Menurut Fauzi 2004, penerapan kebijakan konvensional yang sering digunakan antara lain pajak, baik pajak terhadap input maupun output perikanan,
pembatasan entry limited entry, maupun kuota, untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang rasional dan bertanggung jawab, sering menemui
kegagalan. User fee atau fishing fee sebagai salah satu alternatif alat pengelolaan sumberdaya perikanan yang didasarkan pada cost-effective
management, diharapkan menjadi stimulus bagi pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih efektif, disamping tersedianya dana untuk pemeliharaan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan. Tujuan utama pengelolaan sumberdaya berkelanjutan adalah pencapaian
keuntungan secara maksimum, dengan tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan sumberdaya, sebagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhannya WCED, 1987 in Dahuri, 2002. Selanjutnya bahwa atas dasar definisi dari tujuan tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung tiga
unsur dimensi utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologis dan sosial Harris et al., 2001 in Dahuri, 2002.
Pendekatan kelestarian ekologis dapat digunakan dalam pengelolaan perikanan dengan cara memperkuat, mengembangkan sistem budaya lokal yang
ramah lingkungan. Pada umumnya budaya tradisional memiliki pengakuan bahwa manusia bagian dari alam. Pemerintah sebagai decession maker perikanan perlu
melibatkan masyarakat lokal dalam merumuskan kebijakan Sujastani, 1982. Peran langsung masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan di perkuat sesuai
budaya setempat. Setiap daerah memiliki budaya yang khas. Sifat khas ini menyebabkan kebijakan pengelolaan perikanan akan menjadi sulit bersifat global
sama untuk setiap daerah, sehingga setiap daerah dapat memiliki sistem pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-masing daerah.
Gambar 2 Indikator Pengelolaan Berkelanjutan. Ekologi
Ekonomi Sosial
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut Indonesia sangat kaya dan mempunyai peran strategis dan prospek yang cerah. Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan
yang dapat dikembangkan, yakni; perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, perhubungan laut,
pertambangan dan energi, pariwisata bahari, kehutanan, sumberdaya pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, serta SDA nonkonvensional Dahuri 2009. Total
potensi ekonomis 11 sektor kelautan Indonesia itu, diperkirakan 800 miliar dollar AS 7 200 triliun rupiah per tahun atau lebih dari tujuh kali lipat APBN 2009 dan
satu setengah kali PDB saat ini. Sektor perikanan menjadi isu global seiring terjadinya perubahan
paradigma ekonomi dunia, dari ekonomi terresterial menuju ekonomi maritim. Perburuan pun berubah dari darat menuju ke laut. Pertumbuhan penduduk dunia
yang terus mengalami peningkatan, minimnya lapangan kerja dan meningkatnya kebutuhan pangan penduduk dunia menjadi momentum bangkitnya sektor
perikanan sebagai pertumbuhan ekonomi baru dunia. Permasalahan penyediaan bahan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia menjadi tuntutan yang
mendesak. Pada awal perkembangan perikanan dunia, beberapa ahli beranggapan
bahwa stok ikan laut sangat besar dan memiliki daya pulih recovery yang cepat sehingga bisa dieksploitasi secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif yang
lama. Namun kenyataannya, hanya dalam jangka waktu sekitar 20 tahun, stok ikan laut dunia sudah berkurang sekitar 80 Wiyono dan Alimuddin, 2006.
Tercatat pada tahun 2000, produksi perikanan dunia menurun menjadi 126 juta ton dari tahun tahun sebelumnya yang mencapai 130 juta tontahunnya Yusuf,
2007. Salah satu komoditi yang belakangan menjadi perhatian masyarakat adalah rajungan. Komoditi ini, menurut data Statistik Kelautan dan Perikanan
Tahun 2005 DKP RI, 2006 juga menunjukkan indikasi penurunan pada tahun 2003 hingga 2005 dengan volume produksi masing-masing pada tahun 2003
sebesar 30 530 ton turun menjadi 21 854 ton pada tahun 2004 dan kemudian turun menjadi 18 760 ton pada tahun 2005.
Selain faktor tekanan penangkapan yang tinggi, faktor pemanfaatan di daratan yang menimbulkan pencemaran turut menjadi penyebab menurunnya
kualitas sumberdaya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir serta padatnya aktivitas lalu lintas laut juga menyumbang terdegradasinya sumberdaya
pesisir dan lautan. Dengan demikian segala aktivitas penangkapan di laut, aktivitas di daratan dan di wilayah pesisir menjadi sangat penting untuk dikelola
secara baik dan tepat. Pengelolaan sumberdaya alam senantiasa diarahkan pada tiga dimensi
utama pembangunan yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Dari sisi ekologi sumberdaya alam diarahkan untuk mencapai aspek keberlanjutan sustainable,
sementara dari sisi ekonomi diarahkan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat welfare dan dari sisi sosial pengelolaan sumberdaya
diarahkan pada aspek pemerataan equity. Begitu pula tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah bagaimana tetap menjaga keberlanjutan
sumberdaya ketersediaan stok dan berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan.
