PEMISAHAN FRAKSI MINYAK ATSIRI

gcm 3 , titik didih 145 o C 12 mmHg dan indeks bias 1,4780 – 1,4830 20 o C serta larut dalam 70 etanol dengan perbandingan 1:4. Gambar 6. Rumus Bangun Nerolidol

D. PEMISAHAN FRAKSI MINYAK ATSIRI

Dalam rangka menjaga kestabilan mutu minyak atsiri maka penanganan, pengemasan dan penyimpanan minyak perlu mendapat perhatian. Minyak atsiri apabila dibiarkan di udara terbuka dapat mengalami oksidasi dan resinifikasi sehingga minyak yang dihasilkan lebih kental. Hasil dari oksidasi akan terbentuk asam organik, aldehid dan keton dengan berat molekul yang rendah. Hasil dari polimerisasi aldehid atau persenyawaan terpen dapat terbentuk resin dan bersifat sukar larut dalam alkohol dan menyebabkan minyak berwarna keruh Ketaren, 1985. Sebagian besar dari minyak atsiri terdiri dari campuran hidrokarbon terpen, seskuiterpen dan sebagainya; persenyawaan hidrokarbon beroksigen oxygenated hydrocarbon misalnya alkohol, ester, aldehid, ether, keton, lakton, fenol, dan sebagainya; dan sejumlah kecil residu tidak menguap misalnya lilin dan parafin. Persenyawaan hidrokarbon beroksigen non terpen merupakan penyebab utama bau wangi dalam minyak atsiri, sedangkan terpen dan seskuiterpen mudah mengalami proses oksidasi dan resinifikasi dengan pengaruh cahaya dan udara atau pada kondisi penyimpanan yang kurang baik sehingga merusak bau dan flavour serta menurunkan kelarutan minyak dalam alkohol Ketaren, 1985. Karakter dari campuran hidrokarbon terpenoid menurut Heath 1978 adalah: 1. Sukar larut dalam alkohol. Karakter ini yang sering digunakan untuk mengetahui kualitas minyak atsiri. 2. Cenderung untuk teroksidasi yang mengakibatkan penurunan bau dan rasa dari minyak. Oksidasi juga dapat diikuti dengan polimerisasi dan resinifikasi yang mengakibatkan minyak menjadi kental selama penyimpanan. 3. Kontribusi yang rendah terhadap bau dan aroma minyak atsiri yang dihasilkan. Karena sifat yang disebutkan tersebut maka penghilangan atau pengurangan terpen sangat menguntungkan dan dapat meningkatkan kualitas dari minyak tersebut. Deterpenasi merupakan penghilangan seluruh atau sebagian dari hidrokarbon terpen. Setiap jenis minyak atsiri mempunyai komposisi kimia yang berbeda sehingga pemisahan terpen dari masing-masing minyak membutuhkan proses yang khusus. Metoda umum pemisahan atau pengurangan terpen yang digunakan menurut Heath 1978 yaitu distilasi bertingkat dalam kondisi vakum, ekstraksi secara selektif dengan menggunakan pelarut cair-cair, dan kromatografi menggunakan gel silika. Salah satu teknik pemisahan yang paling umum digunakan adalah dengan metode ekstraksi cair-cair atau ekstraksi menggunakan pelarut. Deterpenasi dengan cara distilasi bertingkat dilakukan melalui pengurangan komponen terpen yang bertitik didih rendah sehingga komponen yang berat atau bertitik didih tinggi dapat terakumulasi. Menurut Guenther 1952, kelemahan cara distilasi bertingkat adalah proses pemisahan terpen berlangsung tidak sempurna, sedangkan kelebihannya adalah proses berjalan cepat. Sedangkan menurut Ketaren 1985, kelemahan cara distilasi bertingkat adalah adanya perlakuan pemanasan terhadap minyak yang berulang-ulang akan menyebabkan kerusakan dan komposisi dalam minyak atsiri akan berubah, sehingga suhu penyulingan harus dijaga serendah mungkin dengan bantuan vakum. Vakum yang digunakan harus dalam kondisi yang baik dan lebih disukai yang bertekanan 1-2 mmHg. Pada tekanan yang rendah tersebut, titik didih dari komponen minyak atsiri menjadi lebih rendah tetapi juga menjadikan titik didihnya berdekatan satu sama lain sehingga membuat pemisahan yang efisien semakin sulit Heath, 1978. Proses deterpenasi melalui teknik kromatografi dilakukan dengan menggunakan gel silika sebagai absorbannya. Caranya dengan mengalirkan minyak atsiri ke dalam kolom yang berisi absorban diikuti dengan elusi kolom