari MSY dan tingkat penangkapan optimum FMSY yang akan menghasilkan MSY. Adapun tangkapan per satuan upaya

CPUE (kolom 4) diperoleh dari hasil bagi antara tangkapan C (kolom 2) dengan upaya tangkapan F (kolom 3) setiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2010.


(52)

Tabel 4 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F) dan jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten

Tahun C(ton) F(trip) CPUE(ton/trip)

2005 112.3280 2252 0.0499

2006 19.2250 1346 0.0143

2007 50.3580 2203 0.0229

2008 48.3010 3869 0.0125

2009 48.7450 5354 0.0091

2010 32.8760 7349 0.0045

(diolah dari statistik PPN Karangantu)

Regresi antara CPUE (kolom 4) dan upaya penangkapan (kolom 3) pada tabel 4, menghasilkan persamaan regresi linear sebagai berikut:

Upaya optimum model Schaefer dapat diperoleh dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a= dan b=-0.000004 pada rumus berikut:

trip

Berdasarkan model Schaefer, selama satu tahun jumlah tripupaya tangkapan tidak boleh melebihi 4091 trip. Adapun hasil tangkapan maksmum lestari MSY dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a dan b sebagai berikut:

ton/tahun

Menurut model Schaefer , untuk dapat memanfaatkan sumberdaya rajungan secara lestari di Teluk Banten, maka potensi ikan yang boleh ditangkap selama satu tahun maksimal ton. Artinya hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY

rajungan di Teluk Banten sebesar ton/tahun, dengan dugaan upaya penangkapan optimum trip selama satu tahun.

Gambar 11 menunjukkan grafik hubungan antara jumlah tangkapan maksimum lestari dengan upaya penangkapan rajungan di Teluk Banten. MSY= ton diperoleh dengan melakukan upaya penangkapan trip selama setahun.


(53)

Gambar 11 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer

Hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan dengan model Schaefer dari tahun 2005 sampai tahun 2010 diperlihatkan pada Gambar 12. Pola perubahan hasil tahunan aktual berbeda denagn perubahan produksi tahunan model Schaefer. Hasil tangkapan dengan model Schaefer jauh lebih tinggi dibandingkan hasil tangkapan aktual nelayan Karangantu.

Gambar 12 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten


(1)

D. Model Fox

Model Fox merupakan model alternatif untuk populasi ikan yang pertumbuhan intrinsiknya mengikuti model logaritmik. Model Fox menghasilkan hubungan antara

dan yang berbeda, yaitu :

(D.1)

atau

(D.2)

Perhitungan MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap dalam rangka menentukan solusi optimal baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama dari terhadap , yaitu :

(D.3)

(D.4)

Upaya penangkapan optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama catch terhadap effort sama dengan nol atau

(D.5)

Hasil tangkapan akan mencapai maksimum apabila sehingga diperoleh dugaan dan masing-masing :

(D.6)

(D.7)

E. Model Walter dan Hilborn

Persamaan awal Walter dan Hilborn adalah sebagai berikut :

(E.1)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :


(2)

88 dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan menunjukkan upaya penangkapan. Persamaan (E.2) ini ditulis menjadi :

atau (E.3)

Substitusi persamaan (E.3) ke persamaan (E.1)

(E.4)

Persamaan (E.4) dikalikan dengan sehingga diperoleh :

(E.5)

(E.6)

Persamaan Walter dan Hilborn menjadi :

(E.7)

Secara umum persamaan regresi diatas dapat dituliskan sebagai :

(E.8)

di mana :

adalah error dari persamaan regresi. F. Model Schnute

Model Schnute merupakan modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskret. Dasar dari model Schnute adalah transformasi persamaan dinamik sehingga diperoleh :

(F.1)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

(F.2)

Substitusi persamaan (F.2) ke persamaan (F.1) sehingga menjadi

(F.3)


(3)

Jika persamaan (F.4) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh :

(F.5)

di mana : dan

Persamaan (F.5), selanjutnya disederhanakan, dimana dan adalah rata-rata CPUE dan rata-rata upaya penangkapan pertahun. Ini memberikan persamaan :

(F.6)

(F.7)

G. Model Clarke Yoshimoto Pooley

Persamaan awal Clarke Yoshimoto Pooley adalah sebagai berikut :

(G.1)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

(G.2)

dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan menunjukkan upaya penangkapan. Persamaan (G.2) ini ditulis menjadi :

atau (G.3)

Persamaan (G.3) disubtitusikan pada persamaan (G.2). Kemudian kedua sisinya dikalikan dengan sehingga akan menghasilkan persamaan sebagai berikut:

(G.4)

Integral dari t=tahun ke-n sampai t=tahun ke-n+1 menjadi:


(4)

90 dimana adalah CPUE pada awal tahun ke-n sedangkan adalah total upaya pada tahun ke-n. Derajat pertama Taylor polynomial ln dipusatkan pada , sehingga rata-rata CPUE tahun ke-n adalah:

(G.6)

Perkiraan tangkapan diperoleh melalui integral sebagai berikut:

(G.7)

jika maka persamaan (G.7) menjadi:

(G.8)

persamaan (G.8) dimasukkan ke dalam persamaan (G.6) menghasilkan persamaan berikut

(G.9)

Untuk n+1 persamaan (137) menjadi :

(G.10) dengan menggunakan asumsi Schnute (1977) untuk menduga nilai CPUE

(G.11)

CPUE tahun tertentu adalah rata-rata geometri CPUE pada awal dan akhir tahun tersebut. Pendugaan CPUE dipecahkan dengan cara memasukkan persamaan (G.10) secara aljabar untuk ln( menghasilkan persamaan berikut:


(5)

90 Lampiran 13 Rajungan Portunus pelagicus yang ditangkap di Teluk Banten oleh nelayan Karangantu

(A)

(E)

(B) (C) (D)

Keterangan:

A : Rajungan betina (tampak dari dorsal) B : Rajungan jantan (tampak dari dorsal) C : Rajungan jantan (tampak dari ventral) D : Rajungan betina (tampak dari ventral) E : Rajungan betina yang mengerami telur


(6)

91 Lampiran 14 Kapal penangkapan rajungan di PPN Karangantu