Kabupaten Kolaka merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yang memiliki potensi perikanan yang cukup besar, hal ini didukung oleh kondisi
wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Teluk Bone yang kaya dengan beragam sumberdaya alam, diantaranya potensi kekayaan alam
perikanan tangkap sebesar 144 320 tontahun La Hatta, 2007. Kawasan Teluk Bone dan sekitarnya merupakan penyumbang terbesar kedua 21 setelah
pantai utara jawa 28 dari total produksi rajungan seluruh Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2008 Surjadi, 2009. Rajungan Portunus pelagicus tergolong
hewan dasar lautbentos dan dapat berenang ke dekat permukaan laut pada malam hari untuk mencari makan, juga sering disebut swimming crab yang artinya
kepiting berenang. Sumberdaya perikanan rajungan Portunus pelagicus yang dalam istilah lokal disebut “bukkang suji” merupakan salah satu jenis komoditas
hasil laut bernilai ekonomis tinggi seperti halnya udang dan jenis perikanan lainnya yang banyak terdapat di perairan pesisir dan laut Kabupaten Kolaka dan
telah dimanfaatkan untuk menambah pendapatan dan pemenuhan protein hewani. Potensi rajungan sangat melimpah dan dapat ditemukan di sepanjang
perairan Indonesia yang berpantai pasir dan lumpur. Total potensi rajungan Indonesia diperkirakan sebesar 7.2 juta tontahun Sulistiono, 2009. Rajungan
memiliki nilai ekonomis penting dan telah diekspor ke berbagai negara dalam bentuk segar maupun olahan. Negara Singapura, Malaysia, Jepang, Hongkong,
Taiwan dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor Adam et al., 2006. Setiap tahunnya produksi daging rajungan Indonesia yang masuk ke pasaran
Amerika 8-9 juta pon. Komoditas ini merupakan komoditas ekspor urutan ketiga dalam arti jumlah setelah ikan dan udang Susanto et al., 2004. Sihombing 2004
menyatakan bahwa produksi rajungan Indonesia yang diekspor pada tahun 1993 sebanyak 442 724 ton dengan nilai US 1 042 miliar dalam bentuk tanpa kepala
dan kulit. Diperkirakan total produksi rajungan di Kolaka mengalami penurunan
karena terjadinya peningkatan kegiatan penangkapan. Sementara itu peningkatan penangkapan dipicu oleh tingginya nilai jual yang mencapai minimal Rp. 25.000,-
per kilogram dengan kulit atau Rp. 250.000,- per kilogram khusus daging. Faktor lain adalah permintaan pasar yang terus meningkat, Surjadi 2009
mengungkapkan bahwa salah satu tujuan pasar ekspor rajungan Indonesia yaitu Amerika terus mengalami peningkatan permintaan, pada tahun 2005
sebesar 21 114 ton, pada tahun 2006 sebesar 21 530 ton dan 21 678 ton pada tahun 2007.
Faktor harga komoditi yang tinggi dan pasar yang jelas telah mendorong terjadinya peningkatan penangkapan rajungan di Kabupaten Kolaka yang
berakibatkan penurunan produksi. Upaya peningkatan produksi banyak dilakukan melalui penambahan unit usaha effort. Penambahan jumlah effort tersebut
secara langsung akan memberikan tekanan terhadap sumberdaya dan ekosistem. Dampak nyata yang ditimbulkan terhadap sumberdaya dalam kurun waktu tertentu
akan menurunkan tingkat biomassa atau terjadi penurunan stok, sementara bagi ekosistem akan terganggu yang juga akan berdampak terhadap pertumbuhan
sumberdaya rajungan. Kangas 2000 menyatakan bahwa sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut,
sehingga dikuatirkan akan mempengaruhi populasinya di alam. Penurunan jumlah hasil tangkapan dan ukuran rajungan serta perubahan fishing ground
merupakan bukti terjadinya tekanan terhadap sumberdaya tersebut. Berdasarkan uraian di atas, diperlukan kehati-hatian dan kajian
komprehensif dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya kegiatan penangkapan sumberdaya rajungan Portunus pelagicus di kawasan Teluk Bone
khususnya perairan Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara yang nantinya dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan rajungan secara berkelanjutan.