tersebut dengan pelarut non polar. Cara tersebut menghilangkan residu terpen sehingga senyawa tanpa terpen dapat dihasilkan dengan mengekstraksi gel silika menggunakan etil asetat atau pelarut polar bertitik didih rendah lainnya. Pengontrolan suhu kolom diperlukan untuk mengurangi kerusakan minyak akibat panas Heath dan Reineccius, 1986. Metode ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan cara mencampurkan minyak atsiri dengan alkohol sejumlah 3 atau 4 kali volume minyak atsiri dalam ketel yang dilengkapi corong pemisah dan pendingin balik agar kondensasi berlangsung terus Heath, 1978. Teknik lainnya adalah dengan menggunakan dua macam pelarut polar dan non polar. Fraksi terpen akan terlarut dalam pelarut non polar dan fraksi terpen-o akan terlarut dalam pelarut polar. Setelah campuran memisah dalam dua fase, pelarut dipisahkan dengan cara penyulingan pada suhu rendah. Menurut Ketaren 1985, keuntungan dari cara ini adalah rendemen minyak murni tanpa terpen yang dihasilkan cukup besar. Kelemahannya adalah membutuhkan volume pelarut yang cukup besar. Disamping itu ada kemungkinan terbentuknya emulsi, namun hal tersebut dapat diatasi dengan menambahkan asam sitrat atau asam tartarat sebanyak 0.1. Pada minyak atsiri yang tidak tahan panas dapat dilakukan metode ekstraksi pelarut dingin. Pelarut yang umum digunakan adalah ethanol 95 v v kemudian ditambahkan air sedikit demi sedikit hingga konsentrasi etanol mencapai 35 v v . Terpen tidak akan larut dalam konsentrasi tersebut sehingga setelah didiamkan beberapa lama akan terpisah membentuk lapisan tipis di permukaan. Kemudian lapisan bawahnya dapat dikeluarkan dan dipisahkan larutan alkohol dengan minyak dan ditambahkan sodium klorida untuk memecahkan emulsi. Walaupun memakan waktu yang lama, metode ini dapat menghasilkan minyak dengan mutu yang baik Heath, 1978. Namun menurut Kirk dan Othmer 1967, memisahkan minyak tanpa terpen dari alkohol encer merupakan proses yang sulit. Minyak dapat dilarutkan dalam pentana dan alkohol. Terpen, seskuiterpen, dan lilin akan tercampur dalam pentana sedangkan senyawa non terpen akan terlarut dalam alkohol. Penguapan pentana dan alkohol akan menghasilkan golongan terpen dan non terpen Kirk dan Othmer, 1967. Belum ada informasi yang standar mengenai pelarut yang terbaik dan dapat dipakai secara umum dalam proses ekstraksi pada pemisahan frkais terpen dan terpen-o minyak atsiri. Masing-masing minyak atsiri memiliki karakteristik yang berbeda sehingga perlu dicari pelarut dan konsentrasi yang tepat dalam melakukan pemisahan fraksi terpen dan non terpen. Menurut Guenther 1952 indikator untuk menentukan tingkat kemurnian minyak atsiri tanpa terpen dapat dilihat melalui nilai berat jenis dan nilai putaran optis. Hidrokarbon mempunyai berat jenis yang rendah, pemurnian minyak yang sempurna akan menaikkan berat jenis minyak bebas terpen sampai menjadi minyak murni. Nilai putaran optis juga indikator yang baik untuk menentukan fraksi terpen telah habis terpisah atau belum. Beberapa informasi penelitian terdahulu mengenai deterpenasi yaitu: 1 Safril Siregar 1993 meneliti pengaruh jenis dan perbandingan pelarut pada proses deterpenasi minyak akar wangi kasar terhadap rendemen dan mutu minyak bebas terpen, kombinasi perlakuan yang memberikan hasil terbaik adalah dengan menggunakan campuran pelarut asetonitril, aseton dan heksan pada perbandingan 1:2,5. 2 Hasil penelitian Armen 2001 mengenai deterpenasi minyak pala dengan metode ekstraksi metanol, hasil penelitian menunjukkan bahwa deterpenasi sudah dapat dilakukan pada konsentrasi metanol 95 dimana rendemen fraksi non terpen yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan metanol 90, namun dari segi kualitas dengan menggunakan metanol 90 memberikan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan metanol 95.

E. PELARUT DAN KELARUTAN